Membangun Individu Melalui Universitas
U
|
ntuk memperbaiki keadaan ini, maka umat Islam
harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami
tentang kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam
dirinya sendiri. Dengan kata lain pembangunan masyarakat harus dilandaskan pada
konsep pengembangan individu yang beradab. Menurut al-Attas pembentukan individu
yang beradab tersebut, secara strategis, dapat dimulai dari pendidikan
universitas. Namun pendidikan universitas tersebut harus terlebih dahulu
diletakkan dan berlandaskan pada interpretasi yang benar terhadap hikmah Ilahiyyah
sehingga dapat melahirkan sarjana, ulama dan pemimpin Muslim yang mempunyai
pandangan hidup Islam.
Perlu
dicatat bahwa penekanan pada pendidikan tinggi merupakan salah satu tradisi
dalam Islam dan menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu. Bahkan,
target utama dan misi Nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa dan
bertanggung jawab. Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah sering
dikaitkan dengan adanya pengaruh Westernisasi dan modernitas. Selain itu
universitas juga merupakan tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin
masyarakat. Di semua negara universitas adalah tempat dimana individu-individu
yang menonjol menjalani pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan
sumber daya alam dan manusia. Sebenarnya, pendidikan tingkat dasar dan menengah
hanyalah persiapan menuju universitas. Betapapun baiknya reformasi pendidikan
dasar dan menengah lanjutan, jika sistem pendidikan tinggi, terutamanya
universitas, tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistimologi dan
pandangan hidup Islam, ia akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan
pendidikan tinggi maka kekurangan-kekurangan yang ada di pendidikan tingkat
rendah dapat diperbaiki.
Agar
universitas benar-benar Islami dan merupakan medium pengembangan individu, maka
sebuah universitas harus harus merupakan refleksi dari insan kamil ataupun
universal (al-insan al-kulli atau
al-insan al-kamil) dan mengarah kepada pembentukan insan kamil. Contoh
insan kamil dan universal itu yang sangat riel adalah figur Nabi Muhammad saw sendiri. Universitas dalam Islam
harus merefleksikan figur Nabi Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan amal
sholeh, dan fungsinya adalah untuk membentuk laki-laki dan wanita yang beradab
dengan menirunya semirip mungkin dalam hal kualitas sesuai dengan kemampuan dan
potensi masing-masing”. Berbeda dari Islam, universitas di Barat mencerminkan
keangkuhan manusia. Meskipun mereka juga mempunyai konsep universal man, namun karena pengaruh paham humanisme sofistik yang kuat maka manusia diletakkan di atas
segala-galanya. Ungkapan Protagoras yang sering mereka kutip adalah bahwa: “manusia adalah ukuran dari segala sesuatu,
segala sesuatu yang ada adalah ada, dan segala sesuatu yang tidak ada adalah
tidak ada”. Namun berbeda dengan Islam yang memiliki ciri permanency, ukuran-ukuran Barat mengenai
suatu yang ideal selalu berubah, dan berevolusi.
Sejarah
telah membuktikan bahwa keagungan suatu masyarakat adalah tercermin daripada
kualitas perguruan tinggi masyarakat tersebut. Sayangnya, umat Islam hari ini
lebih banyak mendirikan universitas yang hanya meniru pola dan model
universitas masyarakat Barat. Padahal universitas Islam sepatutnya berbeda dari
universitas Barat baik dalam bentuk, konsep, struktur dan epistimologinya.
Universitas (al-Jami’ah, al-kulliyah)
harus dapat membentuk manusia universal yaitu manusia sempurna. Oleh sebab itu
seorang ulama atau sarjana bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang
keilmuan, tetapi seorang yang universal dalam cara pandangnya terhadap
kehidupan dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling
terkait.
Penyataan al-Attas dalam hal ini sangat jelas:
“Sebuah
universitas Islam mempunyai struktur yang berbeda dengan universitas Barat,
mempunyai konsep ilmu yang berbeda dengan apa yang dianggap sebagai ilmu oleh
para pemikir Barat, mempunyai tujuan dan aspirasi yang berbeda dengan konsepsi
Barat. Tujuan dari pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk membentuk
‘manusia sempurna’ ataupun ‘manusia universal’… seorang ulama Muslim bukanlah
seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan tetapi ia adalah seorang
yang universal dalam cara pandangnya dan mempunyai otoritas dalam beberapa
bidang keilmuan yang saling berkaitan.”
Karena
universitas Islam modern yang berdiri di negara muslim hari ini lebih merupakan
fotokopi universitas Barat, maka orientasi yang menggiring para mahasiswa
kepada nilai-nilai kehidupan sekuler lebih dominan ketimbang usaha-usaha kearah
penanaman pandangan hidup Islam. Pengaruh Barat juga terlihat dalam situasi
kebebasan akademik di universitas-universitas itu. Kebebasan masih difahami
sebagai kebebasan yang seluas-luasnya sebagaimana yang banyak ditemui dalam
cara berfikir Muslim modernis, yang dalam bidang keagamaan bisa diartikan
sebagai penentangan terhadap otoritas “ulama”
dan “taqlid”. Padahal kekebasan
akademis bukanlah berarti bebas sebebasnya tanpa ikatan-ikatan keilmuan.
Kebebasan akademik adalah kebebasan dalam arti “ikhtiyar”, yakni kebebasan memilih yang lebih baik (khayr) berdasarkan kepada ilmu
pengetahuan. Taqlid bukan berarti mengikuti sesuatu dengan membabi buta, tetapi
mengikuti seseorang yang mempunyai otoritas ilmu pengetahuan.
Pengertian ini sejatinya juga terjadi di dunia
akademis di mana seorang ilmuwan yang lebih muda mengikuti atau memakai
pendapat atau teori ilmuwan senior yang lebih pakar. Oleh sebab itu ijtihad bukanlah berpendapat dengan
sesuka hati atau dengan sebatas pengetahuan pribadi, tapi berpendapat
berdasarkan pada pengetahuan ulama terdahulu yang memiliki otoritas dalan
bidang masing-masing. Ijtihad tidak
berarti mengkesampingkan otoritas ulama terdahulu sebagaimana yang dilakukan
oleh kelompok modernis yang cenderung mengikuti cara berpikir Barat, khususnya
gaya-gaya Protestan dalam melawan otoritas gereja.
Selain
itu kurikulum di Universitas Islam perlu direkonstruksi agar dapat lebih mengarah
kepada penanaman ilmu pengetahuan Islam yang berstruktur dan konseptual. Materi
ilmu Fardhu ‘Ayn yang berupa Aqihdah,
Tawhid atau Ushuluddin pada jenjang pendidikan rendah dan menengah mestinya
dikembangkan menjadi materi wajib pada jenjang pendidikan tinggi. Di perguruan
tinggi ilmu Fardhu ‘Ayn dapat
dikembangkan menjadi Ilmu Tafsir, ilmu Hadith, ilmu Fiqih, ilmu Kalam atau
filsafat dan lain sebagainya. Disini konsep-konsep tentang Tuhan, manusia,
alam, akhlaq dan tentang Dīn dikaji
secara mendalam. Itu semua hendaknya diajarkan sehingga dapat menjadi fondasi
bagi pengkajian disiplin ilmu lain atau ilmu Fardhu Kifayah. Disini sumber pengetahuan inderawi, aqli dan
intuisi disatukan dalam suatu cara berfikir yang integral. Integral artinya
tidak berfikir dualistis: obyektif dan subyektif, idealistis dan realistis.
Dengan cara itu dikotomi ilmu pengetahuan, agama dan umum, yang telah begitu
merasuk ke dalam kurikulum pendidikan Islam akibat dari sekularisasi pemikiran
dapat secara perlahan-lahan dihilangkan.
Seharusnya
ilmu fardhu ‘ayn bagi seorang
mahasiswa Ushuluddin, misalnya tidak sama dengan Ilmu fardhu ‘ayn bagi siswa Madrasah ‘Aliyah atau mahasiswa fakultas
Sosiologi. Jika setiap cendekiawan menguasai ilmu fardhu ‘ayn sesuai dengan bidangnya, maka pada dataran
epistemologis ilmu fardhu ‘ayn ini
pada akhirnya akan menyatukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang termasuk
kedalam ilmu fardhu kifayah, seperti
ilmu kemanusiaan, ilmu alam, sejarah, peradaban, bahasa dan lain sebagainya. □ [Oleh
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi]
Bersambung ke: Membangun Kembali Peradaban Islam6
Diakses dari banihamzah-wordpress-com □□□