Friday, May 20, 2016

Hikmah Isra’ Mi’raj 2








ISRA’ - MI’RAJ (2)
Oleh: A. Faisal Marzuki


Hikmah Isra’ Mi’raj

P
erintah shalat dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw, kemudian menjadi ibadah wajib bagi setiap umat Islam dan memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan ibadah-ibadah wajib lainnya. Sehingga, dalam konteks spiritual-imaniah maupun perspektif rasional-ilmiah, Isra’ - Mi’raj merupakan kajian yang tak kunjung kering inspirasi dan hikmahnya bagi kehidupan umat beragama (Islam).

Bersandar pada alasan inilah, Imam Al-Qusyairi yang lahir pada tahun 376 Hijriyah, melalui buku yang berjudul asli ‘Kitab al-Mi’raj’, berupaya memberikan peta yang cukup komprehensif seputar kisah dan hikmah dari perjalanan agung Isra’ - Mi’raj Nabi Muhammad saw, beserta telaahnya. Dengan menggunakan sumber primer, berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist-Hadits shahih, Imam Al-Qusyairi dengan cukup gamblang menuturkan peristiwa fenomenal yang dialami Nabi saw itu dengan runtut.

Selain itu, buku ini juga mencoba mengajak pembaca untuk menyimak dengan begitu detail dan mendalam kisah sakral Rasulullah saw, serta rahasia di balik peristiwa luar biasa ini, termasuk mengenai mengapa Mi’raj di malam hari? Mengapa harus menembus langit? Apakah Allah swt  berada di atas? Mu’jizatkah Mi’raj itu hingga tak bisa dialami orang lain? Ataukah ia semacam wisata ruhani Rasulullah saw yang patut kita teladani?

Bagaimana dengan Mi’raj para Nabi yang lain dan para wali? Bagaimana dengan Mi’raj kita sebagai Muslim? Serta apa hikmahnya bagi kehidupan kita? Semua dibahas secara gamblang dalam buku itu.

Dalam pengertiannya, Isra’ - Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul saw. Sehingga peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah saw. John Renerd dalam buku “In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” seperti pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra’ - Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah saw, selain perjalanan Hijrah (dari Makkah ke Yatrib kemudian disebut Madinah) dan Haji Wada. Isra’ - Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.

Jika perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun 662 menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Makkah, maka Isra’ - Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju Sang Pencipta (Al-Khalik). Isra’ - Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.

Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Dr Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen penting dari peristiwa Isra’ - Mi’raj yakni ketika Rasulullah saw “berjumpa” dengan Allah swt. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasulullah saw berkata, “attahiyatul mubārakātush shalawatuth thayyibatulillāh” - “Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah swt pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullāhi wabarakātuh”.

Mendengar percakapan ini, para malaikat serentak mengumandangkan dua kalimah syahadat. Maka, dari ungkapan bersejarah inilah kemudian bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari bacaan shalat.

Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah saw saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat yang di jalankan umat Islam sehari-hari. Dalam artian bahwa shalat adalah Mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang merahnya, ada beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah saw ini.

Pertama, adanya penderitaan dalam perjuangan yang disikapi dengan kesabaran yang dalam. Kedua, kesabaran yang berbuah balasan dari Allah berupa perjalanan Isra’ - Mi’raj dan perintah shalat. Ketiga, shalat menjadi senjata bagi Rasulullah saw dan kaum Muslimin untuk bangkit dan merebut kemenangan.

Ketiga hal diatas telah terangkum dengan sangat indah dalam salah satu ayat Al-Qur’an, yang berbunyi yang artinya: (45) Dan mohonlah (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (45) (yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS Al-Baqarah 2:45,46)

Mengacu pada berbagai aspek diatas, buku setebal 178 halaman ini setidaknya sangat menarik, karena selain memberikan bingkai yang cukup lengkap tentang peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi saw, tetapi juga memuat Mi’raj-nya beberapa Nabi yang lain serta beberapa wali. Kemudian kelebihan lain dalam buku ini adalah dipaparkan juga mengenai kisah Mi’raj-nya Abu Yazid al-Bisthami. Mi’raj bagi ulama kenamaan ini merupakan rujukan bagi kondisi, kedudukan, dan perjalanan ruhaninya menuju Allah swt.

Ia menggambarkan rambu-rambu jalan menuju Allah swt, kejujuran dan ketulusan niat menempuh perjalanan spiritual, serta keharusan melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah swt. Maka, sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika perjalanan Hijrah menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Makkah, maka Isra - Mi’raj menjadi “puncak” perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan ruhani.

Isra’ - Mi’raj juga merupakan suatu peristiwa besar yang sekarang oleh sains dan teknologi diakui, karena ternyata memang demikianlah yang bisa terjadi bahwa Rasulullah saw benar-benar bergerak dari Makkah ke Palestina, dan kemudian diteruskan ke Sidratul Muntaha hanya dalam waktu tidak sampai satu malam. Sudut pandang ilmiahnya bahwa ini adalah peristiwa fenomenal dan kontroversial. Fenomena sejarah bahwa peristiwa ini belum pernah terjadi dan diyakini takkan pernah terjadi lagi.


Peristiwa Sangat Fenomenal Dari Segi Sejarah

Peristiwa Isra' - Mi'raj sangat fenomenal dari segi sejarah, karena sebelumnya tak pernah terjadi pada manusia. Sebelum Nabi Muhammad saw memang pernah terjadi pada benda. Benda tersebut bisa berpindah tempat dari satu tempat ke tempat yang jauh dalam tempo sepersekian detik saja. Itulah peristiwa berpindahnya singgasana Ratu Balqis dari Kerajaan Saba ke Kerajaan Nabi Sulaiman as. Waktu itu Nabi Sulaiman as bertanya kepada para stafnya yang ketika itu memang sengaja dikumpulkan olehnya. Nabi Sulaiman as mengatakan kepada para stafnya untuk melakukan suatu kejutan terhadap Ratu Balqis yang ketika itu sedang menuju ke kerajaan Nabi Sulaiman as. Ternyata Nabi Sulaiman as ingin memindahkan singgasana Ratu Balqis ke kerajaannya. Nabi Sulaiman as bertanya kepada para stafnya siapa yang bisa melakukan hal tersebut.

Yang mengajukan diri pertama kali adalah Jin Ifrit. Ditanya oleh Nabi Sulaiman as berapa lama ia bisa memindahkannya. Dijawab oleh Jin Ifrit bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman as berdiri dari tempat duduknya dijamin singgasana itu sudah sampai di hadapannya. Tentunya hal ini sangat cepat, tapi ternyata Nabi Sulaiman as belum puas akan hal tersebut.

Kemudian Nabi Sulaiman as bertanya lagi kepada para stafnya siapa yang bisa lebih cepat melakukan hal tersebut. Yang mengajukan diri kemudian ternyata adalah seorang manusia, yaitu manusia yang menguasai ilmu dari Al-Kitab. Orang itu kemudian ditanya oleh Nabi Sulaiman as berapa lama ia bisa melakukannya. Dijawab oleh orang itu bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman as berkedip lagi. Ternyata memang benar adanya, sebelum Nabi Sulaiman as berkedip, singgasana Ratu Balqis sudah berada di hadapannya. Satu kedipan mata berarti waktunya kurang dari satu detik. Berkaitan dengan Isra’ - Mi’raj, ternyata perjalanan Nabi Muhammad saw tersebut terjadi dalam waktu tidak sampai satu kedipan mata pun.


Peristiwa Sangat Fenomenal Dari Segi Sains.

Untuk menjelaskan Isra’ - Mi’raj, ternyata kita harus menggali ilmu-ilmu mutakhir. Kalau ilmu-ilmu lama mungkin tak cukup untuk menjelaskan peristiwa Isra’ - Mi’raj. Sehingga di zaman itu orang memersepsikan bahwa Nabi Muhammad saw melakukan perjalanan Isra’ - Mi’raj dengan mengendarai Buraq. Buraq itu kemudian ada yang menggambarkan bentuknya seperti kuda yang bersayap, ada juga yang menggambarkan bahwa kepala Buraq itu menyerupai manusia, bahkan ada juga yang menggambarkan kepala Buraq itu berupa wanita cantik. Pemikiran seperti ini tentunya khas abad pertengahan, karena perjalanan tercepat ketika itu adalah dengan mengendarai kuda. Tapi kuda pun tak bisa secepat itu. Karena itu digambarkanlah kuda itu bersayap.

Dengan pendekatan secara saintifik dapatlah dijelaskan bahwa sebenarnya perpindahan Rasulullah saw dari satu tempat ke tempat lain pada peristiwa Isra’ - Mi’raj itu terjadi secara cahaya. Peristiwa Isra’ Mi’raj ini tentunya kontroversial hampir 1500 tahun di kalangan agamawan maupun para saintis karena memang sulit menjelaskannya. Selalu ada yang tidak percaya, ragu-ragu, dan ada juga yang meyakininya sejak masa hidupnya Rasulullah saw hingga kini. Yang ragu-ragu sampai sekarang tentunya masih ada, bahkan di kalangan umat Islam sendiri. Ketika ditanya apakah perjalanan Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Al-Quds di Palestina itu dengan badannya atau bukan. Ada yang mengatakan bahwa itu hanya penglihatan saja. Ada juga yang mengatakan bahwa itu hanya ruh saja. Ada yang mengatakan itu hanya mimpi. Dan ada yang mengatakan bahwa peristiwa itu memang dialami Nabi Muhammad saw dengan badannya.

Yang meyakini bahwa peristiwa Isra’ - Mi’raj itu dialami Nabi Muhammad saw dengan badannya adalah mengacu kepada Abu Bakar Shiddiq ra. Ketika itu Abu Bakar ditanya apakah dia meyakini peristiwa tersebut. Lalu ditanyakan oleh Abu Bakar ra kepada yang bertanya itu siapa yang menceritakan hal tersebut. Dijawab oleh yang bertanya kepada Abu Bakar ra itu bahwa yang menceritakan hal tersebut adalah Nabi Muhammad saw. Dikatakan oleh Abu Bakar, bahwa kalau Nabi Muhammad saw yang menceritakannya, maka ia meyakininya, karena Nabi Muhammad saw tak pernah berdusta.

Cara Abu Bakar ra memersepsi mengenai Isra’ - Mi’raj ini oleh sebagian kalangan dinyatakan bahwa beragama itu tak perlu berpikir. Padahal jika dicermati bahwa sebenarnya ketika itu Abu Bakar ra berpikir dahulu, karena ia menanyakan bahwa siapakah yang menceritakan hal tersebut. Kalau memang Nabi Muhammad saw yang menceritakannya, maka ia meyakini kebenaran yang diceritakan oleh Nabi Muhammad saw itu. Tapi kalau yang menceritakannya bukan Nabi Muhammad saw tentunya Abu Bakar ra takkan langsung meyakini kebenaran cerita tersebut. Jadi dalam beragama memang kita harus berpikir, janganlah ikut-ikutan saja. Perintahnya sangat jelas di dalam Al-Qur’an yang artinya: Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isrā’ 17: 36)


Logika Keputusasaan Isra'- Mi'raj

Selama ini dalam menceritakan Isra’ - Mi’raj kalau kita sudah buntu, maka kita katakanlah bahwa kalau Allah swt menghendaki, maka semuanya bisa saja terjadi. Kita takkan mendapatkan pelajaran apa-apa dengan cara berpikir seperti ini. Padahal peristiwa apapun yang diturunkan oleh Allah swt, maka di dalamnya selalu ada pelajaran untuk kita. Allah swt berfirmanyang artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal (Ulil Albab). (QS Āli ’Imrān 3:190)

Kita diperintahkan untuk menjadi Ulil Albab, yaitu orang yang menggunakan akalnya memahami segala peristiwa, sehingga ada pelajaran dari setiap peristiwa tersebut.


Skenario Isra' - Mi'raj dan Tafsir Fisik

Perjalanan Isra’ - Mi’raj itu terdiri dari dua etape. Satu etape mendatar (horizontal), sedangkan satunya lagi adalah etape vertikal ke langit ketujuh. Etape mendatarnya diceritakan di dalam surah Al-Isrā’ ayat pertama yang artinya: Maha Suci (Allah), yang telah memerjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS al-Isrā’ 17:1)

Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11), setidak-tidaknya ada delapan kata kunci yang menjadi catatan penting dan menuntut pemahaman kita menembus batas-batas langit untuk menafsir perjalanan kontroversial ini. Baiklah, jika kita mencoba untuk menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi seperti ini:

Pertama, ayat ini dimulai dengan kata subhānalladzī. Kata subhānallāh diajarkan kepada kita untuk diucapkan pada saat kita menemui peristiwa yang menakjubkan, yang memesona, yang hebat, yang luar biasa. Artinya, dengan memulai cerita itu menggunakan kata subhānalladzī sebenarnya Allah menginformasikan bahwa cerita yang akan diceritakan tersebut bukanlah cerita yang biasa, melainkan cerita tersebut adalah cerita yang luar biasa dan menakjubkan.

Kedua, yaitu kata asrā. Penggunaan kata asrā memiliki beberapa makna. Yang pertama bahwa itu adalah perjalanan berpindah tempat. Jadi penggunaan kata ini mengcounter pemahaman ataupun kesimpulan yang menyatakan bahwa pada perjalanan tersebut Rasulullah saw tidak berpindah tempat. Yang kedua maknanya bahwa pada perjalanan itu Rasulullah saw diperjalankan, bukanlah berjalan sendiri, dan bukan juga atas kehendak sendiri, karena peristiwa ini terlalu dahsyat untuk bisa dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw.

Ketiga, yaitu kata ’abdihi yang artinya adalah hamba Allah. Hamba terhadap majikan adalah seorang yang tak berani membantah, taat, seluruh hidupnya diabdikan untuk majikannya, untuk Tuhannya. Yang bisa mengalami perjalanan hebat ini bukanlah manusia yang kualitasnya sembarangan, melainkan manusia yang kualitasnya sudah mencapai tingkatan hamba Allah, yaitu manusia seperti Nabi Muhammad saw. Karena itulah, kita mungkin tidak bisa menerima ketika Nabi Muhammad saw digambarkan mendapat perintah shalat 50 waktu, kemudian beliau menawar perintah tersebut kepada Allah swt. Anjuran tawar-menawar itu datangnya dari Nabi Musa as yang menurut pengalaman dengan umatnya yang begitu keras dan alot serta suka membantah. Jadi kalau diterima, di kemudian hari menjadi masalah. Digambarkan bahwa tawar-menawar itu terjadi hingga sembilan kali Nabi Muhammad saw bolak-balik menemui Allah swt, yang akhirnya perintah shalat fardu yang diterima Nabi Muhammad saw menjadi lima waktu sehari semalam. Boleh jadi Rasullullah saw tidak masalah, tapi kan juga untuk umat, apalagi umat masa mendatang, seperti sekarang ini. Tentang hal ini Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana, dan telah pula memperkenankan permohonan Rasul saw.

Keempat, yaitu kata laylan yang artinya adalah perjalanan malam di waktu malam. Hal ini menunjukkan sebagai penegasan bahwa perjalanan malam itu tidak sepanjang malam, melainkan cuma sebagian kecil dari malam. Sehingga diriwayatkan di beberapa Hadits, bahwa ketika Rasulullah saw berangkat dari rumah meninggalkan pembaringan, kemudian menuju ke Masjidil Haram, dan kemudian terjadi peristiwa Isra’ - Mi’raj tersebut. Ketika Rasulullah saw kembali lagi ke rumahnya, ternyata pembaringannya masih hangat. Hal ini menunjukkan bahwa ketika itu beliau tidak lama meninggalkan rumahnya. Di Hadits yang lain juga diceritakan, bahwa ketika Rasulullah saw meninggalkan rumahnya, beliau menyenggol tempat minumnya kemudian tumpah, dan ternyata ketika Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, air dari tempat minum yang disenggolnya itu masih menetes. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya Isra’ - Mi’raj yang dialami Rasulullah saw itu berlangsung dalam waktu yang sebentar dan cepat.

Bayangkanlah, perjalanan semalam saja masih sulit diterima, apalagi perjalanan yang hanya sekejap yang itu mungkin hanya beberapa menit, atau mungkin hanya beberapa detik.

Kelima, minal masjidil harāmi ilal masjidil aqshā - dari Masjidil Haram (di Makkah) ke Masjidil Aqsa (di Baitul Maqdis). Mengapa perjalanan Rasulullah saw ini dari masjid ke masjid? Mengapa pula tidak dari rumahnya atau dari Gua Hira ke tujuan lain yang bukan masjid - dari tempat yang bukan masjid ke tempat lain yang bukan masjid juga?

Patut diketahui, bahwa masjid adalah tempat yang menyimpan energi positif sangat besar. Dengan kamera aura yang bisa memfoto dan memvideokan sesuatu, jika ada orang yang sedang berzikir ataupun membaca Al-Qur’an, ternyata orang tersebut memancarkan cahaya yang terang benderang. Berbeda halnya dengan orang yang sedang marah, depresi, ataupun stress, maka orang tersebut akan memancarkan cahaya berwarna merah. Warna aura ini bertingkat, yaitu dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, sampai warna putih. Setiap kita memancarkan energi. Akan terpancar energi dari setiap aktivitas yang kita lakukan, dan energi itu menancap di tempat kita berada ketika itu. Energi itu membekas, sehingga seluruh aktifitas kita akan terekam. Allah berfirman yang artinya: Tidak ada suatu kata yang ucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (QS Qāf 50:18)

Raqib dan Atid kemudian dijadikan sebagai nama malaikat yang mencatat amal kebaikan dan keburukan. Rekaman tersebut di ruang tiga dimensi, dan suatu ketika akan diputar lagi. Allah swt berfirman yang artinya: Sungguh, kamu dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam. (QS Qāf 50:22)

Di pengadilan akhirat itu, manusia akan bisa melihat seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia.

Masjid mengandung energi positif sangat besar, terutama masjid yang sering digunakan sebagai tempat beribadah. Semakin sering, semakin banyak, dan semakin khusyu’, maka energinya akan semakin besar. Rasulullah saw berangkat dari masjid menuju ke masjid. Terminal keberangkatannya di masjid.

Keenam, bāraknā hawlahū - yang telah Kami berkahi sekelilingnya. Allah memberkati sepanjang perjalanan itu, hal ini karena perjalanan itu memang membahayakan. Dengan keberkahan Allah kondisi Nabi saw tetap membaik.

Ketujuh, linuriyahū min āyātinā - agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Dalam perjalanan Isra’ -  Mi’raj ketika itu Rasulullah saw ditunjukkan berbagai peristiwa. Mengapakah bisa seperti itu, sedangkan itu adalah waktu yang sangat singkat. Itulah yang disebut sebagai relativitas waktu, yaitu ada perbedaan waktu antara orang yang berkecepatan tinggi dengan orang yang berkecepatan rendah. Kita mengetahui, bahwa antara orang yang tidur dengan orang yang sadar (terjaga) itu waktunya berbeda. Misalnya, ada yang tiba-tiba terlelap tidur yang itu hanya sebentar (mungkin hanya beberapa detik), lalu yang tertidur itu dibangunkan. Yang tertidur itu pun terbangun, lalu ia bercerita baru saja ia bermimpi. Ceritanya itu begitu panjang, seakan-akan mimpinya itu sangat lama, padahal ia hanya tertidur beberapa detik saja. Begitupun dengan Rasulullah saw, meskipun perjalanan yang dialaminya itu hanya berlangsung sepersekian detik, tetapi beliau ditampakkan berbagai macam peristiwa oleh Allah swt. Hal ini karena yang memberjalankan Rasulullah saw adalah Allah swt yang tak lain adalah ‘Zat’ Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat serta Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kemahamendengaran dan Kemahamelihatan Allah itu ditularkan kepada Nabi Muhammad saw (karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya), sehingga kemampuan Rasulullah saw untuk melihat dan mendengar menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Kedelapan, kata kunci yang terakhir (kedelapan) adalah innahū huwas samī’ul bashīr - sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Allah ingin memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia (Allah) ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari Allah swt, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat serta Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).

Selanjutnya mengenai Mi’raj diceritakan dalam Al-Qur’an Al-Karim pada Surah An-Najm yang artinya: (14) (yaitu) di Sidratil Muntahā, [1] (15) di dekatnya ada surga tempat tinggal, (16) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntahā diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, (17) Penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (18) Sungguh, dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS An-Najm 53:14-18)

Di dekat Sidratul Muntaha, Rasulullah saw menyaksikan Surga. Tentunya tidak sembarangan orang yang bisa menyaksikan Surga, karena sudut pandangnya harus tertinggi di alam semesta ini. Dari dunia tidak kelihatan, kalaupun kelihatan hanya sebagian. Jadi, kalau kita merasakan kebahagiaan, maka hal itu mungkin kita telah mendapatkan kebahagiaan Surga, namun hanya sedikit sekali perbandingannya, mungkin bagaikan setetes air dibandingkan dengan samudera, itu pun setetes airnya dibagi lagi tak berhingga. Sebaliknya kalau kita menderita, maka itu adalah penderitaan neraka, namun skalanya tak berhingga.

Lantas ke manakah Rasulullah saw melanglang buana? Menyeberangi langit ataukah beliau langsung masuk ke Sidratul Muntaha yang ilmu pengetahuan sains tidak tahu persis di mana letaknya.

Betapa besarnya langit angkasa semesta. Apakah langit? Langit adalah seluruh ruangan alam semesta ini. Matahari dikelilingi oleh planet-planet, bumi tempat kita tinggal adalah termasuk salah satu planet yang mengitari matahari. Matahari yang tadinya kelihatan besar, semakin jauh kita lihat maka semakin kecil. Ketika matahari yang kita terlihat itu semakin kecil, maka biasanya kita tidak lagi menyebutnya matahari, melainkan kita menyebutnya bintang. 

Matahari itu ternyata demikian banyaknya, seluruh bintang-bintang itu sebenarnya adalah matahari. Diperkirakan jumlahnya trilyunan. Matahari-matahari (bintang-bintang) itu bergerombol membentuk galaksi. Galaksi adalah gerombolan matahari (bintang), di tengahnya ada matahari yang lebih besar, dan di sekitarnya ada sekitar 100 milyar matahari (bintang). 

Bintang-bintang itu bergerombol mengitari pusatnya membentuk suatu galaksi. Galaksi tempat bumi dan matahari kita berada adalah galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada galaksi Andromeda yang isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari. Galaksi-galaksi itu diperkirakan trilyunan jumlahnya. Para ahli astronomi bahkan sampai kehabisan nama untuk menyebut galaksi karena saking banyaknya.

Galaksi-galaksi itu ternyata bergerombol-gerombol lagi membentuk gerombolan yang lebih besar yang dinamakan sebagai supercluster. Isinya diperkirakan 100 milyar galaksi. Apakah supercluster adalah benda terbesar dan terjauh di alam semesta, hingga kini belum ada yang mengetahuinya.

Jarak bumi ke matahari adalah 150 juta kilometer. Kalau dilewati cahaya maka dibutuhkan waktu 8 menit. Jadi, kalau kita melihat matahari terbit yang sinarnya sampai ke mata kita, maka cahaya yang sampai ke mata kita itu sebetulnya bukanlah matahari sekarang, melainkan matahari 8 menit yang lalu. Cahaya matahari itu berjalan selama 8 menit barulah sampai ke mata kita. Sementara bintang kembar (Alpha Century) jaraknya dari bumi adalah 4 tahun perjalanan cahaya. Kalau kita melihat bintang kembar pada malam hari, maka sebetulnya itu bukanlah cahaya bintang kembar saat itu, melainkan bintang 4 tahun yang lalu. Di belakangnya lagi ada bintang yang berjarak 10 tahun perjalanan cahaya. Bayangkanlah kalau kita mau menuju bintang berjarak 10 tahun cahaya menggunakan pesawat tercepat yang dimiliki manusia, misalnya menggunakan pesawat ulang alik yang kecepatannya 20 ribu kilometer per jam. Apakah yang kemudian terjadi? Ternyata dibutuhkan waktu 500 tahun untuk sampai ke bintang tersebut.

Ternyata bumi kita ini bukanlah benda besar di alam semesta, melainkan benda yang sangat kecil. Di belakang bintang berjarak 10 tahun cahaya ada bintang berjarak 100 tahun cahaya, di belakangnya lagi ada yang berjarak 1000 tahun cahaya, yang berjarak 1 juta tahun cahaya, dan juga yang berjarak 1 milyar tahun cahaya. Yang terjauh diketahui oleh ilmuwan Jepang yaitu yang berjarak 10 milyar tahun cahaya. Jadi, bumi kita ini hanyalah sebutir debu di padang pasir alam semesta raya.

Jadi, manusia adalah debunya bumi, bumi debunya tata surya, tata surya debunya galaksi Bimasakti, galaksi Bimasakti debunya supercluster, supercluster debunya langit pertama, karena langit itu ada tujuh (sab’a samawāti). Ilmu astronomi hanya mengetahui langit itu satu, tapi Al-Qur’an mengatakan langit itu ada tujuh, karena menurut Al-Qur’an bahwa langit yang kita kenal itu yang banyak bintang-bintangnya barulah langit dunia (langit pertama). Allah swt berfirman yang artinya: Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia (yang terdekat) dengan hiasan bintang-bintang, [QS Ash-Shāffāt 37:6]

Sudah sedemikian besarnya langit pertama, ternyata langit pertama adalah debunya langit kedua, karena langit kedua itu besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit pertama. Langit ketiga besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit kedua. Begitu seterusnya setiap naik ke langit selanjutnya selalu tak berhingga kali besarnya dibandingkan langit sebelumnya, hingga langit ketujuh tak berhingga kali dibandingkan langit keenam, serta tak berhingga pangkat tujuh dibandingkan langit pertama.

Jadi, langit pertama adalah debunya langit kedua, langit kedua debunya langit ketiga, seterusnya hingga langit ketujuh, dan seluruh langit yang tujuh beserta seluruh isinya hanyalah debu atau lebih kecil lagi di dalam kebesaran Allah. Beginilah cara Al-Qur’an menggiring pemahaman kita tentang makna Allahu Akbar. Semestinya - menurut Al-Qur’an, bahwa belajar mengenal Allah swt itu adalah dari seluruh ciptaan-Nya. Dengan begitu kita akan mengetahui betapa Maha Besarnya Dia, betapa Maha Menyayangi, Maha Teliti, Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, tak cukup hanya dari lafaznya, karena kita takkan mendapatkan rasa yang sesungguhnya.

Bayangkanlah betapa Rasulullah saw melakukan perjalanan menuju langit ketujuh. Sebetulnya Rasulullah saw berjalan ke langit ketujuh itu apakah melintasi ruang angkasa atau tidak?

Kalaupun badan Rasulullah saw diubah menjadi cahaya, maka dari bumi menuju bintang Alpha Century yang berjarak 4 tahun cahaya, maka Rasulullah saw membutuhkan waktu 4 tahun untuk sampai ke bintang Alpha Century, untuk menempuh yang berjarak 10 tahun cahaya dibutuhkan waktu 10 tahun, untuk menempuh yang berjarak 10 milyar tahun cahaya dibutuhkan 10 milyar tahun. Sepertinya Rasulullah saw tidak melewati ruang angkasa, melainkan ada ruangan langsung yang tidak ke sana (tidak ke ruang angkasa) tetapi memahami semua itu. Di manakah itu?

Ternyata langit kedua terhadap langit pertama tidak bertumpuk seperti kue lapis (dalam konteks Mi’raj-nya Rasulullah saw). Sering kita berpendapat dari cerita-cerita klasik bahwa Nabi Muhammad saw dan malaikat Jibril as menuju ke langit ketujuh dengan cara naik menggunakan tangga, kemudian bertemu langit yang digambarkan seperti langit-langit, kemudian di situ ada pintunya dan ada penjaganya. Lalu Malaikat Jibril as dan Nabi Muhammad saw ditanya mau ke mana oleh si penjaga langit. Dijawab oleh Malaikat Jibril as dan Nabi Muhammad saw bahwa akan bertemu dengan Allah swt. Kalau begitu, berarti Allah swt itu jauh sekali. Padahal di dalam Al-Qur’an digambarkan bahwa Allah swt itu dekat, dan Nabi Muhammad saw mengetahui itu. Allah swt berfirman yang artinya: Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (QS Qāf 50:16)

Bahkan dinyatakan juga di dalam Al-Qur’an yang artinya: Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah 2:115)

Timur dan Barat milik Allah. Ke manapun kita menghadap, maka kita berhadapan dengan Allah swt, karena Allah swt sedang meliputi kita. Dan Rasulullah saw tahu persis akan hal itu. Jadi untuk bertemu Allah swt tak perlu ke Sidratul Muntaha. Dan memang Rasulullah saw ke Sidratul Muntaha bukanlah untuk menemui Allah swt, karena Allah swt sudah meliputi Rasulullah saw, juga meliputi kita semua di manapun kita berada. Bersambung ke (klik --->) Hikmah Isra’ Mi’raj 3. □ AFM



Catatan Kaki:
[1] Sidratil Muntahā yaitu tempat yang paling atas pada langit yang ke-7, yang telah dikunjungi Nabi saw ketika Mi’raj. □□

Blog Archive