Pengantar
Barusan penulis dalam tengah membaca Kitab
Suci Al-Qur’an sampai kepada juz 15, surah Al-Isra’ menarik perhatian penulis,
karena mengingat peristiwa Isra’ Mi’raj yang terjadi di bulan Rajab hari 27
tahun ke-11 kerasulan Beliau atau 2 tahun sebelum penanggalan Hijriyah. Tahun
2017 ini jatuh pada tanggal 24 April, 1 ½ bulan yang lalu. Baru membaca ayat 1
tergugah hati penulis untuk mencoba mendalami mu’jizat, tafsir dan makna dari
ayat itu.
Ayat 1 ini mengisahkan perjalanan
Rasulullah saw dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsa yang pada inti atau hakekatnya adalah “menjemput” perintah shalat
lima waktu di langit yang tak ada lagi makhluk yang dapat mencapainya kecuali
Rasulullah Muhammad saw, karena
mu’jizat dari-Nya.
Untuk itu penulis membaca tafsir Buya
Hamka dan tulisan T. Djamaluddin seorang doktor bidang Astronomi. Seperti yang
dapat dibaca dibawah ini. Selamat menyimaknya. □ AFM
ISRA’ wa MI’RAJ
Mu’jizat, Tafsir dan Maknanya
Oleh A. Faisal Marzuki
Pendahuluan
D
|
alam memperingati Isra' wa Mi'raj
sering kita diajak oleh pembicara pengajian akbar melanglang buana sampai ke
langit, dan kadang-kadang dibumbui dengan analisis yang nampaknya berdasar
sains. Sebenarnya yang diterangkannya aspek astronomis atau kosmologi sama
sekali tidak ada dalam kajian Isra' Mi'raj-nya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk
mendudukkan masalah Isra' dan Mi'raj sebagai mana adanya yang diceritakan di
dalam Al-Qur'an dan Hadits-Hadits sahih. Untuk itu pula akan diulas
kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan Isra' wa Mi'raj dengan
kajian astronomi oleh Dr. T. Djamaluddin. Sedang kajian Hadits dari yang tidak
mempercai perjalan ini oleh kaum musyrikin Makkah terutama oleh Abu Jahal
diambilkan dari Tafsir Al-Azhar Buya Hamka.
“Selayaknya makna penting Isra' wa Mi'raj
yang mestinya kita tekankan yaitu perintah shalat 5 waktu ini”. Walaupun “cara”
perjalanan ini sangat menakjubkan, diluar jangkauan pengetahuan biasa dan akal
manusia yang terbatas ini. Terutama alam yang ada “dibalik” alam yang kita
kenal sekarang ini melalui sains.
Kisah Isra’ yang tidak dipercayai oleh Musyrikin Makkah
Dalam sebuah Hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah
saw shalat dulu di waktu Isya’
sebelum tidur. Setelah shalat barulah tidur. Setalah hari Subuh Rasul saw menceritakan kepada Ummi Hani’ binti
Abu Thalib, salah seorang kerabat beliau, tentang kisah diperjalankannya dari
Masjidil Haram ke Baitul Maqdis. Setelah mendengarkannya berkatalah Ummi Hani’:
“Wahai Nabi Allah! Jangan engkau ceritakan hal ini kepada orang, nanti engkau
didustakannya dan disakitinya.” Beliau menjawab: “Demi Allah! Mesti Aku
ceritakan.” Maka pergilah beliau menceritakannya.
Rasuk saw pergi ke masjid. Di sana bertemu Abu Jahal. Lalu Abu Jahal
bertanya sambil berolok: “Ada berita baru? Beliau menjawab: “Ada!” Kata Abu
Jahal: “Apa?” Beliau jawab: “Saya diperjalankan tadi malam ke Baitul Maqdis.
“Ke Baitul Maqdis?” Tanya Abu Jahal.
Ini tidak dapat dipercayainya, karena
perjalan biasa dengan jalan kaki atau naik unta dari Makkah ke Palestina
memakan waktu 40 hari. Kisah ini baru kisah Isra’ yaitu perjalan dari Makkah
Al-Mukarramah ke Masjidl Aqsha, Palestina. Belum lagi dari Masjidil Aqsha ke
Langit Sidratul Muntaha.
Ditengah kaum Quraisy Makkah bersama
Abu Jahal Rasulullah saw menceritakan
apa yang dilihat dan dialaminya, bahwa tadi dia di Baitul Maqdis, shalat
disana. Mendengar itu orang-orang Quraisy Makkah bertepuk tangan, ada yang
bersiul, sebagian mencemooh dan mendustakan berita yang tidak masuk akal
mereka.
Selanjutnya cerita itu merembet dan pecahlah
khabarnya di seluruh Makkah. Maka ada orang datang kepada Abu Bakar ra menceritakan apa yang di khabarkan Nabi
itu. Maka kata Abu Bakar: “Kamu dustakankah itu? Kalau begitu ujar Abu Bakar
yang ia katakan, benarlah yang dikatakan itu!
Orang Quraisy sampai bertanya: Kalau
benar engkau baru saja kembali dari Baitul Maqdis (Palestina), adakah engkau
melihat di jalan ‘irr (rombongan)
kafilah perniagaan kami? Berapa ekor unta dan bagaimana keadaannya? Dengan
tegas beliau jawab: “Rombongan itu sekarang berada tengan menuju pulang, sekian
banyak orangnya, dan sekian banyak untanya.” Dilanjutkan lagi oleh beliau:
“Hari ini ketika matahari terbit, sampailah robongan itu. Unta yang di muka
sekali, putih warnanya.” Demikianlah penjeleasan beliau saw secara terperinci.
Maka hari yang beliau sebutkan itu, ada
diantara mereka pergi menunggu keluar kota. Ada yang berkata: “Mana dia?
Matahari sudah terbit. Mereka belum nampak!” Tiba-tiba temannya berkata: “Itu
dia, sudah datang! Dimuka sekali unta berwarna putih!”
Demikian Kisah Isra’ dengan ringkas.
Dan waktu itu pulalah beliau Mi’raj, yang di jelaskan dalam surah an-Najm surah
ke-53, ayat 11 s/d 12 sebagai berikut “Hatinya tidak mendustakan apa yang
dilihatnya. Maka apakah kamu (Musyrikin Makkah) hendak membantahnya apa yang
dia lihat itu?
Kisah dalam Al-Qur'an dan
Hadits
Di dalam Kitab Suci Al-Qur’an, surah Al-Isrā',
Allah menjelaskan tentang Isra' yang artinya:
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi
Muhammad saw) pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
(QS Al-Isrā' 17:1)
Dan tentang Mi'raj Allah menjelaskan
dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah Al-Isrā', Allah swt berfirman yang artinya:
"Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad saw) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu
yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada Syurga tempat
tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu
selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
(pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan)
Tuhannya yang paling besar." (QS Al-Isrā' 53:13-18)
Sidratul Muntaha secara harfiah berarti
'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak seorang
manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang
tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam
Al-Qur'an dan Hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana Sidratul Muntaha
itu.
Kejadian-kejadian sekitar Isra' wa Mi'raj
dijelaskan di dalam Hadits-Hadits Nabi saw.
Dari Hadits-Hadits yang sahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu
hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi saw, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya
dengan iman dan hikmah. Kemudian didatangkan Buraq, 'binatang' berwarna putih
yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan Buraq itu Nabi melakukan Isra'
dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina.
Nabi saw shalat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril
segelas khamr (minuman keras) dan
segelas susu; Nabi saw memilih susu.
Kata malaikat Jibril, "Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau." Ini artinya,
bahwa yang diceritakan Rasul ini bukanlah dalam keadaan mabuk akibat minuman khamr, melainkan dengan “kesadaran utuh”.
Dengan Buraq pula Nabi saw melanjutkan perjalanan memasuki
langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam as
yang dikanannya berjejer para Ruh Ahli Surga dan di kirinya para Ruh Ahli Neraka.
Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua
dijumpainya Nabi Isa as dan Nabi
Yahya as. Di langit ke tiga ada Nabi
Yusuf as. Nabi Idris as dijumpai di langit ke empat. Lalu
Nabi saw bertemu dengan Nabi Harun as di langit ke lima, Nabi Musa as di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim as di langit ke tujuh. Di langit ke
tujuh dilihatnya Baitul Ma'mur, tempat 70.000 Malaikat shalat tiap harinya,
setiap Malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul
Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari Sidratul Muntaha
dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di Surga, dua
sungai fisik (dzahir) di dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril
membawa tiga gelas berisi khamr,
susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, "Itulah
(perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat engkau." Jibril mengajak
Nabi saw melihat Surga yang indah.
Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha
itu pula Nabi saw melihat wujud Jibril yang sebenarnya.
Puncak dari perjalanan itu adalah
diterimanya perintah shalat wajib. Mulanya diwajibkan shalat lima puluh kali
sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa as,
Nabi saw meminta keringanan dan
diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima
kali sehari semalam. Nabi saw enggan
meminta keringanan lagi, "Saya telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini
saya rela dan menyerah." Maka Allah swt
berfirman, "Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas
hamba-Ku."
Urutan kejadian sejak melihat Baitul
Ma'mur sampai menerima perintah shalat tidak sama dalam beberapa Hadits,
mungkin menunjukkan kejadian-kajadian itu serempak dialami Nabi saw. Dalam kisah itu, hal yang fisik
(dzahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di
dalamnya. Nabi saw yang pergi dengan
badan fisik hingga bisa shalat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang
ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan
ruh para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi saw dan pergi sampai ke Surga. Juga ditunjukkan dua sungai
non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna
perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad saw, dan menolak khamr
atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang Mu'min semua kejadian itu
benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya sebagaimana
Firman-Nya dalam Surah Al-Isrā' menyebutkan yang artinya.
"Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu:
"Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia". Dan Kami tidak
menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai
ujian bagi manusia...." [QS Al-Isrā’ 17:60].
Dalam sebuah Al-Hadits menyebutkan yang
artinya:
"Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai saya (kata Nabi
saw), saya berdiri di Hijr (menjawab
berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis,
saya dapatkan apa yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka
tanda-tandanya, saya memperhatikannya...." [HR. Bukhari,
Muslim, dan lainnya].
Hakikat Tujuh Langit
Peristiwa Isra' wa Mi'raj yang
menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan
hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering
disebut-sebut dalam Al-Qur'an.
Bila kita dengar kata langit, yang
terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud
langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan?
Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari
matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samā' atau samāwāt)
berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang
berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan
lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali
tidak ada.
Bilangan 'tujuh' sendiri dalam beberapa
hal di Al-Qur'an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal.
Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada
jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah
Al-Baqarah Allah swt menjanjikan yang
artinya:
"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat
menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya
berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang
dikehendakinya....". (QS Al-Baqarah 2:261)
Juga di dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah
Luqmān Allah swt berfirman yang
artinya:
"Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena
dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan
habis Kalimat Allah...." (QS Luqmān 31:27)
Jadi 'tujuh langit' lebih mengena bila
difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya,
bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit dunia,
langit ke dua, langit ke tiga, ... sampai langit ke tujuh dalam kisah Isra' wa Mi'raj?
Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para
penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit
ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet
yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang
ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita
ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya
--termasuk bumi-- mengorbit jauh dari Matahari. Nah, orang mungkin akan
berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit ke dua orbit Mars, ke tiga
orbit Jupiter, ke empat orbit Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan
ke tujuh Pluto. Kok, klop ya. Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid
terjauh dalam (yang digambarkan) dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah Al-Isra’
ayat, ada di planet Pluto?
Dan Sidratul Muntaha adalah planet ke
sepuluh yang tak mungkin terlampaui. Jadilah, Isra' wa Mi'raj dibayangkan
seperti kisah Science Fiction,
perjalanan antar planet dalam satu malam. Na'udzu Billah Mindzalik.
Saya berpendapat, pengertian langit
dalam kisah Isra' dan Mi'raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena,
fenomena yang diceritakan Nabi saw pun
bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan ruh para Nabi. Langit dan
Sidratul Muntaha dalam kisah Isra' wa Mi'raj adalah alam ghaib yang tak bisa
kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah saw yang berkesempatan mengetahuinya.
Isra' wa Mi'raj adalah mu'jizat yang hanya diberikan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw.
Makna pentingnya
Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin
bisa menjabarkan hakikat perjalanan Isra' wa Mi'raj. Allah hanya memberikan
ilmu kepada manusia sedikit sekali, QS Al-Isrā’ 17:85. Hanya dengan iman kita mempercayai
bahwa Isra' wa Mi'raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah saw. Rupanya, begitulah rencana Allah
menguji keimanan hamba-hamba-Nya, QS Al-Isrā’ 17:60 dan menyampaikan perintah shalat
wajib secara langsung kepada Rasulullah saw.
Makna Isra’ Mi’raj
Makna penting Isra' wa Mi'raj bagi
ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah shalat wajib lima waktu.
Ini menunjukkan kekhususan shalat sebagai ibadah utama dalam Islam. Shalat
mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat
maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh
orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau
haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Shalat lima kali sehari semalam yang
didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu
membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan seperti dalam
firman-Nya dalam Surah Al-‘Ankabūt yang artinya:
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab
(Al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [QS Al-‘Ankabūt 29:45]
Demikianlah uraian dari tema Isra’ wa
Mi’raj. Semoga bermanfaat. Billāhit Taufiq
wal Hidāyah. □ AFM
Kepustakaan:
1, Dr. Thomas
Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari dan lingkungan antariksa, Lapan,
Bandung. Lulus dari ITB (1986) kemudian masuk LAPAN (Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional) Bandung menjadi peneliti antariksa. Dan
tahun 1988-1994 mendapat kesempatan tugas belajar program S2 dan S3 ke Jepang
di Department of Astronomy, Kyoto University. Tesis master dan doktornya
berkaitan dengan materi antar bintang dan pembentukan bintang.
(http://media.isnet.org/kmi/isnet/ Djamal/)
2. Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar,
Juz 15, Surah Al-Isra’ ayat 1, halalaman 7 s/d 11 □□