Monday, January 4, 2016

Risalah Nur dalam Api Tauhid




Sungguh, Kami telah menurunkan ayat-ayat yang memberi penjelasan. Dan Allah memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki kejalan yang lurus. [QS An-Nūr 24:46]

“Di antara yang paling penting yang telah aku pelajari dan aku dapatkan dari kehidupan sosial manusia sepanjang hidup adalah bahwa yang paling layak untuk dicintai adalah cinta itu sendiri, dan yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri.” [Said Nursi]


Kata Pengantar

Ditengah kegalauan pegangan hidup antara Islam, atau Timur, atau Barat dalam pilihan hidup kita tidaklah mudah, kalau tidak tahu akar maknanya. Timur asal daerah kita, Barat di millennium ketiga ini sebagai pemegang puncak keunggulan dalam Science, Technology, dan Kemakmuran Ekonomi dan life style yang telah mendunia. Islam yang pengertiannya bukan saja agama juga way of life – jalan atau pegangan hidup (Al-Din Al-Islam) [1] untuk keselamatan hidup di dunia, dengan jalan memakmurkan kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera di bumi dan keselamatan di akhirat, dengan jalan beriman kepada-Nya, beribadah kepada-Nya dan beramal kebaikan bagi sesama manusia serta lingkungan hidup.

Didalam penggal ayat atau kata Dīn atau Al-Dīn yang Islam inilah, Michael H. Hart [2] terkagum-gamun kepada Nabi Muhammad saw yang membawa ajaran Islam yang mengatakan sebagai berikut: “"Pilihan saya Muhammad memimpin daftar orang-orang paling berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan pembaca dan dapat dipertanyakan oleh orang lain, tapi dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang sangat berhasil baik dalam tingkat religious (agama, beragama Islam) maupun seculer (dunia, beramal kebaikan di dunia)." [3]

Begitu pula Thomas Jefferson, [4] jauh sebelum kemerdekaan Amerika dari pemerintahan kolonial Kerajaan Inggris tahun 1776, founding father America  dan kemudiannya sebagai President  Amerika yang ke-3 serta penyusun deklarasi kemerdekaan, telah terpikat atas kedalaman isi ayat-ayat Al-Qur’an. Terutama baginya telah memberikan pencerahan dan banyak ide bagaimana dasar-dasar dalam menyusun diktum-diktum Deklarasi Kemerdekaan Amerika termasuk visi dan misi dan berintegritas seperti amanah, jujur, tanggung jawab, adil, menepati janji dalam melaksanakan amanah.

Namun kenyataannya sekarang menjadi buah pelecehan dunia ulah ”terorisme” dan ”kejumudan” [5]  orang Islam sendiri. Akibatnya adalah mempertanyakan kehadiran orang Islam (Muslimin) ditengah kehidupan dunia yang sudah mengglobal ini untuk apa?

Setelah penulis berkenalan dengan Kang Abik [6] pada muktamar IMSA (Indonesian Muslim Society in America) di Baltimore, Maryland dengan tema Being Muslims in Times of Uncertainty Desember minggu ke-3 tahun 2015 dan kemudian membaca buku karya novel Kang Abik berjudul Api Tauhid. Maka sangatlah tepatlah tajuk diatas ini kami paparkan keadaan umat Islam saat ini,  kami ambilkan gambarannya dari yang dituliskan oleh Noor Achmad [7] seperti dibawah ini yang kami beri judul Risalah Nur dalam Api Tauhid. Selamat menyimak. □ AFM


Risalah Nur dalam Api Tauhid

M
embaca novel Kang Abid yang diberi judul Api Tauhid ini, rasanya kita dibawa ke tiga budaya, tiga benua dan tiga zaman yang berbeda, tetapi dikemas dengan rasa heroism memperoleh cinta Ilahi.

            Tokoh Fahmi, Subki, Ali, Kyai Arselan dan Nuzula, mewakili kehidupan cultural khas santri di Jawa. Fahmi dan keluarganya, begitu sami’na wa atha’na dan ta’zhim kepada kyai. Sentuhan roman dalam balutan alam pedesaan, dan cara bersosialisasi khas Jawa Timuran, dimulai ketika Fahmi, -seorang santri kampung yang cerdas, hafidz, dan mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah – diminta oleh seorang lurah –yang tentu saja kaya- untuk dijodohkan dengan putrinya, yang dianggap pas bersuamikan Fahmi. Menghadapi permintaan Pak Lurah itu, Fahmi dan keluarganya merasa harus berdiskusi, bahkan Fahmi harus istikharah untuk menerima atau tidak menerimanya.
            Saat istikharah Fahmi belum tuntas, datanglah Kyai Arselan, seorang kyai besar di Lumajang, yang mampir ke rumah Fahmi. Kyai Arselan datang dengan rombongannya. Keluarga Fahmi seketika “gupyuk”, sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut Kyai Arselan. Dan ketika Kyai Arselan menitahkan ingin menjodohkan anaknya yang bernama Nuzula dengan Fahmi, keluarga Fahmi tidak bisa menolaknya. Bahkan istikharah-pun tidak perlu lagi karena sudah zhahir atau sangat jelas, menurut mereka, sehingga tidak ada yang perlu di-istikhara-i.
            Namun apa yang terjadi? Ternyata, Nuzula adalah seorang gadis modern pada umumnya yang terkomtaminasi perubahan budaya di kota metropolitan. Dia sudah mengerti pacaran meski tetap menjaga kesuciannya. Fahmi nyaris binasa karena masalah yang timbul akibat itu. Fenomena sosial yang riil terjadi ini diolah oleh Kang Abik - sapaan Habiburrahman El-Shirazy - menjadi drama penuh sentilan dan sarat ibrah. Kang Abik menyentil bahwa budaya metropolis yang tidak berasal dari kalangan pesantren seperti pacaran itu, kini bisa mengancam siapa saja. Termasuk keluarga kyai besar sekalipun.
            Pembaca novel Api Tauhid ini tidak boleh berhenti di sini, jika berhenti sampai di sini berakibat negative thinking kepada Kyai Arselan, kepada Nuzula, dan tentu kepada Kang Abik yang mengemas cerita. Halaman demi halaman mesti dibaca dan bab demi bab tidak boleh dilewatkan agar ibrah itu didapat dan anyaman cerita terasa indah.
            Kang Abik mendeskripsikan laku khas seorang santri sejati dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya. Santri terbiasa digembléng kyainya untuk selalu mendekat kepada Ilahi apa pun masalah yang dihadapinya. Demikian juga Fahmi, ketika ia nyaris putus asa dan nyaris gagal menata hatinya, ia menenggelamkan diri dalam pancaran Ilahi. Dia memantapkan diri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an empat puluh kali di Masjid Nabawi meskipun ia jatuh sakit.
            Dalam beragama, kita tidak boleh berlebih-lebihan atau ghuluw. Harus ada keseimbangan atau tawazun. Manusia adalah manusia, yang tetap wajib menghormati dan membahagiakan jiwa sekaligus raganya. Dari sinilah kita dibawa Kang Abik melalui perjalanan tokoh-tokoh penting novel ini ke Negeri Turki dengan Kota Istanbulnya yang legendaris dan menjadi satu-satunya kota yang terletak di dua benua yaitu Eropa dan Asia, serta sekaligus Turki menjadi kawasan Timur Tengah Islam.
            Pengembaraan sejarah sekaligus pertemuan lintas budaya dan zaman dimulai dari sini. Cerita bertambah hangat dengan masuknya tokoh Aysel, seorang pemudi jelita keturunan Turki yang menetap di Eropa dan terpengaruh oleh budaya bebas termasuk “hubungan intim” bebas, yang ingin mencari ketenangan dan tempat yang aman. Berhadapan dengan Aysel, Fahmi tetap teguh dengan jiwa santrinya. Masalah hidup yang dihadapi Aysel dan masalah “luka hati” Fahmi, bertemu. Lalu muncul Emel, gadis Turki yang shalihah. Disini terjadi pergulatan jiwa dan pertarungan budaya yang dikemas dengan halus.
Dari sinilah Kang Abik memulai cerita yang sebenarnya yaitu menghadirkan tokoh fenomenal Badiuzzaman Said Nursi.
Dialog yang intens dengan sejarah hidup Badiuzzaman Said Nursi sejak zaman Kekhalifahan Turki Usmani hingga Turki Modern terasa mengasyikkan karena diselingi rasa penasaran ke mana langkah kaki Fahmi mengarah? Apakah akhirnya bertemu dengan langkah Aysel, atau Emel, atau bagaimana?
Sejarah Badiuzzaman Said Nursi juga menjadi obat penawar bagi “luka-luka” yang diakibatkan pertarungan budaya itu. Sekaligus jadi lentera dalam menyikapi modernitas bahkan post-modernitas yang tak terelakkan.
Badiuzzaman Said Nursi dilahirkan pada tahun 1877 di Desa Nurs, Provinsi Bitlis, Anatolia Timur dan meninggal pada 20 Maret 1960 di Şanhurta. Pada masa ini, muncul tokoh-tokoh besar umat Islam dengan karakter dan strategi perjuangannya masing-masing dalam menegakkan kalimat Allah. Seperti di India dan Pakistan muncul Maulana Nuhammad Ilyas Al-Kandahlawy (1886-1948) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948). Di Lybia muncul Syaikh Omar Mukhtar (1858-1931) yang mendapat julukan The Lion of Desert from Lybia. Di Mesir, muncul Syaikh Mustafa Al-Maraghi (1881-1945) dan Syaikh Hasan Al-Banna (1906-1949). Di Palestina muncul Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini (1895-1974), mufti besar Palestina yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Di Aljazair muncul Syaikh Abdul Hamid bin Badis atau dikenal Ibnu Badis (1889-1940). Dan di Indonesia, tak kalah dengan dunia Islam lainnya, hadir tokoh sekaliber Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (1875-1947), Mbah Wahab Asbullah (1888-1971) dan Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1928).
Bagi saya, perjuangan Said Nursi di bidang pendidikan sangat mengagumkan. Pada masa-masa awal Said Nursi Muda sudah memperlihatkan kehebatannya dengan menguasai berbagai macam ilmu. Bahkan pada umurnya yang baru menginjak 15 tahun sudah hafal puluhan kitab referensi pentimg dan banyak mengalahkan ilmu yang dimiliki ulama-ulama yang lebih senior. Ada kegelisahan dalam dirinya bahwa pendidikan saat itu kurang tepat, karena lebih mengandalkan ilmu-ilmu umum yang lebih sekuler. Itu diakibatkan oleh silaunya pengambilan kebijakan akan budaya Eropa, ketika itu.
Maka pada tahun 1910-an, Badiuzzaman Said Nursi telah mengusulkan sistim pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum secara dikotomis, tetapi seharusnya ilmu agama diajarkan pada sekolah-sekolah umum. Demikian pula sebaliknya, pada sekolah-sekolah agama juga dipelajari ilmu-ilmu umum, tidak hanya itu, bahkan pendidikan juga harus menyentuh penyucian jiwa dan kehalusan budi (sufisme).
Ia ingin membangun Medresetuz Zahra yang menggabungkan tiga hal itu, yaitu sekolah modern yang mengajarkan ilmu-ilmu modern, madrasah yang mengajarkan ilmu syariah, dan zawiyah para sufi yang membina penyucian jiwa  dan kehalusan adab. Atas ide-idenya itu dia sering berhadapan dengan para penguasa dan mulai dikucilkan bahkan dipenjara.
Model pendidikan integral semacam itulah yang diperjuangkan banyak ulama setelahnya. Rujukan model pendidikan yang mencakup semua aspek itu ada di dalam Al-Qur’an, yaitu: Al-Baqarah ayat 129 [8] dan 151 [9], Āli ‘Imrān ayat 164 [10], dan Al-Jumu’ah ayat 2 [11]. Yang intinya, bahwa pendidikan mengandung tiga aspek penting, yaitu aspek tilawah (pengenalan, pemahaman dan penghayatan ayat-ayat Allah), aspek tazkiyah (pembersihan hati dan penyucian jiwa), serta aspek ta’lim (pengajaran). Ta’lim atau pengajaran ini mencakup mengajarkan al kitab dan al hikmah secara integral dan tidak dipisahkan. Itu bermakna meniscayakan adanya pendalaman terhadap ilmu pengetahuan dan kegunaannya. Dan puncak pendalaman ilmu pengetahuan itu akan bermuara pada ma’rifatullah. Sebab, mengenal Allah sesungguhnya adalah puncak ilmu pengetahuan.
Dalam istilah filsafat, Badiuzzaman Said Nursi ingin menegaskan pentingnya ontology [12], epistimologi  [13] dan aksiologi. [14] Model pendidikan yang demikian inilah yang telah terbukti mengantarkan umat Islam pada kejayaannya, dan itu harus dihidupkan bersama. Jika salah satu aspek hilang, maka karakteristik pendidikan Islam itu luntur dengan sendirinya.
Pada masa Sultan Abdul Hamid II, Said Nursi berjuang mati-matian agar penguasa membuat kebijakan menerapkan pendidikan yang integral itu. Sayang, lingkaran birokrasi tidak mengizinkan Said Nursi bisa bertemu langsung dengan Sang Sultan. Ketika itu sultan meneruskan kebijakan pendidikan yang hanya menitik beratkan pada pendidikan modern  yang berkiblat pada Eropa. Dari pendidikan modern itu, lahirlah Young Turk Movement. Mereka itu yang mengotaki pelengseran Sang Sultan, bahkan pembubaran khilafah. Tatkala Sang Sultan menyadari kekeliruannya dalam design pendidikan itu kondisinya sudah sangat terlambat, ia sudah tidak punya kekuasaan. Bahkan akhirnya ia dimakzulkan oleh generasi yang mendapat pendidikan cara Eropa itu. Generasi Mustafa Kemal Attaturk dan Emmanuel Carasso.
Tidak hanya memakzulkan Sultan Abdul Hamid II, generasi hasil didikan kebijakan sultan berkiblat ke Eropa itu jugalah yang menyudahi umur Khalifah Utsmaniah pada 3 Maret 1924 dan menghapuskannya dari muka bumi untuk selama-lamanya. Jika usul Badiuzzaman Said Nursi diapresiasi dan diterapkan oleh Sultan Abdul Hamid II sejak awal, mungkin saja arah sejarah akan berbicara lain. Tetapi qaddarallah wa ma sya’a fa’al. Bahkan ketika itu Said Nursi harus mendekam di penjara karena nekad menulis surat terbuka di media massa kepada Sultan Abdul Hamid II tentang masalah pendidikan itu. Said Nursi telah berikhtiar semaksimal yang ia mampu untuk menyelamatkan peradaban.
Dari sejarah ini, kita jadi belajar bahwa masa depan dan warna sebuah bangsa atau negara, sangat ditentukan oleh menu pendidikan yang dihidangkan kepada generasi penerusnya. Dan Badiuzzaman Said Nursi yang masih sangat muda menyadari hal itu. Dan penulis novel ini, yaitu Kang Abik, mendeskripsikannya dengan matang dan indah.
Sejak dikungkung kekuasaan tiran Mustafa Kemal Attaturk yang ekstrim sekuler, Turki mengalami masa-masa gelap gulita yang pekat. Simbol-simbol agama dilarang. Masjid-masjid banyak ditutup. Kantor Syaikhul Islam di Istanbul di jadikan gedung dansa. Adzan memakai bahasa Arab dilarang. Zawiyah-zawiyah sufi ditutup. Madrasah-madrasah dilarang mengajarkan Al-Qur’an. Huruf dan angka hijaiyyah dilarang digunakan, diganti dengan latin. Mustafa Kamal Attaturk ingin menghapus jejak-jejak Islam dengan harapan dapat diterima oleh bangsa-bangsa Eropa.
Lagi-lagi, Kang Abik dengan piawai menarasikan sisi heroism Badiuzzaman Said Nursi di tengah-tengah kegelapan dan tekanan dahsyat dari penguasa tiran zaman itu. Badiuzzaman berdiri paling depan menyibak kegelapan dengan kekuatan imannya. Ia memilih melawan dengan kekuatan cahaya Al-Qur’an. Meskipun hidup dari penjara ke penjara dan dari pengasingan ke pengasingan, tak kurang dari seperempat abad, atau 25 tahun, Badiuzzaman tetap gigih berjuang menjaga nyala api tauhid yang hendak dipadamkan dengan berbagai cara itu.
Dari bilik-bilik penjara dan dari pengasingan, Badiuzzaman Said Nursi menulis karyanya -selembar demi selembar- untuk disebarkan secara diam-diam ke seluruh penjuru Turki, Karya besarnya itu kemudian dikenal dengan nama Risalah Nur atau Rasa ‘ilun Nur. Bacalah novel ini baris demi baris, dan lihatlah bagaimana Risalah Nur menyebar. Sungguh sangat menakjubkan.
Saya sangat tersentuh oleh cara dakwah Badiuzzaman Said Nursi yang sama sekali tidak mau memakai cara kekerasan. Ia berdakwah dengan kekuatan cinta kepada Ilahi. Kekuatan teguh memegang prinsip-prinsip aturan Ilahi. Menegakkan aturan Ilahi tidak boleh dengan cara melanggar aturan Ilahi. Itu yang harus dihayati generasi muda saat ini. Prinsip-prinsip dakwah Said Nursi itu, selaras dengan prinsip-prinsip dakwah Mbah Hasyim Asy’ari dan Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Saat membaca khutbah syamiyyah yang diucapkan Badiuzzaman Said Nursi di hadapan ratusan ulama dan ribuan jamaah di Masjid Umawi Damaskus sebelum Perang Dunia Pertama, saya merinding. Said Nursi mengatakan,
“Di antara yang paling penting yang telah aku pelajari dan aku dapatkan dari kehidupan sosial manusia sepanjang hidup adalah bahwa yang paling layak untuk dicintai adalah cinta itu sendiri, dan yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri.”
Ah, lagi-lagi Kang Abik melukiskannya dengan apik. Kitab Risalah Nur yang berjilid-jilid itu barangkali seperti halnya Kitab Ihya Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali yang berikhtiar menghidupkan ilmu-ilmu agama. Sejarah mencatat, Risalah Nur menyinari umat di zaman-zaman gelap dan berat itu pada akhirnya sadar atau tidak sadar telah membuahkan hasil. Misalnya pada tahun 1950, rezim sekuler sementara bisa dikalahkan dan adzan tidak lagi dilarang di masjid-masjid. Meskipun tahun 1960, militer yang sekuler melakukan kudeta. Namun kini, Turki kembali menghirup udara cukup nyaman. Dan yang pasti, Islam tidak bisa dicabut dari bumi Turki. Saya yakin, itu di antaranya karena Risalah Nur yang bergerak kuat di akar rumput rakyat Turki. Di atas segalanya tentu karena perlindungan Allah Subhana Wa Ta’ala.
Novel ini ditutup dengan dramatisasi yang membuat saya gemes. Romantis. Tak terduga.
Peristiwa wafatnya Badiuzzaman Said Nursi tidak dinarasikan. Saya setuju. Sebab hakekatnya memang wali-wali Allah itu tidak meninggal, mereka masih hidup di sisi Allah, yurzaqūn, dicurahi anugerah.
Lewat Risalah Nur, Said Nursi masih hidup, perjuangannya belum selesai. Namun pengikutnya bertambah banyak, terus membaca dan menghayati Risalah Nur demi terus menyalakan Api Tauhid di dada setiap generasi. Dan itu meneguhkan terus hidupnya “Keajaiban Zaman” bernama Sa’id dari Desa Nurs. □ na


Catatan Kaki:

[1]Al-Dīn Al-Islam [baca: Addinul-Islam] maknanya agama dan jalan atau pegangan hidup.
[2]Michael H. Hart, The 100: A Ranking of the Most Influential Person in History. First published in 1978, reprinted with minor revisions 1992.
[5]Kejumudan artinya kemandekan. kelumpuhan, stagnasi.
[6]Kang Abik sapaannya. Nama sebenarnya adalah Habiburrahman El Shirazy, Sarjana Al-Azhar University Cairo, Mesir. Dia penulis Novelis nomor satu di Indonesia disamping karya novel Api Tauhid ia Penulis Adikarya Ayat-ayat Cinta.
[7]Prof. Dr. Noor Achmad, MA., adalah Rektor Universitas Wahid Hasyim (unwahas) Semarang, dan Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
[8]QS Al-Baqarah ayat 129. "Ya Tuhan kami, utuslah ditengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh Engkau Mahaperkasa, Mahabijaksana".
[9] QS Al-Baqarah ayat 151. Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul dari kalangan kaum yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah, serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.
[10]QS Āli ‘Imrān ayat 164. Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul ditengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
[11]QS Al-Jumu’ah ayat 2. Dia yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya,  menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah, meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
[12]Ontology, ilmu yang membahas segala yang ada.
[13]Epistemologi, pengetahuan atau kebenaran dari pikiran, kata, atau teori.
[14]Aksiologi, pengetahuan bagaimana manusia menggunakan ilmunya (sebagai teori nilai) □□□

Blog Archive