Monday, February 15, 2016

Pengertian Politik Dalam Islam 2





PENGERTIAN POLITIK
DALAM (AJARAN) ISLAM


A
pa pengertian ahli dalam masalah politik. Politik adalah salah satu aktivitas manusia terpenting sepanjang sejarah. Dengannya manusia saling mengelola potensi yang tersebar diantara mereka, saling bersinergi dalam tujuan yang sama, saling memahami dalam perbedaan yang ada. Juga saling menjaga aturan yang disepakati bersama. Ada yang dipimpin dan ada yang memimpin, ada yang memikirkan sederet konsep mutakhir, ada juga yang merealisir. Ada yang memerintah dan ada juga yang diperintah. Semua ini adalah aktivitas umat manusia. Semakin skala aktivitas tersebut membesar, semakin tinggi bendera politik itu berkibar. Ini jelas dipahami mayoritas masyarakat muslim non-modern.

Namun, saat kata politik disandingkan dengan “Islam”, saat benderanya berkibar di langit-langit, saat suara para pembaharu muslim yang meneriakkan “sistem politik Islam” melengking memasuki pendengaran generasi muda muslim mengubah pola pikir mereka; menghancurkan benteng sekat akibat dikotomi “Islam” dan (pengertian) “politik yang sesat”.

Apa pengertian ahli dalam politik (ajaran) Islam. Singkat saja, politik, secara bahasa dalam bahasa Arab disebut “as-siyasah” yang berarti mengelola, mengatur, memerintah dan melarang sesuatu. Atau secara definisi berarti prinsip-prinsip dan seni mengelola persoalan publik (ensiklopedia ilmu politik).

Menurut Yusuf Qardhawi dalam Kamus Al-Kamil, bahwa politik adalah semua yang berhubungan dengan pemerintahan dan pengelolaan masyarakat madani. Seperti yang kita ketahui, istilah politik secara explicit tidak ada dalam Islam. Akan tetapi, esensi politik ada dalam Islam yaitu memimpin dan dipimpin. Kata “yasusu” yang menjadi akar kata “as-siyasah” dalam hadist sahih dari Iman Bukhari dari Abu Huraira ra "(Zaman dahulu) bani Israil itu dipimpin oleh para Nabi". Hadits ini menunjukkan bahwa politik atau as-siyasah dalam Islam berarti masyarakat harus memiliki seseorang yang mengelola dan memimpin mereka ke jalan yang benar, dan membela yang teraniaya dari para pelanggar hukum sesuai dengan penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathu Al-Bari. Inilah pemahaman Nabi akan definisi politik atau as-siyasah. Disinilah pengertian politik menemukan naungan rindang yang melindunginya dari hujanan asumsi yang menyebut bahwa istilah politik tidak pernah ada dalam literatur Islam.

Menurut Ibnu Aqil, bahwa pengertian politik dalam Islam (as-siyasah) adalah: “Segala aktivitas yang membuat manusia lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, walaupun tidak dibuat oleh Rasul dan tidak ada wahyu yang diturunkan untuknya”. Imam Syafi’i tidak menggunakan (tidak setuju) dengan adanya istilah politik (as-siyasah), melainkan lebih sepakat dengan menggunakan kata syariat. Pengertian syariat itu sendiri adalah semua  arahan, batasan, perintah dan larangan yang diberikan Rasul. Sehingga kata Imam Syafi’i, “tidak ada politik (as-siyasah), kecuali sesuai dengan syariat”.

Seperti yang kita ketahui, politik tidak lahir di masa Rasul saw, karena sejak manusia mengenal kata memimpin dan dipimpin, maka politik ada saat itu. Dikarenakan pengertian dan aplikasi politik di masa sebelum datangnya Islam itu adalah “kebusukan” dan “kelicikan”, maka banyak orang beragama Islam tidak sepakat dengan politik dalam Islam. Akan tetapi kita juga harus melihat bahwa “makna utama dari politik itu sendiri yaitu pengelolaan urusan manusia”. Sedangkan baik dan buruknya pengelolaan itulah Islam berperan meletakkan pondasinya, yang buruk itulah yang ingin dibimbing atau diperbaiki menjadi baik dan berguna bahkan diperkuat dalam ajaran Islam.


POLITIK DALAM AJARAN ISLAM

A
spek politik dari Islam berasal dari Al-Qur’an, dan As-Sunnah yaitu ucapan dan perilaku Nabi Muhammad saw, sejarah Muslim, dan elemen gerakan politik baik di dalam ataupun di luar Islam. Konsep politik tradisional dalam Islam antara lain kepemimpinan oleh penerus Nabi saw, disebut Khalīfah dengan gelar Amīrul Mu’minīn. Menjalankannya berdasarkan hukum, yaitu hukum Syariah. Yaitu dalam bermasyarakat dan bernegara berlaku adil dan jujur; memenuhi kebutuhnan hidup masyarakat; menegakkan dan memelihara serta menertibkan keamanan dan perdamaian dalam hidup sesama anggota masyarakat; dan menegakkan toleransi kehidupan beragama masing-masing anggota masyarakat negara; kewajiban anggota mempertahankan negara dari serangan atau gangguan luar; menjalankan dan memelihara perjanjian yang sudah dibuat; kewajiban bagi pemimpin untuk berkonsultasi dengan Dewan Syura dalam memerintah negara; dan kewajiban menggantikan (impeachment) pemimpin yang tidak adil. [1]

Perubahan luar biasa terjadi di Dunia Islam, ketika Kekhalifahan Utsmaniyah Turki runtuh dan dibubarkan pada tahun 1924. [2] Selama abad ke-19 dan ke-20, tema umum dalam politik Islam adalah perlawanan terhadap imperialisme Barat yang menjajah negara-negara yang berpenduduk muslim. Kekalahan tentara Arab dalam Perang Enam Hari, berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Sovyet dan komunisme sebagai alternatif, telah meningkatkan daya tarik gerakan-gerakan Islam, seperti Islamisme, Fundamentalisme Islam dan Demokrasi Islam, khususnya dalam konteks ketidakpuasan terhadap kepemimpinan sekuler yang berada di Dunia Islam.


SEJARAH PAHAM POLITIK ISLAM

A
sal mula Islam sebagai gerakan politik telah dimulai sejak zaman nabi Muhammad saw. Pada tahun 622, sebagai pengakuan atas kenabiannya, Muhammad diundang untuk memimpin kota Madinah. Pada saat itu dua kaum yang menguasai kota Madinah yaitu Arab Bani Aus dan Bani Khazraj yang selalu berselisih. Untuk itu Warga Medinah mempercayai Muhammad saw sebagai orang luar yang netral, adil, dan imparsial, diharapkan dapat mendamaikan konflik ini. Muhammad saw dan pengikutnya hijrah ke Medinah, di mana Muhammad saw menyusun Piagam Madinah. Dokumen ini mengangkat Muhammad saw sebagai pemimpin kota sekaligus mengakuinya sebagai Rasul Allah. Hukum yang diterapkan Muhammad saw pada saat berkuasa berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah (perilaku yang dicontohkan Muhammad saw), yang kemudian kaum Muslimin menyebutnya Syariah atau Hukum Islam, yang kini ingin ditegakkan oleh gerakan Islam hingga kini. Muhammad saw mendapatkan banyak pengikut dan kemudian membentuk “tentara pertahanan” (sebenarnya ia tidak suka berperang), karena ternyata benar-benar telah mendapat ancaman dan serangan dari Makkah dan perintah dari wahyu-Nya. [3] Pengaruhnya kemudian meluas dan membebaskan kota asalnya, Makkah. Kemudian menyebar dakwah ke seluruh Jazirah Arab berkat kombinasi dakwah dan diplomasi serta pertahanan bersenjata (militer).

Kini, banyak gerakan Islamisme atau Partai Islam tumbuh di kebanyakan negara Demokrasi Islam atau negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim. Banyak pula Kelompok Islam Militan yang beroperasi di beberapa bagian dunia. Istilah kontroversial Islam fundamentalis juga disebutkan oleh beberapa non-Muslim untuk menggambarkan aspirasi keagamaan dan politik dari kelompok Islam militan. Kini, istilah demokrasi Islam dan fundamentalisme Islam, kerap tercampur aduk dalam beraneka ragam kelompok yang "mengatasnamakan Islam", masing-masing memiliki sejarah, ideologi, dan konteks yang beraneka ragam pula.


NEGARA ISLAM DI MADINAH

P
iagam Madinah disusun oleh Muhammad saw, nabi dalam agama Islam. Piagam ini mengandung kesepakatan formal antara Muhammad saw dengan berbagai suku dan kaum berpengaruh yang menghuni Yathrib (kemudian dinamai Madinah), termasuk di antaranya kaum Muslim,Yahudi, Kristen [4] dan kaum Pagan. [5][6] Konstitusi ini membentuk dasar hukum pertama Negara Islam. Dokumen ini disusun dengan perhatian khusus untuk mengakhiri ketegangan dan konflik antar suku dan kaum (klan), terutama antara Banu Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Hukum ini mencakup sekian banyak hak dan kewajiban bagi komunitas Muslim, Yahudi, Kristen, dan Pagan di Medinah, dan mempersatukannya dalam satu komunitas yang disebut Ummah. [7]


ETIKA POLITIK MENURUT ISLAM [8]

S
iapa pun yang terjun dalam bidang politik pasti memiliki kepentingan kekuasaan. Kekuasaan di mata Islam bukanlah barang terlarang, sebaliknya kekuasaan dan politik dianjurkan selama tujuannya untuk menjalankan visi-misi kekhalifahan. Untuk itu kekuasaan harus didapatkan dengan tetap berpegang pada etika Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam telah memberikan panduan etika dalam kehidupan manusia. Karena itu etika dalam politik menjadi suatu keharusan.

Fakta memperlihatkan bahwa tidak sedikit yang menghalalkan segala cara dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Bertemunya berbagai kepentingan antarkelompok dalam kalangan elite politik adalah sebuah keniscayaan akan terjadinya konflik bahkan berujung pada penyelesaian dengan jalan kekerasan, jika tidak ada kesepahaman bersama.

Untuk mengatasi itu ada etika politis dalam Islam. Etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena politik dipandang sebagai bagian dari ibadah, maka politik harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Di samping itu, politik berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat, karena itu prinsip-prinsip hubungan antarmanusia seperti saling menghargai hak orang lain dan tidak memaksakan kehendak harus berlaku dalam dunia politik.

Mestinya ketika membahas tentang etika politik saat ini tidak dipandang seperti berteriak di padang pasir yang tandus dan kering. Sementara realitas politik itu sebenarnya pertarungan antara kekuatan dan kepentingan yang tidak ada kaitan dengan etika. Politik dibangun bukan dari yang ideal dan tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara seperti yang diajarkan oleh Machiavelli. Sementara Immanuel Kant menyebutkan bahwa ada dua watak yang terselip di setiap insan politik, yaitu "watak merpati" dan "watak ular".

Pada satu sisi insan politik memiliki watak merpati yaitu memiliki sikap lemah lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme, tetapi di sisi lain juga memiliki watak ular yang licik dan selalu berupaya untuk memangsa merpati. Jika watak ular yang lebih menonjol daripada watak merpati, inilah yang merusak pengertian politik itu sendiri yang menurut filosof Aristoteles bahwa politik itu sendiri bertujuan mulia. Untuk itulah pentingnya etika politik sebagai alternatif untuk mewujudkan perilaku politik yang santun.

Pemikiran Aristoteles sejalan dengan konteks pemikiran Islam, al-Ghazali yang tidak memisahkan antara etika dan politik, keduanya saudara kembar yang tidak mungkin dipisahkan. Keduanya akan menentukan nilai baik-buruk atau benar-salah dari setiap tindakan dan keinginan masyarakat. Maka politik sebagai otoritas kekuasaan untuk mengatur masyarakat agar sesuai dengan aturan-aturan moral, bertanggung jawab, dan mengerti akan hak serta kewajibannya dalam hubungan kemasyarakatan secara keseluruhan.

Di sini terlihat Islam sebagai way of life (cara atau jalan hidup) yang baik dan memiliki moral code atau rule of conduct dalam melayani rakyat. Islam datang dengan resource yang jelas dan dapat  dipertanggungjawab-kan yaitu Al-Qur’an sebagai sumber utama dan dipertegaskan dengan Sunnah Nabi. Al-Qur’an sebagai dasar bagi manusia kepada hal-hal yang dilakukan memberikan tekanan-tekanan atas amal perbuatan manusia (human action) dari pada gagasan. Artinya Al-Qur’an memperlakukan kehidupan manusia sebagai keseluruhan aspek yang organik, semua bagian harus dibimbing dengan petunjuk dan perintah-perintah etik yang bersumber dari wahyu, yang mengajarkan konsep kesatuan yang padu dan logis.

Dalam etika politik yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari masyarakat karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan seseorang (etika individual) dengan tindakan kolektif membutuhkan perantara yang berfungsi menjembatani kedua pandangan ini berupa nilai-nilai. Melalui nilai-nilai inilah politikus berusaha meyakinkan masyarakat agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Karena itu, politik disebut juga seni meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi dan kekerasan.


NILAI-NILAI KEBENARAN

E
tika politik merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan tangung jawab atas realitas kehidupan. Untuk itu realitas politik diupayakan dengan mengkonsepkan dan mengelaborasikan secara mendalam fenomena terhadap pandangan Al-Qur’an tentang etika dalam pelayanan rakyat.

Islam menetapkan nilai-nilai dasar dalam kehidupan berpolitiknya dalam suatu negara, yaitu, 1. Prinsip Musyawarah (Syura); 2. Prinsip Persamaan (Musawah); 3. Prinsip Keadilan (‘Adalah); 4. Prinsip Kebebasan (Al-Hurriyah). Penjelasan prinsip-prinsip tersebut diuraikan sebagai berikut:

Pertama, Prinsip Musyawarah (Syura), dalam Islam tidak hanya dinilai prosedur pengambilan keputusan yang direkomendasikan, tetapi juga merupakan tugas keagamaan. Seperti yang telah dilakukan oleh Nabi saw dan diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin. Firman Allah swt yang artinya:

“..dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...” [QS Āli ‘Imrān 3:159]
  
Kedua, Prinsip Persamaan (Musawah), dalam Islam tidak mengenal adanya perlakuan diskriminatif atas dasar perbedaan suku bangsa, harta kekayaan, status sosial dan atribut keduniaan lainnya. Yang menjadikannya berbeda di mata Allah hanya kualitas ketakwaan seseorang sebagaimana firman-Allah swt yang artinya:

“...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (dalam hal ini uturan, pandangan, perintah-Nya yang dilakukan) di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS Al-Hujarāt 49:13]

Ketiga, Prinsip Keadilan (‘Adalah), menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam, terutama bagi para penguasa. Islam juga memerintahkan untuk menjadi manusia yang lurus, bertanggung jawab dan bertindak sesuai dengan kontrol sosialnya sehingga terwujud keharmonisan dan keadilan hidup, sebagaimana firman Allah swt yang artinya:

“...Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS Al-Mā’idah 5:8].

Keempat, Prinsip Kebebasan (Al-Hurriyah), dalam Islam prinsip kebebasan pada dasarnya adalah sebagai tanggung jawab terakhir manusia. Konsep kebebasan harus dipandang sebagai tahapan pertama tindakan ke arah perilaku yang diatur secara rasional berdasarkan kebutuhan nyata manusia, baik secara material maupun secara spiritual. Kebebasan yang dipelihara oleh politik Islam adalah kebebasan yang mengarah kepada ma’ruf - kebaikan. Sebagaimana firman Allah swt yang artinya:

“... Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain...” [QS Al-An’ām 6:164].

Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat berupa pedoman, keyakinan hukum atau aktifitas dan informasi. Prinsip-prinsip Islam dalam politik menentang pandangan atau cara-cara berpolitik yang menghalalkan segala cara. Pelaksanaan prinsip Islam dalam politik yang bermoraletika (akhlak yang baik) berlaku menyeluruh dalam sistem pemerintahan, karena sistem itu menjadi bagian yang integral dalam Islam.

Dapat diambil kesimpulan awal bahwa pengertian politik dalam Islam adalah segala aktivitas dalam mengelola persoalan publik atau masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam dan Sunnah Rasul. Dan memperhatikan pula pengetrapannya seperti yang terjadi dalam sejarah pemerintahan Islam dan sejarah pemerintahan non-Islam masa lampau dan kini. Dengan itu harmonisasi dan toleransi berpemerintahan di dunia millennium ke-3 dan selanjutnya terjaga dengan baik.

Dengan demikian perlu terobosan baru paradigma dunia sesuai dengan perkembangan kedepan yaitu “Millennium Ketiga” ini, yaitu azaz pandang setiap bangsa atau negara menegakkan ta’aruf (saling mengenal); tafahum (saling memahami); ta’awun (kerja sama); itsar (saling membela dan tidak bertengkar), maka damailah dan makmurlah manusia di bumi ini. Wallāhu ‘Ālam bish-Shawab. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM




Sebaiknya baca juga tajuk terkait sebagai berikut: ● Islam dan Perdamaian Dunia 2  Islam dan Perdamaian Dunia 1     Masa Millennium Ketiga adalah Masa-nya Globalisasi...


Catatan Kaki:
[1]Abu Hamid al-Ghazali dikutip dalam Mortimer, Edward, Faith and Power: The Politics of Islam, Vintage Books, 1982, p.37
[2]Feldman, Noah, Fall and Rise of the Islamic State, Princeton University Press, 2008, p.2
[3]Firman Allah swt: Kutiba ‘alaykumul qitālu (Diwajibkan kepada engkau berperang), Wa huwa kurhul lakum (Sedang perang itu engkau kurang sukai - Muhammad sendiri tidak suka dengan kekerasan), Wa ‘asā antakrohū syay-an (Dan boleh jadi engkau kurang menyukainya), Wa huwa khayrul lakum (Sedang itu berguna bagimu) [QS Al-Baqarah 2:216]. Rasul saw sendiri tidak suka kepada kekerasan dan sama sekali tidak ada ide menentang sesuatu dengan kekerasan, kecuali kemudiannya digunakan untuk mempertahankan diri. (Itupun bukan melawannya, tetapi hanya menghindar saja). Demikian disebutkan oleh William Montgemory Watt seorang professor dalam Arabic and Islamic studies dalam buku “The Meaning of The Glorious Koran” oleh Marmaduke Pickhall. Komentar mana merujuk kepada surat al-Baqarah ayat 216 yang diturunkan di Madinah. Beliau Shallallahu ‘Alayhi Wasallam telah berada di Madinah setelah hijrah dari Makkah ketika surat itu diturunkan (walaupun telah berada di Madinah usaha Beliau saw untuk berdakwah dan mau melaksanakan ibadah haji dengan para pengikutnya selalu dihalang-halangi - antara lain peristiwa Hudaibiyah).
[4]R. B. Serjeant, "Sunnah Jāmi'ah, pacts with the Yathrib Jews, and the Tahrīm of Yathrib: analysis and translation of the documents comprised in the so-called 'Constitution of Medina'", Bulletin of the School of Oriental and African Studies (1978), 41: 1-42, Cambridge University Press.
[5] See: Reuven Firestone, Jihād: the origin of holy war in Islam (1999) p. 118; "Muhammad", Encyclopedia of Islam Online
[6]Watt. Muhammad at Medina and R. B. Serjeant "The Constitution of Medina." Islamic Quarterly 8 (1964) p.4.
[7]Serjeant (1978), page 4.
[8]Drs. Fauzi Abubakar, M.Kom.I, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah, Lhokseumawe. □□


Referensi:
Inilah Politikku, Muhammad Elvandi, 2011, PT. Era Adicitra Intyermedia, Solo.
Etika Politik Menurut Islam, Drs. Fauzi Abubakar, M.Kom.I, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah, Lhokseumawe.

Sumber:
http://www.apapengertianahli.com/2014/09/pengertian-politik-dalam-islam-menurut.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
http://aceh.tribunnews.com/2014/03/14/etika-politik-menurut-islam□□□□

Blog Archive