Kata Pengantar:
Pengertian Pendahuluan dari Islamic Worldview
yaitu terdiri dari dua kata Islamic dan Worldview.
Worldview adalah pandangan hidup, filsafat
hidup, prinsip hidup, motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahamann
realitas, asas bagi aktifitas sosial, tolak ukur untuk membedakan antara suatu
peradaban dengan yang lain, pendek kata, worldview merupakan pandangan hidup
atau keyakinan seseorang atau kelompok yang akan berpengaruh besar dan dominan
terhadap setiap peranan kehidupan yang mereka lakukan.
Islamic worldview,
diistilahkan juga dengan kata-kata lainnya, seperti Islami Nazariat (Islamic Vision),
At Tasawwur al Islami (Islamic Vision), al Mabda al Islami (Islamic Principle),
Ru’yatul Islam lil Wujud (Islamic Worldview).
Pengertian intinya dua kata itu (kata Islamic
yang digandeng dengan kata Wordview) adalah cara pandang Islam terhadap segala
sesuatu. Pensifatan kata Islam dalam worldview memberikan perubahan pada makna
etimologis dan terminiologis dari setiap hal yang dipandang, berbeda dengan
worldview dengan sifat yang lain, seperti Hindu worldview, Western worldview,
dll
Islamic worldview,
berarti pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (syahadah)
yang berimplikasi pada keseluruhan kehidupan manusia di dunia.
Untuk mengikuti kupasan selanjutnya dari tajuk diatas itu, mari
ikuti uraiannya sebagaimana dipaparkan berikut dibawah ini. □ AFM
ISLAMIC
WORDVIEW DAN APLIKASINYA
M
|
enurut Prof. Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam memiliki worldview (pandangan alam / pandangan
hidup) yang berbeda dengan pandangan hidup agama/peradaban lainnya. Al-Attas
menjelaskan sejumlah karakteristik pandangan hidup Islam, antara lain: (1)
berdasarkan kepada wahyu; (2) tidak
semata-mata merupakan pikiran manusia mengenai alam fisik dan keterlibatan
manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya; (3) tidak bersumber dari
spekulasi filosofis yang dirumuskan berdasarkan pengamatan dan pengalaman
inderawi; (4) mencakup pandangan tentang dunia dan akhirat.
Jadi, menurut al-Attas, pandangan
hidup Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth), atau pandangan Islam mengenai
eksistensi (ru’yat al-Islam lil wujud). Al-Attas menegaskan, bahwa pandangan hidup
Islam bersifat final dan telah dewasa sejak lahir. Islam tidak memerlukan
proses ’pertumbuhan’ menuju kedewasaan mengikuti proses perkembangan sejarah. Jadi, karakteristik pandangan hidup Islam adalah sifatnya
yang final dan otentik sejak awal. Ini sangat berbeda dengan sifat agama-agama
lainnya maupun kebudayaan/peradaban umat manusia yang berkembang mengikuti
dinamika sejarah. 1
Pandangan hidup Islam terbentuk dari
serangkaian pemahaman tentang konsep-konsep pokok dalam Islam, seperti konsep
Tuhan, konsep kenabian, konsep agama, konsep wahyu, konsep manusia, konsep
alam, dan konsep ilmu. Seluruh elemen itu
terkait satu dengan lainnya, dan konsep Tuhan menjadi landasan bagi
konsep-konsep lainnya.
Konsep syahadah
Islam adalah nama sebuah agama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Makna “Islam” itu sendiri digambarkan oleh Nabi Muhammad saw dalam berbagai sabda beliau. Imam al-Nawawi dalam Kitab
hadits-nya yang terkenal, al-Arba’in
al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: “Islam adalah
bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat,
menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke
Baitullah -- jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim). Pada
hadits ketiga juga disebutkan, bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: “Islam
ditegakkan di atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan
haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits Nabi Muhammad saw yang
menjelaskan tentang makna Islam itu, sesungguhnya telah menggambarkan bagaimana
konsep Islamic worldview. Konsep
syahadat menjelaskan kaitan langsung
antara konsep Tuhan dalam Islam dengan konsep kenabian, dan sekaligus
konsep wahyu dan kemudian menurun pada konsep syariat. Dalam konsep Islamic
worldview justru konsep kenabian Muhammad saw
menduduki posisi yang sentral. Sebab hanya melalui wahyu yang diturunkan kepada
utusannya yang terakhir (Muhammad saw),
Allah swt menjelaskan segala sesuatu
tentang Diri-Nya dan tentang bagaimana tata cara manusia untuk beribadah
kepada-Nya (konsep penyerahan diri / the
way of submission).
Karena itu, keimanan kepada kenabian
Muhammad saw adalah satu-satunya
pintu masuk bagi manusia untuk dapat mengenal Tuhan dengan benar dan untuk
memahami cara beribadah yang benar kepada Tuhan yang benar. Karena itulah, bisa
dipahami, mengapa Nabi Muhammad saw
sangat gigih mengajak umat manusia untuk beriman kepada Allah swt dan mengakui bahwa dirinya adalah
utusan Allah yang terakhir.2 Nabi Muhammad saw
juga sangat keras dalam menolak kemusyrikan dan menolak adanya nabi lagi
sesudah beliau. Beliau dilarang keras berkompromi dalam soal ketuhanan dan ubudiyah (QS al-Kafirun). Sebab,
tugas utama semua nabi adalah menyeru kepada manusia agar hanya menyembah Allah
semata. (QS An-Nahl:36).
Dengan posisi Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah dan uswatun hasanah (teladan yang baik),
maka Islam saat ini adalah satu-satunya agama/peradaban yang memiliki teladan
(model) yang abadi sepanjang zaman. (QS Al-Ahzab: 21, al-Anbiya: 107,
Saba:28). Seluruh aspek kehidupan kaum
Muslimin memiliki panduan konsep dan model yang jelas yang diajarkan dan
dicontohkan oleh Muhammad saw. Jika
seorang bersyahadat, maka seyogyanya dia
telah menyiapkan akal, jiwa, dan raganya untuk meneladani sunnah Muhammad saw. (QS al-Hasyr: 7).
Karena itu, tidak ada Islam jika tidak ada keimanan
terhadap kenabian Muhammad saw.
Keimanan kepada Nabi Muhammad saw adalah kunci bagi seluruh keimanan
yang lain. Sebab, Allah menurunkan wahyu-Nya, yakni al-Quran, melalui para
utusan-Nya. Dan Nabi Muhammad saw
adalah utusan Allah yang terakhir, la
nabiyya ba’dahu, tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. Dalam al-Quran dikatakan, tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. (QS 51:56). Adalah
Nabi Muhammad saw yang mengenalkan
kepada manusia siapa Tuhan yang sebenarnya dan bagaimana cara beribadah
kepada-Nya. Melalui Nabi Muhammad saw manusia memahami wahyu Allah tersebut.
Nabi Muhammad lah yang menjelaskan bagaimana shalat, zakat, puasa, haji, dan
sebagainya.
Oleh
sebab itu, dalam dakwah-Nya ke seluruh penjuru dunia, Nabi Muhammad saw senantiasa mengajak manusia untuk
masuk Islam, memeluk agama Islam, dengan mengakuinya sebagai utusan Allah. ”Akuilah,
bahwa aku ini adalah utusan Allah,” kata Nabi saw kepada umat manusia. Sebab, memang tidak mungkin manusia bisa
mengenal dan menyembah Allah dengan benar, kecuali dengan mengakui dan
mengimani Muhammad saw sebagai utusan
Allah swt.
Islam agama
wahyu/samawi
Setelah wahyu Allah swt sempurna diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw, maka Allah menegaskan,
bahwa ”Pada Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku cukupkan
bagimu nikmat-Ku, dan Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS 5:3).
Ayat ini secara tegas menyebutkan,
bahwa ”Islam” adalah agama yang diridhai oleh Allah. Dan kata ”Islam” dalam
ayat ini adalah menunjuk kepada nama agama yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. Bahkan, secara tegas, nama agama
ini diberi nama ”Islam” setelah sempurna diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya
yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw. Para pengikut nabi-nabi sebelumnya diberi
sebutan sebagai ”muslimun”, tetapi nama agama para nabi sebelumnya, tidak
secara tegas diberi nama ”Islam”, sebagaimana agama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. Meskipun, semua agama
yang dibawa oleh para nabi mengandung inti ajaran yang sama, yakni ajaran
Tauhid.
Namun, agama-agama para nabi
sebelumnya, saat ini sudah sulit dipastikan keotentikannya, karena sudah
mengalami tahrif
(perubahan-perubahan) dari pemeluknya. Karena itulah, harusnya pengikut para
nabi sebelumnya, seperti kaum Yahudi dan Nasrani, juga mengimani Muhammad
sebagai nabi Allah swt. Rasulullah saw bersabda:
“Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada
seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat
Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa
kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim)
Nabi Muhammad saw
juga mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non muslim antara lain
Kaisar Heraklius, raja Romawi yang beragama Nasrani, al Najasyi raja Abesenia
yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi
mengajak mereka untuk masuk Islam. (Riwayat Ibn Sa`d dalam al Thabaqat al Kubra
dan Imam al Bukhari dalam Shahih Bukhari).
Karena Islam
memelihara kontinuitas kenabian, maka Islam adalah satu-satunya agama yang
memelihara kontinuitas wahyu. Karena itu, Islam bisa dikatakan sebagai
satu-satunya agama wahyu. Ini bisa dilihat dari berbagai indikator:
Pertama, diantara
agama-agama yang ada, hanya Islam-lah yang namanya secara khusus disebutkan
dalam Kitab Sucinya. Nama agama-agama selain Islam diberikan oleh para pengamat
keagamaan atau oleh manusia, seperti agama Yahudi (Judaisme), agama Katolik
(Katolikisme), agama Protestan (Protestantisme), agama Budha (Budhisme), agama
Hindu (Hinduisme), agama Konghucu (Konfusianisme), dan sebagainya. Sedangkan Islam tidaklah demikian. Nama
Islam, sebagai nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd saw,
sudah disebutkan ada dalam Al-Quran:
"Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah
Islam." (QS 3:19).
"Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan akan
diterima dan di akhirat nanti akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS
3:85).
Kepada
orang-orang kafir, kaum Muslim juga
diperintahkan untuk mengungkapkan: "Lakum
dinukum waliya din" - bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Kata-kata
"Islam" dalam ayat-ayat tersebut menunjuk kepada satu nama agama
tertentu, dan bukannya sebuah sebutan untuk satu sikap pasrah kepada Tuhan (submission to God). Selama ratusan
tahun, kaum Muslim tidak pernah mempersoalkan, bahwa Islam adalah nama sebuah
agama yang dibawa Nabi Muhammas saw.
Istilah 'Islam' meskipun secara bahasa berarti "pasrah " bukan berarti Islam hanya diartikan sebagai
"sikap pasrah kepada Tuhan semata", tanpa melihat cara pasrah kepada
Tuhan. Karena Islam adalah nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw, maka Islam juga
mengajarkan "cara pasrah" kepada Allah swt. Cara pasrah, atau cara ibadah, tidak boleh dikarang-karang
oleh manusia. Tetapi, menurut Islam, cara ibadah haruslah sesuai dengan yang
diajarkan oleh utusan Allah swt,
yaitu Nabi Muhammad saw.
Kedua, dalam
soal nama dan konsep Tuhan. Sebagaimana konsep Islamic worldview yang
ditandai dengan karakteristiknya yang otentik dan final, maka konsep Islam
tentang Tuhan, menurut Prof. Naquib al-Attas,
juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam Al-Quran
yang juga bersifat otentik dan final. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat
yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak
sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan
konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern 3 atau pun dalam tradisi mistik Barat dan Timur. 4
Bait pertama dalam
Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far ath-Thahawi (239-321H), dan
disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan: "Naqūlu fii tawqīdillāhi mu'taqidīna –
bitawfiqillāhi: Innallāha wāhidun lā syarīkalahu." Dalam Kitab Aqidatul Awam – yang biasa
dimadrasah-madrasah Ibtidaiyah -- ditulis bait pertama kitab ini: "Abda'u bismillāhi wa-arrahmāni - wa bi-arahīmi
dā'imil ihsani." Ayat pertama dalam al-Quran juga berbunyi "Bismillāhir rahmānir rahāmi", dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tuhan, dalam Islam,
dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah'
dibaca dengan bacaan yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh
diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah
saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam al-Quran. 5 Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad –
yang sampai pada Rasulullah saw – maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah
dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang
nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah. Dengan demikian,
"nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan
final, karena menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai
kepada Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi filosofis' untuk
menyebut nama Allah 6 , karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah
SWT – melalui al-Quran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi
Muhammad saw.
Dalam konsepsi Islam,
Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa 7 , yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu.
Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran,
sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam
masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak
beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia. (QS 112). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "La ilaha illallah,
Muhammadur Rasulullah" -- Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad
adalah utusan Allah". Syahadat Islam ini juga bersifat final dan tidak
mengalami perubahan sejak zaman Rasulullah saw sampai Hari Kiamat. Kaum Muslim
di seluruh dunia – dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda – juga
menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. 8 Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan
yang mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen Armstrong menulis dalam
bukunya:
"Al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis,
mengesampingkannya sebagai zhanna,
yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan
oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya
merupakan contoh pertama zhanna dan
tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai
penghujatan." 9
Ketiga, karakteristik Islam sebagai agama wahyu bisa dilihat
dari tata cara ibadah/ritual dalam Islam yang semuanya berdasarkan pada
al-wahyu (Al-Quran dan As-Sunnah). Karena keotentikan wahyu dalam Islam, maka
Islam juga memiliki konsep ibadah yang final dan otentik, tetap sepanjang
zaman, dan tidak berubah-ubah mengikuti dinamika perkembangan zaman. Islam
memiliki ibadah yang satu, yang melintasi zaman dan tempat. Kapan pun dan di
mana pun, umat Islam melakukan shalat, puasa, haji, zakat, dengan cara yang sama, dan tidak tergantung
pada kondisi waktu dan tempat. Tentu saja, ini adalah konsep pokok, bukan
konsep furu’iyyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan pada sejumlah masalah
furu’. Tetapi, perlu dicatat, bahwa hanya umat Islam-lah yang kini memiliki
ritual yang satu. Ke masjid mana pun umat Islam melakukan shalat, pasti
melaksanakan shalat subuh dua rakaat, dimulai dari takbir ’Allahu Akbar’ dan
diakhiri dengan salam. Tradisi seperti ini berbeda dengan konsep agama-agama
lain yang memiliki ritual yang berbeda-beda, tergantung waktu dan tempat.
Keempat, konsep Islam sebagai agama otentik dan final dapat
terjadi karena konsep wahyu dalam Islam adalah bersifat final. Al-Quran terjaga
lafaz, makna, dan bacaannya dari zaman ke zaman. Konsep teks wahyu dalam Islam
yang ”lafzhan wa ma’nan minallah” ini
sangat berbeda dengan konsep Bibel yang diakui sebagai teks manusiawi dan teks
sejarah sehingga memungkinkan ditafsirkan berdasarkan konteks sosial-historis,
yang menyebabkan kaum Yahudi/Kristen memiliki konsep hukum yang dinamis dan
berubah dari zaman ke zaman. Konsep wahyu yang otentik dan final yang lafzhan wa ma’nan minallah tidak
memungkinkan al-Quran menerima model penafsiran hermeneutis ala Bibel yang menghasilkan kerelativan hukum Islam.
Kebalikan dari Peradaban Barat tidak
berdasarkan kepada wahyu tidak memiliki ’uswah
hasanah’ (tokoh peneladanan baik sebagaimana Rasulullah saw yang memang mesti diaplikasikan: ”Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasūlullāh itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi
orang yang mengharap rahmat Allāh dan kedatangan hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Allāh”, QS Al-Ahzāb 33:21) dalam seluruh aspek kehidupan, maka mereka juga tidak
memiliki konsep hukum yang final. Mereka tidak menjadikan Bibel sebagai
landasan bagi seluruh konsep kehidupan mereka. Mereka menggunakan segala cara
agar teks Bibel itu tidak mengikat seluruh kehidupan mereka. Itu terjadi,
misalnya, dalam kasus perzinahan, homoseksual, dan juga berbagai makanan yang
diharamkan dalam Bibel. Ini sudah berlaku sejak dulu. The Letter of
Barnabas (sekitar 100 M), misalnya,
menginterpretasikan undang-undang tentang makanan dalam Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan untuk
memakan daging hewan tertentu, tetapi lebih merupakan sifat-sifat buruk yang
secara imajinatif diasosiasikan dengan hewan-hewan itu. Jika dibaca dalam
Bibel, Kitab Imamat 11:1-46, disebutkan daftar binatang yang haram dimakan, seperti
unta, pelanduk, kelinci, babi, 10 burung rajawali, burung onta, burung camar,
elang, burung pungguk, tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, dan
bunglon. “Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya
janganlah kamu sentuh; haram itu semuanya bagimu.” (ayat 8). Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab
Indonesia tahun 2000, pasal 11 ini diletakkan di bawah tajuk “Binatang yang
haram dan yang tidak haram.” Dalam ayat 35 disebutkan: “Kalau bangkai seekor
dari binatang-binatang itu jatuh ke atas sesuatu benda, itu menjadi najis;
pembakaran roti dan anglo haruslah diremukkan, karena semuanya itu najis dan
haruslah najis juga bagimu.” 11
Bisa dibayangkan, jika konsep makanan
haram dan najis, ini diterapkan secara literal, apa jadinya orang Barat yang
hobi makan babi dan memakan binatang yang jelas-jelas diharamkan dalam Bibel.
Dengan kondisi faktual teks Bibel semacam itu, jelas sekali penafsiran secara
literal tidak memungkinkan, sehingga hanya kalangan Kristen fundamentalis yang
sangat naif, yang menafsirkan Bibel secara literal. 12
Kondisi dan problem
teks Bibel semacam itu tentu sangat berbeda dengan teks Al-Quran. Tentang
makanan haram, misalnya, jelas dikatakan dalam Al-Quran, bahwa babi itu haram
dimakan. Teks-nya jelas: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, dan daging babi.”
(QS Al-Maidah:3). Tidak ada masalah bagi umat Islam memahami ayat itu secara
tekstual, sebab memang secara teks, babi itu diharamkan. Tidak ada perbedaan
teks dalam soal ini. Karena al-Quran adalah berbahasa Arab, dan selain yang
berbahasa Arab bukanlah Al-Quran. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat
Islam, bahwa babi adalah haram. Dan pemahaman itu dilakukan dengan melalui
penafsiran secara tekstual. Kaum Muslimin selama ini juga paham, bahwa banyak
ayat-ayat Al-Quran yang tidak dapat dipahami secara tekstual begitu saja.
Misalnya, ayat dalam surat al-Jumuah: “Fa
idzā qudhiyatishshalātu fa intasharū fi al-ardhi” (apabila selesai ditunaikan shalat (Jumat),
maka bertebaranlah kamu di muka bumi), oleh kaum Muslimin tidak dipahami bahwa
setelah usai menunaikan salat Jumat maka mereka diwajibkan untuk bertebaran di
muka bumi (kembali bekerja), dan tidak tinggal berdiam diri saja di
Masdjid. Meskipun redaksi ayat itu
adalah perintah (fīl amar), tetapi
tidak dipahami secara tekstual, bahwa bertebaran di muka bumi (mencari nafkah,
bekerja dengan profesi dan keahlian atau tugas masing-masing, beramal sebagai
khalifah-khalifah) setelah shalat Jumat adalah wajib.
Jadi, Al-Quran
memang memiliki konsep teks dan metode penafsiran sendiri, yang berbeda dengan
Bibel dan kitab-kitab lainnya. Karena itu, jika konsep teks Bibel dan cara
penafsirannya diterapkan untuk Al-Quran – sebagaimana kini banyak dilakukan
melalui metode hermeneutika (hermeneutika
diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuien
yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan dari teks->pengarang->pembaca)
– maka secara otomatis konsep syariat sebagaimana dipahami oleh kaum Muslim
selama beratus tahun, juga akan bubar. Dalam penafsiran heremenutis ala Barat,
tidak ada lagi hukum yang dipandang tetap, karena semua harus tunduk pada
perubahan sejarah. Ini sangat berbeda dengan konsep Islam yang mengenal hal-hal
yang qath’iy (pasti) dan dzanniy (dugaan).
Penutup
Sebagai kesimpulan dari pemaparan
singkat ini, maka konsep dan aplikasi syariat Islam harus dimulai dari
perumusan dan aplikasi konsep ’Islamic worldview’. Syariat tidak akan tegak
secara kaffah jika tidak berbasiskan pada konsep ’Islamic worldview’.
Jika seorang Muslim
memiliki pemahaman yang benar terhadap konsep Tuhan, kenabian, wahyu (termasuk
cara penafsirannya), maka secara otomatis, dia akan menerima konsep syariat
Islam, sebagai bagian dari konsep Islamic
worldview.
Jika seseorang menolak
syariat (fobia syariat), maka pasti ada yang keliru pada pemahamannya akan Islamic worldview (sebagai al-maqasid,
tuntunannya). Wallahu a’lam. □
Diangkat dari buah
penanya Adian Husaini, MA - Ketua
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia/Dosen Pasca Sarjana PSTTI-Universitas
Indonesia. □
Catatan Kaki:
1 Pembahasan lebih jauh tentang konsep Islamic
worldview, lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC,
1995).
2 Dalam Sirah
Halabiyah, disebutkan sebuah surat Nabi Muhammad saw kepada Raja Oman,
Jaifar bin Julunda dan Abd bin Julunda: “…
Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Sesungguhnya
aku mengajak kalian berdua dengan ajakan Islam. Kalian berdua, masuk Islamlah,
maka kalian akan selamat (Aslimā taslamā).
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada seluruh manusia, agar aku
memberi peringatan kepada orang yang hidup dan menegaskan pernyataan yang benar
kepada kaum kafir. (Terjemahan ini penulis buat berdasarkan teks Arab yang
dikutip dari buku Kelengkapan Tarikh Nabi
Muhammad saw karya Munawwar Khalil (GIP, 2001), II:50.
3 Prof. Frans Magnis Suseno, guru besar filsafat di
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, merangkum tantangan modernitas terhadap
keimanan dan 'konsep Tuhan '
agama-agama: "Modernitas sebagaimana menjadi kenyataan di Eropa sejak abad
ke-17 mulai meragukan ketuhanan. Reformasi Protestan abad ke-16 sudah menolak
banyak klaim Gereja. Dalam abad ke-17 empirisisme
menuntut agar segala pengetahuan
mendasarkan diri pada pengalaman inderawi.
Pada akhir abad ke-18 muncul filosof-filosof materialis pertama yang
mengembalikan keanekaan bentuk kehidupan, termasuk manusia, pada materi dan
menolak alam adi-duniawi. Dalam abad ke-19 dasar-dasar ateisme filosofis
dirumuskan oleh Feurbach, Marx, Nietzsce, dan dari sudut psikologi, Freud. Pada saat yang sama
ilmu-ilmu pengetahuan mencapai kemajuan demi kemajuan. Pengetahuan ilmiah
dianggap harus menggantikan kepercayaan akan Tuhan. Akhirnya, di abad ke-20,
filsafat untuk sebagian besar menyangkal kemungkinan mengetahui sesuatu tentang
hal ketuhanan, sedangkan dalam masyarakat sendiri ketuhanan semakin tersingkir oleh keasyikan budaya konsumistik. Sebagai
akibat, manusia modern menjadi skeptis tentang ketuhanan kalau ia tidak
menyangkalnya sama sekali. Maka apabila seseorang, atau sekelompok orang, tetap
yakin akan adanya Tuhan, mereka mau tak mau harus menghadapi tantangan
skeptisisme modernitas itu." (Lihat, Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal. 44-45.
4 Dalam konsep agama Budha,
misalnya, seorang Buddhis memiliki enam keyakinan yang disebut Sad-saddha, yang
terdiri dari keyakinan tentang adanya: (1) Tuhan Yang Maha Esa (2) Tri Ratna
(3) Bodhisattva, Arahat dan para Buddha, (4) Hukum Kasunyatan (5) Kitab Suci
Tri Pitaka, dan (6) Nirvana. Buddha tidak menyebut nama Tuhannya dengan sebutan
tertentu. Tentang "Tuhan Yang Maha Esa" tidak dijelaskan nama-Nya
secara khusus. Dalam buku Be Buddhist Be
Happy, misalnya, ditulis: "Seorang umat Buddha meyakini adanya Tuhan
Yang Maha Esa yang dikenal dengan sbeutan: "Atthi
Ajatam Abhutam Akatam Asamkatam", yang artinya: Sesuatu yang tidak
dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, Yang Mutlak. Tuhan Yang Maha
Esa di dalam agama Buddha adalah Anatman (Tanpa Aku), suatu yang tidak
berpribadi, suatu yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Hal ini
diungkapkan dalam Kitab Suci Udana
VIII ayat 3. Seorang Buddhis meyakini Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang
mendasari kehidupan dan alam semesta, dan juga sebagai tujuan atau cita-citanya
yang tertinggi atau tujuan hidup akhirnya, yakni yang akan dipahami sepenuhnya
bila telah tercapai Nirvana." (Lihat, Jo Priastana, Be Buddhist Be Happy, (Jakarta: Yasodhara Puteri Jakarta, 2005),
hal. 28-29.
Agama
Hindu, disamping memiliki konsep ketuhanan yang khas. Tentang Hindu, Alain Danielou, menulis dalam bukunya, Gods of India: Hindu Polytheism, (Neww
York: Inner Traditions International, 1985): "Hinduism, or rather the "eternal religion" (sanata
dharma), as it calls irself, recognizes for each age and each country a new
form of revelation and for each man, according to his stage of development, a
different path of realization, a different of worship, a different morality,
different rituals, different gods." (hal. x). Kaum Hindu Bali menyebut Tuhan Yang Maha Esa
sebagai "Ida Sang Hyang Widhi Wasa", sedangkan kaum Hindu India lebih
suka menyebut "Brahman".
5 Salah satu syarat qiraah yang sahih
dalam al-Quran adalah bahwa bacaan itu harus ditetapkan berdasarkan sanad yang
mutawatir atau shahih, bukan berdasarkan spekulasi akal. Qiraat ditetapkan
berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah saw. Karena itu, ketika
bertemu dengan huruf Alif Lam Lam ha (Allah), orang Islam pasti akan membaca
dengan "Alloh", bukan
"Allah". Ketika bertemu dengan huruf Alif Lam Mim, maka akan
dibaca dengan "Alim Lam Mim"
dengan panjang pendek tertentu. Tentang ilmul
Qiraat bisa dilihat dalam berbagai
Kitab Ulumul Qur'an. Ali As-Shabuni, misalnya, menulis bahwa
qiraat "tsabitatun bi asanidiha ila
Rasulillahi shallallahu 'alaihi wa sallam". (Lihat, Muhammad Ali as-Shabuni, at-Tibyan fi Ulumil Quran, (Beirut:
Darul Irsyad, 1970), hal. 249). Tradisi Islam dalam qiraat berdasarkan sanad
ini sangat menarik jika dibandingkan dengan tradisi Yahudi-Kristen yang tidak
mengenal 'sanad' sehingga mereka kehilangan jejak untuk menentukan bagaimana
membaca satu manuskrip, termasuk dalam mengucapkan nama Tuhannya.
6 Spekulasi tentang nama
Tuhan dilakukan oleh kaum Yahudi. Dalam konsep Judaism
(agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum Yahudi
modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The Concise Oxford
Dictionary of World Religions
menjelaskan 'Yahweh' sebagai "The
God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH, may have been
pronounced. By orthodox and many
other Jews, God’s name
is never articulated, least of all in the Jewish liturgy." (Lihat,
John Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, (Oxford
University Press, 2000).
Dr. D. L. Baker, menulis, bahwa
"kata nama yang paling penting dalam PL ialah יהוה (yhwh), nama Allah Israel, yang ditemukan kurang lebih 6823 kali dalam
PL. Nama tsb mungkin dulu
diucapkan “Yahweh”, tetapi menurut tradisi Yahudi ,
nama yang Mahasuci itu tidak boleh diucapkan untuk menghindari kemungkinan pelanggaran
perintah ketiga
(“Jangan menyebut nama יהוה, Allahmu,
dengan sembarangan…” (Kel, 20:7). Oleh sebab itu, setiap kali terdapat kata יהוה dalam
Alkitab, orang Yahudi
membacanya dengan kata אדני (adonay)
‘Tuhan’.”
( (Dr. D.L. Baker et.al., Pengantar Bahasa Ibrani, Jakarta:
BPK, 2004), hal. 52.)
Spekulasi Yahudi tentang nama
Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya
setempat. Di Timur Tengah, kaum Kristen menyebut "Alloh" sama dengan
orang Islam; di Indonesia melafazkan nama Tuhannya menjadi "Allah";
dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau
"Lord". Ini juga yang kemudian dibawa dalam berbagai terjemahan
al-Quran dalam bahasa Inggris.
Karena tidak memiliki tradisi
sanad dan adanya problem otentisitas Kitab Sucinya, maka kaum Yahudi tidak tahu
dengan pasti bagaimana cara melafazkan nama Tuhannya yang semuanya tertulis
dalam empat huruf mati 'YHWH'. Tentang problem otentisitas Kitab Suci Yahudi –
yang juga dijadikan oleh kaum Kristen sebagai Perjanjian Lama-nya – Th. C. Vriezen menulis:
“Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama
secara bertanggung
jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang
atau diredaksi
(diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya.
Salah satu keuntungannya
ialah bahwa sumber-sumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun,
ada kerugiannya
yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga
sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal
(asli) dan bagian
mana yang merupakan sisipan.” (Th.C.Vriezen, Agama Israel Kuno, (Jakarta: Badan Penerbit
Kristen, 2001), hal. 7.
Richard
Elliot Friedman juga menulis: “It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played
a central role in our civilization…
Five Book of Moses… It is
one of the oldest puzzles in the world.” (Richard
Elliot Friedman,
Who Wrote the Bible, (New
York: Perennial Library, 1989)
7 Karena dalam konsep Islam Allah adalah nama diri dari
Dzat Yang Maha Kuasa, maka seharusnya, lafaz Allah dalam al-Quran tidak
diterjemahkan ke dalam sebutan lain, baik diterjemahkan dengan "Tuhan",
"God", atau "Lord". Beberapa terjemahan al-Quran bahasa
Inggris telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God. Misalnya, Abdullah Yusuf
Ali – dalam The Holy Qur'an --
menerjemahkan "Bismillah"
dengan "In the name of God".
Begitu juga, "Alhamdulillah"
diterjemahkan dengan "Praise be to
God", dan "Qul Huwallahu
ahad" diterjemahkan dengan "Say:
He is God, the One and Only", juga ayat " Innaniy Anallahu La ilaha illa Ana fa'budniy wa aqimish shalata li
dzikriy" juga diterjemahkan "Verily,
I am God: there is no god but I; so serve thou Me (only) and establish
regular prayer for celebrating My praise." (QS 20:14).
8 Bandingkan konsep dan teks syahadat Islam ini
dengan syahadat Kristen, seperti dibahas pada bagian berikutnya dari makalah
ini.
9 Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), (Bandung: Mizan, 2001), hal. 199-200.
10 Tentang binatang babi
ini cukup menarik jika dicermati sejumlah versi teks Kitab Imamat 11:7-8. Dalam
Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), tahun 1971 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya
terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya,
tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan
daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia
kepadamu.” Tetapi, dalam Alkitab
versi LAI tahun 2004, kata babi
sudah berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang
berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram
itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya
janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.” Dalam teks bahasa Inggris, versi The New Jerusalem Bible (1985), ayat itu
ditulis: “you will regard the pig as
unclean, because though it has a cloven hoof, divided into two parts, it is not
a ruminant. You will not eat the meat of these or touch their dead bodies; you
will regard them as unclean.” Dari
ketiga teks itu bisa dilihat, bagaimana problem teks Bible sangat rumit dan
pelik, karena tidak ada kitab standar dalam rujukan penerjemahan Bible. Dalam Kamus Indonesia-Inggris karya John M.
Echols dan Hassan Shadily (Jakarta: Gramedia, 1994), kata babi diterjemahkan
menjadi pig, hog, pork. Sedangkan
kata ‘babi hutan’ diterjemahkan dengan ‘wild
boar’. Dalam Good News Bible,
terbitan United Bible Sicieties, 1976, ayat itu ditulis: “Do not eat pigs. They must be considered unclean; they have devided
hoofs, but do not clew the cud. Do not eat these animals or even touch their
dead bodies; they are unclean.”
11 Contoh-contoh problematika teks Bible telah banyak saya paparkan
dalam buku saya Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam (Jakarta:
GIP, 2004).
(Depok, 15 Mei 2007/disampaikan
dalam diskusi di Fakultas Hukum UGM, 16 Mei 2007).
Diakses dari:
https://banihamzah.wordpress.com/2007/05/25/islamic-worldview/#more-35
dan sumber-sumber lainnya.