Thursday, April 21, 2022

Keutamaan Sholat Dhuha



KEUTAMAAN SHOLAT DHUHA

Oleh: Ahmad Fisal Marzuki


I. PENDAHULUAN

S

ebagai umat muslim dan muslimah, mengerjakan sholat lima waktu setiap hari adalah wajib hukumnya. Namun, di samping sholat wajib ini, ada berbagai jenis sholat sunnah yang bisa dikerjakan pula guna menambah pahala, memenuhi hajat hidup, menambah dan meningkatkan keimanan bagi para pelakunya. Salah satu jenis sholat sunnah tersebut adalah sholat dhuha.

   Sholat dhuha adalah sholat yang dilaksanakan pada waktu dhuha, yakni saat matahari mulai naik kurang lebih tujuh hasta atau 0.45 meter diukur dari sejak terbit matahari sampai waktu dzuhur tiba. Sholat dhuha dikerjakan dalam jumlah minimal dua rakaat. Dan ada beberapa surat yang baik di baca pada saat melaksanakannya, yaitu surat Al-Waaqiah, surat Asy-Syams, surat Adh-Dhuha', surat Al-Kaafirun, surat Quraisy, san surat Al-Ikhlaash. Rasulullah saw berkata mengenai sholat dhuha melalui hadits yang di riwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. [1]

   Keutamaan sholat dhuha di jelaskan dalam beberapa hadits Rasulullah saw, salah satunya yang di riwayatkan Abu Dzar ra yang artinya: "Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah (gerakan-gerakan ketika mengerjakan sholat). Setiap bacaan tasbih (subhanallāh) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillāh) bisa sebagai sedekah (dalam setiap gerakan-gerakan ketika mengerjakan sholat ada bacaan-bacaannya), setiap bacaan tahlil (lā ilaha illallāh) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allāhu akbar) juga bisa sebagai sedekah (dalam setiap gerakan-gerakan ketika mengerjakan sholat ada bacaan-bacaannya). Begitu pula amar ma'ruf (mengajak kepada ketaatan, agen pembangunan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran, agen perubahan dari nahi mungkar menjadi amar ma’ruf) adalah sedekah (amalan-amalan setelah sholat). Ini semua bisa dicukupi dengan melaksanakan shalat dhuha sebanyak 2 raka'at.” (HR Muslim).


II. PEMBAHASAN

S

ecara bahasa “Dhuha” diambil dari kata adh-Dhahwu [arab: الضَّحْوُ] artinya siang hari yang mulai memanas. (Al-Ain, kata: ضحو). Allah berfirman:

Wa annaka lā tazhma-u fīhā wa lā tadh-hā.” (Artinya: “dan sungguh - di surga - engkau tidak akan merasa dahaga dan tidak akan ditimpa panas matahari.” (QS Thāhā 20:119).

   Kaitannya dengan makna bahasa kata dhuha, pada ayat di atas, Allah menyebutkan kenikmatan ketika di surga, salah satunya tidak kepanasan karena sinar matahari, yang itu diungkapkan dengan kata, wa lā tadh-hā (تَضْحَى وَلَا).

   Sedangkan menurut ulama ahli fiqh, Dhuha yang artinya: “Waktu ketika matahari mulai meninggi sampai datangnya zawal (tergelincirnya matahari)”. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 27/221).

1. WAKTU-WAKTU SHOLAT DHUHA

1.1. Waktu Mulainya Sholat Duha

   Sebelum kita awali dengan hadits tentang waktu larangan sholat, terdapat hadits yang menyebutkan waktu larangan untuk melakukan sholat. Yaitu dari Uqbah bin Amir ra dia berkata yang artinya: "Ada tiga waktu di mana Nabi saw melarang kami untuk melaksanakan sholat di tiga waktu dan termasuk dalam menguburkan jenazah: 1). Ketika matahari terbit sampai tinggi, 2). Ketika seseorang berdiri di tengah bayangannya sampai matahari tergelincir, 3). Ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam." (HR Muslim no. 1926).

   Pada hadits di atas, ada dua waktu yang mengapit waktu dhuha: 1). Ketika matahari terbit sampai tinggi; 2). Ketika seseorang berdiri di tengah bayangannya sampai matahari tergelincir.

   Pendapat ulama 'mengenai waktu mulainya sholat dhuha'. Sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa 'waktu mulainya sholat dhuha' adalah tepat setelah terbitnya matahari. Namun dianjurkan untuk menundanya sampai matahari setinggi tombak. Pendapat ini diriwayatkan An Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah.

   Sebagian ulama syafi’iyah lainnya berpendapat bahwa 'sholat dhuha' dimulai ketika matahari sudah setinggi kurang lebih satu tombak. Pendapat ini ditegaskan oleh Ar Rofi’i dan Ibn Rif’ah. 'dimulainya sholat dhuha' adalah jika diukur dengan waktu maka matahari pada posisi setinggi satu tombak atau kurang lebih 15 menit setelah terbit matahari.

   Demikian yang menjadi pendapat Imam Abu Syuja’ dalam matan At-Taqrib, ketika beliau menjelaskan waktu-waktu yang terlarang untuk sholat. Hal yang sama juga menjadi pendapat Imam Al-Albani. Beliau ditanya tentang berapakah jarak satu tombak. Beliau menjawab: “Satu tombak adalah 2 meter menurut standar ukuran sekarang.” (Mausu’ah Fiqhiyah Muyassarah, 2/167).

1.2. Waktu Akhir Sholat Dhuha

   Batas akhir waktu sholat dhuha adalah sebelum waktu larangan sholat, yaitu ketika bayangan tepat berada di atas benda, tidak condong ke timur atau ke barat. Untuk menentukan batas akhir waktu dhuha, anda bisa perhatikan bayangan benda. Selama bayangan benda masih condong ke arah barat, meskipun sedikit, berarti waktu dhuha masih ada. Kemudian ketika bayangan benda lurus dengan bendanya, tidak condong ke barat maupun ke timur, waktu sholat dhuha telah habis. Karena matahari persis berada di atas benda. Ada sebagian yang memberikan acuan, kurang lebih 15 menit sebelum masuk dzuhur.

1.3. Cara Mudah Menentukan Batas Waktu Sholat Dhuha

   Saat ini banyak kalender yang dilengkapi jadwal sholat yang diterbitkan oleh IMMAM Center, Depag atau Tarjih Muhammadiyah, termasuk beberapa kampus islam. Yaitu, Anda bisa perhatikan, waktu terbit matahari dan waktu dzuhur. Jadi batas awal waktu dhuha: waktu terbit matahari + 15 menit. Batas akhir waktu dhuha: waktu dzuhur – 15 menit.

1.4. Waktu Dhuha yang Paling afdhal

   Waktu yang paling utama untuk mengerjakan sholat dhuha adalah ketika matahari sudah mulai panas (dekat dengan waktu berakhirnya dhuha). Sebagaimana riwayat dari Al-Qosim Asy-Syaibani bahwasanya Zaid bin Arqam ra melihat beberapa orang melakukan sholat Dhuha, kemudian Zaid mengatakan: “Andaikan mereka tahu bahwa sholat setelah waktu ini lebih utama. Sesungguhnya Nabi saw bersabda yang artinya: “Shalat para Awwabin adalah ketika anak onta mulai kepanasan.” (HR. Muslim 748). Awwabin artinya orang yang suka kembali pada aturan Allah.

   Sebagian ulama mengatakan: “Sholat pada waktu ini dikaitkan dengan Awwabin karena umumnya pada waktu tersebut jiwa manusia condong untuk istirahat. Akan tetapi orang ini menggunakan waktu tersebut untuk melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan melakukan sholat. Meninggalkan keinginan hati menuju ridho Penciptanya.” (Faidhul Qadir, 4/216)

   Imam An-Nawawi mengatakan: ulama madzhab kami (syafi’iyah) mengatakan: “Waktu ketika matahari mulai panas adalah waktu yang paling utama untuk melaksanakan sholat dhuha, meskipun dibolehkan sholat sejak terbit matahari sampai menjelang tergelincirnya matahari. (Syarh Shahih Muslim, 6/30). [2]

2. DOA & DZIKIR SETELAH SHOLAT DHUHA

   Bacaan doa dan dzikir setelah sholat dhuha sebaiknya dibaca oleh kaum muslimin dan muslimah. Keutamaan sholat dhuha telah dijelaskan dalam beberapa hadits Rasulullah saw, salah satunya yang diriwayatkan oleh Abu Dzar ra yang artinya: Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah (gerakan-gerakan ketika mengerjakan sholat). Setiap bacaan tasbih (subhanallāh) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillāh) bisa sebagai sedekah (dalam setiap gerakan-gerakan ketika mengerjakan sholat ada bacaan-bacaannya), setiap bacaan tahlil (lā ilaha illallāh) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allāhu akbar) juga bisa sebagai sedekah (dalam setiap gerakan-gerakan ketika mengerjakan sholat ada bacaan-bacaannya). Begitu pula amar ma'ruf (mengajak kepada ketaatan, agen pembangunan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran, agen perubahan dari nahi mungkar menjadi amar ma’ruf) adalah sedekah (amalan-amalan setelah sholat). Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan sholat dhuha sebanyak 2 raka'at." (HR Muslim).

Hadits ini menegaskan kedudukan sholat yang sangat mulia ini sebagai pengganti sedekah dari seluruh persendian tubuh. Dengan manfaat ini, para muslimin dan muslimat tidak perlu ragu dalam waktu memulai sholat dhuha.

   Waktu doa dan dzikir yang sebaiknya dibaca sesudah sholat dhuha selesai. Bacaan doa dan dzikir ini akan membantu membuka ointu rezeki setiap hari sebagai berikut:

2.1. Doa setelah sholat dhuha:

"Allaahumma innadh-dhuhaa-a dhuhaa-uka, wal bahaa-a bahaa-uka, wal-jamaala jamaaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrata qudratuka. wal 'ishmata 'ishmatuka." Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya waktu dhuha itu adalah dhuhaMu, dan keagungan itu adalah keagunganMu, dan keindahan itu adalah keindahanMu, dan kekuatan itu adalah kekuatanMu, dan kekuasaan itu kekuasaanMu, dan perlindungan itu adalah perlindanganMu."

"Allaahumma in kaana rizqii fis-sama-i fa anzilhu, wa in kaana fil ardhi fa akhrijhu, wa in kaana mu'assiran fa yassirhu, wa in kaana haraaman fa thahhirhu, wa in kaana ba'iidan fa qarrib-hu". Artinya: "Ya Allah, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah, dan apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, dan apabila sukar mudahkanlah, dan apabila haram sucikanlah, dan apabila jauh dekatkanlah.

"Bi haqqi dhuhaa-ika, wa bahaa-ika, wa jamaalika, wa quwwatika, wa qudratika, aatinii maa ataita 'ibaadakash-shalihiin". Artinya: Dengan berkat waktu dhuhaMu, dan keagunganMu, dan keindahanMu, dan kekuatanMu, dan kekuasaanMu, limpahkanlah kepadaku segala yang telah Engkau berikan kepada hamba-hambaMu yang shaleh." [3,4].

2.2. Dzikir setelah sholat dhuha

   Bacaan dzikir dilakukan setelah sholat dhuha selesai disebut dalam hadits sesuai dengan yang diriwayatkan oleh Aisyah ra yang artinya sebagai berikut: Aisyah berkata, "Rasulullah saw melaksanakan sholat dhuha, kemudian beliau mengucapkan dzikirnya:

"Allaahhammaghfirli wa tub 'alayya, innaka antat tawwaabur rohiim." Artinya: " Ya Allah, ampunilah dosaku dan terimalah tobatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang, sampai Beliau membacanya seratus kali." (Haditas Bujhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 619, Syaikh Al-Bani mengatakan bahwa hadits ini sanadnya shahih). [5]


III. PENUTUP

Dengan melakukan sholat dhuha selesai, berikutnya berdoa dan berdzikir yang dilakukan setiap hari seperti yang telah disebutkan dalam beberapa hadits dibawah yang menegaskan kedudukan sholat dhuha yang sangat mulia dengan keutamaan-kutamaannya [6] sebagai berikut:

1. Pahala Seperti Sedekah

   Keutamaan sholat dhuha bagi yang rajin menunaikannya adalah akan mendapatkan pahala seperti jika ia bersedekah. Ternyata, amalan sholat dhuha memiliki nilai yang sama layaknya bersedekah. Sedekah yang dimaksud adalah sedekah yang diperlukan oleh 360 persendian yang ada dalam tubuh jasad manusia yang membuat kesehatannya prima - sehat lagi bugar baik fisik, mental, spiritual maupun sosial yang dengan itu memungkinkan setiap orang untuk hidup di jalanNya, terutama jika dikerjakan dengan ikhlas.

   Bagi umat Islam yang mengerjakan sholat dhuha, maka dirinya akan mendapat pahala sebanyak persendian sehat lagi bugar sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Rasulullah saw yang artinya sebagai berikut:

Di setiap sendi seorang dari kamu terdapat sedekah, setiap tasbih (ucapan subhanallāh) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillāh) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan lā ilaha illallāh) adalah sedekah, setiap takbir (ucapan Allāhu akbar) adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan dua rakaat Dhuha sebanding dengan pahala semua itu.

2. Kebutuhannya Akan Dicukupi

   Keutamaan sholat dhuha yang selanjutnya adalah akan dicukupi segala kebutuhan bagi siapa saja yang mengerjakannya. Sholat dhuha adalah sholat yang dilakukan untuk memohon limpahan rezeki dari Allah swt. Untuk itu, barangsiapa yang mengerjakannya maka ia akan mendapati bahwa kebutuhannya tercukupi pada akhir hari.

   Hal ini tersirat dalam ketentuan waktu pengerjaan sholat dhuha dan bacaan doa yang dipanjatkan setelah melaksanakan sholat. Sesuai janji-Nya, Allah swt akan memberikan imbalan dan balasan atas kesediaan hambaNya mengingat diriNya di waktu dhuha. Janji Allah tersebut dapat ditemukan dalam sebuah hadist qudsi Rasulullah saw yang artinya:

Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Wahai anak Adam, cukuplah bagiKu empat rakaat di awal hari, maka Aku akan mencukupimu di sore harimu.

3. Raih Keuntungan

   Keutamaan sholat dhuha yang ketiga adalah untuk meraih ghanimah atau keuntungan secara lebih cepat. Umat Islam yang secara tekun mengerjakan sholat dhuha akan memperoleh ghanimah atau keuntungan yang lebih cepat atas izin Allah swt

   Di zaman Rasulullah saw, beliau membandingkan orang-orang mu’min yang melaksanakan sholat dhuha dengan para mujahid yang berangkat bertempur ke medan perang dekat dengan tampat tinggal mereka. Para mujahid tersebut kembali dengan cepat membawa ghanimah (rampasan perang) dalam jumlah banyak beserta kemenangannya.

   Hal ini adalah motivasi bagi para umatnya untuk mengerjakan amal ibadah serta usaha untuk bertawakkal kepada Allah swt, karena manfaat dari tawakkal sangatlah besar.

   Rasulullah saw bahkan menimbang bahwa keuntungan yang di peroleh oleh para pelaksana sholat dhuha berjumlah lebih banyak di banding dengan keuntungan yang diperoleh oleh para mujahid perang tersebut. Hal ini sebagaimana sabda Rasullulah saw yang artinya:

“Perolehlah keuntungan (ghanimah) dan cepatlah kembali! Mereka akhirnya saling berbicara tentang dekatnya tujuan (tempat) perang dan banyaknya ghanimah (keuntungan) yang akan diperoleh dan cepat kembali (karena dekat jaraknya). Lalu Rasulullah saw bersabda; “Maukah kalian aku tunjukan kepada tujuan paling dekat dari mereka (musuh yang akan diperangi), paling banyak ghanimah (keuntungan)nya dan cepat kembalinya? Mereka menjawab: “Ya! Rasul berkata lagi: “Barangsiapa yang berwudhu’, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat dhuha, dialah yang paling dekat tujuannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya”

4. Mendapat Rumah di Surga

   Keutamaan sholat dhuha bagi yang melaksanakannya adalah akan mendapatkan rumah di surga kelak. Umat Islam yang  bersedia meluangkan waktu untuk melaksanakan sholat dhuha sebanyak 12 rakaat di awal hari, dijanjikan oleh Allah swt imbalan berupa rumah yang indah bagai istana di surga nanti. Menurut Anas Bin Malik yang mendengar Rasulullah saw bersabda yang artinya:

“Siapa saja yang sholat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuat untuknya sebuah istana yang terbuat dari emas di surga.” (HR Ibnu Majah)

5. Pahala Haji dan Umrah

   Keutamaan sholat dhuha yang tak kalah dahsyat lainnya adalah dapat mendatangkan pahala yang setara dengan haji dan umrah. Barang siapa yang melaksanakan sholat dhuha dengan tekun, maka orang tersebut akan mendapatkan pahala setara haji dan umrah yang sempurna, Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra, Rasulullah saw bersabda yang artinya:

Barangsiapa yang mengerjakan sholat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu ia sholat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna.

6. Gugurkan Dosa

   Keutamaan sholat dhuha yang selanjutnya adalah untuk membantu menggugurkan dosa-dosa. Dengan melaksanakan sholat dhuha secara rutin, dosa para umat akan dihapuskan meski sebanyak buih-buih di lautan. Terdapat hadist yang memperkuat hal ini, yakni dari Abu Hurairah ra, di mana Rasulullah saw bersabda yang artinya:

“Barangsiapa yang menjaga sholat dhuha, maka dosa-dosanya diampuni walaupun dosanya itu sebanyak buih dilautan” (HR Tirmidzi)

7. Dibuatkan Pintu Khusus di Surga

   Keutamaan shalat dhuha yang terakhir yang dijanjikan oleh Allah swt adalah akan dibuatkannya pintu khusus di surgaNya. Pintu yang dinamakan pintu dhuha ini secara khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang tekun dan rutin melaksanakan ibadah shalat dhuha setiap hari semasa hidupnya. Dari hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda yang artinya:

Sesungguhnya disurga ada salah satu pintu yang dinamakan pintu dhuha, bila datang hari kiamat malaikat menjaga surga memangil; mana ia yang melazimkan shalat dhuha? Inilah pintu kalian maka masukilah dengan kasih sayang Allah." (HR Thabrani)

Dengan melakukan sholat dhuha dan berdoa dan berdzikir setelah usai bersholat dhuha dengan khusyu' dan bersungguh-sunggu akan banyak manfaat yang akan diperoleh bagi yang mengerjakannya sebagaimana yang telah dipaparkan diatas.

   Demikianlah uraian dari 'Keutamaan Sholat Dhuha'. Semoga bermanfaat hendaknya bagi yang membaca artikel ini dan mengamalkannya dengan ikhlas serta berpedoman pula kepada sunatullahNya. Yaitu - disamping berdoa dan berdzikir - dalam bekerja mesti pula dilakukan dengan sebaik mungkin dan bertanggung jawab secara professional sesuai dengan bidang tugas pekerjaannya yang disertai ilmu dan terlatih atau berpengalaman dalam mengerjakan sesuatu yang menjadi tugasnya. Apakah sebagai pegawai negeri atau swasta, Atau pemilik usaha kecil, menengah atau besar. Atau sebagai petugas atau pekerja organisasi sosial kemasyarakatan nirlaba lainnya. Perlu diperhatikan, bahwa dalam berinteraksinya memperhatikan pula adab-adab akhlaknya. Seperti dalam bertetangga, bekerja di tempat kerja, dalam mengadakan rapat, berada dalam majelis ilmu, berada di dalam masjid. Billaahit Taufiq wal-Hidaayah AFM



Catatan Kaki:

[1] https://www.merdeka.com/jatim/berikut-keutamaan-shalat-dhuha-yang-wajib-diketahui-bantu-tambah-pahala-kln.html

[2] https://konsultasisyariah.com/21925-waktu-sholat-dhuha.html

[3] https://news.detik.com/berita/d-5689085/bacaan-doa-dan-dzikir-setelah-sholat-dhuha-pembuka-rizki-setiap-hari

[4] https://artikel.rumah123.com/bacaan-doa-sesudah-sholat-dhuha-beserta-arab-latin dan arti-indonesia--amalkan-agar-rezeki-terus-lancar--121739

[5] https://rumaysho.com/16939-doa-shahih-setelah-shalat-dhuha.html

[6] Idem catatan kaki no. 1 


Referensi:

1. https://www.merdeka.com/jatim/berikut-keutamaan-shalat-dhuha-yang-wajib-diketahui-bantu-tambah-pahala-kln.html

2. https://konsultasisyariah.com/21925-waktu-sholat-dhuha.html

3. https://news.detik.com/berita/d-5689085/bacaan-doa-dan-dzikir-setelah-sholat-dhuha-pembuka-rizki-setiap-hari

4. https://artikel.rumah123.com/bacaan-doa-sesudah-sholat-dhuha-beserta-arab-latin dan arti-indonesia--amalkan-agar-rezeki-terus-lancar--121739

5. https://rumaysho.com/16939-doa-shahih-setelah-shalat-dhuha.html

6. ALFATIH. Al-Qur'an Tafsir Per Kata Disarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir 

Monday, April 4, 2022

Makna Ibadah & Cakupannya




MAKNA IBADAH & CAKUPANNYA

Oleh: Ahmad Faisal Marzuki

 

PENDAHULUAN

A

da baiknya kita mengenali kembali dari kata ‘ibadah’. Kata ini sering kita dengar dalam Khutbah Jum’at, pengajian, bahkan ketika masa kecil dalam belajar Agama Islam di sekolah, di madrasah, dari orang tua kita.

Mengenali kata ‘ibadah’ kembali penting sekali. Saking sering di dengar menjadi terasa biasa bahkan menjadi hambar, hampir-hampir kehilangan maknanya yang sebenarnya sungguh dahsyat. Mengulang kembali kajian ini sangat berguna agar gairah beribadah tetap ‘tune’, sebagaimana ‘kendaraan’ agar tetap ‘fit’ (tidak ngadat) untuk dipakai, maka perlu di ‘tune up’. Ibadah ini sebenarnya ‘kendaraan kita’ untuk mendapatkan dan mencapai ridho dari Rabb Al-Nās (baca: rabbin nās) - Tuhan pencipta dan pemelihara manusia.

Ibadah adalah hikmah penciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberitahukan kepada kita melalui wahyuNya kepada RasulNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termaktub dalam Kitab Suci Al-Qur’an bahwa ‘Dia menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepadaNya’ sebagaimana firmanNya:

Wa mā khalaqtul jinna wal-insa illā liya’budūn - Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu. [QS Adz-Dzāriyāt/51:56]

Dalam pelakasanaan perintah ‘ibadah’ tersebut diingatkan pula olehNya tantangan yang akan dihadapinya manusia berupa ujian dalam melaksanakan perintahNya yang bertujuan membangun (agen pembangunan), dan menjauhi segala laranganNya (berbuat buruk dan merusak) yang bertujuan mengganti yang buruk dan merusak agar diperbaiki menjadi baik (agen perubahan) sebagaimana firmanNya menyebutkan:

Al-ladzī khalaqal-mauta wal-hayāta layabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala - (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya… [QS Al-Mulk/67:2]

Maka semua yang berakal mulia (positif dan membangun), dari kalangan jin dan manusia, dalam hidupnya semenjak dewasa sampai meninggal dunia sesungguhnya mesti ada kesadaran bahwa dia berada dalam ujian dan cobaan - ini adalah tantangannya - apakah iman yang ada pada dirinya itu dalam mengerjakan ibadah disertai amal (yang hasilnya menjadi) perbuatan baik yang membangun.

Jika kita memahami seperti hal tersebut, yaitu bahwa hidup manusia untuk beribadah kepadaNya [QS Adz-Dzāriyāt/51:56], yaitu manusia dalam pelaksanaan (applikasi) beribadah kepadaNya tidak sia-sia dan lulus dalam menghadapi ujian dan cobaan yang hasilnya berupa amal perbuatan yang baik [QS Al-Mulk/67: 2] sebagaimana firmanNya yang lainnya menyebutkan:

Wal ‘ashri innal insāna lafī khusrin illal ladzīna āmnū wa ‘amilush shālihāti wa tawāshau bilhaqqi wa tawāshau bish-shabri. - Demi masa, Sungguh manusia dalam kerugian, kecuali ‘orang-orang yang beriman’ dan ‘mengerjakan (beramal) kebajikan' serta saling menasehati untuk kebenaran, dan saling menasehati untuk kesabaran. [QS Al-‘Ashr/103:1-3]

Dengan itu, maka alangkah pentingnya kita mengetahui ‘makna ibadah dan cakupannya’, sehingga kita bisa mengisi hidup ini dengan beribadah yang sesuai dengan tuntunanNya yang dengan itu bisa meraih ridhaNya - sesuai dengan yang dimaksudkanNya yaitu dengan beriman kepadaNya mesti perbuatannya (amalnya) menghasilkan kebaikan (positif yang membangun).


PEMBAHASAN

1. MAKNA IBADAH.

A

pa makna kata ibadah ini mesti kita ketahui, untuk itu mari kita telusuri ta’rif atau definisi ibadah secara bahasa dan istilah.

   ‘Ibādah secara bahasa artinya adalah ketundukan dan kerendahan atau kepatuhan, seperti perkataan bangsa Arab menyebutkan: “ba’īr mu’abbad” artinya onta yang patuh. Onta patuh kepada pemiliknya, yang meliharanya, yang mengajarkan dan yang memberinya makan dan minum.

   Az-Zajjāj rahimahullah (wafat 311 H/922 M) nama lengkapnya Abũ Ishāq Ibrāhīm ibn Muhammad ibn al-Sarī al-Zajjāj adalah seorang ahli tata bahasa Arab di Basrah, sarjana filologi dan teologi yang favorit di istana Abbasiah berkata, “Ibadah dalam bahasa maknanya ketaatan disertai ketundukan.” [1]

   Ar-Rāghib al-Ash-bihani (Ar-Rāghib al-Isfahani) rahimahullah (wafat 425/502 H/1108/1109 M), seorang ahli tafsir Al-Qur’an dan bahasa Arab, berkata, “’Ubudiyah adalah menampakkan ketundukan, sedangkan ibadah lebih tinggi darinya, karena ibadah adalah puncak ketundukan”. [2]

   Sedangkan, ibadah secara istilah, para ulama telah menjelaskannya dengan ungkapan yang berbeda-beda, namun intinya sama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (lahir 661 H/1263 M - wafat 728 H/1328 M) berkata, “Ibadah adalah satu istilah yang menghimpun seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir dan yang batin.” [3] Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ini mencakup seluruh jenis ibadah dalam agama Islam.

2. CAKUPAN IBADAH

Ibadah dalam agama Islam mencakup ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

2. 1. Ibadah mahdhah

   Ibadah mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya memang merupakan ibadah, berdasarkan nash atau lainnya yang menunjukkan perkataan dan perbuatan tersebut haram dipersembahkan kepada selain Allah Azza wa Jalla.

   Dalam kitab ad-Dīnul Khālish, 1/215, disebutkan pengertian ibadah mahdhah adalah “Segala yang diperintahkan oleh Pembuat Syari’at (yaitu:  Allah Subhanahu wa Ta’ala -pen), baik berupa perbuatan atau perkataan hamba yang dikhususkan kepada keagungan dan kebesaran Allah Azza wa Jalla.”

   Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Wudhu’ adalah ibadah, karena ia tidak diketahui, kecuali dari Pembuat Syari’at, dan semua perbuatan yang tidak diketahui kecuali dari Pembuat Syari’at, maka itu adalah ibadah, seperti sholat dan puasa, dan karena hal itu juga berkonsekuensi pahala.”[4]

   Maka semua perbuatan atau perkataan yang ditunjukkan oleh nash atau ijma’ atau lainnya, atas kewajiban ikhlas kepadaNya, maka itu adalah ibadah, asal dari disyari’atkannya.

Ibadah mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Ibadah hati

Ibadah hati yaitu keyakinan dan amalan yang terbagi menjadi dua bagian:

(1). Qaulul qalbi (perkataan hati), dan dinamakan i’tiqād (keyakinan; keperca-yaan). Yaitu keyakinan bahwa tidak ada Rabb (Pencipta; Pemilik; Penguasa) selain Allah, dan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak diibadahi selain Dia, mempercayai seluruh namaNya dan sifatNya, mempercayai para malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari Akhir, taqdir baik dan buruk, dan lainnya.

(2). ‘Amalul qalbi (amalan hati), di antaranya ikhlas, mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan pahalaNya, takut terhadap siksaNya, tawakkal kepa-daNya, bersabar melaksanakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya dan lainnya.

b. Ibadah lisan

Ibadah lisan atau perkataan di antaranya adalah mengucapkan kalimat tauhid, membaca al-Qur’an, berdzikir kepada Allâh dengan membaca tasbīh, tahmīd, dan lainnya; berdakwah untuk beribadah kepada Allah, mengajarkan ilmu syari’at, dan lainnya.

c. Ibadah badan

Di antaranya adalah melaksankan shalat, bersujud, berpuasa, haji, thawaf, jihad, belajar ilmu syari’at, dan lainnya.

d. Ibadah harta

Di antaranya adalah membayar zakat, shadaqah, menyembelih kurban, dan lainnya.

2. 2. Ibadah ghairu mahdhah

   Sedangkan ibadah ghairu mahdhah yang bukan ibadah, karena tidak berasal dari asal disyari’atkannya, namun bisa menjadi ibadah dengan niat yang baik, sebagaimana penjelasan berikutnya:

Ibadah ghairu mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya bukan ibadah, akan tetapi berubah menjadi ibadah dengan niat yang baik.

Catatan:

   Namun, jika perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataannya dilakukan dengan niat yang buruk atau tujuan yang buruk maka bukan ibadah lagi, melainkan akan berubah menjadi kemaksiatan, dan pelakunya mendapatkan dosa. Seperti, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta dengan niat untuk melakukan maksiat; makan minum agar memiliki kekuatan untuk mencuri; mempelajari ilmu seperti ilmu kedokteran, ilmu jiwa, mekanika (teknik), dst dilakukan dengan niat yang buruk atau tujuan yang buruk maka bukan ibadah lagi, melainkan akan berubah menjadi kemaksiatan.

Ibadah ghairu mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Melaksanakan wājibāt (perkara-perkara yang diwajibkan) dan mandūbāt (perkara-perkara yang dianjurkan) yang asalnya tidak masuk ibadah, dengan niat mencari wajah (ridha) Allah.

   Sebagai contoh:

1.      Mengeluarkan harta untuk keperluan diri sendiri, seperti makan, minum, dan sebagainya, dengan niat menguatkan badan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.

2.     Berbakti kepada orang tua dengan niat melaksanakan perintah Allah.

3.     Memberi nafkah kepada anak dan istri dengan niat melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4.     Mendidik anak dan membiayai sekolahnya dengan niat agar mereka bisa beribadah kepada Allah dengan baik.

5.     Menikah dengan niat menjaga kehormatan diri sehingga tidak terjatuh ke dalam zina.

6.     Memberi pinjaman hutang dengan niat menolong dan mencarai pahala Allah.

7.     Memberi hadiah kepada orang dengan niat mencari ridho Allah.

8.     Memuliakan tamu dengan niat melaksanakan perintah Allah.

9.     Memberi tumpangan kepada seorang yang tua agar sampai ke tempat tujuannya dengan niat mencari ridho Allah.

Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebagai ibadah adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

   Dari Abu Mas’ūd Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Jika seorang laki-laki mengeluarkan nafkah kepada keluarganya yang dia mengharapkan wajah Allah denganNya, maka itu shadaqah baginya”. [HR Al-Bukhari no. 55]

   Dalam hadits lain diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqāsh Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak mengeluarkan nafkah yang engkau mencari wajah Allah denganNya kecuali engkau diberi pahala padanya, termasuk apa yang engkau taruh di mulut istrimu”. [HR. Al-Bukhari, no. 56]

b. Meninggalkan muharramāt (perkara-perkara yang diharamkan) untuk mencari wajah Allâh Azza wa Jalla.

   Termasuk dalam hal ini adalah meninggalkan riba, meninggalkan perbuatan mencuri, meninggalkan perbuatan penipuan, dan perkara-perkara yang diharamkan lainnya. Jika seorang Muslim meninggalkannya karena mencari pahala Allah, takut terhadap siksaNya, maka itu menjadi ibadah yang berpahala.

   Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman: Jika hamba-Ku berkeinginan melakukan keburukan, maka janganlah kamu menulisnya sampai dia melakukannya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah dengan semisalnya. Dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kalinya sampai 700 kali”. [HR Al-Bukhari no. 7501]

Catatan:

   Namun jika seorang Muslim meninggalkan suatu perbuatan maksiat karena tidak mampu melakukannya, atau karena takut terhadap had dan hukuman, atau tidak ada keinginan, atau sama sekali tidak pernah memikirkannya, maka dia tidak mendapatkan pahala.

c. Melakukan mubāhāt (perkara-perkara yang dibolehkan) untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

   Di antaranya tidur, makan, menjual, membeli, dan usaha lainnya dalam rangka mencari rezeki. Semua ini dan yang semacamnya hukum asalnya adalah mubah. Jika seorang Muslim melakukannya dengan niat menguatkan diri untuk melaksanakan ketaatan kepada Allâh, maka hal itu menjadi ibadah yang berpahala.

   Dalil adalah hadits Abu Mas’ud dan Sa’ad yang telah lewat. Demikian juga perkataan Mu’adz bin Jabal, ketika ditanya oleh Abu Musa al-Asy’ari, “Bagaimana engkau membaca al-Qur’an?” Beliau Radhiyallahu anhu menjawab: Aku tidur di awal malam, lalu aku bangun dan aku telah memberikan bagian tidurku, lalu aku membaca apa yang Allâh takdirkan untukku. Sehingga aku mengharapkan pahala pada tidurku, sebagaimana aku mengharapkan pahala pada berdiri (shalat) ku”. [HR Al-Bukhari no. 4341]

3. HUBUNGAN IBADAH MAHDHAH & IBADAH GHAIRU MAHDHAH

   Hubungan ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah sangat erat sekali. Ibadah yang saling tunjang menunjang sebagai dua ‘sisi mata uang’ sebagaimana yang digambarkan dalam Surat ke-28, Al-Qashash ayat 77 yang artinya:

Dan carilah negeri Akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (iman-taqwa, akhlaq, hikmah, ilmu, tenaga, waktu, akal, rezeki, kesehatan). Tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu (share, peran) di dunia (sebagai khalifah-khalifah [5] pemakmur bumi [6] dengan membangun peradaban sebagai ladang ibadah)…” (QS Al-Qashash 28:77).

Bahkan Allah Azza wa Jalla memberi motivasi dan pentunjukNya sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:

“…dan Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik (sumber daya alam), dan Kami lebihkan mereka (sumber daya manusia yang mampu mengem-bangkan dan mengaplikasikan ‘iptek’, [7] ‘imtaq’, [8] bersosial kemayarakatan yang ‘berakhlaq’ [9]) diatas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna (mampu memakmurkan hidup di bumi sebagai ladang ibadah dengan membangun peradaban).” (QS Al-Isrā’ 17:70).

PENUTUP

K

esimpulan pembahasan “Makna Ibadah dan Cakupannya” menunjukkan bahwa ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah mencakup seluruh sisi kehidupan manusia yang kaffah yaitu selamat dan sejahtera di bumi, begitu pula di akhirat.

   ‘Manusia berkehendak’ yang tentu dipilih yang terbaik - bukan hawanafsu egonya saja, tapi menggunakan pertimbangan qalb atau hati - sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:

Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, ada yang bersyukur (mengikuti pertimbangan qalb atau hatinya) dan ada pula yang kufur (mengikuti hawanafsu egonya saja tanpa pertimbangan baik dan buruknya serta bermanfaat atau tidaknya baik bagi dirinya atau masyarakatnya).” (QS Al-Insān 76:3).

Karena status dan potensinya sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:

Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang di bumi untukmu (manusia  manfaatkan)…”  (QS Al-Baqarah 2:29);

Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmatNya untukmu lahir dan batin…” (QS Luqmān 31:20);

“…Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemak-murnya,…” (QS Hūd 11:61).

   Untuk hidup ‘bermasyarakat’ yang sukses perlu berkomunikasi (berinteraksi, berelasi) yang integral atau sempurna diperlukan 3T1I (Ta'ruf - saling kenal; Tafahum - saling memaklumi; Ta'awun - saling bekerja sama; Itsar - saling peduli). Dengan akhlaq 3T1I ini Dia memberi kemampuan verbal untuk berkomunikasi yang efektif dalam berinteraksi sesamanya sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:

“(Allah) Yang Maha Pengasih, Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai bicara (dengan berkomunikasi sukses berdasarkan akhlaq 3T1I)” (QS Ar Rahmān 55:1-4).

dan memelihara alam lingkungan hidupnya perlu memahami sunatullah perilaku alam sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah, dan kemanfaatan alam bagi manusia yang memiliki ‘iptek’ yang mumpuni) bagi orang yang yang berakal (ulil albāb, intelektual, cendikiawan)” (QS Āli ‘Imrān 3:190).

   Manusia mempunyai tanggungjawab atas segala pekerjaannya atau perbuatannya sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:

Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertang-gungjawaban)? (QS Al-Qiyāmah 75:36).

Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami (untuk mempertanggungjawabkannya)?” (QS Al-Mu’minūn 23:115)

   Berbuat kebaikan di bumi untuk hidup baik di akhirat dan baik di bumi sebagaimana firmanNya menyebutkan dalam Surat ke-28 Al-Qashash ayat 77 seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

     Dari ayat-ayat firmanNya tersebut kita mendapat pengetahuan yang sangat dahsyat sekaligus petunjuk bagi orang yang beribadah kepadaNya serta ‘beriman dan melakukan perbuatan baik’ yang sangat jelas sekali. Dengan itu mesti ada kesadaran atas peran kekhalifahan manusia di bumi yang terkait erat dengan beribadah kepadaNya, yaitu mendapat kepercayaan (amanah) berupa mandat sebagai khalifah pemakmur bumi dengan membangun peradaban sebagai ladang ibadahnya. Dipercaya karena mempunyai potensi kelebihannya seperti yang telah disebutkan sebelumnya yang mesti dipertanggung jawabkannya serta mendapat balasan dariNya berupa Surga Firdaus bagi yang beribadah serta ‘beriman dan berbuat kebajikan’ sesuai dengan petunjukNya.

   Semoga Allah memberikan kemudahan dan kemampuan kepada kita untuk beribadah (mahdhah dan ghairu mahdhah) kepadaNya dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. □

 

 

CATATAN KAKI:

[1] Lisānul ‘Arab, bab: ‘abada.

[2] Mufradāt Alfāzhil Qur’ān, hlm. 542

[3] Al-‘Ubudiyah, hlm: 23, dengan penelitian: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullāh.

[4] Al-Mustadrak ‘ala Majmũ’ al-Fatāwā, 3/29; Mukhtashar al-Fatāwā al-Mishriyah, hlm. 28

[5] Innī Jā’ilun fil Ardhi Khalīfah - Aku hendak menjadikan khalifah di bumi, QS Al-Baqarah 2:30; Ja’alakum Khalā-if - Dia menjadikan kalian khalifah-khalifah, QS Al-An’ām 6:165; Ja’alakum Khulafā’ - Dia menjadikan kalian (kamu sebagai) khalifah-khalifah, QS Al-A’rāf 7:74.

   “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi” (QS pangkal ayat 21 surat Fāthir). Di dalam Al-Qur’an kata-kata khalā-if yang diartikan khalifah-khalifah ditemukan pula dalam QS Yūnus 10:14,73; Al-An’ām 6:165; Bertemu pula kata jama’  yang lain dengan sebutan khulafā’ dalam QS Al-A’rāf 7:69,74; Bertemu pula kata khalīfah dalam QS Al-Baqarah 2:30, artinya pengganti atau menjadi khalifah Allah. Niscaya tidak cocok kalau diartikan ‘pengganti’, karena tidak ada pengganti bagi Allah. Tentu maksudnya di ini ialah, orang yang disuruh (penulis: diamanahkan) oleh Allah menjadi ‘pelaksana’ (penulis: penerus risalah yang dibawa Nabi Muhammad Rasulullah saw yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah) di muka bumi. [Tafsir Al-Azhar, Prof. Dr. Hamka, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1984, Juzu’ 22 hal. 262]

[6] Firman Allah swt: “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan-mu pemakmurnya - wasta’marakum fihā (manusia sebagai penghuni bumi untuk menguasai, memakmurkan dan memelihara lingkungan hidup dan ekosistimnya - membangun peradaban). (QS Hūd 11:61)

[7] Iptek: Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Teknologi.  Ilmu pengetahuan (sains) yang melahirkan teknologi sebagai perangkat alat untuk para pelaku pemakmur bumi di dunia dalam membangun peradaban secara fisik sebagai ladang ibadah. Dunia tidak terlepas dari urusan agama dimana dunia sebagai ladang ibadah. Jadi hidup di dunia disini dalam pengertian Ajaran Islam adalah ibadah dalam kategori ibadah ghairu mahdhoh atau ada juga yang menyebutnya sebagai ‘ibadah muamalah’.

[8] Imtaq - Iman dan Taqwa adalah  ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Iman merupakan kendaraan bagi seseorang untuk mencapai taqwa. Tanpa iman tidak mungkin seseorang akan mencapai taqwaTaqwa adalah kemampuan seseorang dalam menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala laranganNya.

[9] Berakhlaq: Akhlak, akhlaq, atau akhlaqiyyah Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk ‘menyempurnakan akhlak’ yang mulia. (HR Al-Bukhari). Akhlaq secara eksplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi, interaksi dan komunikasi individu dengan individu, individu dengan masyarakat menjadi baik dan membangun kebersamaan seperti yang disebutkan pada 3T1I - Ta’aruf - saling kenal; Tafahum - saling memaklumi; Ta’awun - saling bekerja sama; dan Itsar - saling peduli. Artinya bermoral integritas, jujur, benar, adil, beradab, amanah dan bertanggung jawab dalam beripoleksusbudlingdup - bermasyarakat, bernegara dan antarnegara serta lingkungan hidup. Jabaran 3T1I tersebut berasal dari firman Allah swt yang terdapat dalam surat Al-Hujurāt: Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita'ārafū, ta’aruf) satu sama lainnya” (QS Al-Hujurāt 49:13). □□


KEPUSTAKAAN:

1.https://almanhaj.or.id/53392-makna-dan-cakupan-ibadah-2.html; AbuIsma’il Muslim Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin, dan rujukan-rujukan hlm. 65-72; Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M, Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.

2. Sholat Membangun Peradaban Dunia, Ahmad Faisal Marzuki

3. https://en.wikipedia.org/wiki/Abu_Ishaq_al-Zajjaj

4. https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Raghib_al-Isfahani

5. https://www.britannica.com/biography/Ibn-Taymiyyah;

    https://rumaysho.com/617-biografi-syaikhul-islam-ibnu-taimiyah.html  □□□

Blog Archive