Saturday, February 10, 2018

Peran Intelektual Islam Al-Andalus




Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. [QS Al-Mujadalah 58:11]


D
Di kota Kordoba Al-Andalus, di masa mulai tahun 711 sampai tahun 1492, ia menjelma menjadi kota seribu cahaya. Megacity yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum, jalan-jalan aspal, lampu kota yang menambah kesan megah, jembatan-jembatan cantik, dan bangunan yang sedap dinikmati aura kegagahannya. Disini bermukim 5 juta penduduk, mewakili banyak peradaban, belajar, bekerja, berkarya dan bertukar pikiran.

Penguasanya bersemangat menimba ilmu, menghadirkan ulama, kaum intelektual dan mengumpulkan naskah-naskah ilmiah yang penting, dan dijadikan khazanah peradaban yang kelak akan dipersembahkan kepada generasi setelah mereka. Saat kemegahan itu terbentang di hadapan dunia, ia menyita perhatian masyarakat dunia. Hingga pemuda pemudi Eropa, Arab Afrika bahkan China sekalipun berbondong-bondong melakukan studi di sana. Begitulah peradaban Islam memimpin dunia, kala itu.

   Kemudiannya, kekuasaan umat Islam di Al-Andalus praktis berakhir dengan jatuhnya Granada. Namun pengaruhnya pada dunia intelektual Barat, tidak terelakkan, telah berakar kuat sampai saat ini. Dengan itu usaha menjelajah sejarah intelektual Islam zaman Al-Andalus tetap relevan sebagai refleksi kekinian dan kekitaan saat ini. Montgomery Watt memberi pandangan bahwa wajah sejarah Barat dan atau Amerika saat ini tidak lain adalah pengaruh langsung dari sejarah umat Islam Al-Andalus (Spanyol Islam).

Here an oriental culture has entered Europe and left behind magnificent architectural remains. It offers important example of close contact of diverse  culture, and one that has contributed to making Eouropean and American historian what he is. [1]

Di sini budaya timur telah memasuki Eropa dan meninggalkan sisa-sisa arsitektur yang luarbiasa indahnya. Hal ini merupakan contoh penting dari adanya hubungan yang erat antar beragam budaya, dan salah satu yang telah memberi kontribusi untuk menjadikan sejarawan Eropa dan Amerika mengenal siapa dirinya yang  sebenarnya.

   Tentu ada latar kesejarahan yang menyuburkan dunia intelektual Islam Andalusia sehingga berkembang pesat. Ada situasi sosial-politik yang melatari perkembangan: sastra; pendidikan; dan keilmuan. Ketiga ranah itu cukup menjadi penanda tumbuh suburnya dunia intelektual masa itu yang membangunkan Peradaban Manusia pasca the dark ages Eropa (Barat) abad tengah menjadi bangkit seperti sekarang ini.

Dengan batasan ketiga ranah itu, tulisan ini tidak membahas bidang-bidang peradaban lain semisal: pertanian; hukum; arsitektur; administrasi publik maupun pemerintahan; militer; armada laut; ekonomi yang juga sangat menonjol saat itu.


Kemajuan dunia intelektual di Al-Andalus yang di sebabkan dari Faktor Internal

   Sebagian besar penguasa di Andalusia yang masuk dalam line up silsilah kekuasaan di Al-Andalus adalah orang-orang yang memiliki komitmen sekaligus bakat keilmuan dan kecintaan pada sastra. Abdurrahamn I, Hisyam, Abdurrahman II dan III sedari muda adalah para pecinta ilmu dan sastra. Tidak diragukan pemerintahan mereka mendorong tumbuh kembangnya budaya keilmuan. Kelimpaham materi yang dicapai penguasa Al-Andalus dimanfaatkan untuk pengembangan dunia keilmuan dan kecintaan pada buku.



Edward Gibbon, penulis sejarah kekaisaran Romawi, membuat catatan, bahwa ia terkagum-kagum dengan kecintaan masyarakat muslim di Al-Andalus yang jauh melampui kultur Kristen zaman pertengahan yang antibuku. Di Kordoba saja ada 70 gedung perpustakaan. Khusus perpustakaan khalifah sendiri memiliki koleksi judul buku sebanyak 600.000. [2] Sumber yang lain menyatakan 400.000.


   Selain perpustakaan, sejumlah tempat-tempat penelitian, pusat-pusat kesehatan dan teknologi dibangun. [3] Kordoba benar-benar menjadi kota peradaban yang dibangun sejak Abdurrahman I dan diperluas dan semasa Abdurrahamn II dan Al-Hakam.

Pameran dan pasar buku sangat ramai. Tawar-menawar dan lelang buku di kalangan pecinta dan kolektor buku menjadikan harga buku jauh melampui harga riilnya. [4] Perpustkaan Kordoba bisa jadi semacam “The Library of Congress” di Washington saat ini. Sementara gairah akan buku masyarakatnya bisa dianalogikan dengan Frankfrut Book Fair, perhelatan buku terbesar di dunia saat ini. [5]

   Jika di Eropa banyak buku-buku disegel oleh gereja, pikiran-pikiran kritis dan bertentangan dengan penguasa dan gereja dibungkam seperti yang terjadi pada Copernicus dan Galileo. Lain halnya di Al-Andalus, pemikiran tumbuh subur dan kritis. Semasa Abdurrahman III, seorang khatib bernama Al-Mundzir bin Sa’id mengkritik keras megaproyek pembangunan Madinah Az-Zahra. Seorang penasihat khalifah membisiki agar sang khatib itu dipecat atau diberi sanksi. Akan tetapi, dengan besar hati, Abdurrahman III menerima kritik itu sebagai peringatan untuk dirinya. [6]

Penguasa Bani Umayyah juga terkenal dekat dan akrab dengan banyak penyair. Seringkali Abdurrahman II, misalnya mengundang sastrawan ke kediamannya. Seorang pujangga yang dekat dengan penguasa adalah Ibn'Abd Rabbih (994-1064) atau Ibn'Abd Rabbihi adalah seorang penulis dan penyair Moor yang dikenal luas sebagai penulis Al-'Iqd al-Farīd.

Pujangga besar lain yang beraliran Platonis adalah Ibnu Hazm. Puisi platonis memandang keindahan romantisme sebagai wakil dari keindahan abadi. Bagi puisi platonis, kecintaan pada dunia adalah anak tangga bagi kecintaan pada Ilahi. Cinta sejati yang  terungkap dalam puisi tidak lain adalah jalan pendakian untuk berkontempelasi pada Yang Maha Kuasa. “Love is  a means of ascent to comtempletion of Devine,” kata Stanford yang mengutip Plato. [7] 

   Ibnu Hazm (994-1064) - Abū Muhammad'Alī ibn Ahmad ibn Sa'īd ibn Hazm adalah seorang penyair Al-Andalus, polymath, sejarawan, ahli hukum, filsuf dan teolog, lahir di Kordoba, seorang kristen yang menjadi mualaf. Pernah menjabat di kabinet, tetapi kemudian mengundurkan diri dan lebih memilih jalan hidup sebagai seorang sastrawan. [8] Kordoba benar-benar menjadi enclave dan episentrum kegiatan ilmu dan satra.

Nyaris semua pengunjungnya baik berasal dari Al-Andalus maupun manca negara memberi pujian sebagai perhiasan dunia (The Ornament of World). Dicacat oleh As Sirjani, sejumlah tokoh semisal Ibnu Hauqal, Al-Idrisi, Al Himyari Abu Al Hasan bin Bassam, Ibu Al Wardi memuji Kordoba sebagai pusat bertemunya orang-orang hebat, berilmu, dan cerdas. [9]
  
Kesusastraan Islam zaman Al-Andalus, diakui mempengaruhi dunia sastra Eropa pada saat itu. Sampai saat inipun semua kritikus Don Xuisote karya Carvantes mengakui dalam karyanya ada pengaruh sastra Arab. Kekuatan prosaik Don Xuisote pun hanya bisa ditandingi oleh karya-karya Shakespeare. Secara khusus Gunawan Muhammad memberikan catatannya dan menerjemahkan satire Don Xuisote yang pernah difilmkan.

Syahdan, adegan dimulai dengan Miguel de Cervantes, penyair, pemungut pajak, dan prajurit, yang ditangkap bersama bujangnya yang setia. Jawatan Inkuisisi, lembaga Gereja Katolik Spanyol yang dengan tangan besi menjaga keutuhan umat dan iman, menjebloskan mereka ke dalam kurungan di bawah tanah. Tak ayal, dalam Calabozo yang seram itu mereka dikerubuti para tahanan lain bahwa semua milik yang mereka bawa harus diserahkan kepada Gereja. [10]

   Bersama dengan kemajuan dunia sastra di Al-Andalus, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan juga berkembang pesat. Baik ilmu agama maupun ilmu alam berkembang dengan pesat. Khusus tentang pengajaran Al-Quran, dalam catatan Ibnu Khaldun, masyarakat Al-Andalus sangat sadar akan pentingnya mengajarkan Al-Quran. Pada anak kecil Al-Quran diajarkan dengan kemampuan membaca. Pelajaran Al-Quran diberikan tanpa tambahan tafsir, tambahan pelajaran menulis pada anak-anak tersebut. Ini dilakukan untuk menancapkan kecintaan pertama kali pada Al Quran. [11]



Pada usia yang lebih remaja, mereka diajari menulis dan tatabahasa Arab. Sebagai pelajaran tambahan murid-murid diajari sejarah, tafsir Al-Quran, tata bahasa Arab, puisi, leksikografi dan geografi. Guru-guru mendapatkan tempat yang terhormat. Kaum wanita pun tidak banyak dibatasi untuk belajar. Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, pemerataan pendidikan dilakukan. Pada zaman Abdurrahman III dinyatakan bahawa tidak ada penduduk dewasa di Kordoba yang buta aksara. Kordoba juga memiliki universitas besar. Asal-mulanya adalah Masjid Kordoba  yang dibangun tidak hanya untuk tempat ibadah, tetapi juga untuk aktivitas intelektual. Boleh jadi Universitas Kordoba saat itu bandingannya adalah seperti Sarbone University”, Perancis  atau Harvard Universiy, Amerika Serikat saat ini.

   Selain Kordoba, kota-kota Spanyol seperti Sevilla, Malaga, Granada juga juga memiliki universitas. Universitas Kordoba membuka berbagai jurusan, yaitu: astronomi, matematika, kedokteran, hukum dan teologi. Univeritas Granada yang dibangun zaman Khlalifah Nashiriah, tidak kalah dengan univeristas Kordoba, bahkan di Granada dibuka jurusan kimia menambahi jurusan yang ada di Kordoba.

Kemajuan pendidikan di kota-kota Al-Andalusia (Spanyol Islam) menjadikan kaum Yahudi mengiblat. Kurikulum pendidikan mereka tak ayal lagi berusaha mengadopsi dan menyerap tingkat perkembangan pendidikan Islam. Umat Yahudi ikut menikmati kejayaan Al-Andalus bagi kesejahteraan hidup mereka. Dalam amatan orang Yahudi, tidak hanya Kordoba yang menjadi pusat perkembangan ilmu dan budaya, kota-kota lain seperti Sevilla, Granada, Malaga berusaha keras bisa menyamai Kordoba. Sejumlah orang Yahudi yang berkibar menjadi tokoh, pujangga, ilmuwan diataranya adalah Juha Halevi, Maimondes, Joseph Ibnu Nagrela, Hasdai Ibn Shaprut. [12] Kota-kota Al-Andalus, terutama Kordoba saat itu adalah tujuan kegiatan fellowship (hubungan persahabatan dan beasiswa).


Kemajuan dunia intelektual di sepanyol yang di sebabkan dari Faktor Eksternal

   Dominasi intelektual generasi umat Islam di Andalusia, tidak pelak lagi, menjadikan bahasa Arab adalah lingua franca (bahasa pergaulan, bahasa sehari-hari) saat itu. Bahasa menjadi kiblat ilmu pengetahuan saat itu. Bahasa Latin yang sudah lama mendominasi konstelasi peradaban Eropa tergeser oleh bahasa Arab. Digambarkan oleh Menocal, bagaimana seorang Pendeta Kristen Paul Alvarus menjadi gelisah melihat kenyataan anak-anak muda penduduk asli Al-Andalus (maksudnya Spanyol) merasa lebih optimis belajar bahasa Arab.

Banyak orang Kristen juga senang mempelajari berbagai syair Arab. Tatabahasa Arab yang indah menjadi daya tarik bagi orang Kristen Eropa. “Adakah rakyat jelata yang masih mau membaca tafsir-tafsir kitab suci berbahasa latin,” begitu keluh Alvarus dalam bukunya The Unmistitakable Sign – tanda yang jelas, kepastian. [13] Gejala ini mungkin tidak jauh beda dengan kondisi masyarakat intelektual kita sekarang yang cenderung mengiblat pada bahasa Inggris.

   Universitas-universitas di kota-kota Al-Andalus benar-benar menunjukkan diri sebagai center of excellent. Jika saja saat itu sudah ada badan pemeringkatan Perguruan Tinggi sebagaimana Time Higher Education, tidak mustahil, Univeritas Kordoba akan menduduki peringkat atas jajaran World Class University. Peringkat yang saat ini diidam-idamkan dan dikejar-kejar Perguruan Tinggi seluruh dunia.



Salah satu alumnus Kordoba adalah Al-Idrisi, nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad al-Idrisi al-Qurtubi al-Hasani al-Sabti. Dikalangan orang Eropa (Barat) dikenal dengan nama Dreses. Muhammad al-Idrisi lahir di kota Afrika Utara, di kota semenanjung Ceuta (Sabtah), Maroko tahun 1100. Dia adalah pakar geografi, kartografi, mesirologi, botani  Dia seorang pengembara yang tinggal di istana Raja Roger II. Al-Idrisi merupakan keturunan para penguasa Idrisiyyah di Maroko. Ia keturunan dari Hasan bin Ali, putra Ali ra, dan cucu Nabi Muhammad saw. Ia tumbuh dan besar di Ceuta dan menempuh pendidikan di Kordoba, Al-Andalus. Dan wafat tahun 1166 M di Sisilia - pulau, sekarang bagian negara Italia.

Al-Idrisi juga merupakan ahli farmakologi dan seorang dokter. Namun, minatnya yang besar pada matematika dan astronomi menjadikannya sangat ahli di bidang navigasi. Hal ini membawanya menjadi seorang yang sangat pakar di bidang geografi dan pembuatan peta (kartografi).

Buku al-Idrisi Nuzhat al-Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afaq merupakan sebuah ensiklopedia geografis yang berisi peta rinci dan informasi negara-negara di Eropa, Afrika, dan Asia. Dia kemudian menyusun sebuah ensiklopedia yang lebih komprehensif berjudul Rawd-Unnas wa-Nuzhat al-Nafs.

Bukunya tentang geografi sangat populer selama beberapa abad. Beberapa bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Salah satu terjemahan yang di terbitkan pada 1619 M di Roma adalah sebuah edisi singkat dan penerjemahnya tidak mencantumkan nama Al-Idrisi - sebagai penemu dan penciptanya.

Eropa memerlukan tiga abad untuk memanfaatkan bola dunia dan peta dunia yang dibuat Al-Idrisi, Christopher Columbus dan Vasco Da Gama sesungguhnya menggunakan peta karya Al-Idrisi itu. Dengan peta dunia yang dibuat Al-Idrisi inilah, Christopher Columbus menemui Amerika. [14]

Sayang sekali belum ada Univeritas Islam di dunia Islam, jangan lagi UIN di Indonesia masuk dalam daftar World Class University itu. [15]


Tokoh dan Ilmuwan dalam kemajuan dunia intelektual di Al-Andalus

Dari rahim kemajuan dunia intelektual di Al-Andalus itu, lahirlah tokoh-tokoh ilmuwan muslim pengembang berbagai bidang keilmuan. Tentu tidak bisa didaftar satu-persatu. Beberapa berikut yang disebut cukuplah mewakili gambaran keunggulan warisan inteletual dan dunia keilmuan umat Islam di Andalusia. Diantara mereka yang mewakili zamannya sepanjang sejarah Islam di Spanyol adalah  Al-Zahrawi, Ibnu Khaldun, Ibnu Thufayl, Ibny Rusyd, dan Ibnu Bathutah.

   Al-Zahrawi, adalah dokter ahli bedah semasa kekuasaan Al-Hajib Al-Muzaffar.  Al-Zahrawi pula yang memperkenalkan pada dunia medis modern alat-alat bedah, prinsip-prinsip pembedahan yang mengikuti jalur pembuluh darah dan menemukan benang jahit paskabedah. [16] Ibnu Khaldun (1332-1406) mengulas sejarah dan sosiologi dengan melihat faktor fisik demografis dan spritualitas yang berpengaruh kuat pada dinamika kesejarahan bangsa Arab dan Berber (Moor, bangsa Afrika Utara kulit hitam).

   Ibnu Thufayl seorang dokter juga seorang filsuf besar. Selain dokter istana, ia adalah penasihat Dinasti Muwahhidun, tepatnya Khalifah Abu Yaqub Yusuf. Ia sorang penganut paham neoplatonis. Ia belajar kedoktern di Granada. Karya filsafatya ditulis scara prosaik: Hayy ibnu Yaqdzan (Hidupnya Anak Kesadaran; Arabic: حي بن يقظان "Alive, son of Awake"; Latin: Philosophus Autodidactus "The Self-Taught Philosopher"; English: The Improvement of Human Reason) adalah judul karyanya. Buku itu selian komtemplatif juga mengibur. Buku itu memuat gagasan. Bahwa salah satu kapasitas akal manusia adalah mengetahui tanpa bantuan sedikitpun dari luar. Ilham, pengetahuan rohani, ide-ide spiritualisme bisa diraih tanpa bantuan (melalui) panca indra. Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Latin pertama kali oleh Edward Pococke. Gaya menulisnya konon mirip dengan pendahulunya Ibnu Sina, tetapi inspirasinya berasal dari Al-Farabi.[17]

   Ibnu Rusyd (1126-1198), selain dokter dan hakim, ia tekenal terutama di kalangan Barat karena ulasanya tentang Arsitoteles. Nalar Barat terbantu dalam memahami alam pikiran Yunani terutama karya-karya Aristoteles berkat ulasan-ulasan Ibnu Rusyd. Ia hidup semasa Ya’qub Al-Manshur salah satu penguasa Dinasti Muwahhidun.

Di dunia Islam, pandangan-pandangan Ibnu Rusyd dikenal bertentangan dengan pandangan Al-Ghazali. Dalam perkembangan sejarah berikutnya, Al-Ghazali lebih diakrabi oleh kaum muslimin di belahan Asia dan Afrika. Sementara orang-orang Kristen Barat mengiblat pada Ibnu Rusyd. Andai saja umat Islam dalam kesejarahan mutakhir bisa melakukan elaborasi yang seimbang pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, mungkin saja akan berdampak lain pada wajah peradaban umat Islam hari ini.

   Ibnu Bathutah (1304-1377), sebenarnya ahli fikih, tetapi pengembaraannya menjadikannya terkenal karena catatan demografi, etnografi dan geografi dari wilayah-wilayah yang dikunjuginya dari Afrika, India, China, Konstantinopel dan ke Al-Andalus. [18] Dalam perjalanannya dari Delhi ke China, Ibnu Bathutah, singgah di Samudra Pasai (Nusantara, Indonesia) pada tahun 1345. Saat itu penguasa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Sultan Malikus Zahir. [19]


Penutup

   Demikian dalam pembahasan kemajuan dunia intelektual yang “par excellence di Al-Andalus yang mendunia di Abad Tengah - Abad Keemasan Peradaban Islam yang berasal dari penduduk Timur Tengah yang pengaruh sangat terasakan.

Seperti halnya dari Al-Khwarizmi dengan algoritmanya, dunia bisa mengenal komputer, ATM, medsos bahkan sampai game (dan video, foto, tv dan film, kalkulator, map serta GPS, google dan adzan) yang ada di smartphone yang jamak dipakai oleh para penggunanya. Peradaban-peradaban Romawi Kuno, Jepang, Tiongkok, Korea, bahkan India tidak mengenal asas Algoritma itu. Maka, sesungguhnya, dunia berhutang budi kepada intelektual pada zaman keemasan peradabaan Islam. [20]  Billahit Taufiq wal-Hidayah. AFM


Catatan Kaki:
[1] William Montgemary Watt and Pieere Cachia, A History of Islamic Spain (Eidenburg: Eidenburg University Press, 1997), 1.
[2]  Maria Rosa Menocal, Sepotong Surga di Andalusia, 39.
[3] Janes S. Gerber, The Jews of Spain: A Historic of Sephardic Experoence (New York: McMillan, 1994),29.
[4] Philip K. Hitti, The History Arabs, 717.
[5] Tentang bergengsinya pameran buku di Frankfrut Jerman Dorothea Rosa Herliany, penyair Indonesia yang tinggal di Jerman, menggambarkan dalam artikelnya ”Frankfurt Book Fair: Pentingnya Sastra di Sebuah Bangsa”, Kompas, 6/10/2013.
[6] Roghib As Sirjani, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, 22.
[7] Stella Stanford, Plato and Sex (Cambridge, USA: Polity Press, 2010) 27.
[8] Philip K. Hitti, The History of Arabs, 710.
[9] Rogib, As Sirjani, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, 367.
[10] http://goenawanmohamad.com/2010/08/23/majenun/
[11] Ibnu Khladun, Muqoddimah, terj. (Jakarta: Al Kaustar, 2001) 1003.
[12] Janes R. Gerber, The Jews of Spain: A History of Sephardic Experience (Macmillan, 1994), 36-38.
[13] Maenocal, Sepotong Surga di Andaluisa, 77
[14] Al-Idrisi Pencipta Peta Dunia, A. Faisal Marzuki (blog)
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/11/al-idrisi-pencipta-peta-dunia-1.html
[15] Soal ulasan capaian peringkat PT Indonesia dan sejumlah PT dunia yang berhasil menembus daftar World Class University, “Bambang Cipto, Di Balik Terpuruknya Peringkat PT” (Kompas: 14/10/2013).
[16] Roghib, As Sirjani, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, 328.
[17] Hitti, History ofArabs, 742.
[18] Ibid, 839.
[19] Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996 ) 249.
[20] Makna Akhlaq, A. Faisal Marzuki (blog)
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2018/02/makna-akhlaq.html


Sumber:
sejarahislamarab.blogspot.com
id.wikipedia.org
afaisalmarzuki.blogspot.com □□

Blog Archive