Kata Pengantar
Selama
ini apakah kita “tidur”? Pun kalau bangun dengan wacana pembahasan yang katakan
serius, tapi baru berkutat dan melingkar-lingkar dalam masalah “furuiyah”, belum
mendasar. Kalaupun mendasar ujung-ujungnya terperangkap ke dalam kubangan
pemikiran peradaban yang bukan worldview
Islam yang sebenarnya.
Sementara
peradaban lain yang pandangan hidupnya sama sekali jauh dari pandangan hidup Islami
yang sebenarnya telah merajalela dan menguasai dunia.
Lantas
apa artinya kita, umat yang berimana kepada Allah swt, diciptakan sebagai
makhluk yang beribadat kepada-Nya dengan peran sebagai “khalifah-khalifah” pemakmur kehidupannya di dunia (bumi), dimana
dunia adalah ladang ibadah sebagai bekal menuju kehidupan di akhirat. Padahal
Islam dan umatnya pernah berjaya dengan “Peradaban”nya yang tinggi, mewarnai
kehidupan Dunia, ketika Eropah tidur lelap di abad tengah.
Untuk
itu mari kita telusuri kajian Islam melalui pendekatan Peradaban. Dari hasil
telaahan penulis yang memposting tulisan Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi yang membahas
masalah umat dari segi pendekatan “Peradaban” terasa membawa angin segar untuk “membangkitkan
batang terendam” itu.
Mari
ikuti paparan tajuk diatas seperti dibawah ini dengan seksama mungkin. Selamat
menyimak. Billahit Taufiq Walhidayah □ AFM
MAKNA PERADABAN ISLAM
Oleh:
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi
I
|
slam yang diturunkan sebagai dīn, sejatinya telah memiliki
konsep seminal-nya atau cikal bakal atau embryo dari suatu peradaban.
Sebab kata dīn itu sendiri
telah membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan
kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan
mencari pemerintah yang adil.
Artinya dalam istilah dīn itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika dīn (agama) Allah yang bernama Islam itu
telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi
nama Madinah. Dari akar kata dīn dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun,
mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan
memartabatkan.
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan
kebudayaan (city base culture) atau
kebudayaan kota (culture of the city).
Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun
digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku
Tarikh al-Tamaddun al-Islami
(Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas
dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun
digunakan untuk pengertian peradaban.
Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat.
Namun di Turkey orang dengan menggunakan akar madinah atau madana atau
madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab
sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata hadharah untuk peradaban,
namun kata tersebut tidak banyak digunakan ummat Islam non-Arab yang kebanyakan
lebih menyukai istilah tamaddun. Di
anak benua Indo-Pakistan tamaddun
digunakan hanya untuk pengertian kultur,
sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhib.
Islam sebagai Peradaban
Konon, ketika Nabi menerima laporan bahwa
ajakannya kepada Kaisar Romawi, Heraclitus
untuk berpegang pada keyakinan yang sama (kalimatun
sawa’) ditolak dengan halus, nabi hanya berkomentar pendek “sa uhajim al-ruum min uqri baiti”
(Akan saya perangi Romawi dari dalam rumahku). Ucapan Nabi ini bukan genderang
perang, ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik dan juga tidak
menyakitkan pihak lawan. Ucapan itu justru menunjukkan keagungan risalah yang
dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di jazirah Arab yang tandus, Nabi
yakin Islam akan berkembang menjadi peradaban yang kelak akan mengalahkan
Romawi.
Dan Nabi benar, pada tahun 700 an, tidak lebih
dari setengah abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad (632 M), ummat Islam telah
tersebar ke kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh
ketangan Alexander the Great.
Selanjutnya, Muslim memasuki kawasan yang telah
lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut William R Cook pada tahun 711 M –
713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ketangan Muslim dengan
tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke 7 kawasan itu cukup makmur. Bahkan
selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat menjadi
Muslim. Baru pada abad ke sebelas kerajaan Kristen di kawasan itu mulai melawan
Muslim. Demitri Gutas dengan jelas mengakui:
…..pada
tahun 732 M kekuasaan dan peradaban baru didirikan dan disusun sesuai dengan
agama yang diwahyukan kepada Muhammad, Islam, yang berkembang seluas Asia Tengah
dan anak benua India hingga Spanyol dan Pyrennes.
Gutas bahkan menyatakan bahwa dengan munculnya
peradaban Islam, Mesir untuk pertama kalinya, sejak penaklukan Alexander the Great, dapat
dipersatukan secara politis, administratif dan ekonomis dengan Persia dan India
dalam jangka waktu yang cukup lama. Perbedaan ekonomi dan kultural yang
memisahkan dua dunia yang berperadaban, Timur dan Barat, sebelum Islam datang
yang dibatasi oleh dua sungai besar dengan mudahnya lenyap begitu saja.
Sudah tentu proses kejatuhan Romawi tidak
disebabkan oleh faktor tunggal. Edward Gibbon dalam The Decline And Fall Of The Roman Empire menyatakan
bahwa periode kedua dari merosot dan jatuhnya Kekaisaran Romawi disebabkan oleh
lima faktor: pertama di era
kekuasaan Justinian banyak wewenang memberi kepada Imperium Romawi di Timur; kedua adanya invasi Italia oleh
Lombards; ketiga penaklukan beberapa
provinsi Asia dan Afrika oleh orang Arab yang beragama Islam; keempat pemberontakan rakyat Romawi
sendiri terhadap raja-raja Konstantinopel yang lemah; dan terakhir munculnya Charlemagne yang pada tahun 800 M
mendirikan Kekaisaran Jerman di Barat.
Jadi penyebab kejatuhan Romawi merupakan
kombinasi dari berbagai faktor, seperti problem agama Kristen, dekadensi moral,
krisis kepemimpinan, keuangan dan militer. Dan di antara faktor terpenting
penyebab kajatuhan Romawi adalah datangnya Islam. Pernyataan Nabi yang
diplomatis itu nampaknya terbukti. Nabi tidak pernah pergi menyerang Romawi
Barat maupun Timur, tapi ‘datangnya gelombang peradaban Islam’ telah benar-benar menjadi faktor penyebab
kejatuhan Romawi. Ini juga merupakan bukti bahwa Islam sebagai dīn yang menghasilkan tamaddun yang dapat diterima oleh
bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Sebab Islam membawa sistem kehidupan yang
teratur dan bermartabat, sehingga mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat. Jadi Islam diterima oleh bangsa-bangsa non Arab karena
universalitas ajarannya alias kekuatan pancaran pandangan hidupnya.
Ketika Kaisar Persia Ebrewez, cucu Kaisar Khosru
I, merobek-robek surat Nabi sambil berkata: “Pantaskah
orang itu menulis surat kepadaku sedangkan ia adalah budakku”, Nabi
pun berkomentar pendek “Semoga
Allah merobek-robek kerajaannya”. Dan Sabda Nabi kembali terbukti
bahwa sesudah itu putera Kaisar yang bernama Qabaz merebut kekuasaan dengan
membunuh Kaisar Ebrewez, ayahnya sendiri. Qabaz pun kemudian hanya berkuasa
empat bulan saja lamanya. Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti
hingga sepuluh kali dalam masa empat tahun. Ia benar-benar porak poranda.
Akhirnya, rakyat mengangkat kaisar Yazdajir dan pada masa inilah Persia tidak
berdaya ketika tentara Islam datang. Sejak itu kekaisaran Persia benar-benar
runtuh.
Sebagaimana sikapnya terhadap kekaisaran Romawi,
Nabi tidak keluar rumah untuk menjatuhkan (merobek-robek) kekaisaran Persia.
Nabi hanya menyerbarkan Islam yang memang merupakan peradaban yang memiliki
konsep ketuhanan, kemanusiaan dan kehidupan yang jelas dan teratur. Di
Indonesia, Islam masuk tanpa peperangan. Islam masuk dan diterima oleh
masyarakat yang telah memiliki kepercayaan Hindu yang kuat. Namun karena
kekuatan konsepnya Islam mudah merasuk kedalam pandangan hidup masyarakat
nusantara waktu itu, maka dalam kehidupan secara menyeluruh. Ini bukti bahwa
Islam tersebar bukan melulu karena pedang. Islam tersebar, menguasai dan
menyelamatkan (mengislamkan) masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya.
Tidak ada eksploitasi sumber alam untuk dibawa ke daerah darimana Islam
berasal. Tidak ada pertambahan kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada kemiskinan
akibat masuknya Muslim ke kawasan yang didudukinya. Daerah-daerah yang dikuasai
atau diselamatkan ummat Islam justru menjadi kaya dan makmur. Itulah watak
peradaban Islam yang sangat berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif.
Substansi Peradaban Islam
Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibn Khaldun adalah berkembangnya
ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic,
kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan
dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang
terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu
pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif
mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu umran harus dimulai
dari suatu “komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir
umran besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk
suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan
kehidupan yang daripadanya timbul suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya
lahirlah suatu Negara. Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara,
kota Cairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari
komunitas yang kemudian melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu
umran bagi Ibn Khaldun di antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil,
pangan, dan papan / arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran,
kesenian (kaligrafi, musik, sastra dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu
peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu
pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas
masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas atau
kepercayaan. Para sarjana Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat bahwa
agama adalah asas peradaban, menolak agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb
menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Meskipun dalam paradaban
Islam struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun
prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanent.
Prinsip-prinsip itu adalah ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan (tauhid), supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat
material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan
hewani, penghormatan terhadap keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah
Allah di Bumi berdasarkan petunjuk dan perintahNya (syariat).
Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad
Abduh menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban.
Bangsa-bangsa purbakala seperti Yunani, Mesir, India, dll, membangun peradaban
mereka dari sebuah agama, keyakinan atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga
mengakui bahwa kekuatan spiritual (batiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan
seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah (outward manifestation) yang
kemudian disebut sebagai peradaban itu.
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas
peradaban, dan jika agama serta kepercayaan itu membentuk cara pandang
seseorang terhadap sesuatu yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tindakan
nyatanya atau manifestasi lahiriyahnya, maka sejalan dengan teori modern bahwa
pandangan hidup (worldview) merupakan asas bagi setiap peradaban dunia.
Para pengkaji peradaban, filsafat, sains dan
agama kini telah banyak yang menggunakan worldview sebagai matrik atau
framework. Ninian Smart menggunakannya untuk mengkaji agama, S.M. Naquib
al-Attas, al-Mawdudi, Sayyid Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan konsep
dalam Islam, Alparslan Acikgence untuk mengkaji sains, Atif Zayn, memakainya
untuk perbandingan ideologi, Thomas F Wall untuk kajian filsafat, Thomas S Kuhn
dengan konsep paradigmanya sejatinya sama dengan menggunakan worldview bagi
kajian sains.
Meski mereka berbeda pendapat tentang makna
worldview, mereka pada umumnya mengaitkan worldview dengan peradaban atau
seluruh aktivitas ilmiyah,sosial dan keagamaan seseorang. Ninian Smart, pakar
kajian perbandingan agama, memberi makna worldview sebagai “kepercayaan,
perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai
motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.” Penekanannya pada
fungsi worldview sebagai motor perubahan sosial dan moral. Secara filosofis Thomas
F Wall, memaknai worldview sebagai “sistem kepercayaan asas yang integral
tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi”. Dalam
kaitannya dengan aktivitas ilmiyah Alparslan Acikgence memaknai worldview
sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiyah
dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan
hidupnya, artinya aktivitas manusia dapat direduksi kedalam pandangan hidup
itu. Dalam konteks sains, hakekat worldview juga dapat dikaitkan dengan konsep
“paradigma” Thomas S Kuhn . Istilah Kuhn “perubahan paradigma” (paradigm shift)
menurut Edwin Hung sebenarnya dapat dianggap sebagai weltanschauung Revolution
(revolusi pandangan hidup). Sebab, paradigma mengandung konsep nilai, standar-standar
dan metodologi-metodologi, yang merupakan worldview dan framework konseptual
yang diperlukan untuk kajian sains. Singkatnya, worldview berkaitan erat secara
konseptual dengan segala aktivitas manusia secara sosial, intelektual dan
religius. Dan yang terpenting adalah bahwa worldcview sebagai sistem
kepercayaan, pemikiran, tata pikir, dan tata nilai memiliki kekuatan untuk
merobah. Maka dari itu, aktivitas manusia dari yang sekecil-kecilnya hingga
yang sebesar-besarnya yang kemudian menjadi peradaban bersumber dari worldview.
Jika makna worldview
adalah konsep nilai, motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas
dan asas bagi aktivitas ilmiah, maka Islam mengandung itu semua. Islam bahkan
memiliki pandangan terhadap realitas fisik dan non fisik secara integral.
Ayat-ayat al-Qur’an jelas-jelas adalah konsep seminal yang memproyeksikan
pandangan Islam tentang alam semesta dan kehidupan yang disebut pandangan hidup
atau pandangan alam Islam (worldview,
al-tashawwur al-Islami, al-mabda al-Islami) itu. Bukan hanya
itu, konsep-konsep itu diberi medium pelaksanaannya yang berupa institusi yang
disebut dīn, yang di dalamnya
terkandung konsep peradaban (Tamaddun).
Oleh sebab itu dalam Islam worldview memiliki istilahnya sendiri. Bagi al-Mawdudi worldview Islam adalah Islami Nahzariyat (Islamic Vision) yang berarti “pandangan
hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (syahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan
manusia di dunia….secara menyeluruh”. Menurut Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-tashawwur
al-Islami, yang berarti “akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk
dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang
wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.” Worldview dalam istilah Shaykh Atif al-Zayn adalah al-Mabda’ al-Islami yang lebih cenderung
merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ia mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan yang berdasarkan pada akal.
Sebab baginya iman didahului dengan akal. Namun Shaykh Atif juga menggunakan
kata-kata mabda untuk ideologi non-Muslim. Ini berarti bahwa
tidak selamanya berarti aqidah fikriyyah.
S.M.Naquib al-Attas mengartikan worldview
Islam sebagai pandangan Islam tentang
realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan
hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total,
maka worldview Islam berarti
pandangan Islam tentang wujud (ru’yat
al-Islam li al-wujud).
Jadi sebagaimana peradaban lainnya, substansi
peradaban Islam adalah pokok-pokok ajaran Islam yang tidak terbatas pada sistem
kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai, tapi merupakan super-sistem yang
meliputi keseluruhan pandangan tentang wujud, terutamanya pandangan tentang
Tuhan. Oleh sebab itu teologi (aqidah)
dalam Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata nilai dan seluruh kegiatan
kehidupan Muslim. Itulah pandangan hidup Islam. Jika pandangan hidup itu
berakumulasi dalam tata pikiran seseorang ia akan memancar dalam keseluruhan
kegiatan kehidupannya dan akan menghasilkan etos
kerja dan termanifestasikan dalam
bentuk karya nyata. Dan jika ia memancar dari pikiran masyarakat atau
bangsa maka ia akan menghasilkan falsafah hidup bangsa dan sistem kehidupan
bangsa tersebut. Jadi substansi peradaban
Islam adalah pandangan hidup Islam. Namun elemen pandangan hidup yang
terpenting adalah pemikiran dan kepercayaan.
Menurut Ibn Khaldun, wujud suatu peradaban
merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu ● 1) kemampuan
manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, ● 2) kemampuan
berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer dan, ● 3) kesanggupan
berjuang untuk hidup.
Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas
suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah
mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia
ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan wujud jika
manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan
taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana
dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam
hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun
yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang
berasal dari pandangan hidup. Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran dalam
peradaban Islam merupakan faktor terpenting bagi tumbuh berkembangnya peradaban
Islam, kita rujuk tradisi intelektual Islam.
Tradisi intelektual Islam
Bagaimanakah pandangan alam Islam itu tumbuh dan
berkembang dalam pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi perubahan
sosial umat Islam merupakan proses yang panjang. Secara historis tradisi
intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, secara berturut-turut dari periode
Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah. Kesemuanya itu menandai lahirnya
pandangan alam Islam.
Di dalam al-Qur’an ini terkandung konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami,
ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin dan para
ulama yang datang kemudian. Konsep ‘ilm
yang dalam al-Qur’an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para
ulama sehingga memiliki berbagai definisi. Cikal bakal konsep Ilmu pengetahuan
dalam Islam adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan kedalam
berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang
kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks
wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual.
Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam
Islam juga memiliki medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang
disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut Ashab al-Suffah. Di lembaga
pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi
dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Meski materinya masih
sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang
betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan
materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat
kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization).
Yang jelas, Ashab al-Suffah,
adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam
Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam. Hasil dari
kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam
hadith Nabi, seperti misalnya Abu Hurayrah, Abu Dzarr al-Ghiffari, Salman
al-Farisi, ‘Abd Allah ibn Mas’ud dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil
direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini
dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih
dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai
bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (w.80H/ 699M), Muhammad
ibn al-hanafiyyah (w.81/700), Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (w.102/720) Wahb ibn
Munabbih (w.110,114/719,723), Hasan al-Bashri (w.110/728), Ja’far al-Sidiq
(w.148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf
(w.182/799), al-Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa kegiatan keilmuan tersebut
di atas, secara epistemologis wujud karena adanya pandangan alam (worldview), yaitu pandangan alam yang
memiliki konsep-konsep yang canggih yang menjadi asas epistemologi untuk aktivitas keilmuan tersebut. Dengan adanya
konsep yang canggih para ilmuwan anggota masyarakat yang terlibat akhirnya
dapat mengembangkan istilah-istilah teknis dan bahasa khusus untuk itu. Bahkan
konsep tersebut berkembang menjadi struktur konsep keilmuan atau scientific conceptual scheme. Dari
konsep ‘Ilm ini pula kemudian lahir
berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadith, Falak,
Hisab, Mawarith, Kalam, tasawwuf, dsb.
Kemajuan tradisi intelektual dan ilmu
pengetahuan dalam Islam dirasakan oleh masyarakat Eropa pada zaman Bani Umayyah
di Andalus Spanyol. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual
di sana sebagai berikut:
….pada
masa peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin
mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak
sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika
seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu
menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempunyai reputasi
selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat,
sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana
beberapa universtias penting berada.
Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya
Muslim telah banyak mentransmisikan pemikiran Yunani. Karya Aristotle, dan juga
tiga buku terakhir Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis,
karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan lain-lain sudah
berada di tangan Muslim untuk proses asimilasi. Puncak kegiatan transmisi terjadi
pada era kekhalifahan Abbasiyyah. Menurut Demitri Gutas proses transmisi
(penterjemahan) di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial,politik dan
intelektual. Ini berarti bahwa seluruh komponen masyarakat dari elit penguasa,
pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara
kultural sangat besar.
Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan
karya-karya Yunani tersebut. Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar,
memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Jadi proses asimilasi
terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya ummat Islam mengadapsi
pemikiran Yunani ketika peradaban Islam telah mencapai kematangannya dengan
pandangan hidupnya yang kuat. Di situ sains, filsafat dan kedokteran Yunani
diadapsi sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam. Produk dari
proses ini adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran Yunani
dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani. Bandingkan misalnya konsep jawhar para mutakallimun dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak benar,
kesimpulan Alfred Gullimaune yang menyatakan bahwa framework, ruang lingkup dan
materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidang-bidang dimana Filsafat Yunani
mendominasi sistem ummat Islam. Sejatinya pemikiran Yunani tidak dominan, sebab
jika demikian maka Muslim tidak mampu melakukan proses transmisi.
Oleh karena itu Muslim lebih berani memodifikasi
pemikiran Yunani ketimbang masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan. Muslim
bahkan mampu mengharmonisasikan dengan Islam sehingga akal dan wahyu dapat
berjalan seiring sejalan dan pemikiran Yunani tidak lagi menampakkan wajah
aslinya. Berbeda dari Muslim, masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan yang
mengaku mengetahui karya-karya Yunani, ternyata tidak mampu mengharmoniskan
filsafat, sains dengan agama. Kondisi ini kelihatannya yang mendorong para
teolog Kristen menggunakan tangan pemikir Muslim untuk memahami khazanah
pemikiran Yunani. Terpecahnya kalangan teologi Kristen kedalam aliran Averoesm
dan Avicennian merupakan bukti bahwa Kristen memahami Yunani melalui pandangan
hidup Muslim.
Jika benar asumsi orientalis selama ini bahwa
pemikiran Muslim didominasi pemikiran Yunani, maka wajah peradaban Islam di
Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol adalah
satu-satunya lingkungan kultural Muslim yang dominan, padahal kawasan itu
merupakan tempat pertemuan kebudayaan Kristen, Islam dan Yahudi. Yang pasti
karakteristik penting peradaban Islam baik ketika di Andalusia maupun di
Baghdad adalah semaraknya kegiatan keilmuan. Oleh karena itu dalam
menggambarkan peradaban Islam Ibn Khaldun membahas secara panjang lebar
ilmu-ilmu yang berkembang dan dikembangkan di kedua pusat kebudayaan Islam itu,
seperti misalnya ilmu bahasa dan agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang
(bussiness arithmetic), ilmu hukum
waris (fara’idh), geometri, mekanik,
penelitian, optik, astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu fisika,
kedokteran, pertanian, metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.
Namun, seperti yang diteorikan oleh Ibn Khaldun
di atas, pemikiran yang berkembangan menjadi tradisi intelektual bukanlah
satu-satunya faktor tumbuh berkembangnya suatu peradaban. Kemampuan
berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer serta kesanggupan
berjuang untuk meningkatkan kehidupan merupakan faktor lain yang mendukung
tumbuhnya pemikiran dan peradaban. Selain itu Ibn Khaldun juga mensinyalir adan
hubungan kausalitas antara peradaban dan sains. Artinya semakin besar volume
urbanisasi (‘umran) semakin tumbuh pula
peradaban dan sains, demikian pula sebaliknya. Ilmu akan berkembang hanya dalam
peradaban (hadharah) menjadi
besar yang penduduk perkotaannya meningkat. □
Demikianlah uraian kupasan dari tajuk Makna
Peradaban Islam dengan kompleksitas yang kait berkait sebagai suatu sistim yang
bertujuan untuk bangunnya peradaban itu. Jelas tampak disini suatu pekerjaan
rumah dari segenap eksponen penggerak roda kemajuan peradaban Islam bagi dunia yang
terkembang ini. Semoga sebagai pemicu awal tulisan itu menjadikan kita tahu apa
persoalannya sekaligus solusinya menjadikan kita semua optimis kedepan. Wallahu
‘alam. □ AFM