Thursday, June 8, 2017

Isra’ Mi’raj





Pengantar

Barusan penulis dalam tengah membaca Kitab Suci Al-Qur’an sampai kepada juz 15, surah Al-Isra’ menarik perhatian penulis, karena mengingat peristiwa Isra’ Mi’raj yang terjadi di bulan Rajab hari 27 tahun ke-11 kerasulan Beliau atau 2 tahun sebelum penanggalan Hijriyah. Tahun 2017 ini jatuh pada tanggal 24 April, 1 ½ bulan yang lalu. Baru membaca ayat 1 tergugah hati penulis untuk mencoba mendalami mu’jizat, tafsir dan makna dari ayat itu.

Ayat 1 ini mengisahkan perjalanan Rasulullah saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang pada inti atau hakekatnya adalah “menjemput” perintah shalat lima waktu di langit yang tak ada lagi makhluk yang dapat mencapainya kecuali Rasulullah Muhammad saw, karena mu’jizat dari-Nya.

Untuk itu penulis membaca tafsir Buya Hamka dan tulisan T. Djamaluddin seorang doktor bidang Astronomi. Seperti yang dapat dibaca dibawah ini. Selamat menyimaknya. □ AFM



ISRA’ wa MI’RAJ
Mu’jizat, Tafsir dan Maknanya
Oleh A. Faisal Marzuki


Pendahuluan

D
alam memperingati Isra' wa Mi'raj sering kita diajak oleh pembicara pengajian akbar melanglang buana sampai ke langit, dan kadang-kadang dibumbui dengan analisis yang nampaknya berdasar sains. Sebenarnya yang diterangkannya aspek astronomis atau kosmologi sama sekali tidak ada dalam kajian Isra' Mi'raj-nya.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mendudukkan masalah Isra' dan Mi'raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur'an dan Hadits-Hadits sahih. Untuk itu pula akan diulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan Isra' wa Mi'raj dengan kajian astronomi oleh Dr. T. Djamaluddin. Sedang kajian Hadits dari yang tidak mempercai perjalan ini oleh kaum musyrikin Makkah terutama oleh Abu Jahal diambilkan dari Tafsir Al-Azhar Buya Hamka.

“Selayaknya makna penting Isra' wa Mi'raj yang mestinya kita tekankan yaitu perintah shalat 5 waktu ini”. Walaupun “cara” perjalanan ini sangat menakjubkan, diluar jangkauan pengetahuan biasa dan akal manusia yang terbatas ini. Terutama alam yang ada “dibalik” alam yang kita kenal sekarang ini melalui sains.


Kisah Isra’ yang tidak dipercayai oleh Musyrikin Makkah

Dalam sebuah Hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah saw shalat dulu di waktu Isya’ sebelum tidur. Setelah shalat barulah tidur. Setalah hari Subuh Rasul saw menceritakan kepada Ummi Hani’ binti Abu Thalib, salah seorang kerabat beliau, tentang kisah diperjalankannya dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis. Setelah mendengarkannya berkatalah Ummi Hani’: “Wahai Nabi Allah! Jangan engkau ceritakan hal ini kepada orang, nanti engkau didustakannya dan disakitinya.” Beliau menjawab: “Demi Allah! Mesti Aku ceritakan.” Maka pergilah beliau menceritakannya.

Rasuk saw pergi ke masjid. Di sana bertemu Abu Jahal. Lalu Abu Jahal bertanya sambil berolok: “Ada berita baru? Beliau menjawab: “Ada!” Kata Abu Jahal: “Apa?” Beliau jawab: “Saya diperjalankan tadi malam ke Baitul Maqdis. “Ke Baitul Maqdis?” Tanya Abu Jahal.

Ini tidak dapat dipercayainya, karena perjalan biasa dengan jalan kaki atau naik unta dari Makkah ke Palestina memakan waktu 40 hari. Kisah ini baru kisah Isra’ yaitu perjalan dari Makkah Al-Mukarramah ke Masjidl Aqsha, Palestina. Belum lagi dari Masjidil Aqsha ke Langit Sidratul Muntaha.

Ditengah kaum Quraisy Makkah bersama Abu Jahal Rasulullah saw menceritakan apa yang dilihat dan dialaminya, bahwa tadi dia di Baitul Maqdis, shalat disana. Mendengar itu orang-orang Quraisy Makkah bertepuk tangan, ada yang bersiul, sebagian mencemooh dan mendustakan berita yang tidak masuk akal mereka.

Selanjutnya cerita itu merembet dan pecahlah khabarnya di seluruh Makkah. Maka ada orang datang kepada Abu Bakar ra menceritakan apa yang di khabarkan Nabi itu. Maka kata Abu Bakar: “Kamu dustakankah itu? Kalau begitu ujar Abu Bakar yang ia katakan, benarlah yang dikatakan itu!

Orang Quraisy sampai bertanya: Kalau benar engkau baru saja kembali dari Baitul Maqdis (Palestina), adakah engkau melihat di jalan ‘irr (rombongan) kafilah perniagaan kami? Berapa ekor unta dan bagaimana keadaannya? Dengan tegas beliau jawab: “Rombongan itu sekarang berada tengan menuju pulang, sekian banyak orangnya, dan sekian banyak untanya.” Dilanjutkan lagi oleh beliau: “Hari ini ketika matahari terbit, sampailah robongan itu. Unta yang di muka sekali, putih warnanya.” Demikianlah penjeleasan beliau saw secara terperinci.

Maka hari yang beliau sebutkan itu, ada diantara mereka pergi menunggu keluar kota. Ada yang berkata: “Mana dia? Matahari sudah terbit. Mereka belum nampak!” Tiba-tiba temannya berkata: “Itu dia, sudah datang! Dimuka sekali unta berwarna putih!”

Demikian Kisah Isra’ dengan ringkas. Dan waktu itu pulalah beliau Mi’raj, yang di jelaskan dalam surah an-Najm surah ke-53, ayat 11 s/d 12 sebagai berikut “Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya. Maka apakah kamu (Musyrikin Makkah) hendak membantahnya apa yang dia lihat itu?


Kisah dalam Al-Qur'an dan Hadits

Di dalam Kitab Suci Al-Qur’an, surah Al-Isrā', Allah menjelaskan tentang Isra' yang artinya:

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad saw) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Isrā' 17:1)

Dan tentang Mi'raj Allah menjelaskan dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah Al-Isrā', Allah swt berfirman yang artinya:

"Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad saw) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada Syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (QS Al-Isrā' 53:13-18)

Sidratul Muntaha secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan Hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana Sidratul Muntaha itu.

Kejadian-kejadian sekitar Isra' wa Mi'raj dijelaskan di dalam Hadits-Hadits Nabi saw. Dari Hadits-Hadits yang sahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi saw, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah. Kemudian didatangkan Buraq, 'binatang' berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan Buraq itu Nabi melakukan Isra' dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina.

Nabi saw shalat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu; Nabi saw memilih susu. Kata malaikat Jibril, "Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau." Ini artinya, bahwa yang diceritakan Rasul ini bukanlah dalam keadaan mabuk akibat minuman khamr, melainkan dengan “kesadaran utuh”.

Dengan Buraq pula Nabi saw melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam as yang dikanannya berjejer para Ruh Ahli Surga dan di kirinya para Ruh Ahli Neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa as dan Nabi Yahya as. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf as. Nabi Idris as dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi saw bertemu dengan Nabi Harun as di langit ke lima, Nabi Musa as di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim as di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya Baitul Ma'mur, tempat 70.000 Malaikat shalat tiap harinya, setiap Malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.

Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari Sidratul Muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di Surga, dua sungai fisik (dzahir) di dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, "Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat engkau." Jibril mengajak Nabi saw melihat Surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi saw  melihat wujud Jibril yang sebenarnya.

Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib. Mulanya diwajibkan shalat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa as, Nabi saw meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi saw enggan meminta keringanan lagi, "Saya telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah." Maka Allah swt berfirman, "Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku."

Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma'mur sampai menerima perintah shalat tidak sama dalam beberapa Hadits, mungkin menunjukkan kejadian-kajadian itu serempak dialami Nabi saw. Dalam kisah itu, hal yang fisik (dzahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi saw yang pergi dengan badan fisik hingga bisa shalat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan ruh para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi saw dan pergi sampai ke Surga. Juga ditunjukkan dua sungai non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad saw, dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang Mu'min semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya sebagaimana Firman-Nya dalam Surah Al-Isrā' menyebutkan yang artinya.

"Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia". Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia...." [QS Al-Isrā’ 17:60].

Dalam sebuah Al-Hadits menyebutkan yang artinya:

"Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai saya (kata Nabi saw), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya dapatkan apa yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, saya memperhatikannya...." [HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya].


Hakikat Tujuh Langit

Peristiwa Isra' wa Mi'raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur'an.

Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan? Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samā' atau samāwāt) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.

Bilangan 'tujuh' sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur'an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah Allah swt menjanjikan yang artinya:

"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya....". (QS Al-Baqarah 2:261)

Juga di dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah Luqmān Allah swt berfirman yang artinya:

"Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah...." (QS Luqmān 31:27)

Jadi 'tujuh langit' lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.

Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, ... sampai langit ke tujuh dalam kisah Isra' wa Mi'raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya --termasuk bumi-- mengorbit jauh dari Matahari. Nah, orang mungkin akan berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit ke dua orbit Mars, ke tiga orbit Jupiter, ke empat orbit Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan ke tujuh Pluto. Kok, klop ya. Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid terjauh dalam (yang digambarkan) dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah Al-Isra’ ayat, ada di planet Pluto?

Dan Sidratul Muntaha adalah planet ke sepuluh yang tak mungkin terlampaui. Jadilah, Isra' wa Mi'raj dibayangkan seperti kisah Science Fiction, perjalanan antar planet dalam satu malam. Na'udzu Billah Mindzalik.

Saya berpendapat, pengertian langit dalam kisah Isra' dan Mi'raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi saw pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan ruh para Nabi. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah Isra' wa Mi'raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah saw yang berkesempatan mengetahuinya. Isra' wa Mi'raj adalah mu'jizat yang hanya diberikan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw.


Makna pentingnya

Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan Isra' wa Mi'raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali, QS Al-Isrā’ 17:85. Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa Isra' wa Mi'raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah saw. Rupanya, begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya, QS Al-Isrā’ 17:60 dan menyampaikan perintah shalat wajib secara langsung kepada Rasulullah saw.


Makna Isra’ Mi’raj

Makna penting Isra' wa Mi'raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah shalat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan shalat sebagai ibadah utama dalam Islam. Shalat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.

Shalat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan seperti dalam firman-Nya dalam Surah Al-‘Ankabūt yang artinya:

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [QS Al-‘Ankabūt 29:45]

Demikianlah uraian dari tema Isra’ wa Mi’raj. Semoga bermanfaat. Billāhit Taufiq wal Hidāyah. □ AFM


Kepustakaan:
1, Dr. Thomas Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari dan lingkungan antariksa, Lapan, Bandung. Lulus dari ITB (1986) kemudian masuk LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Bandung menjadi peneliti antariksa. Dan tahun 1988-1994 mendapat kesempatan tugas belajar program S2 dan S3 ke Jepang di Department of Astronomy, Kyoto University. Tesis master dan doktornya berkaitan dengan materi antar bintang dan pembentukan bintang.
(http://media.isnet.org/kmi/isnet/ Djamal/)

2. Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 15, Surah Al-Isra’ ayat 1, halalaman 7 s/d 11 □□

Blog Archive