Nūn wal-Qolami wa Mā Yasthurūn
‘Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis’
[QS Al-Qalam 68:1]
K
|
Kaligrafi Islam mempunyai kedudukan yang
istimewa diantara cabang-cabang seni Islam yang lain. Tidak seperti cabang
seni Islam yang lain seperti musik, arsitektur dan lainnya, yang dalam
beberapa hal banyak dipengaruhi oleh gaya-gaya lokal dan dari sejumah seniman
non muslim. Maka kaligrafi mencapai puncak keindahannya di tangan-tangan piawai
seniman muslim sepenuhnya, tanpa campur tangan pihak lain.
Tanpa
Islam barangkali huruf Arab tidak akan berarti apa-apa. Hal ini dapat dilihat
dari perhatian umat Islam terhadap tulisan yang berawal dari perhatian mereka
terhadap Al-Qur’an.
Wahyu Allah Subhana wa Ta’āla yang turun melalui Nabi Muhammad Shalallāhu ‘Alayhi
Wassalam adalah kalimat suci yang merupakan bahasa Tuhan kepada hamba-Nya. Pertalian
langsung antara tulisan dengan nilai-nilai keagamaan yang sakral menjadikan
umat Islam selalu termotivasi untuk terus mengembangkannya.
Pandangan
ini kemudian dipertegas lagi dengan kenyataan bahwa bahasa Arab merupakan
satu-satunya bahasa liturgis umat Islam. Tulisan Arab menjadi terangkat fungsi
dan statusnya, bukan sekedar sebagai alat komunikasi antar manusia, tetapi juga
merupakan tulisan religius yang sakral.
Kehadiran
Islam dengan berbagai atribut yang dibawanya, telah membawa perubahan besar dan
cepat pada perkembangan tradisi Arab. Betapa tidak, ketika orang-orang Arab
tengah asyik-masyuk dengan tradisi verbal yang mereka banggakan, wahyu pertama (al-‘Alaq:1-5) yang berisi perintah Tuhan
agar membaca, menelaah, menganalisis justru
menghentakkan mereka dari tidur panjangnya seolah menjadi “bom” yang
menghempaskan idealisme bangsa Arab, sekaligus “proklamasi” kemestian budaya
tulis-menulis dalam risalah yang dibawa Nabi Muhammad Shalallāhu ‘Alayhi
Wassalam (baca: Islam).
Wahyu pertama itu segera disusul dengan
pengertian lain seperti ‘Tuhanmu
yang mengajari manusia dengan pena’. Kemudian dalam surat Al-Qalam
(Pena) Allah Subhana wa Ta’āla
berfirman yang artinya:
‘Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis’. [QS Al-Qalam
68:1]
Di
samping itu, pengertian-pengertian simbolis pentingnya tulisan juga terdapat
dalam banyak ayat, misalnya al-Qur’an yang tertulis dalam Lauhul Mahfudz [QS
85:21-22], dua malaikat yang mencatat perbuatan manusia [QS 82:10, 50:16],
pemberian buku catatan perbuatan manusia pada hari akhir kelak [QS 17:73,
10:62, 34:4 dan sebagainya], perumpamaan seluruh pohon di bumi dijadikan pena
tidak akan cukup menulis kekuasaan Allah [QS 31: 27], dan perumpamaan air laut
sebagai tinta yang tidak akan cukup untuk menuliskan kekuasaan Allah meskipun
ditambah lagi dengan tujuh kali air laut yang ada di bumi [QS 31:27, 18:109].
Semua ayat diatas merupakan penghargaan yang
sangat tinggi terhadap pena, tinta, buku, dan tulisan. Dari sini dapat dipahami
bahwa kaligrafi atau tulis-menulis memperoleh asal-usul yang langsung dari
Allah Subhana wa Ta’āla lewat
firman-firman-Nya.
Dalam
sejarah perkembangan kaligrafi, nilai-nilai dalam al-Qur’an ini menjadi ruh,
spirit bagi para kaligrafer untuk terus mencipta dan berkarya.
Penghargaan yang demikian tinggi terhadap
tulisan juga terdapat dalam beberapa Hadist Nabi Shalallāhu ‘Alayhi
Wassalam. Kata Qalam (pena) misalnya
disinggung dalam sebuah hadist tentang nasib manusia yang telah tertulis dan
tidak dapat diubah, qad
jaffa al-qalam (pena telah kering).
Hadist lain mengatakan: 'Ajarilah anakmu membaca dan menulis,
serta penjelasan hadist Nabi Shalallāhu ‘Alayhi
Wassalam yang merupakan penghargaan terhadap tulisan indah yang artinya:
‘Bahwa siapa yang menulis BismiLlāhir Rahmānir Rahīm dan
memperindahnya, dia akan masuk surga’.
Dalam
sejarah Islam juga diperoleh keterangan bahwa Nabi Shalallāhu ‘Alayhi Wassalam mengerahkan para tawanan perang - yang
notabene non muslim, untuk mengajari membaca dan menulis
anak-anak Madinah. Kecintaan kepada tulis-menulis seperti dicontohkan Nabi
Shalallāhu ‘Alayhi Wassalam akhirnya
menjadi tauladan bagi para sahabatnya termasuk Abu Bakar ra, Umar ra, Usman ra,
dan Ali ra. Budaya tulis-menulis dalam Islam telah memulai sejarahnya dan
terbangun kuat sejak masa-masa awal Islam ini.
Memandang kaligrafi dari perspektif agama, hal
ini juga didukung oleh citra bahwa kaligrafi dalam Islam dipandang sebagai
manifestasi semangat religiusitas. Ini bermula dari pernyataan-pernyataan Allah
Subhana wa Ta’āla sendiri dalam al-Qur’an dan beberapa Hadist seperti yang dikemukakan di atas.
Kualitas religius yang suci ini akhirnya menjadi
ciri yang sangat tipikal dalam apresiasi kaligrafi sepanjang peradaban Islam.
Melihat betapa dekatnya dunia seni dengan dunia agama dalam visi Islam dan
peran besar kaum sufi – yang turut meniupkan ruh keilahian dalam seni Islam –
kaligrafi mencapai puncak keindahannya. Hal ini dikarenakan ia tersembul dari
spiritualitas (rohani) yang seimbang, serasi, dan harmonis.
Keindahannya
bukan muncul dari imajinasi tak terarah atau selera egois senimannya. Dalam
kaligrafi Islam tidak ada kesan rebelli (memberontak),
yang ada hanya bebas tetapi harmonis, tenteram dan bermakna. Dan keindahannya,
keelastisannya adalah peta batin sang kaligrafer yang telah dinafasi oleh ruh
religiusitas tertentu. Billāhit Taufiq wal-Hidayah. □
Sumber:
http://kaligrafimasjidgrc.com/2017/12/25/semangat-kaligrafi-dalam-misi-islam/
dan sumber-sumber lain (image). □□