Wednesday, July 29, 2015

Masa Millennium Ketiga adalah Masa-nya Globalisasi









Kata Pengantar


"Pilihan saya Muhammad memimpin daftar orang-orang paling berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan pembaca dan dapat dipertanyakan oleh orang lain, tapi dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang sangat berhasil baik dalam tingkat religious (agama) maupun seculer (dunia)."

Michael  H. Hart



   Masa Millennium Ketiga adalah Masa-nya Globalisasi tulisannya diangkat dari Judul Asli, Piagam Madinah, Penyatuan Masyarakat dalam Bingkai Pluralistik. Artikel ini dibuat oleh, Widio Wize Ananda Zen, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia.

   Millennium Ketiga ini tentunya diharapkan lebih baik dari millennium sebelumnya. Pekerjaan rumah para intelektual, ilmuan, politisi, negarawan, bahkan para tokoh agama dunia belum selesailah sudah. Konflik-konflik sosial dan antar bangsa masih terjadi disana-sini. Kesenjangan ekonomi antara negara maju dan berkembang begitu pula. Padahal sementara ini lompatan ilmu pengetahuan alam dan teknologi telah maju menukik keatas dengan tajamnya. Sementara ilmu pengetahuan sosial kemanusian diukur dengan ilmu pengetahuan alam dan teknologi  boleh dibilang berjalan ditempat.

   Lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa dengan Dewan Keamanannya telah tidak produktif lagi sebagai lembaga perdamaian dunia. Malah sering dilangkahi oleh negara-negara penggagasnya sendiri dengan mencoba mengelesaikannya tanpa PBB dan Dewan Keamanan, itu pun bukan dengan cara damai tapi dengan kekerasan militer yang banyak menimbulkan korban jiwa manusia. Sampai-sampai negara-negara yang menjadi sasaranya rusak dan menimbulkan efek vicious cycle yang tak habis-habisnya dalam menimbulkan ketidak stabilan dalam keamanan dunia.

   Dengam demikian perlu terobosan baru paradigma dunia sesuai dengan perkembangan kedepan yaitu Millennium Ketiga ini yaitu azaz pandang setiap bangsa atau negara menegakkan ta’aruf (saling mengenal); tafahum (saling memahami); ta’awun (kerja sama);  itsar (saling membela dan tidak bertengkar), maka damailah dan makmurlah manusia di bumi ini. Ayo mari tegakkan kehidupan di bumi ini dengan memakmurkan bumi dalam semangat ta’awun - kerja sama. seperti yang dipelopori Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang tidak asing lagi bagi Thomas Jefferson, John Locke, Robert Bellah, Michael H. Hart. AFM





Masa Millennium Ketiga adalah Masa-nya Globalisasi 1


Piagam Madinah, Konsep Penyatuan Masyarakat dalam Bingkai Pluralistik Menjadi Satu “Global” Kehidupan Dunia Yang Damai, Selamat, dan Sejahtera. 2

Dengan nama Allah, Pengasih, Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wasallam; antara kaum Mukmin dan Muslim dari kalangan Quraisy dan Yatsrib beserta yang mengikuti mereka dan menyusul mereka dan berjuang bersama mereka, bahwa mereka satu umat di luar golongan manusia lain; they form one nation  ummah. 3

K
ita telah sampai pada waktu yang membuat semua menyatu. Sepertinya sedikit berlebihan tulisan ini dimulai dengan kalimat di atas, tapi saya rasa cukup adil jika membandingkan dengan Marx dan Engels yang membuka manifestonya dengan kalimat “Hantu telah menggerayangi Eropa!”. Inilah zaman ketika semuanya menyatu, seolah daratan di bumi ini kembali bergabung menjadi satu benua saja, Pangea (bahwa di suatu waktu Bumi terbentuk, semua daratan awalnya menyatu). Zaman ini kita sebut dengan globalisasi. Globalisasi membuat semuanya seakan tanpa jarak. Globalisasilah yang memungkinkan saya shalat Subuh di salah satu Masjid di sekitar Jalan Margonda, kemudian siangnya berada di Jepang, diskusi dengan mahasiswa-mahasiswa di Thailand sorenya, lalu malamnya kembali ke Depok.
 
   Apa yang bisa kita ambil dari kondisi tanpa jarak yang dibentuk oleh globalisasi tersebut? Ya, kita bukan lagi warga negara suatu negara, tetapi kita adalah warga global. Ada satu hal yang tidak dapat dielakkan dengan adanya globalisasi, yaitu hadirnya perbedaan baik dalam bentuk ide pemikiran, agama, warna kulit, suku, dan lainnya. Globalisasi menjadikan mitos negara yang homogen secara budaya semakin tidak realistis dan memaksa masyarakat suatu negara untuk membuka diri pada pluralistik dan keanekaragaman (Will Kymlicka, 1995). Perbedaan yang hadir apabila tidak dapat dikelola dengan bijak, maka akan membawa comprados-nya yaitu konflik dalam bentuk perselisihan hingga peperangan.

   Konflik bukanlah hal baru bagi dunia. Konflik di masyarakat seperti kebudayaan yang berbeda, konflik berdasarkan agama, latar belakang kesukuan 4, konflik ekonomi 5, dan segala macamnya setiap hari terjadi. Permasalahan sebenarnya adalah bukan pada dasar konfliknya, tetapi bagaimana konflik-konflik tersebut dapat dikelola? Tidak jarang manusia mengambil jalan pertikaian hingga pertumpahan darah untuk menyelesaikan konflik. Alih-alih selesainya konflik, yang terjadi adalah terbentuknya vicious cycle dilandaskan atas pembalasan dendam.

Konflik yang kita hadapi saat ini substansinya bukanlah konflik baru, melainkan pernah terjadi dan telah ada pula bagaimana cara mengatasinya, secara historis Piagam Madinah adalah implementasinya. Konstitusi tertulis pertama di dunia ini adalah perjanjian dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, berlaku di antara orang-orang Mukmin dan Muslim dari Quraisy dan Yatsrib serta siapapun yang mengikuti mereka, menyusul di kemudian hari, dan yang berjihad bersama mereka (Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, 1993). Banyak aspek yang bisa menjadi topik pembahasan terkait bagaimana Piagam Madinah dapat menjadi resolusi dari konflik yang ada. Namun dalam tulisan ini, fokus yang diambil adalah bagaimana Piagam Madinah dapat menyatukan pluralistik masyarakat Madinah ke dalam satu ummah.

   Pada saat itu, kondisi masyarakat Yatsrib sangat plural terdiri dari bermacam-macam identitas kesukuan dan agama yang dianut. Saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang. dua kabilah besar di Madinah menerimanya, yaitu Bani Aus dan Khazraj, sehingga Rasulullah Saw langsung diangkat menjadi pemimpin. Begitu pluralnya masyarakat Madinah menuntut adanya suatu peraturan yang dapat mengatur kehidupan bermasyarakat. Piagam Madinah hadir dengan nilai-nilai respect, acceptance, promoting peace serta pendekatan penyelesaian dan mencegah konflik horizontal antar suku dan agama berdasarkan perbedaan yang ada di antara mereka.

   Pembukaan Piagam Madinah telah menyebutkan bahwa ...they form one nation-ummah. Dalam pasal ini, Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wasallam menyatukan masyarakat Madinah dalam bingkai pluralistik dengan dikenalkannya institusi masyarakat baru yang disebut ummah wahidah. Landasan bagi ummah bukanlah keturunan (nasab) dan batas-batas kekabilahan, tetapi ke-Islam-an (Abdul Aziz, 2011). Penyatuan ini adalah sebuah hal yang luar biasa pada masa itu. Bayangkan, di tengah dunia Arab-Islam dengan realitas sosial yang terdiri atas beberapa suku, klan, yang mementingkan silsilah keturunan bertahan sangat ajeg dan tak tergoyahkan diikat menjadi satu ummah.

   Ummah ini disatukan atas dasar nilai Islam dan keadilan, bukan oleh hubungan darah sebagaimana yang terjadi pada suku-suku Arab sebelumnya. Islam mengubah masyarakat kesukuan ini dengan cara menarik individu ke pusat tanggung jawab sosial, di hadapan Allah dan Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wasallam, dan tidak ada seorang pun bisa berlindung dibalik kekuatan kelompok. Sikap ashabiyyah (fanatik kesukuan) dalam pengertian membantu suku sendiri secara tidak adil dilarang (Antony Black, 2001). Kesatuan ummah berdasarkan penyatuan berbagai kabilah dengan tetap menghormati eksistensi setiap kabilah. Piagam Madinah telah menjadi landasan bagi koalisi besar antar suku (Abdul Aziz, 2011).

Pertanyaannya, bagaimana bisa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui Piagam Madinah dapat menyatukan masyarakat plural Madinah?

Pertama, Piagam Madinah menghargai dan mengakui keberadaan suku-suku yang ada di Madinah. Disebutkan bahwa suku-suku yang ada, seperti Bani Auf, Bani Saidah, Bani Al-Harits, Bani Jusyam, Bani Al-Najjar, Bani Amr bin Auf, Bani Al-Nabit, dan Bani Al-Aus tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah. Dan setiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang beriman. Dalam menyatukan suku-suku ke dalam suatu ummah, Piagam Madinah tidak serta merta membentuk tradisi baru yang mengakibatkan mereka meninggalkan tradisi lama. Piagam Madinah menghormati tradisi lama yang berupa pembalasan setimpal (qishas).

Kedua, Piagam Madinah mengisyaratkan adanya penegakan hukum yang adil. Dalam Piagam Madinah disebutkan bahwa orang yang beriman dan bertakwa harus melawan orang-orang yang berbuat zalim, berbuat jahat, dan kerusakan di antara mereka. Apabila timbul perselisihan tentang masalah apapun, maka tempat kembalinya hanya kepada Allah dan kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Ketiga, Piagam Madinah menjamin kebebasan beragama bagi masyarakat Madinah dan tidak boleh mengganggu penganut agama lain. Disebutkan di dalam Piagam Madinah bahwa bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi orang Islam agama mereka, termasuk para pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka maka orang seperti itu hanya akan menghancurkan diri dan keluarga mereka sendiri.

Keempat, Piagam Madinah menjamin hak dan keselamatan masyarakat Madinah. Apabila ada pihak yang berkhianat terhadap isi Piagam, maka dia akan dihukum tidak peduli berasal dari suku dan agama apa. Di dalam Piagam pun dikatakan bahwa jaminan Allah itu satu, Dia melindungi yang lemah di antara mereka.

Kelima, Piagam ini membungkus semuanya dalam rangka persaudaraan. Persaudaraan haruslah dijalankan ke semua golongan, tidak hanya di antara umat Islam. Semua masyarakat Madinah harus bisa bersatu padu dan bekerja sama dalam tanggung jawabnya mempertahankan negara Madinah dari apapun yang bisa mengganggu kestabilan negara Madinah.

Piagam Madinah mempunyai lima prinsip yang ingin dituju sebagai sebuah tujuan otoritas politik Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui Piagam Madinah, yaitu ajakan memeluk Islam, keamanan menjalankan ajaran Islam bagi pemeluknya, jaminan kebebasan beragama bagi pemeluk agama lain, penegakan akhlak mulia, dan persaudaraan antar anggota masyarakat (Abdul Aziz, 2011). Kelima prinsip tersebut dalam jangka waktu tertentu dapat menyatukan masyarakat Madinah yang plural sehingga bisa padu memperkuat negara Madinah. Konsekuensi dari penerapan Piagam ini adalah kestabilan dan keamanan yang ditemukan di Madinah. Implikasinya adalah pada stabilitas politik dan menjadikan Madinah sebagai pasar yang menggiurkan untuk pusat ekonomi.

Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dapat menjembatani pluralistik masyarakat Madinah melalui Piagam Madinah, dengan nilai-nilai respect, acceptance, dan promoting peace tanpa pendekatan militeristik ataupun paksaan kepada kelompok kecil untuk mengikuti mayoritas. Lalu kita bertanya, apakah masih mungkin nilai-nilai yang terdapat dalam Piagam Madinah diterapkan dalam menyatukan masyarakat global dengan begitu derasnya konstelasi politik dan kepentingan ekonomi pribadi?

Sementara Micheal H. Hart mengatakan “Dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang sangat berhasil baik dalam tingkat religious (agama) maupun seculer (dunia)."  6

Baca juga tajuk ini:  Masa Depan Hidup Manusia.


Sumber Bacaan :

Al-Qur’an

Al-Maududi, Abul A’la. 1978. Al Khilafah wal Mulk. Kuwait : Daar al-Qalam

Al-Mubarakfuri, Shafiyurrahman. 1993. Sirah Nabawiyah. Riyadh : Darus Salam

Aziz, Abdul. 2011. Chiefdom Madinah : Salah Paham Negara Islam. Jakarta : Pustaka Alvabet

Black, Antony. 2001. The Historic of Islamic Political Thought : From the Prophet to the Present. Edinburgh : Edinburgh University Press

Kymlicka, Will. 1995. Multicultural Citizenship. New York : Oxford University Press

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2012. Misykat : Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam.Jakarta : INSIST-MIUMI

Catatan Kaki

1Judul Asli, Piagam Madinah: Penyatuan Masyarakat dalam Bingkai Pluralistik. Artikel ini dibuat oleh, Widio Wize Ananda Zen, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia Angkatan 2010, Penggiat komunitas Penggenggam Hujan UI. Selasa, 14 Januari 2014 - 18:12:00 WIB.

2 Tambahan dari admin blog.

3 Potongan awal Mitsaq-al-Madinah (Piagam Madinah; Teks aslinya tidak ditemukan, tetapi teks yang paling sering dirujuk yang memuat peraturan-peraturan yang ada di Piagam Madinah terdapat di Sirah Nabawiyah karya Ibnu Ishaq) dalam Abdul Aziz. 2011. Chiefdom Madinah : Salah Paham Negara Islam. Jakarta : Pustaka Alvabet, hlm. 216

4 Warna kulit dan bahasa termasuk gender (laki dan perempuan), tambahan dari admin blog.

5 Interest (kepentingan), tambahan dari admin blog.

6 Tambahan dari admin blog. □□□

Monday, July 27, 2015

Kenyataan Sejarah Toleransi Dalam Islam




  • "Andai Islam Intoleran seperti yang mereka tuduhkan, tentu tidak akan satu pun Yahudi atau satu pun Kristen yang tersisa di tanah Andalusia, Turky, Mesir, Lebanon, Yordania dan sejumlah wilayah lainnya saat Islam berkuasa disana." [Sejarah, Ustadz Farid Okbah]


B
aik ketika Islam Minoritas dan ketika Islam menjadi Adidaya, demikian sepenggal kata-kata yang diberikan oleh Ustadz Farid Okbah. Kemudian ia menceritakan sejarah, mencontohkan bagaimana agama Islam sesungguhnya tidak perlu diajari dalam bertoleransi. Hal ini ia ceritakan untuk menghempaskan komentar-komentar orang diluar Islam yang acapkali menyebut bahwa Islam tidak ada toleransi.

Penyerahan kunci Istana Al-Hambra oleh Sultan Muhammad As-Shaghir kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella pada 2 Januari 1492 menandai berakhirnya kekuasaan pemerintahan Islam di Spanyol. Itu artinya secara politik, Islam sama sekali tidak lagi menyelenggarakan pemerintahan di Spanyol.

Namun berakhirnya Kekuasaan Islam di Spanyol tidak serta merta mengakhiri kisah kaum Muslimin di negeri itu, penyerahan kekuasaan justru merupakan awal dari sejarah "kelam" kaum Muslimin disana. Piagam Granada yang menjanjikan kebebasan beragama bagi kaum muslimin rupanya tidak berumur panjang.

Pada tahun 1502 umat muslim diberi dua opsi,  Kesatu. Memeluk Kristen atau, Kedua, Pergi meninggalkan bumi Spanyol. Artinya, menetap di Spanyol dengan tetap memeluk agama Islam sama artinya dengan bunuh diri. Banyak kaum muslimin yang memilih meninggalkan Spanyol, namun tidak sedikit yang memilih pindah agama secara dzohir namun tetap beribadah secara Islami dengan sembunyi-sembunyi. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kaum Moriscos [sebutan bangsa Spanyol bagi suku bangsa yang berasal dari Afrika Utara – Maroko].

Seiring dengan berjalannya waktu, keberadaan kaum Moriscos dianggap sebagai sebuah ancaman. Sehingga antara tahun 1508-1567 keluar sejumah peraturan yang melarang segala hal yang bernuansa Islam baik pakaian maupun nama.

Penggunaan bahasa Arab juga dilarang, anak-anak kaum muslimin juga dipaksa menerima pendidikan dari para Pendeta Kristen. Puncaknya pada tahun 1609-1614  tiga ratus ribu kaum Moriscos diusir dari Spanyol oleh Raja Philips III. Benar-benar sebuah kenyataan sejarah yang pahit dan menyedihkan.

Dari Spanyol mari kita pindah kebelahan bumi yang lain, tepatnya ke Turky tempat dimana Kekhalifahan Ottoman berpusat. Setelah mendengar penyiksaan yang dilakukan oleh Penguasa Spanyol terhadap kaum muslimin, Sultan Salim I marah besar, dia mengeluarkan Dekrit yang berisi perintah kepada seluruh penganut Yahudi dan Kristiani yang berada dibawah kekuasaannya untuk memilih satu dari dua opsi yaitu, Kesatu, Tinggal menetap tapi memeluk Islam atau, Kedua, Pergi meninggalkan tanah wilayah Kekhalifahan Ottoman.

Mendengar Dekrit tersebut, Syaikh Ali Afandi At-Tirnabyli selaku Mufti Kekhalifahan Ottoman saat itu menyampaikan penolakannya terhadap Dekrit Sultan. Mufti menjelaskan bahwa Dekrit tersebut tidak boleh dilaksanakan sekalipun kaum muslimin di 'sembelih' di negeri-negeri 'Salib'. Mufti juga menjelaskan bahwa selamanya tidak ada paksaan dalam beragama sebagaimana firman-Nya:

●”Tidak ada paksaan untuk (masuk) agama Islam”, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu siapa saja yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [QS Al-Baqarah 2:256]

“Kami turunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (menuruti aturan dan perintah Allah Rabbul ‘Alamin).” [QS An-Nahl 16:89]

Akhirnya Sultan Salim menarik keputusannya dan membiarkan penganut Yahudi dan Kristen tinggal dengan aman dan damai dibawah Pemerintahan Kekhalifahan Islam Ottoman.  Mereka yang Non Muslim semua tinggal dengan aman dan damai, sementara disaat Pemerintah Spanyol pasca Andalusia menyembelih ratusan ribu kaum muslimin.

Sikap Sultan Salim yang tunduk pada rambu-rambu Keislaman yaitu ajaran Islam dalam hal kemanusiaan sudah cukup sebagai jawaban bahwa Islam bukan teroris, namun sebagai “Rahmatan Lil ‘Ālāmin”. Dimana (dan bila) Islam menjalankan pemerintahan, dia akan (dan mesti) menjadi pengayom bagi semua.

Rupanya hal kekerasan terhadap umat Islam sampai sekarang masih juga berlanjut di millennium ke-3 ini seperti terjadi di tanah Papua, ketika umat Islam di sana sedang melaksanakan shalat Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah di Kabupaten Tolikara, Papua, Indonesia sebuah Masjid dilempar dan dibakar. Warga Muslim setempat jadi terancam, dan kemudiannya menghindari dan mencari keselamatannya. Peristiwa itu terjadi sekira pukul 07.00 WIT, Jum’at 17 Juli 2015. Umat Islam ketika itu tengah melaksanakan shalat Id di halaman Koramil 1702  JWY. Saat imam mengucapkan takbir pertama, tiba-tiba beberapa orang mendekati jemaah dan berteriak-teriak ditengah kaum muslimin yang sedang berkhikmat melakukan ibadahnya.

Jemaah bubar dan membatalkan shalat Id untuk menyelamatkan diri ke markas militer Koramil setempat. Sejam kemudian, orang-orang itu melempari Masjid Baitul Mutaqin yang berada di sekitar lokasi kejadian. Selanjutnya mereka membakar rumah ibadah Islam tersebut. Selain Masjid, enam rumah dan sebelas kios pun menjadi sasaran amukan orang-orang itu. Dalam masalah ini umat Islam di seentero Indonesia dan para pemimpin-pemimpin agama Islam tidak (memerintahkan untuk) membalasnya, melainkan diserahkan persoalannya kepada yang berwajib untuk menyelesaikannya.

Firman Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)  kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. [QS Al-Mā’idah 5:2]

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Betapa Agungnya Ajaran Islam. Betapa Agungnya Peradaban Islam sesuai dengan yang diajarkan-Nya. AFM



Fakta mengungkapkan Islam dan Muslim tidak merupakan ancaman besar bagi Amerika bahkan Dunia! Mari kita cari tahu Siapa? Ikuti tayangan videonya dengan mengklik tanda httpsnya:

Silahkan pula mengikuti sejarah Islam di Spanyol-Andalusia dalam blog kami seperti tersebut dibawah dengan mengklik tanda httpnya:


Bahan Bacaan:
voa-islam.com, islampos.com, metronews.com, panjimas.com, tvmuh.com, sangpencerah.com, afaisalmarzuki.blogspot.com. □□□  

Blog Archive