Sungguh,
Kami telah menurunkan ayat-ayat yang memberi penjelasan. Dan Allah memberi
petunjuk siapa yang Dia kehendaki kejalan yang lurus. [QS An-Nūr 24:46]
“Di
antara yang paling penting yang telah aku pelajari dan aku dapatkan dari
kehidupan sosial manusia sepanjang hidup adalah bahwa yang paling layak untuk
dicintai adalah cinta itu sendiri, dan yang paling layak dimusuhi adalah
permusuhan itu sendiri.” [Said Nursi]
Kata
Pengantar
Ditengah
kegalauan pegangan hidup antara Islam, atau Timur, atau Barat dalam pilihan
hidup kita tidaklah mudah, kalau tidak tahu akar maknanya. Timur asal daerah
kita, Barat di millennium ketiga ini sebagai pemegang puncak keunggulan dalam
Science, Technology, dan Kemakmuran Ekonomi dan life style yang telah mendunia. Islam yang pengertiannya bukan saja
agama juga way of life – jalan atau
pegangan hidup (Al-Din Al-Islam) [1] untuk
keselamatan hidup di dunia, dengan jalan memakmurkan kehidupan yang aman, damai,
dan sejahtera di bumi dan keselamatan di akhirat, dengan jalan beriman
kepada-Nya, beribadah kepada-Nya dan beramal kebaikan bagi sesama manusia serta
lingkungan hidup.
Didalam
penggal ayat atau kata Dīn atau Al-Dīn yang Islam inilah, Michael H. Hart [2] terkagum-gamun
kepada Nabi Muhammad saw yang membawa
ajaran Islam yang mengatakan sebagai berikut: “"Pilihan saya
Muhammad memimpin daftar orang-orang paling berpengaruh di dunia mungkin
mengejutkan pembaca dan dapat dipertanyakan oleh orang lain, tapi dialah
satu-satunya manusia dalam sejarah yang sangat berhasil baik dalam tingkat religious (agama, beragama Islam) maupun
seculer (dunia, beramal kebaikan di dunia)."
[3]
Begitu
pula Thomas Jefferson, [4] jauh
sebelum kemerdekaan Amerika dari pemerintahan kolonial Kerajaan Inggris tahun
1776, founding father America dan kemudiannya sebagai President Amerika yang ke-3 serta penyusun deklarasi
kemerdekaan, telah terpikat atas kedalaman isi ayat-ayat Al-Qur’an. Terutama
baginya telah memberikan pencerahan dan banyak ide bagaimana dasar-dasar dalam
menyusun diktum-diktum Deklarasi Kemerdekaan Amerika termasuk visi dan misi dan
berintegritas seperti amanah, jujur, tanggung jawab, adil, menepati janji dalam
melaksanakan amanah.
Namun kenyataannya sekarang menjadi buah pelecehan dunia
ulah ”terorisme” dan ”kejumudan” [5] orang Islam sendiri. Akibatnya adalah
mempertanyakan kehadiran orang Islam (Muslimin) ditengah kehidupan dunia yang
sudah mengglobal ini untuk apa?
Setelah penulis berkenalan dengan Kang Abik [6] pada muktamar
IMSA (Indonesian Muslim Society in America) di Baltimore, Maryland dengan tema Being Muslims in Times of Uncertainty Desember
minggu ke-3 tahun 2015 dan kemudian membaca buku karya novel Kang Abik berjudul
Api Tauhid. Maka sangatlah tepatlah tajuk
diatas ini kami paparkan keadaan umat
Islam saat ini, kami ambilkan gambarannya
dari yang dituliskan oleh Noor Achmad [7] seperti dibawah ini yang kami beri
judul Risalah Nur dalam Api Tauhid. Selamat menyimak. □ AFM
Risalah Nur dalam Api Tauhid
M
|
embaca
novel Kang Abid yang diberi judul Api
Tauhid ini, rasanya kita dibawa ke tiga budaya, tiga benua dan tiga zaman
yang berbeda, tetapi dikemas dengan rasa heroism memperoleh cinta Ilahi.
Tokoh Fahmi, Subki, Ali, Kyai
Arselan dan Nuzula, mewakili kehidupan cultural khas santri di Jawa. Fahmi dan
keluarganya, begitu sami’na wa atha’na
dan ta’zhim kepada kyai. Sentuhan
roman dalam balutan alam pedesaan, dan cara bersosialisasi khas Jawa Timuran,
dimulai ketika Fahmi, -seorang santri kampung yang cerdas, hafidz, dan mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah – diminta oleh
seorang lurah –yang tentu saja kaya- untuk dijodohkan dengan putrinya, yang
dianggap pas bersuamikan Fahmi. Menghadapi permintaan Pak Lurah itu, Fahmi dan
keluarganya merasa harus berdiskusi, bahkan Fahmi harus istikharah untuk menerima atau tidak menerimanya.
Saat istikharah Fahmi belum tuntas, datanglah Kyai Arselan, seorang kyai
besar di Lumajang, yang mampir ke rumah Fahmi. Kyai Arselan datang dengan
rombongannya. Keluarga Fahmi seketika “gupyuk”, sibuk mempersiapkan segala
sesuatu untuk menyambut Kyai Arselan. Dan ketika Kyai Arselan menitahkan ingin
menjodohkan anaknya yang bernama Nuzula dengan Fahmi, keluarga Fahmi tidak bisa
menolaknya. Bahkan istikharah-pun
tidak perlu lagi karena sudah zhahir
atau sangat jelas, menurut mereka, sehingga tidak ada yang perlu di-istikhara-i.
Namun apa yang terjadi? Ternyata,
Nuzula adalah seorang gadis modern pada umumnya yang terkomtaminasi perubahan
budaya di kota metropolitan. Dia sudah mengerti pacaran meski tetap menjaga
kesuciannya. Fahmi nyaris binasa karena masalah yang timbul akibat itu.
Fenomena sosial yang riil terjadi ini diolah oleh Kang Abik - sapaan Habiburrahman El-Shirazy - menjadi drama penuh sentilan dan sarat ibrah. Kang Abik menyentil bahwa budaya metropolis yang tidak
berasal dari kalangan pesantren seperti pacaran itu, kini bisa mengancam siapa
saja. Termasuk keluarga kyai besar sekalipun.
Pembaca novel Api Tauhid ini tidak boleh berhenti di sini, jika berhenti sampai
di sini berakibat negative thinking
kepada Kyai Arselan, kepada Nuzula, dan tentu kepada Kang Abik yang mengemas
cerita. Halaman demi halaman mesti dibaca dan bab demi bab tidak boleh
dilewatkan agar ibrah itu didapat dan
anyaman cerita terasa indah.
Kang Abik mendeskripsikan laku khas
seorang santri sejati dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya. Santri
terbiasa digembléng kyainya untuk selalu mendekat kepada Ilahi apa pun masalah
yang dihadapinya. Demikian juga Fahmi, ketika ia nyaris putus asa dan nyaris
gagal menata hatinya, ia menenggelamkan diri dalam pancaran Ilahi. Dia
memantapkan diri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an empat puluh kali di Masjid
Nabawi meskipun ia jatuh sakit.
Dalam beragama, kita tidak boleh
berlebih-lebihan atau ghuluw. Harus
ada keseimbangan atau tawazun.
Manusia adalah manusia, yang tetap wajib menghormati dan membahagiakan jiwa
sekaligus raganya. Dari sinilah kita dibawa Kang Abik melalui perjalanan
tokoh-tokoh penting novel ini ke Negeri Turki dengan Kota Istanbulnya yang legendaris
dan menjadi satu-satunya kota yang terletak di dua benua yaitu Eropa dan Asia,
serta sekaligus Turki menjadi kawasan Timur Tengah Islam.
Pengembaraan sejarah sekaligus
pertemuan lintas budaya dan zaman dimulai dari sini. Cerita bertambah hangat
dengan masuknya tokoh Aysel, seorang pemudi jelita keturunan Turki yang menetap
di Eropa dan terpengaruh oleh budaya bebas termasuk “hubungan intim” bebas,
yang ingin mencari ketenangan dan tempat yang aman. Berhadapan dengan Aysel,
Fahmi tetap teguh dengan jiwa santrinya. Masalah hidup yang dihadapi Aysel dan
masalah “luka hati” Fahmi, bertemu. Lalu muncul Emel, gadis Turki yang shalihah. Disini terjadi pergulatan jiwa
dan pertarungan budaya yang dikemas dengan halus.
Dari
sinilah Kang Abik memulai cerita yang sebenarnya yaitu menghadirkan tokoh
fenomenal Badiuzzaman Said Nursi.
Dialog
yang intens dengan sejarah hidup Badiuzzaman Said Nursi sejak zaman Kekhalifahan
Turki Usmani hingga Turki Modern terasa mengasyikkan karena diselingi rasa
penasaran ke mana langkah kaki Fahmi mengarah? Apakah akhirnya bertemu dengan
langkah Aysel, atau Emel, atau bagaimana?
Sejarah
Badiuzzaman Said Nursi juga menjadi obat penawar bagi “luka-luka” yang
diakibatkan pertarungan budaya itu. Sekaligus jadi lentera dalam menyikapi
modernitas bahkan post-modernitas yang tak terelakkan.
Badiuzzaman
Said Nursi dilahirkan pada tahun 1877 di Desa Nurs, Provinsi Bitlis, Anatolia
Timur dan meninggal pada 20 Maret 1960 di Şanhurta. Pada masa ini, muncul
tokoh-tokoh besar umat Islam dengan karakter dan strategi perjuangannya
masing-masing dalam menegakkan kalimat Allah. Seperti di India dan Pakistan
muncul Maulana Nuhammad Ilyas Al-Kandahlawy (1886-1948) dan Muhammad Ali Jinnah
(1876-1948). Di Lybia muncul Syaikh Omar Mukhtar (1858-1931) yang mendapat
julukan The Lion of Desert from Lybia.
Di Mesir, muncul Syaikh Mustafa Al-Maraghi (1881-1945) dan Syaikh Hasan Al-Banna
(1906-1949). Di Palestina muncul Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini (1895-1974),
mufti besar Palestina yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Di Aljazair muncul
Syaikh Abdul Hamid bin Badis atau dikenal Ibnu Badis (1889-1940). Dan di
Indonesia, tak kalah dengan dunia Islam lainnya, hadir tokoh sekaliber Hadratus
Syaikh Hasyim Asy’ari (1875-1947), Mbah Wahab Asbullah (1888-1971) dan Kyai
Haji Ahmad Dahlan (1868-1928).
Bagi
saya, perjuangan Said Nursi di bidang pendidikan sangat mengagumkan. Pada
masa-masa awal Said Nursi Muda sudah memperlihatkan kehebatannya dengan
menguasai berbagai macam ilmu. Bahkan pada umurnya yang baru menginjak 15 tahun
sudah hafal puluhan kitab referensi pentimg dan banyak mengalahkan ilmu yang
dimiliki ulama-ulama yang lebih senior. Ada kegelisahan dalam dirinya bahwa
pendidikan saat itu kurang tepat, karena lebih mengandalkan ilmu-ilmu umum yang
lebih sekuler. Itu diakibatkan oleh silaunya pengambilan kebijakan akan budaya
Eropa, ketika itu.
Maka
pada tahun 1910-an, Badiuzzaman Said Nursi telah mengusulkan sistim pendidikan
yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum secara dikotomis,
tetapi seharusnya ilmu agama diajarkan pada sekolah-sekolah umum. Demikian pula
sebaliknya, pada sekolah-sekolah agama juga dipelajari ilmu-ilmu umum, tidak
hanya itu, bahkan pendidikan juga harus menyentuh penyucian jiwa dan kehalusan
budi (sufisme).
Ia
ingin membangun Medresetuz Zahra yang
menggabungkan tiga hal itu, yaitu sekolah modern yang mengajarkan ilmu-ilmu
modern, madrasah yang mengajarkan ilmu syariah, dan zawiyah para sufi yang membina penyucian jiwa dan kehalusan adab. Atas ide-idenya itu dia
sering berhadapan dengan para penguasa dan mulai dikucilkan bahkan dipenjara.
Model
pendidikan integral semacam itulah yang diperjuangkan banyak ulama setelahnya.
Rujukan model pendidikan yang mencakup semua aspek itu ada di dalam Al-Qur’an,
yaitu: Al-Baqarah ayat 129 [8] dan 151 [9], Āli ‘Imrān ayat 164 [10], dan
Al-Jumu’ah ayat 2 [11]. Yang intinya, bahwa pendidikan mengandung tiga aspek
penting, yaitu aspek tilawah
(pengenalan, pemahaman dan penghayatan ayat-ayat Allah), aspek tazkiyah (pembersihan hati dan penyucian
jiwa), serta aspek ta’lim (pengajaran).
Ta’lim atau pengajaran ini mencakup
mengajarkan al kitab dan al hikmah secara integral dan tidak
dipisahkan. Itu bermakna meniscayakan adanya pendalaman terhadap ilmu
pengetahuan dan kegunaannya. Dan puncak pendalaman ilmu pengetahuan itu akan bermuara
pada ma’rifatullah. Sebab, mengenal
Allah sesungguhnya adalah puncak ilmu pengetahuan.
Dalam
istilah filsafat, Badiuzzaman Said Nursi ingin menegaskan pentingnya ontology
[12], epistimologi [13] dan aksiologi.
[14] Model pendidikan yang demikian inilah yang telah terbukti mengantarkan
umat Islam pada kejayaannya, dan itu harus dihidupkan bersama. Jika salah satu
aspek hilang, maka karakteristik pendidikan Islam itu luntur dengan sendirinya.
Pada
masa Sultan Abdul Hamid II, Said Nursi berjuang mati-matian agar penguasa
membuat kebijakan menerapkan pendidikan yang integral itu. Sayang, lingkaran
birokrasi tidak mengizinkan Said Nursi bisa bertemu langsung dengan Sang
Sultan. Ketika itu sultan meneruskan kebijakan pendidikan yang hanya menitik
beratkan pada pendidikan modern yang
berkiblat pada Eropa. Dari pendidikan modern itu, lahirlah Young Turk Movement. Mereka itu yang mengotaki pelengseran Sang
Sultan, bahkan pembubaran khilafah. Tatkala Sang Sultan menyadari kekeliruannya
dalam design pendidikan itu kondisinya
sudah sangat terlambat, ia sudah tidak punya kekuasaan. Bahkan akhirnya ia
dimakzulkan oleh generasi yang mendapat pendidikan cara Eropa itu. Generasi
Mustafa Kemal Attaturk dan Emmanuel Carasso.
Tidak
hanya memakzulkan Sultan Abdul Hamid II, generasi hasil didikan kebijakan
sultan berkiblat ke Eropa itu jugalah yang menyudahi umur Khalifah Utsmaniah
pada 3 Maret 1924 dan menghapuskannya dari muka bumi untuk selama-lamanya. Jika
usul Badiuzzaman Said Nursi diapresiasi dan diterapkan oleh Sultan Abdul Hamid
II sejak awal, mungkin saja arah sejarah akan berbicara lain. Tetapi qaddarallah wa ma sya’a fa’al. Bahkan
ketika itu Said Nursi harus mendekam di penjara karena nekad menulis surat
terbuka di media massa kepada Sultan Abdul Hamid II tentang masalah pendidikan
itu. Said Nursi telah berikhtiar semaksimal yang ia mampu untuk menyelamatkan
peradaban.
Dari
sejarah ini, kita jadi belajar bahwa masa depan dan warna sebuah bangsa atau
negara, sangat ditentukan oleh menu pendidikan yang dihidangkan kepada generasi
penerusnya. Dan Badiuzzaman Said Nursi yang masih sangat muda menyadari hal
itu. Dan penulis novel ini, yaitu Kang Abik, mendeskripsikannya dengan matang
dan indah.
Sejak
dikungkung kekuasaan tiran Mustafa Kemal Attaturk yang ekstrim sekuler, Turki
mengalami masa-masa gelap gulita yang pekat. Simbol-simbol agama dilarang.
Masjid-masjid banyak ditutup. Kantor Syaikhul Islam di Istanbul di jadikan
gedung dansa. Adzan memakai bahasa Arab dilarang. Zawiyah-zawiyah sufi ditutup.
Madrasah-madrasah dilarang mengajarkan Al-Qur’an. Huruf dan angka hijaiyyah
dilarang digunakan, diganti dengan latin. Mustafa Kamal Attaturk ingin
menghapus jejak-jejak Islam dengan harapan dapat diterima oleh bangsa-bangsa
Eropa.
Lagi-lagi,
Kang Abik dengan piawai menarasikan sisi heroism Badiuzzaman Said Nursi di
tengah-tengah kegelapan dan tekanan dahsyat dari penguasa tiran zaman itu.
Badiuzzaman berdiri paling depan menyibak kegelapan dengan kekuatan imannya. Ia
memilih melawan dengan kekuatan cahaya Al-Qur’an. Meskipun hidup dari penjara
ke penjara dan dari pengasingan ke pengasingan, tak kurang dari seperempat
abad, atau 25 tahun, Badiuzzaman tetap gigih berjuang menjaga nyala api tauhid
yang hendak dipadamkan dengan berbagai cara itu.
Dari
bilik-bilik penjara dan dari pengasingan, Badiuzzaman Said Nursi menulis
karyanya -selembar demi selembar- untuk disebarkan secara diam-diam ke seluruh
penjuru Turki, Karya besarnya itu kemudian dikenal dengan nama Risalah Nur atau Rasa ‘ilun Nur. Bacalah novel ini baris demi baris, dan lihatlah
bagaimana Risalah Nur menyebar.
Sungguh sangat menakjubkan.
Saya
sangat tersentuh oleh cara dakwah Badiuzzaman Said Nursi yang sama sekali tidak
mau memakai cara kekerasan. Ia berdakwah dengan kekuatan cinta kepada Ilahi.
Kekuatan teguh memegang prinsip-prinsip aturan Ilahi. Menegakkan aturan Ilahi
tidak boleh dengan cara melanggar aturan Ilahi. Itu yang harus dihayati generasi
muda saat ini. Prinsip-prinsip dakwah Said Nursi itu, selaras dengan
prinsip-prinsip dakwah Mbah Hasyim Asy’ari dan Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Saat
membaca khutbah syamiyyah yang
diucapkan Badiuzzaman Said Nursi di hadapan ratusan ulama dan ribuan jamaah di
Masjid Umawi Damaskus sebelum Perang Dunia Pertama, saya merinding. Said Nursi
mengatakan,
“Di antara yang paling penting yang telah
aku pelajari dan aku dapatkan dari kehidupan sosial manusia sepanjang hidup
adalah bahwa yang paling layak untuk dicintai adalah cinta itu sendiri, dan
yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri.”
Ah, lagi-lagi Kang Abik
melukiskannya dengan apik. Kitab Risalah
Nur yang berjilid-jilid itu barangkali seperti halnya Kitab Ihya Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam
Al-Ghazali yang berikhtiar menghidupkan ilmu-ilmu agama. Sejarah mencatat, Risalah Nur menyinari umat di
zaman-zaman gelap dan berat itu pada akhirnya sadar atau tidak sadar telah
membuahkan hasil. Misalnya pada tahun 1950, rezim sekuler sementara bisa
dikalahkan dan adzan tidak lagi dilarang di masjid-masjid. Meskipun tahun 1960,
militer yang sekuler melakukan kudeta. Namun kini, Turki kembali menghirup
udara cukup nyaman. Dan yang pasti, Islam tidak bisa dicabut dari bumi Turki.
Saya yakin, itu di antaranya karena Risalah
Nur yang bergerak kuat di akar rumput rakyat Turki. Di atas segalanya tentu
karena perlindungan Allah Subhana Wa Ta’ala.
Novel
ini ditutup dengan dramatisasi yang membuat saya gemes. Romantis. Tak terduga.
Peristiwa
wafatnya Badiuzzaman Said Nursi tidak dinarasikan. Saya setuju. Sebab
hakekatnya memang wali-wali Allah itu tidak meninggal, mereka masih hidup di
sisi Allah, yurzaqūn, dicurahi
anugerah.
Lewat Risalah Nur, Said Nursi masih hidup,
perjuangannya belum selesai. Namun pengikutnya bertambah banyak, terus membaca
dan menghayati Risalah Nur demi terus
menyalakan Api Tauhid di dada setiap
generasi. Dan itu meneguhkan terus hidupnya “Keajaiban Zaman” bernama Sa’id
dari Desa Nurs. □ na
Catatan
Kaki:
[1]Al-Dīn Al-Islam [baca: Addinul-Islam] maknanya agama dan jalan
atau pegangan hidup.
[2]Michael H. Hart, The 100: A
Ranking of the Most Influential Person in History. First published in 1978,
reprinted with minor revisions 1992.
[5]Kejumudan artinya kemandekan.
kelumpuhan, stagnasi.
[6]Kang Abik sapaannya. Nama
sebenarnya adalah Habiburrahman El Shirazy, Sarjana Al-Azhar University Cairo,
Mesir. Dia penulis Novelis nomor satu di Indonesia disamping karya novel Api
Tauhid ia Penulis Adikarya Ayat-ayat Cinta.
[7]Prof. Dr. Noor Achmad, MA.,
adalah Rektor Universitas Wahid Hasyim (unwahas) Semarang, dan Wakil Sekjen Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
[8]QS Al-Baqarah ayat 129. "Ya
Tuhan kami, utuslah ditengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri,
yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan Al Kitab dan
Al Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh Engkau Mahaperkasa,
Mahabijaksana".
[9] QS Al-Baqarah ayat 151. Sebagaimana
Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul dari kalangan kaum yang membacakan
ayat-ayat Kami, menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah,
serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.
[10]QS Āli ‘Imrān ayat 164.
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
(Allah) mengutus seorang Rasul ditengah-tengah mereka dari kalangan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka,
dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah, meskipun sebelumnya,
mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
[11]QS Al-Jumu’ah ayat 2. Dia
yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka
sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan
kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah, meskipun sebelumnya mereka benar-benar
dalam kesesatan yang nyata.
[12]Ontology, ilmu yang
membahas segala yang ada.
[13]Epistemologi, pengetahuan
atau kebenaran dari pikiran, kata, atau teori.
[14]Aksiologi, pengetahuan bagaimana
manusia menggunakan ilmunya (sebagai teori nilai) □□□