D
|
alam sejarah dunia yang panjang, tidak banyak
negara-negara yang berhasil membentuk diri menjadi negara kuat yang menguasai
wilayah yang luas (minimal pada 10 bangsa / etnis yang berbeda), pada masa yang
cukup lama (minimal 10 generasi atau sekitar 300 tahun) serta meninggalkan
jejak peradaban yang signifikan, yang terasa sampai saat ini.
Hingga abad-15 M, mungkin hanya tiga negara
seperti itu, yaitu Imperium Romanum (Romawi) yang berkuasa dari kira-kira Abad
ke-7 SM hingga abad 15 M di seluruh Eropa dan Afrika Utara, lalu imperium
Persia dari masa Cyrus (abad 10 SM) hingga abad 8 M dan membentang di wilayah
Irak sekarang hingga sebagian India dan Asia Tengah, dan Imperium Islam (abad 8
M hingga 17 M) dan membentang dari Maroko di tepi Atlantik hingga Merauke di
Nusantara.
Selain mereka ada juga beberapa negara besar,
misalnya Mesir dan Cina. Kerajaan Mesir Firaun bertahan hampir 4000 tahun,
namun meski meninggalkan jejak peradaban yang luar biasa (piramid dsb), luas
kekuasaannya terbentang hanya di sekitar sungai Nil saja. Demikian juga
kerajaan Cina yang meski wilayahnya sangat luas namun tidak mencakup variasi
etnis yang seheterogen seperti halnya Romawi, Persia dan Islam. Cina juga
tercatat berkali-kali dijajah oleh orang-orang Tartar / Mongol. Bangsa Tartar
ini juga meski tercatat pernah menguasai hampir separoh dunia (dari Polandia
sampai Cina), namun selain tidak meninggalkan jejak peradaban yang berarti,
kekuasaanya juga tidak lebih dari tiga generasi.
Sedang setelah abad-15, keseimbangan dunia mulai
berubah. Sejak abad-15, muncul berbagai imperium baru. Sejarah mencatat
imperium Austria (Habsburg) yang pernah menguasai sebagian besar Eropa melalui
politik peperangan maupun pernikahan. Kebesaran imperium Austria terlihat dari
aliran seni arsitektur dan musik yang banyak ditemukan di seantero Eropa. Kemudian
imperium Portugis dan Spanyol yang pernah menguasai banyak wilayah di Amerika
Latin, Afrika, sebagian India hingga beberapa pulau di Nusantara selama
beberapa abad, hingga sekarang ini bahasa Spanyol dan Portugis masih bertahan
sebagai bahasa resmi di PBB. Kemudian mereka tergantikan oleh imperium Inggris
dan Perancis yang juga memiliki jajahan di seluruh dunia, dan bahasanya juga
masih dipakai di mana-mana. Dan setelah perang dunia kedua, posisi mereka
tergantikan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kini setelah perang dingin
berakhir, tinggal Amerika yang aktif sebagai imperium tunggal. Wilayah
cengkeraman kekuasaanya praktis ada di seluruh dunia, setidaknya secara tidak
langsung melalui badan-badan dunia (PBB, WTO, IMF, …). Meski Amerika Serikat baru
berusia 230 tahun, tapi jejak peradabannya sudah melebihi imperium Romawi.
Terbentuknya sebuah Imperium
Terbentuknya suatu kekuasaan yang kemudian
dicatat sejarah sebagai suatu “imperium” tidaklah terjadi tiba-tiba. Paul
Kennedy dalam “The Rise and Fall of Great Powers” berteori bahwa faktor-faktor
ekonomilah yang menjadikan sebuah negara semakin penting, sehingga kemudian
menjadi lebih kuat dari negara lain. Yang dimaksud faktor ekonomi adalah
sinergi antara posisi geopolitis, sumber daya alam, tingkat teknologi
penduduknya, kekuatan struktur politiknya dan semua ini akan berperan pada
ketahanan militer negara itu.
Fakta, semua negara yang pernah menjadi
imperium, memiliki semua yang dibutuhkan itu. Pertanyaannya adalah, mengapa ada
masa-masa pasang surut, ketika meski suatu negara masih memiliki semuanya,
namun dia tidak lagi menjadi penting di kancah dunia. Sebagai contoh, Russia
sebagai penerus Uni Soviet, masih memiliki semua yang dipunyai Uni Soviet. Dia
masih memiliki wilayah yang luas, dari batas Skandinavia hingga batas Korea;
sumber alamnya masih sama, teknologinya masih teknologi Soviet yang mampu
membuat bom atom dan pesawat luar angkasa, struktur politiknya mestinya lebih
kuat karena lebih demokratis, dan empat juta tentaranya dengan minimal 10000
kepala nuklir masih merupakan kekuatan yang mampu menghancurkan seluruh dunia.
Namun kini Russia bukan lagi imperium. Dia sudah kehilangan hampir semua negara
satelitnya. Bahkan politik ekonominya sudah dikendalikan oleh AS lewat WTO.
Jadi apa sesungguhnya yang membentuk imperium?
Alvin Toffler dalam “The Future Shock”
menjelaskan bahwa pengaruh dan kepemimpinan, baik dalam skala kecil maupun
skala imperium, bisa timbul oleh tiga hal:
1. Muscle
– pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan fisik (militer). Artinya bangsa atau
negara yang yang di bawah pengaruhnya, bisa dikuasai karena dipaksa, karena
takut, atau karena meminta perlindungan. Inilah pada umumnya imperium Romanum,
Persia dan juga negara-negara yang terjajah oleh negara kapitalis di abad
pertengahan.
2. Money
– pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan ekonomi, termasuk sumberdaya alam.
Artinya bangsa atau negara yang yang di bawah pengaruhnya bisa dikuasai karena
mendapat kompensasi ekonomi (hutang, investasi, akses sumber alam, akses produk,
akses pasar). Inilah yang terjadi di abad-20 dengan Uni Soviet dan AS. Di masa
komunis, negara-negara Eropa Timur merasa perlu bergabung dengan Uni Soviet
karena akses kepada minyak dan gas Soviet – yang tidak perlu dibeli dengan $ di
pasar bebas, tapi cukup dibarter dengan gula atau buah-buahan.
3. Mind
– pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan pemikiran, termasuk gaya hidup dan
teknologi. Artinya bangsa atau negara yang di bawah pengaruhnya bisa dikuasai
karena pemikiran yang diembannya. Pemikiran yang merasuki itulah yang membuat
mereka mau dipimpin oleh sang imperior.
Menurut Toffler, model kepemimpinan yang ketiga
inilah yang paling tinggi mutunya. Meski beberapa imperium terbukti saat ini
memiliki ketiga-tiganya, Namun dilihat dari sejarahnya, selalu dapat dimengerti
bahwa semua bermula dari pemikiran. Setelah ada pemikiran, maka kekuatan
ekonomi dapat dibangun dan dipertahankan lebih lama. Dengan kekuatan ekonomi
ini maka kekuatan fisik dapat dibiayai lebih lama.
Tanpa kekuatan pemikiran, maka kekuatan ekonomi
mudah dibuat loyo, dan tanpa kekuatan ekonomi, kekuatan fisik hanya bisa
dipertahankan sebentar.
Kontroversi Khilafah versus Kerajaan
Dalam sejarah dapat dilihat bahwa tidak ada
imperium yang dapat bertahan dengan penguasa yang bersikap absolut dan
monolitik (diktator). Imperium Romanum pun memiliki senat yang selalu diajaknya
berdiskusi dan bahkan diandalkan keputusannya dalam persoalan-persoalan negara
yang pelik. Bagaimanapun pemimpin kalau ingin terus didukung, dia tidak bisa
begitu saja melupakan para pendukung politiknya. Tentu saja, pada rakyat
perseorangan di masa itu tetap akan ada keputusan-keputusan yang akan dinilai
oleh kita sekarang sebagai sangat otoriter. Namun secara makro, itu tidak akan
terjadi bila tidak didukung (minimal didiamkan) oleh konstruksi sosial politik
yang ada.
Jadi, bagaimana keputusan politik diambil, sesungguhnya tidak tergantung pada apakah negara itu berbentuk kerajaan dengan raja yang turun temurun atau oleh presiden yang dipilih setiap lima tahun.
Sistem khilafah per default adalah negara yang tidak otoriter. Dalam berbagai aspek hukum, hukum ditentukan oleh syara’, tidak oleh kehendak Khalifah. Sedang dalam persoalan lain, khalifah wajib bermusyawarah dengan ahlu halli wa aqdi (Majlis Ummah).
Kalaupun kemudian terkesan khilafah berasal dari
satu dinasti, maka itulah kenyataan praktis yang terjadi. Bagaimanapun,
anak-anak seorang khalifah relatif memiliki kesempatan belajar politik lebih
baik dari orang-orang lain. Dia akan lebih banyak mengenal para tokoh, lebih
sering belajar dari orang-orang yang paling alim, dan mungkin juga lebih luas
aksesnya kepada media massa. Walhasil ketika ada pemilihan khalifah baru, dia
memiliki posisi start yang jauh lebih baik dari semua kandidat lain.
Dan berbeda dengan kerajaan, dalam sistem
khilafah tidak ada putera mahkota yang harus jadi dalam keadaan apapun. Tidak
seperti di Cina, yang sejarah mencatat seorang kaisar Pu Yi yang baru berumur 3
tahun, dan akhirnya disetir habis-habisan oleh Perdana Menterinya yang korup.
Transisi peralihan Imperium
Peralihan imperium Romanum dan Persia ke
imperium Islam terjadi dalam proses dakwah. Persia jauh lebih cepat tunduk di
bawah kekuasaan Islam karena imperium ini dikenal sangat korup dan kejam kepada
rakyatnya. Islam diterima rakyat sebagai ajaran yang memerdekakan manusia dari
perbudakan sesama ke penghambaan kepada Allah saja. Dan ketika dakwah Islam
dihalangi secara fisik, rakyat Persia sendiri yang turut membantu pasukan
jihad, sehingga tak sampai seabad setelah Nabi wafat, Persia sudah seutuhnya di
bawah naungan Islam.
Adapun transisi Romawi ke dalam Islam memakan
proses hampir 800 tahun. Daerah jajahan terdepan Romawi di Syams dapat
dibebaskan pada masa Umar bin Khattab. Namun ibu kota Konstantinopel baru bisa
dibebaskan oleh Muhammad al-Fatih tahun 1453. Kuncinya memang dakwah dan
pemikiran. Pemikiran yang merasuki para mujahidin Islam dan rakyat yang akan
dibebaskan.
Transisi imperium Islam ke imperium kafir di
abad 17 hingga sekarang, juga berangsur perlahan, dimulai dari masuknya
pemikiran asing ke tubuh kaum muslimin dan khilafah. Khilafah baru benar-benar
dibubarkan tahun 1924, namun sebelumnya dia sudah seperti digerogoti kanker
yang kronis selama lebih dari dua abad.
Karakteristik dan Hasil Karya
Hasil karya imperium Islam sangat berbeda baik
dengan sebelumnya (Romawi/Persia) maupun sesudahnya (AS, Inggris, Perancis,
dll.).
Imperium Islam tidak pernah merendahkan etnis
manusia yang di bawahnya, sehingga tidak pernah menimbulkan kebencian kepada
negara yang membawanya, hingga sekarang. Kalaupun di suatu masa pernah ada
kebencian Arab atas Turki, maka itu tidak lain adalah hasil provokasi calon
penjajah atau imperium baru.
Imperium Islam tidak pernah menjarah sumberdaya
alam dari negeri yang dikuasainya (seraya memiskinkannya), justru malah
sebaliknya, terkadang mereka mensupply negeri manapun (termasuk yang tidak
dikuasainya) yang kekurangan atau mengalami musibah.
Imperium Islam tidak pernah menimbulkan bencana
lingkungan atau sosial yang serius. Imperium Amerika sekarang ini menimbulkan
situasi lingkungan global yang sangat parah (AS yang paling besar mengkonsumsi
BBM dan otomatis memproduksi limbah / polutan justru sampai kini menolak
meratifikasi protokol Kyoto yang membatasi gas rumah kaca); serta kesenjangan
yang makin meluas antara negara-negara kaya (di “utara”) dan negara-negara
miskin di “selatan”.
Hasil peradaban Islam juga menunjukkan bahwa
mereka peduli kepada karya-karya yang tidak sekedar memiliki nilai material,
intelektual dan emosional, namun juga memperhatikan nilai spiritual, sehingga
manusia dari kalangan apapun merasa lebih dimanusiawikan, karena merasa dekat
dengan Sang Penciptanya. Ini yang jarang ditemukan dari karya-karya imperium
yang lain.
Tiga Imperium Islam
Sejarah mencatat setidaknya tiga imperium Islam
besar, yaitu dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Bagaimana sesungguhnya
periodisasi ini muncul dan bagaimana keadaan sesungguhnya di masa itu?
Sesungguhnya para ahli sejarahlah yang membagi
masa panjang imperium Islam dalam tiga kurun ini.
Imperium Umayyah muncul setelah Muawiyah
menerima pengalihan bai’at dari Hasan bin Ali pada tahun 661 M, namun kemudian
Muawiyah melakukan bid’ah – dengan meniru model suksesi Romawi dan Persia,
yakni mencalonkan putranya, Yazid, sebagai penggantinya, dan memaksa ummat
untuk berbaiat pada putranya, semasa Muawiyah masih hidup.
Namun demikian, bid’ah dalam suksesi ini tidak
lantas membuat imperium Islam melemah dan hancur. Justru di masa ini ilmu-ilmu
hadits, fiqh maupun sains mulai tumbuh dan kemudian berkembang pesat. Wilayah
kekuasaan Islam meluas hingga Maroko dan Andalusia di sebelah barat, sampai
tepi sungai Indus di timur.
Sebenarnyalah, bid’ah putra mahkota ini tidak berjalan mulus. Ada beberapa khalifah pengganti yang bukan anggota keluarga dekat khalifah sebelumnya. Karena itulah, para sejarawan menyebut “Bani Umayyah” sebagai nama dinasti ini – diambil dari nama kakek buyut Muawiyah. Muawiyah adalah anak Abu Sofyan bin Harb bin Umayyah bin Abdus Syam bin Abdul Manaf. Abdus Syam adalah saudara Hasyim. Sementara itu Rasulullah adalah anak Abdullah bin Abdul Muthollib bin Hasyim. Jadi, konklusi nama dinasti ini dilakukan belakangan. Andaikata seluruh khalifah pada periode ini hanya keturunan Muawiyah – tentu namanya ”Bani Muawiyah” – dan itu tidak terjadi.
Sebenarnyalah, bid’ah putra mahkota ini tidak berjalan mulus. Ada beberapa khalifah pengganti yang bukan anggota keluarga dekat khalifah sebelumnya. Karena itulah, para sejarawan menyebut “Bani Umayyah” sebagai nama dinasti ini – diambil dari nama kakek buyut Muawiyah. Muawiyah adalah anak Abu Sofyan bin Harb bin Umayyah bin Abdus Syam bin Abdul Manaf. Abdus Syam adalah saudara Hasyim. Sementara itu Rasulullah adalah anak Abdullah bin Abdul Muthollib bin Hasyim. Jadi, konklusi nama dinasti ini dilakukan belakangan. Andaikata seluruh khalifah pada periode ini hanya keturunan Muawiyah – tentu namanya ”Bani Muawiyah” – dan itu tidak terjadi.
Periode pertama ini berakhir ketika terjadi
Revolusi Abbasiyah pada tahun 750 M. Ketika itu kezaliman khalifah Marwan II
(744-750) sudah tidak tertanggungkan lagi. Namun sebenarnya, tidak semua
khalifah dinasti ini seperti itu. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) dapat
dianggap sebagai khalifah yang sangat sukses dan dicintai rakyat, bahkan sering
dijuluki Khulafaur Rasyidin ke-5.
Hampir semua sejarahwan pada masa lalu maupun kini hanya tertarik untuk menulis aspek politik / pemerintahan, tak terkecuali dari Imperium Umayyah ini. Maka salah satu yang dianggap menonjol (“bernilai sejarah”) dari era ini adalah permusuhan yang mendalam kepada kelompok Syiah. Di belakang hari hal ini menimbulkan dendam di kalangan Syiah, sehingga menutup seluruh prestasi Imperium Umayyah, bahkan juga era Khulafaur Rasyidin.
Di era Imperium Abbasiyah, situasi politik jauh
lebih baik. Terjadi rekonsiliasi besar-besaran untuk berbagai kalangan yang
selama masa Umayyah berseberangan dengan elit penguasa – terutama dengan Syiah.
Tak heran bahwa perkembangan fiqih maupun sains lebih hebat lagi di masa ini,
walaupun ada era di mana ada pemaksaan atas suatu pendapat yang diadopsi oleh
negara – seperti di zaman Al-Makmun, di mana negara mewajibkan orang untuk
meyakini bahwa Qur’an itu mahluk – sehingga sejumlah ulama yang meyakini bahwa
Qur’an adalah Kalamullah kemudian dipenjarakan.
Wilayah kekuasaan juga tumbuh lebih pesat lagi
pada awalnya, walaupun kemudian cukup berat membawa bangsa-bangsa yang kemudian
masuk Islam itu pada tingkat pemikiran yang sama. Walhasil, berbagai anasir
filsafat Yunani, Persia dan India kuno pelan-pelan mulai merasuk ke dalam tubuh
masyarakat Islam.
Menjelang abad 11 M, pengaruh berbagai filsafat
ini sudah cukup serius, berpengaruh dalam bentuk berbagai ijtihad yang tidak
bermutu yang melemahkan umat Islam. Sementara itu kekurangmampuan penguasa
pusat dalam mengurus rakyat di wilayah yang sangat luas ini, menyulut beberapa
gerakan separatisme di beberapa tempat. Di Mesir muncul Daulah Fathimiyah –
suatu sempalan sesat dari kelompok Syiah. Beberapa sultan (gubernur) di
imperium kemudian menutup pintu ijtihad, sebagai upaya mencegah eskalasi gejala
ini. Namun hal ini tidak menolong banyak. Lemahnya imperium kemudian memancing
datangnya pasukan salib (1096-1187), dan yang lebih fatal adalah pengkhianatan
wazir khalifah sehingga Pasukan Tartar (Mongol) sampai ke Baghdad dan membantai
lebih dari 2,6 juta penduduknya pada 1258.
Peristiwa pembantaian Tartar itu sekaligus
mengakhiri era Abbasiyah di Baghdad. Namun nama dinasti ini – yang diambil dari
nama Abbas bin Abdul Mutholib – yang juga mungkin baru dipakai para sejarahwan
setelah melihat ginealogi para khalifahnya – masih dipakai hingga tahun 1517.
Tiga tahun setelah hancurnya Baghdad, pada 1260, khilafah Abbasiyah diteruskan
kembali di Mesir, di bawah perlindungan sultan-sultan Mameluk. Namun khalifah
tinggal simbolis saja, sebab yang sesungguhnya berkuasa adalah sultan-sultan
Mameluk itu. Walau demikian negara ini masih bertahan hingga hampir tiga abad.
Secara tatanegara, sultan Mameluk di Mesir
sesungguhnya hanyalah gubernur di dalam khilafah. Mereka mendapat legitimasi
kuat karena berhasil mengalahkan dan mengusir pasukan Tartar pada 1261 di Ain
Jalut. Namun di akhir abad 15, popularitas sudah kalah di bawah gubernur Islam
yang lain, yaitu para Sultan Turki di Anatolia, yang pada 1453 telah membuka
Konstantinopel. Akhirnya, ketika pusat imperium di Mesir tidak bisa
dipertahankan lagi, tampuk kepemimpinan imperium berpindah ke dinasti
Utsmaniyah di Turki pada 1517.
Dinasti Utsmaniyah diberi nama dari pendirinya yaitu Utsman pada 1299. Imperium ini mencapai legitimasi dunianya setelah mendapatkan perpindahan kekhilafahan dari Abbasiyah di Mesir, meski mereka tidak menggunakan gelar Khalifah sebagaimana sebelumnya. Namun, pada 3 Maret 1924, Inggris tetap menyebut peristiwa pengusiran penguasa terakhir Utsmaniyah sebagai pembubaran khilafah (The Abolish of Caliphate).
Seperti imperium yang lain, imperium Utsmaniyah
juga mencapai puncak kejayaannya di abad-abad awalnya. Mereka praktis menjadi
adi kuasa dunia yang disegani lawan dan dihormati kawan. Kemunduran baru
terjadi pada abad 18, setelah dakwah dan jihad tidak lagi ditekuni dengan
serius, sehingga terjadi kemunduran di segala bidang. Bandul sejarah kemudian
berubah total ketika di Eropa terjadi revolusi pemikiran, revolusi Perancis
(1789) yang disusul dengan revolusi industri di Inggris dan seluruh negeri di
Eropa, dan kemudian Amerika Serikat. Akhirnya Imperium Utsmaniyah runtuh setelah
terseret dalam Perang Dunia I, setelah rakyatnya yang multi-entnis sebelumnya
dipecahbelah dengan sentimen nasionalisme.
Analisis atas Imperium Islam
Secara umum kehidupan rakyat di seluruh imperium
ini relatif lebih baik dari pada dunia di luar khialfah. Inilah yang
menyebabkan mereka yang keluar negeri selalu dihormati karena dianggap
representasi dari suatu negara yang hebat. Mungkin sama dengan turis dari
Jerman yang datang ke negeri muslim saat ini – dianggap hebat, karena berasal
dari negeri yang hebat.
Demikian pula ketika para pedagang muslim dari
imperium Islam datang ke Nusantara, berduyun-duyun raja-raja Hindu dan Budha
menjadikan mereka penasehat, sampai akhirnya di Nusantara bermunculan
kesultanan-kesultanan Islam.
Jejak tiga imperium ini masih bisa dilihat
hingga sekarang. Masjid Umayyah masih berdiri tegak di Damaskus. Berbagai
observatorium bintang yang didirikan khilafah Abbasiyah masih tegak di berbagai
tempat di Iran dan Irak – kecuali yang sudah dibom oleh pasukan AS sejak invasi
ke Irak tahun 2003. Demikian juga di Turki masih berceceran peninggalan sejarah
sebuah imperium besar. Masjid Sultan Ahmet yang menjadi icon Istanbul adalah
bukti penguasaan teknologi konstruksi yang sangat hebat ketika itu.
Tentang kehidupan rakyat mereka, dapat dibaca
dari laporan-laporan perjalanan musafir barat, seperti catatan Marcopolo (abad
13). Wilayah imperium Islam terkenal dengan kerapihan dan kebersihannya,
pelayanannya terhadap orang sakit – sekalipun orang asing, level pendidikannya
yang tinggi – padahal bebas biaya. Kehidupan seperti itu terus berjalan
berabad-abad tanpa terganggu dengan hiruk pikuk politik. Secara logika juga
mustahil berdiri sebuah negara yang kuat, tanpa di dalamnya ada masyarakat yang
solid mendukungnya, karena diberikan keadilan dan kesejahteraan.
Ini artinya, fenomena tragedi atas beberapa
penguasa (fitnah, pembunuhan) hanya terjadi di kalangan elit, namun siapapun
penguasa Islam itu, mereka sangat serius dalam mengurusi rakyatnya.
Di Nusantara, pengaruh tiga imperium ini
berjalan berangsur-angsur. Kontak pertama sudah terjadi di zaman Umayyah. Namun
kontak yang intensif, hingga penempatan pejabat penting baru terjadi setelah
zaman Utsmaniyah, antara lain berupa penempatan seorang laksamana di Aceh
(diberi nama “Gubernur Turki”) untuk membantu Aceh menghadapi Portugis di selat
Malaka. Faktanya, banyak sekali sultan-sultan di Nusantara yang baru percaya
diri setelah mendapat pengakuan dari Syarif Makkah – yakni gubernur Khilafah
yang ditugaskan mengurusi kota Makkah. Pada umumnya sultan-sultan itu bertemu
dengan Syarif Makkah pada saat ibadah haji.
Memang secara bahasa tidak ada satu negarapun
yang diceritakan di atas yang menamakan diri “Negara Islam”? Negara Islam ada
dalam substansi – yakni negara yang hukumnya bersumber dari Kitabullah dan
Sunnah Rasul, dan keamanannya semata-mata di tangan kaum muslimin. Negara ini
bukan negara bangsa dan juga bukan negara agama. “Negara Islam” adalah
terminologi ideologis, seperti kita menyebut “Negara Demokrasi”. Jadi ia bukan
nama sebuah negara. Penguasa imperium Islam menyebut dirinya khalifah, amirul
mu’minin, atau sultan – karena penggunaan istilah-istilah ini adalah mubah. Dan
semuanya menggambarkan bahwa mereka mengemban tugas untuk menerapkan hukum
Islam serta menyebarkan dakwah ke seluruh dunia. Di dalam imperium Islam hidup
berbagai bangsa (etnis) dan berbagai pemeluk agama dengan damai. Orang-orang
Nasrani, Yahudi, Majusi, Hindu, dan kafir lainnya tidak dipaksa masuk Islam,
namun mereka didakwahi dengan diberi contoh yang baik, dan diperlakukan adil
berdasarkan syariah Islam.
Fakta-fakta ini harus dihidupkan dan diceritakan
kepada anak-cucu kaum muslimin, agar mereka sadar, bahwa Islam pernah
mengantarkan kepada kemuliaan, dan mereka adalah pewaris-pewaris orang-orang
mulia. Kakek-kakek mereka adalah Umar bin Khattab, Harun al Rasyid,
al-Mu’tashim Billah, Salahuddin al-Ayyubi, Mehmet al Fatih, Sulaiman al-Qanuni
dan sebagainya.
Mereka harus merebut kembali kemuliaan itu dengan membangun kembali penyebab kemuliaan itu. Kemuliaan itu terjadi karena mereka meyakini aqidah Islam, kemudian menerapkan syariah dalam wadah khilafah, kemudian melakukan dakwah dan jihad fi sabilillah.
Pada abad-21 ini, dunia sudah sekarat.
Imperium-imperium lain yang menggantikan khilafah terbukti tidak mampu menjadi
sumber rahmat bagi seluruh alam. Belum ada tiga abad, tanda-tanda kiamat sudah
semakin dekat. Kiamat dalam arti kehancuran ekosistem, kehancuran generasi, dan
kehancuran hubungan antar manusia. Karena itu, menjadi tugas sejarah bagi kaum muslimin
untuk kembali mengantarkan yang telah dinubuwatkan Rasulullah, “…. Bahwa
setelah itu akan ada lagi khilafah (uni national country) yang didirikan sesuai dengan metodeku”.
Dan jika umat Islam meyakini keniscayaan tibanya
saat tersebut, sejumlah ilmuwan Barat dengan analisis ilmiahnya menyatakan
bahwa munculnya kembali imperium Islam adalah salah satu dari empat kemungkinan
yang akan terjadi pada 2040. Wallahu a’lam. □ [Oleh Dr. Fahmi Amhar, Dosen
Pascasarjana Universitas Paramadina]
Sumber:
Diakses dari: banihamzah-wordpress-com□□□