Friday, February 9, 2018

Sebab-Sebab Berakhirnya Al-Andalus







“Maka ceritakanlah (kepada mereka - ummat Muhammad di kemudian hari) kisah-kisah itu (sajarah umat-umat terdahulu) agar mereka berpikir. [QS Al-A’rāf 7:176]


MUKADDIMAH


A
Ada catatan emas sejarah sekaligus kelamnya di semenanjung itu, semenanjung Iberia namanya, di selatan benua Eropa. Selama 8 abad lamanya kaum muslimin menghadiahkan peradaban besar nan memukau di dunia barat, justru ketika Eropa berada dalam gelap gulita inkuisisi, begitu kerasnya otak pendeta tak mau menerima pengetahun ilmiah, dan penyakit menular disebabkan kotornya cara hidup mereka.

Masa kekuasaan Islam di Iberia dimulai sejak Pertempuran Guadalete, ketika pasukan Umayyah pimpinan Thariq bin Ziyad mengalahkan orang-orang Visigoth (berasal dari Jerman) yang menguasai Iberia (Spanyol dan Portugis sekarang). Awalnya Al-Andalus merupakan provinsi dari Kekhalifahan Umayyah (711-750) yang berkedudukan di Baghdad (Iraq sekarang),lalu berubah menjadi sebuah Keamiran (750-929), selanjutnya sebuah Kekhalifahan sendiri (929-1031), dan akhirnya terpecah menjadi "taifa" yaitu kerajaan-kerajaan kecil (1031-1492).

   Di kota Kordoba, di masa antara tahun 711 sampai tahun 1492, ia menjelma menjadi kota seribu cahaya, Megacity yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum, jalan-jalan aspal, lampu kota yang menambah kesan megah, jembatan-jembatan cantik, dan bangunan yang sedap dinikmati aura kegagahannya. Ada 5 juta penduduknya, mewakili banyak peradaban, belajar, bekerja, berkarya dan bertukar pikiran.



Penguasanya bersemangat menimba ilmu, menghadirkan ulama, kaum intelektual dan mengumpulkan naskah-naskah ilmiah yang penting, dijadikan khazanah peradaban yang kelak akan dipersembahkan kepada generasi setelah mereka. Saat kemegahan itu terbentang di hadapan dunia, ia menyita perhatian masyarakat dunia. Hingga pemuda pemudi Eropa, Arab Afrika bahkan Cina sekalipun berbondong-bondong melakukan studi di sana. “Begitulah peradaban Islam memimpin dunia, kala itu”.

   Namun di tulisan ini, kita ingin bertanya satu hal sederhana: Mengapa hari ini Islam seakan-akan tidak pernah ada di Spanyol? Mengapa hari ini sedikit sekali penduduk Spanyol yang muslim? Itulah yang banyak dipertanyakan dan dicari akar masalahnya hingga hari ini. Dan berikut sekelumit alasan sebab-sebab di antara ratusan faktor mengapa peradaban Islam di Andalusia (Spanyol hari ini) hilang bak ditelan kelam. Kalau ada pun hanya meninggalkan reruntuhan puing-puing yang bergeletakan disanasini di tanah yang tak terurus lagi. Beruntung sebahagiannya direstorasi sebagian perlindungan dari khasanah  warisan dunia yang "excelence" oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa – UNESCO World Heritage.


Ziryab - Sang Penyanyi yang Melenakan Umat

   Disebutkan dalam salah satu majelisnya, Dr. Raghib As-Sirjani, seorang Sejarawan Islam terkemuka menanyakan kepada hadirin dalam pembahasan sejarah Islam di Spanyol tentang sebuah nama - Ziryab. “Apakah kalian tau siapa itu Ziryab?” Tanya Dr. Raghib kepada hadirin. Lalu kemudian beliau sebutkan bahwa Ziryab adalah salah satu “faktor besar yang menyebabkan kejatuhan peradaban Islam di Spanyol.”

   Siapakah Ziryab? Dia adalah seorang penyanyi Baghdad yang besar di sana. Bersama Gurunya, Ibrahim Al-Maushili yang juga guru besar musik, Ziryab dididik menjadi seorang pemusik yang menyanyikan lagu-lagu melenakan di hadapan khalifah di masa itu. Nyanyian yang ia dendangkan semakin hari membuatnya terkenal, sehingga sang Guru, Ibrahim Al-Maushili iri padanya.

Ibrahim Al-Maushili kemudian membuat sebuah rencana dan tekanan kepada Ziryab agar ia pergi dari Baghdad dan tidak lagi menyaingi popularitas gurunya. Berbagai hal ia lakukan sehingga Ziryab putus asa. Ziryab akhirnya melihat keadaan kaum muslimin dari ujung barat sampai ujung timur dan menimbang-nimbang kemana ia akan berpindah. Maka pilihannya jatuh di Andalusia. Sebuah wilayah kaya yang akan menghasilkan banyak uang untuk dirinya.

   Akhirnya Ziryab berangkat dari Baghdad menuju Andalusia, berbekal alat musiknya dan pengetahuan tentang hikayat serta syair-syair puitis, ia yakin akan mendapatkan nama besar di Andalusia. Inilah awal-awal masa melenakan bagi Umat Islam.

Sampai di sana, saat itu Negeri Andalusia tak tahu menahu apa itu nyanyian. Ketika Ziryab datang ke sana, Masyarakat takjub padanya dan menyambutnya dengan semarak. Akhirnya sampailah ia di hadapan Khalifah, menyanyikan lagu-lagu terbaiknya, mendatangi pertemuan masyarakat dan bersyair dengan kelihaiannya. Ia keluarkan apa yang ia dapat dari gurunya untuk mendapat popularitas di Andalusia.

   Tak hanya nyanyian, Ziryab mulai memasuki babak baru, yaitu mengajarkan not-not nada kepada generasi muda muslimin, hingga menjauhkan mereka dari pelajaran Qur’an dan ilmu-ilmu agama. Bahkan, “dia juga mulai mengajarkan seni mode, pakaian musim panas musim dingin musim semi dan musim gugur, bahkan ada model pakaian khusus untuk setiap moment yang bersifat khusus maupun umum”, kata Dr. Raghib As-Sirjani dalam ceramah sejarahnya.

Naas, Masyarakat Andalusia semenjak kedatangan Ziryab telah mengganti tradisi keilmuannya dengan budaya syair dan nyanyian. Jumlah penyanyi semakin banyak di Andalusia. Setelah itu, menyebar pula tarian yang pada mulanya hanya di kalangan kaum pria tapi kemudian berpindah kepada kalangan wanita.

   Puncaknya, adalah ketika Ziryab memalingkan majelis-majelis ilmu yang diisi para Ulama, menyeret masyarakat untuk lebih mencintai hikayat palsu tentang raja-raja dan lagu-lagu mendayu yang semakin hari semakin tak jelas maknanya. Itulah mengapa Dr Raghib As-Sirjani menyebut Ziryab sebagai “salah satu alasan besar kejatuhan peradaban Islam di Andalusia.”


Adakah Dampak Ziryab Bagi Negeri Muslim Lainnya?

   Sejarah mencatat, pengaruh Ziryab dengan lagu-lagunya menyebar di saentero Andalusia, lalu menjadi gelombang melenakan yang terdengar sampai Aljazair, Maroko dan Tunisia. Hari ini, masyarakat di sana lebih mengenal Ziryab daripada Khalifah Abdurrahman Ad-Dakhil yang melegenda atau Abdurrahman Al-Ausath yang mencintai ilmu pengetahuan.

Masyarakat Tunisia, Aljazair dan Maroko juga Spanyol lebih familiar dengan Ziryab daripada mengenal panglima Islam yang menorehkan sejarah hebat. Tidak hanya itu, biografinya juga telah diajarkan di sana sebagai salah seorang tokoh pencerahan dan kebangkitan. Ia dipuji karena perlawanannya terhadap kejumudan dan perjuangannya untuk seni. Itulah Ziryab, dengan lagunya, ia melenakan, menjauhkan umat Islam dari Al-Qur’an, dan jatuhlah Andalusia sebab ulahnya.


Mengapa Hari Ini Islam Seakan Tak Pernah Ada Di Spanyol?

   Hari ini, jumlah kaum muslimin yang tinggal di Spanyol tidak lebih dari 100 ribu orang, terlalu sedikit untuk komunitas muslim dibanding negeri-negeri lainnya di dataran Eropa. Bahkan di sebuah kota di Amerika Serikat saja, bisa ada lebih dari 100 ribu muslim. Mengapa demikian? Seseorang bertanya kepada Dr. Raghib Sirjani, kemudian beliau mengulas demikiannya.

Sesungguhnya penjajahan dua Kerajaan Kristen -Aragon dan Castillia- atas peradaban Islam di Spanyol adalah penjajahan yang sangat intensif. Berbagai lini diarahkan untuk menjatuhkan peradaban Islam di Andalusia (Spanyol dan Portugal). Mesir pernah dijajah 70 tahun oleh Inggris, Aljazair, Libya, Tunisia juga pernah dijajah berbelas tahun oleh kekuatan Imperialisme, namun mengapa hari ini mereka masih dalam keislaman mereka?

   Jawabannya: Karena penjajahan di Spanyol diselesaikan secara menyeluruh oleh tentara, oleh kekejaman dan dengan pemaksaan. Hingga terjadilah di Spanyol saat akhir keruntuhannya di tahun 1492, orang-orang Islam memilih menjadi nasrani karena terancam dengan pembunuhan yang keji. Sedangkan dalam imperialisme ala Barat, mereka menjajah tak sepenuhnya dengan militer, mereka juga menggunakan politik kerjasama dan masih menggunakan jalur diplomasi.



Kedua, penjajahan atas peradaban Islam di Spanyol adalah “penjajahan yang membuat lupa”. Mengapa? Karena umat Islam Spanyol yang lari dan hijrah ke Maroko dan Tunisia pasca serangan pasukan Kristen lebih memilik untuk melupakan peristiwa itu tanpa ada keinginan untuk memperjuangkannya. Saat itu keadaan mental masyarakat muslim Andalusia dalam keadaan kritis, disebabkan jauhnya mereka dari Al-Qur’an dan sunnah. Hingga akhirnya mereka lebih memilih melupakan Andalusia, daripada merebutnya kembali.


Al-Qur’an Kunci Kemenangan

   “Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” Begitulah yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 176. Ketika kita berbicara keruntuhan Islam di Spanyol, kita bukan ingin ikut meratap untuk mengenang masa-masa kesedihan. Justru di situlah Allah ingatkan kita untuk mengambil pelajaran. Apa sebab kekalahan? Mengapa kalah? Dan apa hal yang harus dilakukan untuk mengembalikan kekalahan menjadi kemenangan?

Sebab kekalahan dalam kisah sedih Andalusia, adalah jauhnya Umat Islam pada Al-Qur’an, hadist dan ilmu agama, sehingga menciptakan generasi rapuh yang terlena dengan lagu-lagu. Mengapa mereka kalah? Bagaimana tidak? Jika Umat ini lebih memilih para Penyanyi sebagai tempat mendengar dan meninggalkan Ulama yang berkewajiban menjaga aqidah umat, itulah tanda runtuhnya peradaban.

   Dan apa hal yang harus dilakukan untuk mengembalikan kekalahan menjadi kemenangan? Al-Qur’an. Bukankah dengan Al-Qur’an, Allah meninggikan derajat suatu kaum dan menghinakan derajat kaum yang lain? Umat Islam akan berdiri tegak jika Qur’an ada sebagai aturan hidup, diamalkan dan dikaji, juga menjadi sumber ilham. Jika tidak? Ketahuilah musuh akan tertawa dan bersiap melumat kita.




PERPECAHAN MUSLIM DI AL-ANDALUS
DAN BANGKITNYA TAIFA-TAIFA


D
Dalam sejarah, perpecahan dunia Islam selalu menjadi sebab kejatuhan atas kekuasaan yang paling kuat sekalipun. Salah satu contohnya adalah periode Taifa. Taifa secara etimologis bangsa atau golongan, secara istilah artinya adalah negara-negara kecil yang tumbuh di Al-Andalus, Muslim Spanyol pada abad 11. Pada tahun 700-an, Al-Andalus menjadi bagian provinsi dinasti Umayah yang makmur dan kuat.

Namun setelah revolusi Abbasiyah pada tahun 750, Al-Andalus akhirnya menjadi negara yang berdiri sendiri di bawah kedaulatan sisa-sisa Umayyah.

   Al-Andalus mencapai puncaknya pada tahun 1000. Kekhalifahan Umayyah di Cordoba menjadi negara paling kuat di Eropa Barat secara politik dan ekonomi. Pencapaian seni, ilmu pengetahuan dan sosial di Al-Andalus pada waktu itu tak tertandingi, berbarengan dengan kecermelangan peradaban Muslim di Irak, Mesir dan Persia. Namun dalam kurun 50 tahun kemudian, semua keadaan itu berbalik. Al-Andalus berubah dari negara besar yang bersatu menjadi negara yang terpecah-pecah, lemah dan secara politik bergantung dengan kekuatan asing. Masa itu disebut sebagai “periode Taifa”, yang menjadi faktor kemunduran Al-Andalus dan akhirnya jatuh pada tahun 1492.


Bangkitnya  Taifa-Taifa

   Pada 976, seorang anak yang berusia 10 tahun naik tahta sebagai khalifah Dinasti Umayyah di Al-Andalus. Karena masih kanak-kanak, maka kekuasaan diserahkan kepada Mansur ibn Abi ‘Amir, penasehat hukum dinasti Umayyah. Selama 3 dekade sebagai penguasa efektif Al-Andalus, kekuasaan Muslim mencapai puncak kejayaannya di semenanjung Iberia (Sekarang: Spanyol dan Portugis). Namun, konsekuensi monopoli kekuasaan Mansur adalah hilangnya peran khalifah sendiri. Sepeninggal al- Mansur pada tahun 1002, Andalusia diguncang perpecahan, ketika khalifah tidak dapat menjalankan kontrol kekuasaannya secara efektif dan para “komandan pasukan” bangkit menciptakan negara-negara merdeka dari “kekhalifahan – pemerintahan Al-Andalus, yang disebut Taifa-Taifa di seluruh semenanjung Iberia. Inilah menjadi awal Periode Taifa-Taifa.

Gambaran tentang bangkitnya Taifa-Taifa (negara-negara kecil terlepas dari Kekhalifahan Al-Andalus) dijelaskan secara tepat oleh Abdallah ibn Buluggin, seorang cendekiawan yang melihat langsung peristiwa itu:

“Ketika dinasti Amirid (al-Mansur) berakhir dan rakyat ditinggal tanpa pemimpin, maka setiap komandan militer bangkit membangun kotanya dan melindungi diri mereka sendiri dengan benteng untuk memperkuat posisinya, membangun tentara dan memperkokoh sumber dayanya sendiri. Orang-orang ini saling bersaing dengan lainnya untuk merebut kekuasaan dan mengalahkan lawan-lawannya.”


   Para raja Taifa tidak berasal dari keluarga Umayyah atau memiliki klaim tradisional atas kekuasaan, sehingga tidak pelak kemampuan mereka untuk menjalankan kekuasaannya hanya terbatas kepada wilayah-wilayah yang ditaklukannya. Dengan lusinan para komandan militer pada pertengahan abad 11, maka konflik diantara mereka tidak dapat dihindarkan.

Taifa biasanya hanya berpusat di kota-kota besar di Andalusia, semacam Toledo, Granada, Seville dan Cordoba. Para raja Taifa menggunakannya rakyatnya sebagai pasukan untuk bertempur dengan taifa lainnya. Perang antara raja-raja Muslim ini menimbulkan bencana bagi eksistensi Islam di Spanyol.


Karakter Taifa

   Para pemimpin Taifa berbeda dengan masyarakat Andalusia sendiri. Di bagian selatan semenanjung Iberia, para Taifa berasal dari keluarga-keluarga Arab kaya yang menonjol seiring melemahnya peran Khalifah. Seville, Zaragoza dan Cordoba dipimpin oleh mereka. Di bagian utara, etnik Berber (Moor) secara tradisional telah bermukim sejak 700-an. Kondisi di Iberia Tengah hampir sama dengan kampung halamannya di Afrika Utara. Dengan demikian, raja-raja Taifa cenderung berasal dari etnik Berber.



Hanya menariknya, perang diantara Raja Taifa Muslim tidak didasarkan kepada perbedaan etnik, namun lebih karena ambisi diantara raja-raja tersebut  untuk menumpuk kekuasaan. Dengan menggunakan pasukan yang loyal terhadap dirinya, para raja itu saling menyerang Taifa tetangganya, merebut dan menaklukkan kota-kota Taifa lainnya. Akibatnya, kebangkitan Taifa di awal 1000-an hingga 1080-an, jumlah kerajaan Taifa turun dari 30 menjadi 9 karena sebagian Taifa lainnya dapat ditaklukan karena posisinya yang lemah.


Invasi Pasukan Kristen

   Satu-satunya pihak yang diuntungkan dengan periode Taifa adalah kerajaan-kerajaan Kristen di sebelah utara. Ketika negara-negara Muslim saling berperang satu sama lain, negara-negara Kristen mengambil keuntungan tersebut dengan menekan ke selatan dan menundukkan wilayah-wilayah Muslim. Dalam banyak kasus, banyak raja-raja Taifa juga mengundang raja-raja Kristen untuk berperang melawan Taifa-Taifa Muslim lainnya, dan ini yang sebenarnya menyebabkan hilangnya banyak wilayah Muslim pada abad 11.



Taifa pertama yang meminta bantuan Kristen dalam perang antar mereka adalah Cordoba, bekas ibukota dinasti Umayyah. Setelah kejatuhan kekhilafahan Umayyah di awal abad 11, konflik pecah di dalam kota antara penduduk Cordoba dengan tentara Berber yang baru saja pindah dari Afrika Utara. Antara 1010 dan 1013, kedua belah pihak menyewa pasukan bayaran Kristen untuk memperkuat kedudukan mereka di dalam kota. Untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun, pasukan non Muslim ikut pawai di jalanan kota Cordoba, ibukota Muslim di Spanyol.

   Hal itu menjadi preseden bagi lainnya, para Taifa Muslim lainnya juga berlomba mempekerjakan orang-orang Kristen sebagai tentara mereka, atau langsung meminta bantuan para raja Kristen di utara untuk berperang melawan Muslim lainnya. Pada 1043, raja Taifa Toledo meminta bantua kerajaan Krsiten Navarre untuk berperang melawan Taifa Guadalajara. Sebagai imbalannya, Raja Garcia Sanchez menerima hadiah, perbekalan dan hak memanen kebu di pedesaan Toledo. Karena itu, Taifa Guadalajara juga meminta bantuan Fernando I dari Leon-Castille, yang juga menerima imbalan besar karena berperang melawan Taifa musuh Taifa Guadalajara.

Akibat yang tampak dari konflik ini benar-benar dirasakan kaum Muslimin di Al-Andalus. Pasukan Kristen mulai mendesak maju ke wilayah selatan. Kerajaan-kerajaan Kristen tersebut berperang melawan Taifa-Taifa di sekitarnya, menundukkan dan kemudian mencaplok wilayah Taifa yang ditaklukkannya. Akibatnya, kota-kota yang dulunya dimiliki Taifa Muslim kini berada di bawah kendali kerajaan-kerajaan Kristen yang semakin kuat. Belum lagi, kaum Muslim diperlakukan semena-mena di wilayah yang diduduki dan berakhir dengan pembersihan etnik sehingga tidak ada lagi Muslim yang tersisa.

   Konsekuensi lain dari perang ini adalah ekonomi. Sebagai imbalan keterlibatan pasukan Kristen dalam berperang untuk raja-raja Taifa, mereka menuntut bayaran yang tinggi dan pasokan perbekalan. Tidak pelak, hal ini menimbulkan kemunduran ekonomi, pajak semakin naik untuk membiayai perang dan tidak ada investasi ekonomi lagi.


Berakhirnya Periode Taifa

   Ketika perang Taifa pecah di semenanjung Iberia, gerakan baru muncul di Afrika Utara. Pada 1040, Abdullah Ibnu Yasin, seorang ulama Berber di Afrika Utara mendirikan gerakan yang dinamakan Murabitun. Tujuan dari gerakan ini adalah menerapkan praktik Islam yang ketat dan menghilangkan praktik dan hukum yang tidak islami. Moto mereka adalah “amar ma’ruf nahi munkar, dan menghapus pajak yang tidak islami.” Karena tradisi kemiliteran yang dimiliki etnik Berber, para Raja Taifa pada waktu itu mengandalkan Murabitun untuk menghadapi invasi pasukan Kristen. Misalnya, 1091, ketika Taifa Seville terancam jatuh ke tangan Alfonso VI dari Castille, yang telah berhasil merebut kota Muslim Toledo. Karena kondisinya yang kritis, akhirnya Raja-Raja Taifa meminta Ibnu Tashfin, pepimpin Murabitun pada akhir abad 11, datang ke Andalusia untuk membebaskan negeri-negeri Muslim.



Ibnu Tashfin memahami karakter politik kotor yang terjadi diantara para Raja Taifa, maka dia hanya menyanggupi untuk menyingkirkan Alfonso VI dan setelah itu kembali ke Afrika Utara. Namun setelah berulang kali diundang ke Andalusia untuk menghadapi invasi pasukan Kristen, Ibnu Tashfin akhirnya didesak para ulama, termasuk Imam Ghazali sendiri untuk menggulingkan para Raja-Raja Taifa yang lemah dan menjadikan Andalus sebagai bagian Murabitun. Dia melakukannya pada 1090, merebut beberapa Kerajaan Taifa dan menyatukannya untuk menghadapi invasi Kristen. Meskipun Murabitun tidak dapat lagi merebut wilayah yang telah dicaplok pasukan Kristen, namun eksistensi Murabitun dapat mencegah laju aneksasi pasukan Kristen di sebelah selatan, sehingga membutuhkan lebih dari 400 tahun untuk kemudian mereka dapat menduduki semua wilayah Muslim di Andalusia.


Penutup


   Akhirul Kalam, sejarah telah mencatat kejatuhan Al-Andalus (di Semenanjung Iberia – Spanyol-Potugis sekarang) yang menjadi pelajaran sebagaimana yang diingatkan oleh Rabb ‘Ālamīn (Tuhan Seluruh Alam Semesta) untuk mengambil ‘itibar - suatu contoh untuk dijadikan pelajaran dari kejadian sejarah tersebut, sebagaimana yang diingatkan-Nya dalam firman-Nya yang artinya:

“Maka ceritakanlah (kepada mereka - ummat Muhammad di kemudian hari) kisah-kisah itu (sajarah umat-umat terdahulu) agar mereka berpikir. [QS Al-A’rāf 7:176]

Untuk itu Allah Subhāna Wa Ta’āla mengingatkan untuk bertaqwa kepada ajaran dan perintahnya untuk mengambil ‘itibar dari kejadian sejarah tersebut yang artinya:

Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali Allah (agama, ajaran Islam dalam ketaqwaan dan khususnya dalam persatuan), dan jangalah kamu bercerai berai (tidak bersatu), dan ingatlah nikmat Allah (bahwa persatuan itu menjadi kamu kuat) kepadamu katika kamu (masa jahiliyah) bermusuhan (satu sama lain bertikai dalam i’tilaf), lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara (lagi), sedang (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka (perpecahan dan dan berantakan – jika tidak diperhatikan “perintah-Nya, kemudian akan menjadi hancur luluh), lalu Allah menyelamatkan kami (jika kamu mengikuti perintahnya) dari sana (peristiwa/kejadian itu). Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kami mendapat petunjuk (dari peristiwa sejarah yang telah diuraikan diatas). [QS Āli ‘Imrān 3:103].

   Inilah yang dikatakan sahabat penulis - Bang Duta, dalam komennya terhadap tulisan penulis yang bertema MENELUSURI LIMA KOTA UTAMA ANDALUSIA sbb: “Berkunjung ke Andalusia (Al-Andalus) menyisakan kesedihan dan kepedihan, betapa peradaban yang dibangun selama hampir 8 abad sirna karena umat meninggalkan Al-Qur’an” - yang sebab-sebab berakhirnya kekhalifahan al-Andalus sebagaimana yang disebutkan dalam surat Āli ‘Imrān ayat 103 seperti tersebut diatas (sebenarnya juga, bagaimana cara menghindarinya). Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM


Lihat pula video ini ---klik---> Jatuh dan Runtuhnya Peradaban Islamdi Andalusia – suatu nasehat yang menyentuh akal dan hati kita.



Sumber:
https://www.dakwatuna.com/2015/03/17/65866/fakta-penting-tentang-berakhirnya-islam-di-andalusia/#axzz56cfDBvTl
http://permatafm.com/home/perpecahan-muslim-di-andalusia-periode-bangkitnya-taifa/
https://www.youtube.com/embed/_DHhDr-xCbg
https://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2018/02/menelusuri-lima-kota-utama-andalusia.html
dan sumber-sumber lain □□

Blog Archive