Saturday, April 13, 2019

Rambu Rambu Ramadhan





“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama  Ar-Royyān. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka,’Dimana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut”. (HR Bukhari dan Muslim)



RAIH PAHALA SEBANYAK MUNGKIN
DENGAN MENGIKUTI RAMBU RAMADHAN


D
alam berpuasa di bulan Ramadhan Puasawan yang ingin berhasil baik dan sukses  mesti cerdik bathin. [1] Kalau tidak maka ia hanya mendapatkan rasa haus dan lapar saja. Bila berhasil ‘emblim’ taqwa-nya langsung Allah ‘Azza wa Jalla sendiri yang akan menyematkannya. [2]

Berpuasa Ramadhan itu kan bukan sehari penuh. Melainkan sebulan penuh. Karena sebulannya ini disebut ‘mengembara’. ‘Pengembara Puasa’ ini akan sukses dalam menempuh perjalannya itu bila mematuhi Rambu-Rambu Ramadhan yang berada di setiap jalan dalam menapaki ‘long march’ Ramadhan bagi para Puasawan. Inilah fumgsi dan makna dari ‘Rambu-Rambu Ramadhan’ atau ‘The Signs of Ramadhan’ yang dimaksud, yaitu rambu-rambu yang mesti dipatuhi, lihat gambar.


Gambar Rambu-Rambu Ramadhan


Tanda lingkaran merah beserta tanda gambarnya sebanyak tujuh itu sebagai rambu-rambu jalan. Jika bertemu dengan rambu seperti itu hindarilah. Karena jalan itu adalah jalan yang terlarang, yaitu:
 
  1. Tidak Makan dan Tidak Minum selagi berpuasa 
  2. Jaga Mata dari melihat yang maksiat 
  3. Jauhi Pertengkaran, Perkelahian dan Dosa 
  4. Jauhi Umpatan, Dusta, Bergunjing dan Fitnah 
  5. Tidak Merokok dan berusaha berhenti merokok 
  6. Jangan Melakukan kegiatan yang tidak ada manfaatnya 
  7. Jauhi dari mendengarkan yang tak bermanfaat

Tanda lingkaran biru beserta tanda gambarnya sebanyak enam itu sebagai rambu-rambu jalan. Jika bertemu dengan rambu seperti itu maka ikutilah. Karena jalan itu jalan yang membawa Puasawan sukses, yaitu:

  1. Lakukan Sholat lima waktu tepat waktu, Sholat Taraweh dan Sholat sunnah lainnya 
  2. Pelajari ilmu-ilmu Islam dengan baik 
  3. Baca dan tadabburi Kitab Suci Al-Qur’an 
  4. Perbanyak Dzikir 
  5. Perbanyak Do’a 
  6. Berinfak Sadakah dan menolong orang miskin


Insya Allah kalau dipatuhi rambu-rambu puasa Ramadhan ini, menjadilah orang yang sukses [3], karena diberkati-Nya. Āmīn Yā Rabb Al-‘Alamīn. □ AFM



Catatan Kaki:

[1] Terdapat malam yang penuh kemuliaan dan keberkahan.

Pada bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah, yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan saat diturunkannya Al-Qur’an Al-Karim.
Allah ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ – وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ – لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” [QS Al Qadr 97:1-3]

Dan Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” [QS Ad-Dukhan 44:3]

Ibnu Abbas, Qatadah dan  Mujahid mengatakan bahwa malam yang diberkahi tersebut adalah malam lailatul qadar. (Lihat Ruhul Ma’ani, 18/423, Syihabuddin Al Alusi)

[2] Bagi orang yang berpuasa akan disediakan Ar-Rayyan

Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama  Ar-Royyān. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka,’Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut”. (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ . وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ . وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ ، وَإِذَا لَقِىَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Allah berfirman,’Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Apabila salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah berkata kotor, jangan pula berteriak-teriak. Jika ada seseorang yang mencaci dan mengajak berkelahi maka katakanlah,’Saya sedang berpuasa’. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat daripada bau misk (kasturi). Dan bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, ketika berbuka mereka bergembira dengan bukanya dan ketika bertemu Allah mereka bergembira karena puasanya’. (HR Bukhari dan Muslim)

[3] Bulan Ramadhan adalah salah satu waktu dikabulkannya do’a

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

“Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan, dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.” (HR Al-Bazaar sebagaimana dalam Mujma’ul Zawaid dan Al Haytsami mengatakan periwayatnya tsiqoh/terpercaya. Lihat Jami’ul Ahadits, Imam Suyuthi)

Orang yang berpuasa akan mendapatkan pengampunan dosa

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni”. (HR Bukhari dan Muslim)

Puasa adalah Perisai

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ

“Puasa adalah perisai yang dapat melindungi seorang hamba dari api neraka.” (HR Ahmad dan Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’)

Puasa akan memberikan syafaat bagi orang yang menjalankannya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَىْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِى فِيهِ. وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِى فِيهِ. قَالَ فَيُشَفَّعَانِ

Puasa dan Al-Qur’an itu akan memberikan syafaat kepada seorang hamba pada hari kiamat nanti. Puasa akan berkata: ‘Wahai Tuhanku, saya telah menahannya dari makan dan nafsu syahwat, karenanya perkenankan aku untuk memberikan syafaat kepadanya’. Dan Al-Qur’an pula berkata: ‘Saya telah melarangnya dari tidur pada malam hari, karenanya perkenankan aku untuk memberi syafaat kepadanya.’ Beliau bersabda: ‘Maka syafaat keduanya diperkenankan.’ (HR Ahmad, Hakim, Thabrani, periwayatnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Al Haytsami dalam Mujma’ul Zawaid) □□

Thursday, April 11, 2019

Syarat dan Rukun Puasa Ramadhan




Wahai Orang-orang yang berman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [QS Al-Baqarah 2:183]


PENDAHULUAN

B
ulan Ramadhan dikenal dengan nama bulan ‘Ramadhan Mubarok’, artinya bulan yang penuh barokah. Ramadhan yang penuh barokah ini ditandai dengan nama dari sifatnya. Sifatnya itu adalah: ● Bulan ampunan, ● Bulan mendekatkan diri kepada TUHAN YANG MENCIPTA SEGALA YANG ADA untuk kesejahteraan hidup manusia yang patut kita syukuri, ● Bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai pegangan dan petunjuk atau ‘manual operating system’ kehidupan manusia beriman, ● Bulan yang pada suatu hari turunnya ‘Lailatul Qodar’ yang nilainya 1.000 bulan atau 83,33 tahun Syamsiyah konversi kedalam tanggalan Hijriah (Qomariyah) setara 85 tahun ‘kebaikan’.

Nama-nama lainnya yang menggambarkan kemanfaatan bagi pelaku ibadah puasa bulan Ramadhan ini adalah: ● Bulan pengabulan do’a, ● Bulan ibadah – bulan ‘tune up’ atau ‘service’ agar ‘motor jiwa’ handal kembali dalam menghadapi kehidupan di dunia sebagai ladang ibadah dalam memakmurkan kehidupan di bumi dan bekal untuk mendapatkan  Surga Adn yang diharapkan setiap manusia yang beriman kepada-Nya. ● Bulan yang menjadikan manusia kembali kepada fitrah-nya laksana bayi yang baru dilahirkan, bersih dan suci, layaknya seperti ‘mesin jiwa’ selesai di ‘tune up’ dan ‘ready to go’ menjalani kehidupan 11 bulan selanjutnya.

Oleh karena itu muslimin yang BERAKALSEHAT [1] mengerti ESENSI KEISLAMAN seperti tersebut diatas merasa memerlukan sekali datangnya bulan Ramadhan ini.

Nah, dalam beberapa minggu ini akan datang  jadwal ‘tune up’ Ramadhan. Tune up ini bermaksud ‘mesin jiwa’ dalam diri manusia yang telah digunakan 11 bulan sebelumnya,  perlu di service kembali agar ‘mesin jiwa’ siap pakai lagi untuk menempuh hidup selanjutnya. Dengan itu tentunya puasa ini mesti kita laksanakan sebagai mana perintah-Nya:

Wahai orang-orang yang berman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [QS Al-Baqarah 2:183]

Tentu dalam melaksakan ada aturan-aturan tertentu sebagai syarat sahnya pelaksanaan puasa ini sebagaimana akan dipaparkan dibawah ini. Dengan menjalankan sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya itu insya Allah akan membawa manfaat dan berkah dan kebaikan kepada pelakunya.


SYARAT WAJIBNYA PENUNAIAN PUASA [2]

S
yarat wajib puasa. [3] Syarat wajibnya puasa yaitu: ● Ia adalah orang yang beragama Islam, ● berakal, ● sudah baligh, [4] dan ● mengetahui akan wajibnya puasa. [5]

Dengan itu syarat wajib penunaian puasa ini, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu yaitu datangnya bulan Ramadhan, maka ia dikenakan kewajiban puasa Ramadhan. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.

(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar (dalam perjalanan). Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain (QS Al-Baqarah 2:185).

Kedua syarat seperti yang diterangkan diatas itu termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa, bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.

(3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah:

عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” [6] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa, namun wajib mengqodho’ (mengganti) puasanya. [7]


SYARAT SAHNYA PUASA

R
amadhan yang akan kita lakukan ini ada syarat-syaratnya. Syarat-syarat mana sebagai putunjuk bagi pelaku puasa Ramadhan  agar sahnya. Syaratnya ada 2 sebagai berikut: [8]

(1) Orang yang akan berpuasa ini dalam keadaan suci dari haidh dan nifas, bagi muslimah. Syarat ini adalah syarat terkena dalam akan melakukan kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.

(2) Orang yang akan berpuasa ini mesti berniat. Niat ini merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah, sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” [9]

Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.

Namun, perlu diketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati. [10] Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan:

لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ

“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” [11]

Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan:

وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ

“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.” [12]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ

“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” [13]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” [14]


WAJIB BERNIAT SEBELUM FAJAR [15]

D
alilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh - istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[16]

Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar. [17]

Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat. [18]

Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya. [19] Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya. [20]

Catatan:
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata:

دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.

Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” [21]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.” [22] Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya. [23]


RUKUN PUASA

B
erdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari.  [24] Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS Al Baqarah 2:187).

Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.

Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al-Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya:

إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ

Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”. [25]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim. [26]


PENUTUP

D
emikianlah uraian tajuk “Syarat dan Rukun Puasa Ramadhan” seperti yang telah diurainkan diatas. Semoga bermanfaat dalam kita melakukan puasa Ramadhan yang beberapa pekan ini akan datang.

Adapun tulisan ini ditayangkan untuk mengingatkan kita kembali agar puasa kita tidak hanya sekedar rutinitas puasa, namun memenuhi rukun dan syarat melakukan ibadah puasa Ramadhan ini. Dengan itu puasa kita memenuhi ketentuan-Nya dan menjadi bermanfaat bagi yang melaksanakan. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM



Catatan Kaki:
[1] “…supaya kamu menggunakan akal pikiran (la‘allakum ta’qilūn)” - untuk mengerti atau memahami. [QS Al-Mu’min/Ghāfir 40:67]
Dengan itu pantaslah Allah memberi tugas kepada manusia 'yang berakal' (juga harus berakhlak mulia - adil, jujur dan bertanggung jawab sebagai makhluk yang beribadah kepada-Nya) sebagai Pemakmur Bumi dengan jabatan (para) Khalifah di Dunia. Dimana dalam ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan fungsi akal yang merupakan bagian dari kerja otak yang bersangkut paut pula dengan indra dan hati (consciousness, cognition).
[2] Disebut dengan syarat wujubul adaa’ shoum.
[3] Disebut dengan syarat wujub shoum.
[4] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 2/3005-3008).
Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916)
[5] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916.
[6] HR. Muslim no. 335.
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916-9917.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.
[9] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob.
[10] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan “nawaitu shouma ghodin …”. Jika seseorang  makan sahur, pasti ia sudah niat dalam hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya.
[11] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
[12] Mughnil Muhtaj, 1/620.
[13] Majmu’ Al Fatawa, 18/262.
[14] Idem.
[15] Yang dimaksudkan adalah masuk waktu shubuh.
[16] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan Nasa’i no. 2333.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat) tidak menafikan riwayat di atas. Karena riwayat marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa diterima sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu ushul dan ahli hadits. Pendapat seperti ini pun dipilih oleh sekelompok ulama, namun diselisihi oleh yang lainnya. Ulama yang menyelisihi tersebut berdalil tanpa argumen yang kuat” (Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 323).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).
[17] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9919.
[18] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9922.
[19] Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[20] Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama). Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[21] HR. Muslim no. 1154.
[22] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
[23] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, 6/32.
[24] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915.
[25] HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[26] HR. Ahmad, 4/377. Shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth

Bahan Penulisan:
Penulis: Muhammad Abduh Tausikal
https://muslim.or.id/4097-syarat-dan-rukun-puasa.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/08/peranan-akal-dalam-al-quran.html
Persiapan Menyambut Bulan Suci Ramadhan
https://www.facebook.com/groups/1015623825139460/permalink/2097816580253507/

Blog Archive