Sinegi Pembangunan Peradaban
P
|
royek membangun kembali peradaban Islam tidak
dapat dilakukan hanya dengan melalui satu dua bidang kehidupan. Ia merupakan
proses bersinergi, simultan dan konsisten. Untuk itu maka proyek ini perlu
disadari bersama sebagai sesuatu yang wajib (fardhu ‘ayn) dan merupakan tanggung jawab yang perlu dibebankan
kepada seluruh anggota masyarakat Muslim. Sabda Nabi jelas “Barangsiapa tidak
perduli dengan urusan (masalah) ummat Islam maka ia bukan bagian daripada
mereka” (al-Hadith).
Jika
kita menengok sejarah kejayaan Islam di Baghdad maka kita akan temui gerakan
pengembangan ilmu pengetahuan yang bersinergi. Gerakan yang dimulai dengan
penterjemahan karya-karya asing, khususnya Yunani itu bukan gerakan seporadis
atau gerakan pinggiran. Gerakan itu didukung oleh elit masyarakat Baghdad,
seperti khalifah dan putera mahkotanya, pegawai negara dan pimpinan militer,
pengusaha dan bankers, dan sudah tentu ulama dan saintis. Ia bukan proyek
kelompok tertentu. Selain itu, gerakan disubsidi oleh dana yang tak terbatas
dari perusahaan negara maupun swasta. Dan yang terpenting, ia dilakukan dengan
menggunakan metodologi ilmiyah yang akurat dengan alat filologi yang eksak,
sehingga terma-terma asing dapat diterjemahkan dengan tepat.
Ini
menunjukkan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan adalah sentral sifatnya. Dari
perkembangan ilmu inilah kemudian dikembangkan bidang-bidang lain baik secara
simultan ataupun secara gradual. Ilmu, sudah barang tentu, diperlukan oleh
semua kelompok apapun orientasi dan strategi perjuangannya. Pembangunan
politik, ekonomi, pendidikan, perbankan Islam dan lain sebagainya tidak bisa
tidak harus dimulai dari ilmu. Mungkin diagram dibawah ini dapat menggambarkan
konsep tersebut.
DIAGRAM DISIPLIN ILMU-ILMU ISLAM
Oleh sebab itu sebagai implikasinya, jika ilmu memberi amunisi kepada seluruh pihak dari penguasa, pengusaha, pedagang, politisi, militer, dan sebaginya maka semua pihak yang memerlukan ilmu perlu menyokong proyek pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun tidak dapat sepenuhnya mendapat dukungan seperti di zaman Abbasiyah, sekurang-kurangnya kesadaran semua pihak akan pentingnya ilmu pengetahuan Islam untuk semua bidang kehidupan perlu ditanamkan. Masyarakat Muslim perlu terus menerus mendapat pengarahan akan pentingnya bidang ini.
Secara
materiel, sedekah, zakat, infaq, wakaf pribadi dan perusahaan-perusahaan Muslim
perlu diarahkan bagi pengembangan asas peradaban Islam ini, yaitu ilmu
pengetahuan Islam. Selama ini belum banyak zakat bagi ashnaf fi sabilillah yang diarahkan bagi pengkajian dan penelitian
ilmu-ilmu Islam. Demikian pula wakaf masyarakat pada umumnya masih berupa
tanah, dan masih langka sekali wakaf berupa buku-buku yang sangat menunjang
bagi kegiatan keilmuan. Secara sosial, penghargaan terhadap ulama ataupun
cendekiawan perlu dilakukan melalui berbagai event sosial, agar apresiasi
masyarakat terhadap ilmu meningkat. Namun penghargaan perlu diberikan secara
proporsional, artinya harus berdasarkan pada prestasi di bidang keilmuan, bukan
hanya sekedar reputasi sosial yang seringkali diukur dengan standar
jurnalistik.
Selanjutnya,
karena spesialisasi dalam ilmu pengetahuan baik agama maupun sekuler begitu
kental, maka seorang sarjana satu bidang tidak menguasai bidang yang lain. Dan
yang lebih memprihatinkan lagi sarjana ilmu keislaman buta ilmu-ilmu umum
(sekuler) dan sarjana ilmu umum tidak tahu sama sekali ilmu agama, meskipun
mereka adalah Muslim. Dalam situasi seperti ini diperlukan kerja bersinergi,
dimana sarjana pakar ilmu syariah misalnya bekerjasama dengan pakar-pakar ilmu
ekonomi, ilmu politik, ilmu sosiologi dsb, demikian pula sarjana pakar bidang
usuluddin atau pemikiran Islam berkolaborasi mengkaji sesuatu dengan pakar
dibidang fisika, biologi dan matematika. Dari kerja yang bersinergi ini maka
potensi ummat Islam akan dapat menghasilkan karya-karya yang dapat dimanfaatkan
oleh ummat.
Jika
dukungan masyarakat terhadap pembangunan ilmu pengetahuan Islam ini telah
muncul dan kolaborasi para ilmuwan Muslim dapat terjalin, maka mekanisme
penyebaran (desimination) ilmu
ketengah-tengah masyarakat akan timbul. Artinya, dengan adanya kesadaran
masyarakat akan pentingnya ilmu-ilmu Islam, produk dari kajian ilmu pengetahuan
Islam yang dihasilkan oleh pusat studi Islam atau lembaga-lembaga pendidikan
Islam memperoleh saluran penyebaran yang efektif. Media pendidikan formal, dan
informal seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, internet,
ceramah-ceramah tokoh diharapkan dapat menjadi medium penyebaran ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai Islam.
Jika
masyarakat tidak mendukung gerakan pengkajian Islam tersebut, maka keadaan
seperti yang kita saksikan sekarang. Hasil seminar, penelitian dosen, workshop,
konferensi dan lain-lain hanya akan berhenti di tingkat elit saja dan tidak
tersebar ke tengah masyarakat. Inilah yang sering disebut dengan intellectual mechanism.
Penutup
Peradaban
Islam adalah peradaban yang dibangun oleh ilmu pengetahuan Islam yang
dihasilkan oleh pandangan hidup Islam. Maka dari itu, pembangunan kembali
peradaban Islam harus dimulai dari pembangunan ilmu pengetahuan Islam. Orang
mungkin memprioritaskan pembangunan ekonomi dari pada ilmu, dan hal itu tidak
sepenuhnya salah, sebab ekonomi akan berperan meningkatkan taraf kehidupan.
Namun, sejatinya faktor materi dan ekonomi menentukan setting kehidupan
manusia, sedangkan yang mengarahkan seseorang untuk memberi respon seseorang
terhadap situasi yang sedang dihadapinya adalah faktor ilmu pengetahuan. Lebih
penting dari ilmu dan pemikiran yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat,
adalah intelektual. Ia berfungsi sebagai individu yang bertanggung jawab
terhadap ide dan pemikiran tersebut. Bahkan perubahan di masyarakat ditentukan
oleh ide dan pemikiran para intelektual. Ini bukan sekedar teori tapi telah
merupakan fakta yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam. Di
Barat ide-ide para pemikir, seperti Descartes,
Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel, John Dewey, Adam Smith dan
sebagainya adalah pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dan merubah pemikiran
masyarakat.
Demikian
pula dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para ulama seperti Imam Syafii, Hanbali, Imam al-Ghazzali, Ibn
Khaldun, dan lain sebagainya mempengaruhi cara berfikir masyarakat
dan bahkan kehidupan mereka. Jadi membangun peradaban Islam harus dimulai
dengan membangun pemikiran umat Islam, meskipun tidak berarti kita berhenti
membangun bidang-bidang lain. Artinya, pembangunan ilmu pengetahuan Islam
hendaknya dijadikan prioritas bagi seluruh gerakan Islam. Wallahu a’lam bissawab. □ [Oleh Dr.
Hamid Fahmi Zarkasyi]
Kembali ke: Membangun Kembali Peradaban Islam 1
Diakses dari banihamzah-wordpress-com □□□