“Maka ceritakanlah (kepada mereka
- ummat Muhammad di kemudian hari) kisah-kisah itu (sajarah umat-umat
terdahulu) agar mereka berpikir.” [QS
Al-A’rāf 7:176]
MUKADDIMAH
A
|
Ada catatan emas sejarah sekaligus kelamnya di
semenanjung itu, semenanjung Iberia namanya, di selatan benua Eropa. Selama 8
abad lamanya kaum muslimin menghadiahkan peradaban besar nan memukau di dunia
barat, justru ketika Eropa berada dalam gelap gulita inkuisisi, begitu kerasnya
otak pendeta tak mau menerima pengetahun ilmiah, dan penyakit menular
disebabkan kotornya cara hidup mereka.
Di kota Kordoba, di masa antara tahun 711 sampai tahun 1492, ia menjelma menjadi kota seribu cahaya, Megacity yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum, jalan-jalan aspal, lampu kota yang menambah kesan megah, jembatan-jembatan cantik, dan bangunan yang sedap dinikmati aura kegagahannya. Ada 5 juta penduduknya, mewakili banyak peradaban, belajar, bekerja, berkarya dan bertukar pikiran.
Masa kekuasaan Islam di Iberia dimulai sejak Pertempuran Guadalete,
ketika pasukan Umayyah pimpinan Thariq bin Ziyad mengalahkan orang-orang
Visigoth (berasal dari Jerman) yang menguasai Iberia (Spanyol dan Portugis
sekarang). ● Awalnya Al-Andalus merupakan provinsi
dari Kekhalifahan Umayyah (711-750) yang
berkedudukan di Baghdad (Iraq sekarang), ● lalu berubah menjadi sebuah Keamiran (750-929), ● selanjutnya sebuah
Kekhalifahan sendiri (929-1031), ● dan akhirnya terpecah menjadi "taifa" yaitu
kerajaan-kerajaan kecil (1031-1492).
Di kota Kordoba, di masa antara tahun 711 sampai tahun 1492, ia menjelma menjadi kota seribu cahaya, Megacity yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum, jalan-jalan aspal, lampu kota yang menambah kesan megah, jembatan-jembatan cantik, dan bangunan yang sedap dinikmati aura kegagahannya. Ada 5 juta penduduknya, mewakili banyak peradaban, belajar, bekerja, berkarya dan bertukar pikiran.
Penguasanya bersemangat menimba ilmu,
menghadirkan ulama, kaum intelektual dan mengumpulkan naskah-naskah ilmiah yang
penting, dijadikan khazanah peradaban yang kelak akan dipersembahkan kepada
generasi setelah mereka. Saat kemegahan itu terbentang di hadapan dunia, ia
menyita perhatian masyarakat dunia. Hingga pemuda pemudi Eropa, Arab Afrika
bahkan Cina sekalipun berbondong-bondong melakukan studi di sana. “Begitulah peradaban Islam memimpin dunia, kala itu”.
Namun
di tulisan ini, kita ingin bertanya satu hal sederhana: Mengapa hari ini Islam
seakan-akan tidak pernah ada di Spanyol? Mengapa hari ini sedikit sekali
penduduk Spanyol yang muslim? Itulah yang banyak dipertanyakan dan dicari akar
masalahnya hingga hari ini. Dan berikut sekelumit alasan sebab-sebab di antara
ratusan faktor mengapa peradaban Islam di Andalusia (Spanyol hari ini) hilang
bak ditelan kelam. Kalau ada pun hanya meninggalkan reruntuhan puing-puing
yang bergeletakan disanasini di tanah yang tak terurus lagi. Beruntung
sebahagiannya direstorasi sebagian perlindungan dari khasanah warisan dunia yang "excelence"
oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa – UNESCO World Heritage.
Ziryab - Sang Penyanyi yang Melenakan
Umat
Disebutkan
dalam salah satu majelisnya, Dr. Raghib As-Sirjani, seorang Sejarawan Islam
terkemuka menanyakan kepada hadirin dalam pembahasan sejarah Islam di Spanyol
tentang sebuah nama - Ziryab. “Apakah kalian tau siapa itu Ziryab?” Tanya Dr.
Raghib kepada hadirin. Lalu kemudian beliau sebutkan bahwa Ziryab adalah salah
satu “faktor besar yang menyebabkan kejatuhan peradaban Islam di Spanyol.”
Siapakah
Ziryab? Dia adalah seorang penyanyi Baghdad yang besar di sana. Bersama
Gurunya, Ibrahim Al-Maushili yang juga guru besar musik, Ziryab dididik menjadi
seorang pemusik yang menyanyikan lagu-lagu melenakan di hadapan khalifah di
masa itu. Nyanyian yang ia dendangkan semakin hari membuatnya terkenal,
sehingga sang Guru, Ibrahim Al-Maushili iri padanya.
Ibrahim Al-Maushili kemudian membuat sebuah
rencana dan tekanan kepada Ziryab agar ia pergi dari Baghdad dan tidak lagi
menyaingi popularitas gurunya. Berbagai hal ia lakukan sehingga Ziryab putus
asa. Ziryab akhirnya melihat keadaan kaum muslimin dari ujung barat sampai
ujung timur dan menimbang-nimbang kemana ia akan berpindah. Maka pilihannya
jatuh di Andalusia. Sebuah wilayah kaya yang akan menghasilkan banyak uang
untuk dirinya.
Akhirnya
Ziryab berangkat dari Baghdad menuju Andalusia, berbekal alat musiknya dan
pengetahuan tentang hikayat serta syair-syair puitis, ia yakin akan mendapatkan
nama besar di Andalusia. Inilah awal-awal masa melenakan bagi Umat Islam.
Sampai di sana, saat itu Negeri Andalusia
tak tahu menahu apa itu nyanyian. Ketika Ziryab datang ke sana, Masyarakat
takjub padanya dan menyambutnya dengan semarak. Akhirnya sampailah ia di
hadapan Khalifah, menyanyikan lagu-lagu terbaiknya, mendatangi pertemuan
masyarakat dan bersyair dengan kelihaiannya. Ia keluarkan apa yang ia dapat
dari gurunya untuk mendapat popularitas di Andalusia.
Tak
hanya nyanyian, Ziryab mulai memasuki babak baru, yaitu mengajarkan not-not
nada kepada generasi muda muslimin, hingga menjauhkan mereka dari pelajaran Qur’an
dan ilmu-ilmu agama. Bahkan, “dia juga mulai mengajarkan seni mode, pakaian
musim panas musim dingin musim semi dan musim gugur, bahkan ada model pakaian
khusus untuk setiap moment yang bersifat khusus maupun umum”, kata Dr. Raghib
As-Sirjani dalam ceramah sejarahnya.
Naas, Masyarakat Andalusia semenjak kedatangan
Ziryab telah mengganti tradisi keilmuannya dengan budaya syair dan nyanyian.
Jumlah penyanyi semakin banyak di Andalusia. Setelah itu, menyebar pula tarian
yang pada mulanya hanya di kalangan kaum pria tapi kemudian berpindah kepada
kalangan wanita.
Puncaknya,
adalah ketika Ziryab memalingkan majelis-majelis ilmu yang diisi para Ulama,
menyeret masyarakat untuk lebih mencintai hikayat palsu tentang raja-raja dan
lagu-lagu mendayu yang semakin hari semakin tak jelas maknanya. Itulah mengapa
Dr Raghib As-Sirjani menyebut Ziryab sebagai “salah satu alasan besar kejatuhan
peradaban Islam di Andalusia.”
Adakah Dampak Ziryab Bagi Negeri
Muslim Lainnya?
Sejarah
mencatat, pengaruh Ziryab dengan lagu-lagunya menyebar di saentero Andalusia,
lalu menjadi gelombang melenakan yang terdengar sampai Aljazair, Maroko dan
Tunisia. Hari ini, masyarakat di sana lebih mengenal Ziryab daripada Khalifah
Abdurrahman Ad-Dakhil yang melegenda atau Abdurrahman Al-Ausath yang mencintai
ilmu pengetahuan.
Masyarakat Tunisia, Aljazair dan Maroko juga
Spanyol lebih familiar dengan Ziryab daripada mengenal panglima Islam yang
menorehkan sejarah hebat. Tidak hanya itu, biografinya juga telah
diajarkan di sana sebagai salah seorang tokoh pencerahan dan kebangkitan. Ia
dipuji karena perlawanannya terhadap kejumudan dan perjuangannya untuk
seni. Itulah Ziryab, dengan lagunya, ia melenakan, menjauhkan umat Islam
dari Al-Qur’an, dan jatuhlah Andalusia sebab ulahnya.
Mengapa Hari Ini Islam Seakan Tak
Pernah Ada Di Spanyol?
Hari
ini, jumlah kaum muslimin yang tinggal di Spanyol tidak lebih dari 100 ribu
orang, terlalu sedikit untuk komunitas muslim dibanding negeri-negeri lainnya
di dataran Eropa. Bahkan di sebuah kota di Amerika Serikat saja, bisa ada lebih
dari 100 ribu muslim. Mengapa demikian? Seseorang bertanya kepada Dr. Raghib
Sirjani, kemudian beliau mengulas demikiannya.
Sesungguhnya penjajahan dua Kerajaan Kristen
-Aragon dan Castillia- atas peradaban Islam di Spanyol adalah penjajahan yang
sangat intensif. Berbagai lini diarahkan untuk menjatuhkan peradaban Islam di
Andalusia (Spanyol dan Portugal). Mesir pernah dijajah 70 tahun oleh Inggris,
Aljazair, Libya, Tunisia juga pernah dijajah berbelas tahun oleh kekuatan
Imperialisme, namun mengapa hari ini mereka masih dalam keislaman mereka?
Jawabannya:
Karena penjajahan di Spanyol diselesaikan secara menyeluruh oleh tentara, oleh
kekejaman dan dengan pemaksaan. Hingga terjadilah di Spanyol saat akhir
keruntuhannya di tahun 1492, orang-orang Islam memilih menjadi nasrani karena
terancam dengan pembunuhan yang keji. Sedangkan dalam imperialisme ala Barat,
mereka menjajah tak sepenuhnya dengan militer, mereka juga menggunakan politik
kerjasama dan masih menggunakan jalur diplomasi.
Kedua, penjajahan atas peradaban Islam di
Spanyol adalah “penjajahan yang membuat lupa”. Mengapa? Karena umat Islam
Spanyol yang lari dan hijrah ke Maroko dan Tunisia pasca serangan pasukan
Kristen lebih memilik untuk melupakan peristiwa itu tanpa ada keinginan untuk
memperjuangkannya. Saat itu keadaan mental masyarakat muslim Andalusia dalam
keadaan kritis, disebabkan jauhnya mereka dari Al-Qur’an dan sunnah. Hingga
akhirnya mereka lebih memilih melupakan Andalusia, daripada merebutnya kembali.
Al-Qur’an Kunci Kemenangan
“Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berpikir.” Begitulah yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf
ayat 176. Ketika kita berbicara keruntuhan Islam di Spanyol, kita bukan ingin
ikut meratap untuk mengenang masa-masa kesedihan. Justru di situlah Allah
ingatkan kita untuk mengambil pelajaran. Apa sebab kekalahan? Mengapa kalah?
Dan apa hal yang harus dilakukan untuk mengembalikan kekalahan menjadi kemenangan?
Sebab kekalahan dalam kisah sedih Andalusia,
adalah jauhnya Umat Islam pada Al-Qur’an, hadist dan ilmu agama, sehingga
menciptakan generasi rapuh yang terlena dengan lagu-lagu. Mengapa mereka kalah?
Bagaimana tidak? Jika Umat ini lebih memilih para Penyanyi sebagai tempat
mendengar dan meninggalkan Ulama yang berkewajiban menjaga aqidah umat, itulah
tanda runtuhnya peradaban.
Dan apa
hal yang harus dilakukan untuk mengembalikan kekalahan menjadi kemenangan? Al-Qur’an.
Bukankah dengan Al-Qur’an, Allah meninggikan derajat suatu kaum dan menghinakan
derajat kaum yang lain? Umat Islam akan berdiri tegak jika Qur’an ada sebagai
aturan hidup, diamalkan dan dikaji, juga menjadi sumber ilham. Jika tidak?
Ketahuilah musuh akan tertawa dan bersiap melumat kita.
PERPECAHAN MUSLIM DI AL-ANDALUS
DAN BANGKITNYA TAIFA-TAIFA
D
|
Dalam sejarah, perpecahan dunia Islam selalu
menjadi sebab kejatuhan atas kekuasaan yang paling kuat sekalipun. Salah satu
contohnya adalah periode Taifa. Taifa secara etimologis bangsa atau
golongan, secara istilah artinya adalah negara-negara kecil yang tumbuh di Al-Andalus,
Muslim Spanyol pada abad 11. Pada tahun 700-an, Al-Andalus menjadi bagian
provinsi dinasti Umayah yang makmur dan kuat.
Namun setelah revolusi Abbasiyah pada tahun 750,
Al-Andalus akhirnya menjadi negara yang berdiri sendiri di bawah kedaulatan
sisa-sisa Umayyah.
Al-Andalus
mencapai puncaknya pada tahun 1000. Kekhalifahan Umayyah di Cordoba menjadi
negara paling kuat di Eropa Barat secara politik dan ekonomi. Pencapaian seni,
ilmu pengetahuan dan sosial di Al-Andalus pada waktu itu tak tertandingi,
berbarengan dengan kecermelangan peradaban Muslim di Irak, Mesir dan Persia.
Namun dalam kurun 50 tahun kemudian, semua keadaan itu berbalik. Al-Andalus
berubah dari negara besar yang bersatu menjadi negara yang terpecah-pecah,
lemah dan secara politik bergantung dengan kekuatan asing. Masa itu disebut
sebagai “periode Taifa”, yang menjadi faktor kemunduran Al-Andalus dan akhirnya
jatuh pada tahun 1492.
Bangkitnya Taifa-Taifa
Pada
976, seorang anak yang berusia 10 tahun naik tahta sebagai khalifah Dinasti
Umayyah di Al-Andalus. Karena masih kanak-kanak, maka kekuasaan diserahkan
kepada Mansur ibn Abi ‘Amir, penasehat hukum dinasti Umayyah. Selama 3 dekade
sebagai penguasa efektif Al-Andalus, kekuasaan Muslim mencapai puncak
kejayaannya di semenanjung Iberia (Sekarang: Spanyol dan Portugis). Namun,
konsekuensi monopoli kekuasaan Mansur adalah hilangnya peran khalifah sendiri.
Sepeninggal al- Mansur pada tahun 1002, Andalusia diguncang perpecahan, ketika
khalifah tidak dapat menjalankan kontrol kekuasaannya secara efektif dan para “komandan
pasukan” bangkit menciptakan negara-negara merdeka dari “kekhalifahan –
pemerintahan Al-Andalus, yang disebut Taifa-Taifa di seluruh semenanjung
Iberia. Inilah menjadi awal Periode Taifa-Taifa.
Gambaran tentang bangkitnya Taifa-Taifa
(negara-negara kecil terlepas dari Kekhalifahan Al-Andalus) dijelaskan secara
tepat oleh Abdallah ibn Buluggin, seorang cendekiawan yang melihat langsung peristiwa
itu:
“Ketika
dinasti Amirid (al-Mansur) berakhir dan rakyat ditinggal tanpa pemimpin, maka
setiap komandan militer bangkit membangun kotanya dan melindungi diri mereka
sendiri dengan benteng untuk memperkuat posisinya, membangun tentara dan memperkokoh
sumber dayanya sendiri. Orang-orang ini saling bersaing dengan lainnya untuk
merebut kekuasaan dan mengalahkan lawan-lawannya.”
Para
raja Taifa tidak berasal dari keluarga Umayyah atau memiliki klaim tradisional
atas kekuasaan, sehingga tidak pelak kemampuan mereka untuk menjalankan
kekuasaannya hanya terbatas kepada wilayah-wilayah yang ditaklukannya. Dengan
lusinan para komandan militer pada pertengahan abad 11, maka konflik diantara
mereka tidak dapat dihindarkan.
Taifa biasanya hanya berpusat di kota-kota besar
di Andalusia, semacam Toledo, Granada, Seville dan Cordoba. Para raja Taifa
menggunakannya rakyatnya sebagai pasukan untuk bertempur dengan taifa lainnya.
Perang antara raja-raja Muslim ini menimbulkan bencana bagi eksistensi Islam di
Spanyol.
Karakter Taifa
Para
pemimpin Taifa berbeda dengan masyarakat Andalusia sendiri. Di bagian selatan
semenanjung Iberia, para Taifa berasal dari keluarga-keluarga Arab kaya yang
menonjol seiring melemahnya peran Khalifah. Seville, Zaragoza dan Cordoba
dipimpin oleh mereka. Di bagian utara, etnik Berber (Moor) secara tradisional
telah bermukim sejak 700-an. Kondisi di Iberia Tengah hampir sama dengan
kampung halamannya di Afrika Utara. Dengan demikian, raja-raja Taifa cenderung
berasal dari etnik Berber.
Hanya menariknya, perang diantara Raja Taifa
Muslim tidak didasarkan kepada perbedaan etnik, namun lebih karena ambisi
diantara raja-raja tersebut untuk menumpuk kekuasaan. Dengan menggunakan
pasukan yang loyal terhadap dirinya, para raja itu saling menyerang Taifa
tetangganya, merebut dan menaklukkan kota-kota Taifa lainnya. Akibatnya,
kebangkitan Taifa di awal 1000-an hingga 1080-an, jumlah kerajaan Taifa turun
dari 30 menjadi 9 karena sebagian Taifa lainnya dapat ditaklukan karena
posisinya yang lemah.
Invasi Pasukan Kristen
Satu-satunya
pihak yang diuntungkan dengan periode Taifa adalah kerajaan-kerajaan Kristen di
sebelah utara. Ketika negara-negara Muslim saling berperang satu sama lain,
negara-negara Kristen mengambil keuntungan tersebut dengan menekan ke selatan
dan menundukkan wilayah-wilayah Muslim. Dalam banyak kasus, banyak raja-raja
Taifa juga mengundang raja-raja Kristen untuk berperang melawan Taifa-Taifa Muslim lainnya, dan ini yang sebenarnya
menyebabkan hilangnya banyak wilayah Muslim pada abad 11.
Taifa pertama yang meminta bantuan Kristen dalam
perang antar mereka adalah Cordoba, bekas ibukota dinasti Umayyah. Setelah
kejatuhan kekhilafahan Umayyah di awal abad 11, konflik pecah di dalam kota
antara penduduk Cordoba dengan tentara Berber yang baru saja pindah dari Afrika
Utara. Antara 1010 dan 1013, kedua belah pihak menyewa pasukan bayaran Kristen
untuk memperkuat kedudukan mereka di dalam kota. Untuk pertama kalinya dalam
ratusan tahun, pasukan non Muslim ikut pawai di jalanan kota Cordoba, ibukota
Muslim di Spanyol.
Hal itu
menjadi preseden bagi lainnya, para Taifa Muslim lainnya juga berlomba
mempekerjakan orang-orang Kristen sebagai tentara mereka, atau langsung meminta
bantuan para raja Kristen di utara untuk berperang melawan Muslim lainnya. Pada
1043, raja Taifa Toledo meminta bantua kerajaan Krsiten Navarre untuk berperang
melawan Taifa Guadalajara. Sebagai imbalannya, Raja Garcia Sanchez menerima
hadiah, perbekalan dan hak memanen kebu di pedesaan Toledo. Karena itu, Taifa
Guadalajara juga meminta bantuan Fernando I dari Leon-Castille, yang juga
menerima imbalan besar karena berperang melawan Taifa musuh Taifa Guadalajara.
Akibat yang tampak dari konflik ini benar-benar
dirasakan kaum Muslimin di Al-Andalus. Pasukan Kristen mulai mendesak maju ke
wilayah selatan. Kerajaan-kerajaan Kristen tersebut berperang melawan Taifa-Taifa
di sekitarnya, menundukkan dan kemudian mencaplok wilayah Taifa yang
ditaklukkannya. Akibatnya, kota-kota yang dulunya dimiliki Taifa Muslim kini berada
di bawah kendali kerajaan-kerajaan Kristen yang semakin kuat. Belum lagi, kaum
Muslim diperlakukan semena-mena di wilayah yang diduduki dan berakhir dengan
pembersihan etnik sehingga tidak ada lagi Muslim yang tersisa.
Konsekuensi
lain dari perang ini adalah ekonomi. Sebagai imbalan keterlibatan pasukan
Kristen dalam berperang untuk raja-raja Taifa, mereka menuntut bayaran yang
tinggi dan pasokan perbekalan. Tidak pelak, hal ini menimbulkan kemunduran
ekonomi, pajak semakin naik untuk membiayai perang dan tidak ada investasi
ekonomi lagi.
Berakhirnya Periode Taifa
Ketika
perang Taifa pecah di semenanjung Iberia, gerakan baru muncul di Afrika Utara.
Pada 1040, Abdullah Ibnu Yasin, seorang ulama Berber di Afrika Utara mendirikan
gerakan yang dinamakan Murabitun. Tujuan dari gerakan ini adalah menerapkan
praktik Islam yang ketat dan menghilangkan praktik dan hukum yang tidak islami.
Moto mereka adalah “amar ma’ruf nahi munkar, dan
menghapus pajak yang tidak islami.” Karena tradisi kemiliteran yang
dimiliki etnik Berber, para Raja Taifa pada waktu itu mengandalkan Murabitun
untuk menghadapi invasi pasukan Kristen. Misalnya, 1091, ketika Taifa Seville
terancam jatuh ke tangan Alfonso VI dari Castille, yang telah berhasil merebut
kota Muslim Toledo. Karena kondisinya yang kritis, akhirnya Raja-Raja Taifa
meminta Ibnu Tashfin, pepimpin Murabitun pada akhir abad 11, datang ke
Andalusia untuk membebaskan negeri-negeri Muslim.
Ibnu Tashfin memahami karakter politik kotor
yang terjadi diantara para Raja Taifa, maka dia hanya menyanggupi untuk
menyingkirkan Alfonso VI dan setelah itu kembali ke Afrika Utara. Namun setelah
berulang kali diundang ke Andalusia untuk menghadapi invasi pasukan Kristen,
Ibnu Tashfin akhirnya didesak para ulama, termasuk Imam Ghazali sendiri untuk
menggulingkan para Raja-Raja Taifa yang lemah dan menjadikan Andalus sebagai
bagian Murabitun. Dia melakukannya pada 1090, merebut beberapa Kerajaan Taifa
dan menyatukannya untuk menghadapi invasi Kristen. Meskipun Murabitun tidak
dapat lagi merebut wilayah yang telah dicaplok pasukan Kristen, namun
eksistensi Murabitun dapat mencegah laju aneksasi pasukan Kristen di sebelah
selatan, sehingga membutuhkan lebih dari 400 tahun untuk kemudian mereka dapat
menduduki semua wilayah Muslim di Andalusia.
Akhirul
Kalam, sejarah telah mencatat kejatuhan Al-Andalus (di Semenanjung Iberia –
Spanyol-Potugis sekarang) yang menjadi pelajaran sebagaimana yang diingatkan
oleh Rabb ‘Ālamīn (Tuhan Seluruh Alam Semesta) untuk mengambil ‘itibar - suatu
contoh untuk dijadikan pelajaran dari kejadian sejarah tersebut, sebagaimana
yang diingatkan-Nya dalam firman-Nya yang artinya:
“Maka ceritakanlah (kepada mereka
- ummat Muhammad di kemudian hari) kisah-kisah itu (sajarah umat-umat
terdahulu) agar mereka berpikir.” [QS
Al-A’rāf 7:176]
Untuk itu Allah Subhāna Wa Ta’āla mengingatkan untuk bertaqwa kepada ajaran
dan perintahnya untuk mengambil ‘itibar dari kejadian sejarah tersebut yang
artinya:
Dan
berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali Allah (agama, ajaran Islam dalam ketaqwaan
dan khususnya dalam persatuan), dan jangalah kamu bercerai berai (tidak
bersatu), dan ingatlah nikmat Allah (bahwa persatuan itu menjadi kamu kuat)
kepadamu katika kamu (masa jahiliyah) bermusuhan (satu sama lain bertikai dalam
i’tilaf), lalu Allah mempersatukan
hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara (lagi), sedang
(ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka (perpecahan dan dan berantakan –
jika tidak diperhatikan “perintah-Nya, kemudian akan menjadi hancur luluh),
lalu Allah menyelamatkan kami (jika kamu mengikuti perintahnya) dari sana (peristiwa/kejadian
itu). Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kami mendapat
petunjuk (dari peristiwa sejarah yang telah diuraikan diatas). [QS Āli ‘Imrān
3:103].
Inilah
yang dikatakan sahabat penulis - Bang Duta, dalam komennya terhadap tulisan
penulis yang bertema MENELUSURI LIMA KOTA UTAMA ANDALUSIA sbb: “Berkunjung ke
Andalusia (Al-Andalus) menyisakan kesedihan dan kepedihan, betapa peradaban yang
dibangun selama hampir 8 abad sirna karena umat meninggalkan Al-Qur’an” - yang sebab-sebab
berakhirnya kekhalifahan al-Andalus sebagaimana yang disebutkan dalam surat Āli
‘Imrān ayat 103 seperti tersebut diatas (sebenarnya juga, bagaimana cara
menghindarinya). Billahit Taufiq
wal-Hidayah. □ AFM
Lihat pula video ini ---klik---> Jatuh dan Runtuhnya Peradaban Islamdi Andalusia – suatu nasehat yang menyentuh akal dan hati kita.
Sumber:
https://www.dakwatuna.com/2015/03/17/65866/fakta-penting-tentang-berakhirnya-islam-di-andalusia/#axzz56cfDBvTl
http://permatafm.com/home/perpecahan-muslim-di-andalusia-periode-bangkitnya-taifa/
https://www.youtube.com/embed/_DHhDr-xCbg
https://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2018/02/menelusuri-lima-kota-utama-andalusia.html
dan
sumber-sumber lain □□