Sunday, May 11, 2014

Islam & Modernisasi (III)


Tugu Monemen Nasional, Jakarta.



ISLAM DAN MODERNISASI (III)
Oleh: A. Fasial Marzuki




P
emuda Muhammad saw mengajarkan kaumnya agar menggunakan iman dan akalsehat atau akalbudi. Yaitu bahwa hidup di dunia ini akan lebih produktif jika ada dalam keadaan dan kesadaran hidup bersama akan lebih baik dari hanya sekedar bernafsi-nafsi. Lihatlah semut walaupun bentuk tubuhnya amat kecil ketimbang manusia, mampu mengangkat benda yang lebih besar 10 kali lipat atau lebih dari tubuhnya secara bersama.

Di zaman moderen ini manusia mampu membuat kapal pesiar tingginya 10 atau lebih bangunan bertingkat dan panjangnya ratusan meter. Itu dapat dilakukan karena dikerjakan oleh manusia bersama (team work). Gerombolan manusia ini di organisir dalam management yang dimotori oleh kumpulan insinyur bangunan; insinyur mesin; insinyur listrik; insinyur arsitek; ahli plumbing; ahli gambar; pekerja, dengan menggunakan peralatan; keuangan; bahan material; organisai dan management rapi dan terpadu; yang berjadwal dan berkemauan kerja dari manusia-manusianya. Ringkasnya ketika penulis belajar industrial management disebut dengan 7-M, yaitu: Man, yaitu sumber daya manusia yang terlatih (skill, semi skill, dan relatif skill) bekerja atau melakukan dan mengoperasikan dengan menggunakan alat dan mesin; Machines, yaitu ada alat atau mesin, guna membantu dan memudahkan pekerjaannya; Materials, yaitu bahan yang digunakan atau diolah menjadi product jadi (finished product); Methodes, yaitu agar pekerjaan itu efisien, berkualitas baik serta memperkecil pemborosan material, waktu, modal dan keselamatan kerja, maka dalam melakukannya mesti dengan cara dan teknik-teknik tertentu; Money, yaitu setiap usaha memerlukan dana sebagai daya modal penggerak usaha - turn over); Management, yaitu ada pemimpin yang memimpin sejak dari merencanakan; mengorganisir; menggerakkan; mengkoordinasikan; mengawasi dan mengendalikan atau controling); Market, yaitu pasar yang memesan atau membeli barang jadi yang dikerjakan terlebih dahulu sesuai dengan permintaan pemesan. Begitu pula bangunan pencakar langit, jembatan antar daratan, pesawat udara, kapal induk, dst.


”Terlalu banyaknya manusia” tidak menjadi beban nasional dalam suatu negara. Tergantung kepada organisasi, management, pembinaan mental bangsa, tersedianya lapangan pekerjaan, standard gaji yang layak untuk keperluan hidup yaitu ”pangan, sandang dan papan plus pendidikan, transportasi dan kesehatan”. Kesadaran visi dan misi para penggagas, pemimpin, pelaksananya. Serta integritas masing-masing dalam ber-community, ber-society, berbangsa dan bernegara. Tidakkah kita sadar bahwa sumber daya manusia itu lebih bermanfaat ketimbang hanya ada sumber daya alam (karena sumber daya alam tergantung kepada manusia). Jepang sebagai contoh, miskin sumber daya alam namun industri pabriknya mampu menyaingi industri Amerika Serikat. Jepang produsen terbesar yang menghasilkan kehidupan sehari-hari manusia seperti, radio, tv, komputer, kulkas, ac yaitu barang-barang elektronika, dan kendaraan roda empat. Dalam tempo 15 tahun terhitung dari hancur seluruh fasilitas industri dan tenaga listrik (kalah perang dunia ke-2) mampu bangkit dan masuk kelompok negara industri maju di dunia. Begitu pula Korea (Selatan). Kedua negara ini mendatangkan bahan mentahnya dari Indonesia seperti LNG dan lain-lainnya. Kemudian China berpenduduk terbesar di dunia bangkit dan telah menjadi negara industri maju. Bagaimana Indonesia yang kaya akan SDM dan kaya pula akan SDA?

Indonesia belum bangkit benar setelah 69 tahun merdeka, kendatipun peringkat SDM (sumber daya manusia) ke-4 terbesar di dunia dan mempunyai SDA (sumber daya alam) yang cukup bahkan lebih. Negara Badak Culak Satu ini belum bangkit secara signifikan dari tidurnya hampir 4 abad terhitung dari mulainya di jajah Asing (Belanda). Sebenarnya modal SDM negeri ini mempunyai chance yang signifikan jika menyadari bahwa 87% (sebelumnya 95% ketika memproklamasikan kemerdekaannya) penduduknya beragama Islam. Untuk itu sebetulnya ajarannya dapat menopangnya dengan sangat kuat majunya bangsa ini. Belajarlah ilmu-ilmu Islam dengan baik. Islam bukan hanya sekedar kalau mau menikah dan pesta kawinnya yang sangat marak, atau berhari raya Idul Fitri atau berhari raya Idul Adha, atau kenduri sewaktu ada acara sunatan atau kematian dengan segenap tahlilannya yang beseknya berupa nasi dan lauk pauk yang menggiurkan selera. Islam seperti itu terasing dari kehidupan dunia (yang semestinya lebih dari itu) sebagaimana Islam mengajarkannya. Kenyataannya ajaran Islam ini digunakan oleh negara maju seperti Amerika ini dimana founding father-nya membaca terjemahan ayat Al-Qur’an dalam bahasanya (Inggris) seperti persamaan hak; kejujuran; keadilan; amanah; bervisi; bermisi; yang menuangkan kedalam diktum-diktum Konstitusi negaranya. [1]

Dunianya telah di nikmati Belanda penjajahnya, selama 250 tahun yang telah memperbodoh penduduk pribumi dan memperkaya bangsanya dengan barang tambang minyak, batu bara, bauxit, emas dan kayu hutan jati dan lainnya dari Indonesia. Rakyat jajahannya miskin, tidak terdidik dengan baik. Pribumi cukup hidup sekeluarga dengan ’sebenggol’ serasa sejuta. Belanda hidup dengan ratusan, ribuan, jutaan bahkan bilyunan gulden telah mengantongi yang berasal dari bumi persada ibu pertiwi. Ketika itu pemerintahan kolonial membolehkan (menyengajakan) ajaran Islam yang dikembangkannya adalah dengan paham ’agama’ saja dunia ditinggalkan. Padahal ajaran Islam tidak mengajarkan demikian. Ini sama saja satu ayat di lakukan dengan baik lainnya ditinggalkan. Dengan cara itu kalau dia Islam, namanya Islam fasik. Tidak membawa berkah yang utuh. Cara atau fasik inilah yang menjadikannya sengsara sendiri akibat kebodohan umatnya, bukan ajarannya. Padahal (ajaran) Islam lebih dari itu. Akibatnya Islam telah mandek hanya yang diperhatikan akhirat saja dalam bentuk seperti uraian diatas.

Bahwasanya untuk mengejar akhirat diperlukan dunia tidak dikerjakan (baca juga tidak diajarkan).  [1] Bahwasanya manusia Islam dijadikan khalifah bumi untuk memakmurkan (mensejahterakan) kehidupan di bumi tidak disadarinya dengan baik. [2] Bahwasanya umat Islam telah diperbodoh secara ilmiah yaitu dengan mengangkat ahli Islam (orientalis) sebagai penasehat tentang Islam dari Snouck Hergonye yang belajar tentang Islam dan menunaikan ibadah haji hanya untuk mengotak-ngatik ajaran Islam yang sebenarnya oleh pemerintah kolonial Belanda. Bersamaan dengan itu (sebagai diperlawankannya Islam dengan) misi zending Kristen dikirim ke Indonesia. Untuk itulah serial tulisan penulis ini berguna bagi kita bersama, rakyat Indonesia, bangsa Indonesia mari maju bersama agamamu, Islam. Islam juga rahmat bagi agama-agama lain  [3] yang hidup di Indonesia. Islam rahmat bagi seluruh nation bangsa dan antar bangsa. Ajaran Islam dalam kesalehan bermasyarat menjamin sepertihalnya Rasulullah Muhammad saw ketika mendirikan ’Negara Madinah’ di mana agama Yahudi dan pagan Badui dijamin hidupnya [4] sebagaimana tercantum salam Piagam (Konstitusi) Madinah bersama bangsa Arab yang mayoritasnya muslim (mengikuti ibadah dan ajaran Islam). Ketika itu di Madinah agama yang ada ialah Islam, Yahudi, dan Pagan (suku Badui). Dalam ajaran Islam tidak ada paksaan beragama. [5] Tidak ada dalam Islam mengajak manusia masuk Islam dengan memberikan uang (membayar untuk dapat bersekolah atau memberikan keperluan hidup) melainkan hanya melalui dakwah kebenaran agama dan ajaran Islam.

Dalam era Habibie tahun 90-an menjadi motor utama Indonesia masuk ke teknologi tinggi Industri kapal terbang dan industri-industri lainnya seperti kapal penjaga pantai, kereta api dan sebagainya, namun kandas ditengah jalan. Ketika itu produksi pesawat terbangnya telah mampu dibuat oleh para insinyur pesawat terbang Indonesia dan insinyur-insinyur yang terkait dengan industri-industri itu - dalam kenyataan yang sesungguhnya - dan beberapa kapalnya telah terjual. Namun tidak disokong oleh kemauan politik yang kuat oleh para politisi ketika itu. Penulis tidak persis tahu apa yang sebenarnya yang terjadi dikalangan perpolitikan ’era reformasi’ ketika itu. Sepertinya ada rasa hasad yang membabi buta dikalangan petinggi Indonesia, karena Habibie dianggap kroni Suharto. Dan pula Habibie kan tokoh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia). Dan ini pula yang menggagalkan industri pesawat terbang 'pesanan' negara yang lain yang tidak senang dengan Islam maju berbarengan dengan politisi yang alergi dengan Islam (Islamophobia produk sekularisme penjajahan Belanda yang masih dipelihara). Pada hal kita tahu bahwa paham Islam Indonesia dalam menghadapi dunia Internasional sangat moderat dibanding dengan beberapa negara di Timur Tengah.  Contohnya dalam era Habibie Timor Timur (sekarang namanya Timor Lesse) mendapat tekanan dari luar untuk melepaskan Timor Timur dari Indonesia. Habibie mematuhi dunia Internasional, setelah referendum yang dimenangkan oleh penduduknya yang mau lepas dari Indonesia, dengan satria dan jiwa besar Habibie. Sebenarnya Habibie telah pantas disebut sebagai negarawan yang genius dan berintegritas tinggi sebagai cendikiawan Islam Indonesia.

Penulis harapkan bahwa para politisi era reformasi perlu mengkaji kembali pandangannya terhadap konsep Habibi untuk mengadakan lompatan besar menghidupkan kembali industri-industri strategisnya. Janganlah menjadi pendek akal. Jangan mudah hasad. Jangan pula korbankan Indonesia untuk maju, gara-gara Habibi cendikiawan Muslim? [Bersambung] AFM



Islam dan Modernisasi (klik ->)   (I)   (II)   (III)   (IV)   (V)   (VI)
 

Catatan Kaki:
[1] THOMAS JEFFERSON'S QUR'AN - Islam and  the Founders, Denise A. Spellberg, Alfred A. Knopf, Publisher, New York, 10/2013. ----- IN THIS ORIGINAL AND ILLUMINATING book, Denise A. Spellberg reveals a little-known but crucial dimension of the story of American religious freedom - a drama in which Islam played a surprising role. In 1765, eleven years before composing the Declaration of Independence, Thomas Jefferson bought a Qur’an. This marked only the beginning of his lifelong interest in Islam, and he would go on to acquire numerous books on Middle Eastern languages, history and travel, taking extensive notes on Islam as it relates to English common law. Jefferson sought to understand Islam notwithstanding his personal disdain for the faith, a sentiment prevalent among his Protestant contemporaries in England and America. But unlike most of them, by 1776 Jefferson could imagine Muslims as future citizens of his new country.
Terjemahannya:
Dalam buku ORIGINAL DAN ILLUMINATING INI, Denise A. Spellberg mengungkapkan dimensi yang sedikit diketahui tetapi penting dari kisah kebebasan beragama Amerika - sebuah drama di mana Islam memainkan peran yang mengejutkan. Pada 1765, sebelas tahun sebelum menyusun Deklarasi Kemerdekaan, Thomas Jefferson membeli sebuah Qur'an. Ini menandai permulaan minat seumur hidupnya pada Islam, dan dia akan terus memperoleh banyak buku tentang bahasa Timur Tengah (bahasa Arab), sejarah dan perjalanan, membuat catatan luas tentang Islam yang berkaitan dengan hukum umum Inggris. Jefferson berusaha memahami Islam terlepas dari rasa jijik pribadinya atas agama, sentimen yang lazim di kalangan orang-orang sezamannya yang beragama Protestan di Inggris dan Amerika. Tetapi tidak seperti kebanyakan dari mereka, pada 1776 Jefferson dapat membayangkan Muslim sebagai warga negara masa depan di negara barunya.
Based on groundbreaking research, recounts how a handful of the Founders, Jefferson foremost among them, drew upon Enlightenment ideas about the toleration of Muslims (then deemed the ultimate outsiders in Western society) to fashion out of what had been a purely speculative debate a practical foundation for governance in America. In this way, Muslims, who were not even known to exist in the colonies, become the imaginary outer limit for an unprecedented, uniquely American religious pluralism that would also encompass the actual despised minorities of Jews and Catholics. The rancorous public dispute concerning the inclusion of Muslims, for which principle Jefferson’s political foes would vilify him to the end of his life, thus become decisive in the Founders’ ultimate judgment not to establish a Protestant nation, as they might well have done.
As popular suspicions about Islam persist and the numbers of American Muslims grow into the millions, Spellberg’s revelatory understanding of this radical notion of the Founders is more urgent than ever. Thomas Jefferson’s Qur’an is a timely look at the ideals that existed at our country’s creation, and theirs fundamental implications for our present and future.
Terjemahannya:
Berdasarkan penelitian awal, menceritakan bagaimana segelintir para Pendiri, Jefferson terutama di antara mereka, memanfaatkan ide-ide Pencerahan tentang toleransi umat Islam (yang kemudian dianggap sebagai orang luar utama dalam masyarakat Barat) untuk membentuk dari apa yang telah menjadi perdebatan spekulatif murni dan praktis. Landasan bagi pemerintahan di Amerika. Dengan cara ini, umat Islam, yang bahkan tidak diketahui keberadaannya di koloni-koloni, menjadi batas luar imajiner bagi pluralisme agama di Amerika yang unik dan belum pernah terjadi sebelumnya yang juga akan mencakup minoritas-minoritas Yahudi dan Katolik. Perselisihan publik yang sengit mengenai masuknya umat Islam, yang prinsipnya musuh politik Jefferson akan menjelek-jelekkannya sampai akhir hidupnya, dengan demikian menjadi penentu dalam keputusan akhir para Pendiri untuk tidak membentuk negara Protestan, seperti yang mungkin telah mereka lakukan.
Ketika kecurigaan populer tentang Islam terus berlanjut dan jumlah Muslim Amerika tumbuh menjadi jutaan, pemahaman wahyu Spellberg tentang gagasan radikal para Pendiri ini lebih mendesak dari sebelumnya. Al-Qur'an Thomas Jefferson adalah pandangan tepat waktu pada cita-cita yang ada pada penciptaan negara kita, dan implikasi mendasarnya bagi kita sekarang dan masa depan.
Note: About the author, Denise A. Spellberg is an associate professor of history and Middle Eastern studies at the University of Texas at Austin, where she teaches courses on Islamic civilization and Islam in Europe and America.
Terjemahannya:
Catatan: Tentang pengarangnya, Denise A. Spellberg adalah seorang associate professor sejarah dan studi Timur Tengah di University of Texas di Austin, di mana dia mengajar mata kuliah tentang peradaban Islam dan Islam di Eropa dan Amerika.
[2] Bahwasanya untuk mengejar akhirat diperlukan dunia. 
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniaw dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. [QS Al-Qashāsh 28:77]
Imam Ghazali tentang politik: ● Dunia ini ladang akhirat dan tidaklah sempurna agama tanpa dunia; ● Kekuasaan dan Agama merupakan saudara kembar, ’Agama’ sebagai ’pondasi’ dan ’Kekuasaan’ sebagai ’penjaganya’; ● Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan runtuh dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan lenyap.
[3] Bahwasanya manusia (Islam) dijadikan khalifah bumi untuk memakmurkan (mensejahterakan) kehidupan di bumi tidak disadarinya dengan baik.
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa (khalifah) di bumi, dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  [QS Al-An’am 6:165]
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." [QS Hud 11:61]
[4] Islam juga rahmat bagi agama-agama lain.
Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) Bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan. [QS Al-Qashash 28:77]
Hak orang-orang Yahudi adalah mendapat pertolongan dan persamaan hak, dan tidak boleh dizalimi dan diterlantarkan. Perkara apa pun yang diperselisihkan diantara warga, harus dikembalikan kepada Allah dan Muhammad saw yang akan diperlakukan dengan seadil-adilnya. [Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurr-Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1997, hal 247-251]
[5] ’Negara Madinah’ di mana agama Yahudi dijamin hidupnya bersama bangsa Arab yang mayoritasnya muslim (mengikuti ibadah dan ajaran Islam).  Tindakan monemental lain dalam sejarah adalah membuat apa yang disebut di zaman moderen ini (dibuatnya oleh RasululLah saw naskahnya) ’Konstitusi Negara’ Madinah. Ini jelas sangat diperlukan untuk eksisnya Islam sepanjang zaman karena ada. Karena penduduknya disamping Anshar, Muhajirin adalah Jahudi maka dengan pikiran yang bersih cemerlang kedepan dan layaknya sebagai negarawan yang baik seperti di zaman moderen ini. Yaitu mengatur hak dan kewajiban warga Madinah. Membela negara bersama-sama dari kemungkinan serangan musuh. Dan sesama warga saling tolong menolong dan tidak melakukan  atau melindungi kriminal (perbuatan jahat). Hak-hak orang-orang Yahudi adalah mendapat pertolongan dan persamaan hak, dan tidak boleh dizalimi dan diterlantarkan. Perkara apapun yang diperselisihkan diantara warga Madinah, harus dikembalikan kepada Allah swt dan Muhammad saw yang akan diperlakukan seadil-adilnya. [Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurr-Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1997, hal 247-251]
[6] Dalam ajaran Islam tidak ada paksaan beragama.
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.  [QS Āli Imrān 3:190] □□


Bahan Bacaan:
Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurr-Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1997. □□□

Blog Archive