PENGERTIAN POLITIK
DALAM (AJARAN) ISLAM
A
|
pa pengertian ahli dalam masalah politik.
Politik adalah salah satu aktivitas manusia terpenting sepanjang sejarah.
Dengannya manusia saling mengelola potensi yang tersebar diantara mereka,
saling bersinergi dalam tujuan yang sama, saling memahami dalam perbedaan yang
ada. Juga saling menjaga aturan yang disepakati bersama. Ada yang dipimpin dan
ada yang memimpin, ada yang memikirkan sederet konsep mutakhir, ada juga yang
merealisir. Ada yang memerintah dan ada juga yang diperintah. Semua ini adalah
aktivitas umat manusia. Semakin skala aktivitas tersebut membesar, semakin
tinggi bendera politik itu berkibar. Ini jelas dipahami mayoritas masyarakat
muslim non-modern.
Namun, saat kata politik disandingkan dengan
“Islam”, saat benderanya berkibar di langit-langit, saat suara para pembaharu
muslim yang meneriakkan “sistem politik Islam” melengking memasuki pendengaran
generasi muda muslim mengubah pola pikir mereka; menghancurkan benteng sekat
akibat dikotomi “Islam” dan (pengertian) “politik yang sesat”.
Apa pengertian ahli dalam politik (ajaran)
Islam. Singkat saja, politik, secara bahasa dalam bahasa Arab disebut “as-siyasah” yang berarti mengelola,
mengatur, memerintah dan melarang sesuatu. Atau secara definisi berarti prinsip-prinsip dan seni mengelola persoalan publik (ensiklopedia ilmu politik).
Menurut Yusuf Qardhawi dalam Kamus Al-Kamil,
bahwa politik adalah semua yang berhubungan dengan pemerintahan dan pengelolaan
masyarakat madani. Seperti yang kita ketahui, istilah politik secara explicit tidak ada dalam Islam. Akan
tetapi, esensi politik ada dalam Islam yaitu memimpin dan dipimpin. Kata “yasusu” yang menjadi akar kata “as-siyasah” dalam hadist sahih dari Iman
Bukhari dari Abu Huraira ra "(Zaman dahulu) bani Israil itu dipimpin oleh
para Nabi". Hadits ini menunjukkan bahwa politik atau as-siyasah dalam Islam berarti masyarakat harus memiliki seseorang
yang mengelola dan memimpin mereka ke jalan yang benar, dan membela yang
teraniaya dari para pelanggar hukum sesuai dengan penjelasan Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam kitab Fathu Al-Bari. Inilah pemahaman Nabi akan definisi
politik atau as-siyasah. Disinilah
pengertian politik menemukan naungan rindang yang melindunginya dari hujanan
asumsi yang menyebut bahwa istilah politik tidak pernah ada dalam literatur
Islam.
Menurut Ibnu Aqil, bahwa pengertian politik
dalam Islam (as-siyasah) adalah:
“Segala aktivitas yang membuat manusia lebih dekat kepada kebaikan dan lebih
jauh dari kerusakan, walaupun tidak dibuat oleh Rasul dan tidak ada wahyu yang
diturunkan untuknya”. Imam Syafi’i tidak menggunakan (tidak setuju) dengan
adanya istilah politik (as-siyasah),
melainkan lebih sepakat dengan menggunakan kata syariat. Pengertian syariat itu
sendiri adalah semua arahan, batasan, perintah dan larangan yang
diberikan Rasul. Sehingga kata Imam Syafi’i, “tidak ada politik (as-siyasah), kecuali sesuai dengan
syariat”.
Seperti yang kita ketahui, politik tidak lahir
di masa Rasul saw, karena sejak
manusia mengenal kata memimpin dan dipimpin, maka politik ada saat itu.
Dikarenakan pengertian dan aplikasi politik di masa sebelum datangnya Islam itu
adalah “kebusukan” dan “kelicikan”, maka banyak orang beragama Islam tidak
sepakat dengan politik dalam Islam. Akan tetapi kita juga harus melihat bahwa
“makna utama dari politik itu sendiri yaitu pengelolaan urusan manusia”.
Sedangkan baik dan buruknya pengelolaan itulah Islam berperan meletakkan
pondasinya, yang buruk itulah yang ingin dibimbing atau diperbaiki menjadi baik
dan berguna bahkan diperkuat dalam ajaran Islam.
POLITIK DALAM AJARAN ISLAM
A
|
spek politik dari
Islam berasal dari Al-Qur’an, dan As-Sunnah yaitu ucapan dan perilaku Nabi Muhammad saw, sejarah Muslim, dan elemen
gerakan politik baik di dalam ataupun di
luar Islam. Konsep
politik tradisional dalam Islam
antara lain kepemimpinan oleh penerus Nabi saw, disebut Khalīfah dengan
gelar Amīrul Mu’minīn. Menjalankannya
berdasarkan hukum, yaitu hukum Syariah.
Yaitu dalam bermasyarakat dan bernegara berlaku adil dan jujur; memenuhi
kebutuhnan hidup masyarakat; menegakkan dan memelihara serta menertibkan
keamanan dan perdamaian dalam hidup sesama anggota masyarakat; dan menegakkan
toleransi kehidupan beragama masing-masing anggota masyarakat negara; kewajiban
anggota mempertahankan negara dari serangan atau gangguan luar; menjalankan dan
memelihara perjanjian yang sudah dibuat;
kewajiban bagi pemimpin untuk berkonsultasi dengan Dewan Syura dalam memerintah negara; dan kewajiban menggantikan (impeachment)
pemimpin yang tidak adil. [1]
Perubahan luar biasa
terjadi di Dunia Islam, ketika Kekhalifahan
Utsmaniyah Turki runtuh dan dibubarkan pada
tahun 1924. [2] Selama abad ke-19 dan
ke-20, tema umum dalam politik Islam adalah perlawanan terhadap
imperialisme Barat yang
menjajah negara-negara yang berpenduduk muslim. Kekalahan tentara Arab dalam Perang Enam Hari, berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Sovyet dan komunisme sebagai alternatif, telah meningkatkan daya tarik
gerakan-gerakan Islam, seperti Islamisme, Fundamentalisme Islam dan Demokrasi Islam, khususnya dalam konteks ketidakpuasan terhadap
kepemimpinan sekuler yang
berada di Dunia
Islam.
SEJARAH PAHAM POLITIK ISLAM
A
|
sal mula Islam sebagai gerakan politik telah
dimulai sejak zaman nabi Muhammad saw. Pada tahun 622, sebagai pengakuan
atas kenabiannya, Muhammad diundang untuk memimpin kota Madinah. Pada saat itu
dua kaum yang menguasai kota Madinah yaitu Arab Bani Aus dan Bani Khazraj yang
selalu berselisih. Untuk itu Warga Medinah mempercayai Muhammad saw
sebagai orang luar yang netral, adil, dan imparsial, diharapkan dapat
mendamaikan konflik ini. Muhammad saw dan pengikutnya hijrah ke Medinah,
di mana Muhammad saw menyusun Piagam Madinah. Dokumen ini mengangkat
Muhammad saw sebagai pemimpin kota sekaligus mengakuinya sebagai Rasul
Allah. Hukum yang diterapkan Muhammad saw pada saat berkuasa berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah (perilaku yang dicontohkan Muhammad saw), yang kemudian kaum Muslimin menyebutnya
Syariah atau Hukum Islam, yang kini ingin ditegakkan oleh gerakan Islam hingga
kini. Muhammad saw mendapatkan banyak pengikut dan kemudian membentuk
“tentara pertahanan” (sebenarnya ia tidak suka berperang), karena ternyata
benar-benar telah mendapat ancaman dan serangan dari Makkah dan perintah dari
wahyu-Nya. [3] Pengaruhnya kemudian meluas dan membebaskan kota asalnya, Makkah.
Kemudian menyebar dakwah ke seluruh Jazirah Arab berkat kombinasi dakwah dan diplomasi
serta pertahanan bersenjata (militer).
Kini, banyak gerakan Islamisme atau Partai Islam
tumbuh di kebanyakan negara Demokrasi Islam atau negara dengan mayoritas
berpenduduk Muslim. Banyak pula Kelompok Islam Militan yang beroperasi di
beberapa bagian dunia. Istilah kontroversial Islam fundamentalis juga disebutkan
oleh beberapa non-Muslim untuk menggambarkan aspirasi keagamaan dan politik
dari kelompok Islam militan. Kini, istilah demokrasi Islam dan fundamentalisme
Islam, kerap tercampur aduk dalam beraneka ragam kelompok yang
"mengatasnamakan Islam", masing-masing memiliki sejarah, ideologi,
dan konteks yang beraneka ragam pula.
NEGARA ISLAM DI MADINAH
P
|
iagam Madinah disusun oleh Muhammad saw, nabi dalam agama Islam. Piagam ini
mengandung kesepakatan formal antara Muhammad saw dengan berbagai suku dan kaum berpengaruh yang menghuni Yathrib
(kemudian dinamai Madinah), termasuk di antaranya kaum Muslim,Yahudi, Kristen [4]
dan kaum Pagan. [5][6] Konstitusi ini membentuk dasar hukum pertama Negara
Islam. Dokumen ini disusun dengan perhatian khusus untuk mengakhiri ketegangan
dan konflik antar suku dan kaum (klan), terutama antara Banu Aus dan Bani
Khazraj di Madinah. Hukum ini mencakup sekian banyak hak dan kewajiban bagi
komunitas Muslim, Yahudi, Kristen, dan Pagan di Medinah, dan mempersatukannya
dalam satu komunitas yang disebut Ummah. [7]
ETIKA POLITIK MENURUT ISLAM [8]
S
|
iapa pun yang terjun dalam bidang politik pasti
memiliki kepentingan kekuasaan. Kekuasaan di mata Islam bukanlah barang
terlarang, sebaliknya kekuasaan dan politik dianjurkan selama tujuannya untuk
menjalankan visi-misi kekhalifahan. Untuk itu kekuasaan harus didapatkan dengan
tetap berpegang pada etika Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam telah
memberikan panduan etika dalam kehidupan manusia. Karena itu etika dalam
politik menjadi suatu keharusan.
Fakta memperlihatkan bahwa tidak sedikit yang
menghalalkan segala cara dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Bertemunya berbagai kepentingan antarkelompok dalam kalangan elite politik
adalah sebuah keniscayaan akan terjadinya konflik bahkan berujung pada
penyelesaian dengan jalan kekerasan, jika tidak ada kesepahaman bersama.
Untuk mengatasi itu ada etika politis dalam
Islam. Etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena
politik dipandang sebagai bagian dari ibadah, maka politik harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Di samping itu, politik berkenaan dengan
prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat, karena itu prinsip-prinsip hubungan
antarmanusia seperti saling menghargai hak orang lain dan tidak memaksakan
kehendak harus berlaku dalam dunia politik.
Mestinya ketika membahas tentang etika politik
saat ini tidak dipandang seperti berteriak di padang pasir yang tandus dan
kering. Sementara realitas politik itu sebenarnya pertarungan antara kekuatan
dan kepentingan yang tidak ada kaitan dengan etika. Politik dibangun bukan dari
yang ideal dan tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik,
kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara seperti yang
diajarkan oleh Machiavelli. Sementara Immanuel Kant menyebutkan bahwa ada dua
watak yang terselip di setiap insan politik, yaitu "watak merpati"
dan "watak ular".
Pada satu sisi insan politik memiliki watak
merpati yaitu memiliki sikap lemah lembut dan penuh kemuliaan dalam
memperjuangkan idealisme, tetapi di sisi lain juga memiliki watak ular yang
licik dan selalu berupaya untuk memangsa merpati. Jika watak ular yang lebih
menonjol daripada watak merpati, inilah yang merusak pengertian politik itu
sendiri yang menurut filosof Aristoteles bahwa politik itu sendiri bertujuan
mulia. Untuk itulah pentingnya etika politik sebagai alternatif untuk
mewujudkan perilaku politik yang santun.
Pemikiran Aristoteles sejalan dengan konteks
pemikiran Islam, al-Ghazali yang tidak memisahkan antara etika dan politik,
keduanya saudara kembar yang tidak mungkin dipisahkan. Keduanya akan menentukan
nilai baik-buruk atau benar-salah dari setiap tindakan dan keinginan
masyarakat. Maka politik sebagai otoritas kekuasaan untuk mengatur masyarakat
agar sesuai dengan aturan-aturan moral, bertanggung jawab, dan mengerti akan
hak serta kewajibannya dalam hubungan kemasyarakatan secara keseluruhan.
Di sini terlihat Islam sebagai way of life (cara atau jalan hidup) yang
baik dan memiliki moral code atau rule of conduct dalam melayani rakyat.
Islam datang dengan resource yang
jelas dan dapat dipertanggungjawab-kan
yaitu Al-Qur’an sebagai sumber utama dan dipertegaskan dengan Sunnah Nabi.
Al-Qur’an sebagai dasar bagi manusia kepada hal-hal yang dilakukan
memberikan tekanan-tekanan atas amal perbuatan manusia (human action) dari pada gagasan. Artinya Al-Qur’an memperlakukan
kehidupan manusia sebagai keseluruhan aspek yang organik, semua bagian harus
dibimbing dengan petunjuk dan perintah-perintah etik yang bersumber dari wahyu,
yang mengajarkan konsep kesatuan yang padu dan logis.
Dalam etika politik yang merupakan etika sosial,
untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari masyarakat
karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan seseorang
(etika individual) dengan tindakan kolektif membutuhkan perantara yang
berfungsi menjembatani kedua pandangan ini berupa nilai-nilai. Melalui
nilai-nilai inilah politikus berusaha meyakinkan masyarakat agar menerima
pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Karena itu, politik
disebut juga seni meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi dan
kekerasan.
NILAI-NILAI KEBENARAN
E
|
tika politik merupakan pengejawantahan dari
nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan tangung jawab atas realitas
kehidupan. Untuk itu realitas politik diupayakan dengan mengkonsepkan dan
mengelaborasikan secara mendalam fenomena terhadap pandangan Al-Qur’an tentang
etika dalam pelayanan rakyat.
Islam menetapkan nilai-nilai dasar dalam
kehidupan berpolitiknya dalam suatu negara, yaitu, 1. Prinsip Musyawarah (Syura); 2. Prinsip Persamaan (Musawah); 3. Prinsip Keadilan (‘Adalah); 4. Prinsip Kebebasan (Al-Hurriyah). Penjelasan prinsip-prinsip
tersebut diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Prinsip
Musyawarah (Syura), dalam Islam tidak
hanya dinilai prosedur pengambilan keputusan yang direkomendasikan, tetapi juga
merupakan tugas keagamaan. Seperti yang telah dilakukan oleh Nabi saw dan diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin.
Firman Allah swt yang artinya:
“..dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...” [QS Āli ‘Imrān 3:159]
Kedua, Prinsip
Persamaan (Musawah), dalam Islam
tidak mengenal adanya perlakuan diskriminatif atas dasar perbedaan suku bangsa,
harta kekayaan, status sosial dan atribut keduniaan lainnya. Yang menjadikannya
berbeda di mata Allah hanya kualitas ketakwaan seseorang sebagaimana firman-Allah
swt yang artinya:
“...Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa (dalam hal ini uturan, pandangan, perintah-Nya yang dilakukan) di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS Al-Hujarāt
49:13]
Ketiga, Prinsip
Keadilan (‘Adalah), menegakkan
keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam, terutama bagi para penguasa.
Islam juga memerintahkan untuk menjadi manusia yang lurus, bertanggung jawab
dan bertindak sesuai dengan kontrol sosialnya sehingga terwujud keharmonisan
dan keadilan hidup, sebagaimana firman Allah swt yang artinya:
“...Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” [QS Al-Mā’idah 5:8].
Keempat, Prinsip
Kebebasan (Al-Hurriyah), dalam Islam
prinsip kebebasan pada dasarnya adalah sebagai tanggung jawab terakhir manusia.
Konsep kebebasan harus dipandang sebagai tahapan pertama tindakan ke arah
perilaku yang diatur secara rasional berdasarkan kebutuhan nyata manusia, baik
secara material maupun secara spiritual. Kebebasan yang dipelihara oleh politik
Islam adalah kebebasan yang mengarah kepada ma’ruf
- kebaikan. Sebagaimana firman Allah swt
yang artinya:
“...
Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada
dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain...” [QS Al-An’ām 6:164].
Politik merupakan pemikiran yang
mengurus kepentingan masyarakat berupa pedoman, keyakinan hukum atau aktifitas
dan informasi. Prinsip-prinsip Islam dalam politik
menentang pandangan atau cara-cara berpolitik yang menghalalkan segala cara. Pelaksanaan prinsip Islam dalam politik yang bermoraletika
(akhlak yang baik) berlaku menyeluruh dalam sistem pemerintahan, karena sistem
itu menjadi bagian yang integral dalam Islam.
Dapat diambil kesimpulan awal bahwa pengertian
politik dalam Islam adalah segala aktivitas dalam mengelola persoalan publik
atau masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam dan Sunnah Rasul. Dan
memperhatikan pula pengetrapannya seperti yang terjadi dalam sejarah
pemerintahan Islam dan sejarah pemerintahan non-Islam masa lampau dan kini.
Dengan itu harmonisasi dan toleransi berpemerintahan di dunia millennium ke-3
dan selanjutnya terjaga dengan baik.
Dengan demikian perlu terobosan baru paradigma
dunia sesuai dengan perkembangan kedepan yaitu “Millennium Ketiga” ini, yaitu
azaz pandang setiap bangsa atau negara menegakkan ta’aruf (saling mengenal);
tafahum (saling memahami); ta’awun (kerja
sama); itsar (saling membela dan
tidak bertengkar), maka damailah dan makmurlah manusia di bumi ini. Wallāhu ‘Ālam bish-Shawab. Billahit
Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Kembali ke Pengertian
Politik Dalam Islam 1
Sebaiknya baca juga tajuk terkait sebagai
berikut: ● Islam
dan Perdamaian Dunia 2 ● Islam
dan Perdamaian Dunia 1 ● Masa
Millennium Ketiga adalah Masa-nya Globalisasi...
Catatan Kaki:
[1]Abu Hamid al-Ghazali dikutip dalam Mortimer, Edward, Faith and Power: The
Politics of Islam, Vintage Books, 1982, p.37
[2]Feldman, Noah, Fall
and Rise of the Islamic State, Princeton University Press, 2008, p.2
[3]Firman Allah swt: Kutiba
‘alaykumul qitālu (Diwajibkan kepada engkau berperang), Wa huwa kurhul lakum (Sedang perang itu
engkau kurang sukai - Muhammad sendiri tidak suka dengan kekerasan), Wa ‘asā antakrohū syay-an (Dan boleh
jadi engkau kurang menyukainya), Wa huwa
khayrul lakum (Sedang itu berguna bagimu) [QS Al-Baqarah 2:216]. Rasul saw sendiri tidak suka kepada kekerasan
dan sama sekali tidak ada ide menentang sesuatu dengan kekerasan, kecuali
kemudiannya digunakan untuk mempertahankan diri. (Itupun bukan melawannya,
tetapi hanya menghindar saja). Demikian disebutkan oleh William Montgemory Watt
seorang professor dalam Arabic and Islamic
studies dalam buku “The Meaning of
The Glorious Koran” oleh Marmaduke Pickhall. Komentar mana merujuk kepada
surat al-Baqarah ayat 216 yang diturunkan di Madinah. Beliau Shallallahu ‘Alayhi Wasallam telah
berada di Madinah setelah hijrah dari Makkah ketika surat itu diturunkan
(walaupun telah berada di Madinah usaha Beliau saw untuk berdakwah dan mau melaksanakan ibadah haji dengan para
pengikutnya selalu dihalang-halangi - antara lain peristiwa Hudaibiyah).
[4]R. B. Serjeant, "Sunnah
Jāmi'ah, pacts with the Yathrib Jews, and the Tahrīm of Yathrib: analysis and
translation of the documents comprised in the so-called 'Constitution of
Medina'", Bulletin of the School of Oriental and African Studies
(1978), 41: 1-42, Cambridge University Press.
[5] See: Reuven Firestone, Jihād: the origin of holy war in
Islam (1999) p. 118; "Muhammad", Encyclopedia of Islam Online
[6]Watt. Muhammad at
Medina and R. B. Serjeant "The Constitution of Medina." Islamic
Quarterly 8 (1964) p.4.
[7]Serjeant (1978), page
4.
[8]Drs. Fauzi Abubakar, M.Kom.I, Dosen Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah, Lhokseumawe. □□
Referensi:
Inilah Politikku, Muhammad Elvandi, 2011, PT.
Era Adicitra Intyermedia, Solo.
Etika Politik Menurut Islam, Drs. Fauzi
Abubakar, M.Kom.I, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah,
Lhokseumawe.
Sumber:
http://www.apapengertianahli.com/2014/09/pengertian-politik-dalam-islam-menurut.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
http://aceh.tribunnews.com/2014/03/14/etika-politik-menurut-islam□□□□