Friday, March 2, 2018

Sebab Kemunduran Umat Islam dan Solusinya





Kata Pengentar

S
elama ini dari beberapa blog yang admin bina, membicarakan zaman keemasan Islam dan kemundurannya. Dan kini mengarahkan kepada menganalisis sebab-sebab kemunduran dan solusinya. Bahannya diambilkan dari pakar-pakar yang kompeten dalam bidangnya.

   Dengan itu tulisan-tulisan zaman keemasan Islam ini mungkin dianggap impian yang telah berlalu (dan tidak akan kembali), namun samangat atau gairah ini tidak pernah padam (untuk membangun kembali) bahkan pantas digebu-gebukan (didakwahkan secara massif) dengan beberapa hujjah yang sangat kuat (karena datangnya dari Allāh Rabb ‘Ālamīn – Allah Pencipta Alam Semesta). Inilah firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya: 

“Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di muka bumi”. [QS Fāthir 35:39] Untuk beribadah kepada-Nya - “Aku tidak menciptakan  jin dan manusia melainkan mereka mereka beribadah kepada-Ku”. [QS Adz-Dzāriyāt 51:56] Dengan perannya sebagai pemakmur bumi - “Dia telah menciptamu dari bumi dan menjadikanmu pemakmurnya”. [QS Hūd 11:61], hidup di bumi sebagai ladang ibadah guna bekal hidup di hari akhir.

Dalam kenyataan kehidupan banyak diuji dalam kekurang yang tentunya tidak menyenangkan, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan bahwa tergantung dengan kemauan dari orang atau kelompok orang (jamaah) untuk mengatasinya (merubahnya) -  “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” [QS Ar-Ra’d 13: 11]

   Selanjutnya mari ikuti pertama pendahuluannya agar pembahasan selanjutnya menjadi jelas, dan diakhiri dengan penutup yang esensinya suatu harapan dan himbauan bagi kita semua supaya konsern dalam membangun kembali Peradaban Dunia - Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, sebagaimana dunia telah menyaksikan di Al-Andalus (Spanyol Islam) di abad tengah. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM



PENDAHULUAN

S
ebelum memulai pembahasan tentang sebab-sebab kumunduran ummat Islam dan solusinya sebagaimana yang menjadi judul tulisan ini, terlebih dahulu harus dipetakan beberapa kata yang mengandung makna yang sangat penting. Yakni makna kemunduran dan ummat Islam.
 
Dalam tulisan ini, konsep kemajuan (yang berarti juga menegaskan konsep kemunduran) tidak beranjak dari teori Barat tentang konsep progresif atau dialektika. Tidak juga beranjak dari proses sejarah linier sebagaimana yang diterangkan oleh tokoh sosiologi Barat, Auguste Comte, yang akhirnya menganggap agama sebagai masa lalu. Yang artinya penyingkiran atau perubahan agama di masa sekarang dan masa depan adalah hal mutlak untuk meraih suatu kemajuan (yang artinya sama pula untuk keluar dari kemunduran).
 
Penolakan terhadap konsep kemajuan yang diutarakan oleh Barat seperti yang disebut di atas bukannya tanpa alasan. Penolakan itu tidak didasarkan semata-mata karena itu berasal dari Barat. Namun penolakan itu diambil karena kontruksi makna yang dilakukan oleh Barat terhadap agama adalah satu hal yang berbeda dengan kontruksi makna yang dilakukan oleh Islam terhadap Islam itu sendiri (sebagai sebuah agama, atau lebih tepatnya Islam itu adalah dīn).

   Barat mengkontruksi agama sebagai sebuah produk budaya yang diciptakan oleh manusia atau kehidupan sosial. Barat melihat agama sebagai sesuatu yang “empiris” dan “rasional”. Itu sesuatu yang wajar terjadi karena agama di Barat tidak pernah memiliki hal-hal mutlak yang mampu untuk diyakini oleh manusia. Sehingga dalam abad ini pun, arti keyakinan itu didefinisikan tidak sebagai sesuatu yang tanpa keraguan (sebagai lawan dari keraguan). Tapi keyakinan didefinisikan sebagai “kepercayaan bahwa sesuatu benar tatkala kita tidak pasti secara absolut bahwa hal itu benar” dan hanya ”didasarkan pada suatu kejelasan yang meyakinkan bagi penganutnya”.


PEMBAHASAN

J
elas, konstruksi makna yang diberikan oleh Barat itu berbeda dengan kontruksi makna yang diberikan oleh Islam terhadap Islam itu sendiri. Secara sederhana kita bisa menjelaskan itu sebagai sesuatu yang terjadi karena adanya pandangan terhadap dunia (worldview) yang berbeda antara Barat dan Islam. Yakni, dimana Barat menempatkan ‘akal’ dan ‘indra’ sebagai sumber dalam melihat realitas dan termasuk agama di dalamnya.

Sedangkan Islam, selain menggunakan kedua sumber tersebut (‘akal’ dan ‘indra’) juga “wahyu”. Justru yang menempati otoritas tertinggi adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah yang telah mengkontruksi makna, sehingga mustahil makna-makna tersebut bisa diintervensi oleh manusia dan berubah sehingga agama menjadi sesuatu yang tidak mutlak.

Makna yang kedua yang harus dipetakan terlebih dahulu ada makna ummat Islam. Sebagaimana akar kata dari ummat yang berarti adalah kelompok atau jamaah. Di dalam buku al Mufradat fi Gharibi al-Qur’an dikatakan: “Umat adalah setiap jama’ah yang disatukan oleh sesuatu hal: satu agama, satu zaman, atau satu tempat. Baik faktor pemersatu itu dipaksakan ataupun berdasarkan atas pilihan”. Apabila kata ummat ini disambungkan dengan kata Islam, maka ummat Islam adalah, “himpunan manusia yang tidak disatukan oleh tanah air (nasionalisme) atau keturunan (suku), melainkan oleh ideologi Islam”.
 
Karena itulah, pembicaraan tentang ummat Islam tidak bisa dibatasi dalam lingkup nation (saja) seperti yang adanya hari ini. Tidak bisa hanya sekedar membatasi diri dalam sebuah batas negara bangsa seperti Indonesia, Malaysia, Arab Saudi atau Pakistan. Membicarakan ummat Islam berarti membicarakan sekelompok masyarakat yang tidak disatukan tidak oleh kebangsaan atau batas-batas wilayah. Tapi (jangka panjangnya juga) oleh identitas Islam sebagai sebuah dīn dan peradaban yang telah terbentuk sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam.
 

Kemunduran Ummat Islam

   Kemunduran berarti menandakan dua kemungkinan posisi sebelumnya. Yang pertama bisa jadi awalnya adalah kemajuan atau yang kedua berarti awalnya adalah stagnan. Bila melihat sejarah Ummat Islam, maka bisa dipastikan bahwa awalnya ummat Islam itu mengalami kemajuan. Baik itu dalam bidang ilmu pengetahuan, kesejahteraan maupun kekuasaan.
 
Sebagaimana awal kali Islam itu berkembang dari Makkah dan kemudian dari Madinah. Kedua daerah itu sebelum Islam hanyalah sebuah tanah yang menjadi rebutan pusat pusat kekuasaan (Persia dan Romawi) untuk menguasainya dan dijadikannya sebagai budak-budak mereka. Namun setelah Islam hadir dan membuat mereka menjadi ummat Islam, kedua pusat kekuasaan itu (Romawi dan Persia) mampu dikalahkan oleh mereka. Bukan hanya dalam bidang kekuasaan saja, tapi juga dalam bidang pencapaian ilmu pengetahuan dan peradaban.
 
   Meskipun dalam konsep Islam, bahwa kurun yang terbaik itu adalah kurun pada masa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, kemudian setelahnya dan setelahnya (dari Hadist). Namun bukan berarti bahwa kehidupan setelah itu sama sekali tidak baik. Dibandingkan dengan peradaban Romawi bahkan peradaban Barat Modern sekarang pun, kehidupan peradaban Islam tetap lebih baik. Tentunya harus diakui pula bahwa tidak selamanya kehidupan peradaban Islam itu menunjukan keunggulan yang mutlak. Dalam beberapa masa, peradaban Islam pun memasuki masa kelam sampai kemudian nampaknya hasil perjuangan yang dilakukan oleh para pembaharu Islam yang melahirkan perbaikan dalam lapangan kehidupan peradaban Islam (Misalnya usaha yang dilakukan oleh Al Ghazali [1] sehingga melahirkan generasi Shalahuddin lima puluh tahun kemudian).
 
   Dari realitas sejarah tersebut, nampaklah bahwa sesungguhnya kemunduran Ummat Islam itu telah terjadi berkali-kali. Dan nampaklah dari kemunduran yang telah dialami itu sebab-sebabnya. Sekaligus pula memperlihatkan solusinya. Sehingga dalam khazanah Islam, pembahasan tentang sebab-sebab kemunduran ummat Islam dan solusinya merupakan ranah kajian yang empiris, rasional sekaligus pula transenden (wahyu).

Dalam Tulisan ini, penulis akan merujuk pembahasan tentang sumber-sumber kemunduran ummat Islam dan solusinya kepada dua penulis Islam yang populer. Yang pertama kepada Ibnu Khaldun [2] yang mendasarkan penelitiannya pada kurun yang sangat panjang. Yakni dari sejak diutusnya Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam hingga abad ke 14 Masehi. Sedangkan yang kedua didasarkan kepada jawabannya Syekh al Amir Syakin Arsalan terhadap penguasa kerajaan Islam di Kalimantan sehubungan hilangnya kemuliaan ummat Islam di abad ke 20 di bawah penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Padahal Allah telah berfirman bahwa kekuatan dan pertolongan itu:
 
“...Padahal kekuatan (al-izzatu) itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin,” [QS Al-Munāfiqūn 63:8]

“Dan merupakan hak Kami untuk menolong orang-orang yang beriman.” [QS Ar-Rūm 30: 47]


Sebab-Sebab Kemunduran Ummat Islam
 
   Menurut Ibnu Khaldun [2], terdapat dua sebab utama mengapa ummat Islam mundur. Yang pertama ialah karena kemalasan yang menghinggapi ummat Islam, khususnya dari kalangan militer. Yang kedua adalah karena bermewah-mewahan yang dilakukan oleh ummat Islam khususnya dari kalangan penguasa. Kemewahan dan kemalasan itu telah menghancurkan kehidupan sosial. Ibnu Khaldun menjelaskan kehancuran kehidupan sosial itu sebagai hancurnya solidaritas sosial yang merupakan kekuatan utama sebuah masyarakat dalam bertahan dan menghadapi serangan dari luar dan menghindarkan perpecahan dari dalam.
 
Ibnu Khaldun menjelaskan ashabiyah [3] sebagai sesuatu yang membuat bersatunya hati -
saling menjaga dan melindungi, dan tujuan sebuah masyarakat. Ashabiyah adalah seperti hubungan di dalam keluarga atau yang menyerupainya. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa misi keagamaan atau kenabian akan menguatkan ashabiyah tersebut.
 
Sedangkan Al-Amir Syakib Arsalan [4] menjelaskan enam hal yang menyebabkan kemunduran ummat Islam:

Pertama ialah karena pengorbanan (usaha, amalan) yang sedikit yang dilakukan oleh Ummat Islam. Pengorbanan harta dan manusia yang dilakukan oleh Ummat Islam tidak sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lainnya yang berhadapan dengan Islam.

Kedua ialah karena pengkhianatan sebagian besar Ummat Islam kepada agama, bangsa dan negara dan i’tidzar yang keji dan jahat. Maksud i’tidzar (atau meminta ijin dari sebuah jihad karena udzur) yang sebenarnya (sehingga disebut keji dan jahat) itu adalah sebuah pernyataan untuk membantu musuh-musuh Islam menghancurkan Ummat Islam guna melindungi dirinya sendiri.

Ketiga adalah karena kebodohan yang sudah merajalela di dalam masyarakat. Sehingga banyak orang yang setengah bodoh. Dalam sebuah syair dikatakan bahwa: “Kamu dapati bahaya penyakit setengah gila itu lebih baik daripada kamu mendapat bahaya penyakit setengan gila”. Dan syair itu digubah menjadi “kamu dapati bahaya penyakit bodoh itu lebih baik daripada kamu mendapat bahaya penyakit setengah bodoh”. Setengah bodoh yang dimaksud di atas ialah terjebaknya seseorang dalam kondisi jumud [5] di satu sisi dan di sisi yang lain terjebak dalam keingkaran pada nilai Islam dan lebih memilih yang diluar Islam (westernisasi).
 
Keempat adalah karena kerusakan moral para pemimpin dan kekejaman mereka ketika diingatkan.

Kelima adalah karena ulah “ulama-ulama yang jahat” yang menjual ayat Allah.

Keenam (yang terakhir) adalah sifat pengecut yang menghilangkan keberanian untuk menghadapi lawan.

 
Karena itulah, Maha benar Allah yang berfirman yang artinya:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” [QS Ar-Ra’d 13: 11]


Solusi dalam Kemunduran Ummat Islam
 
   Ibnu Khaldun menjelaskan tiga sebab kemajuan ummat Islam. Yang pertama, ialah karena perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat tinggi. Yang kedua, ialah karena pengorganisasi yang baik yang dilakukan oleh Ummat Islam. Sedangkan yang ketiga, ialah karena kemampuan bertahan hidup atau bertahan dalam kondisi yang sangat sulit.

Ketiga sebab ini berkesesuian dengan solusi yang ditawarkan oleh Al Amir Syakib Arsalan sebagai berikut:

Ia menjelaskan bahwa solusi yang pertama untuk maju adalah tidak boleh bangga dengan kuantitas tapi harus dengan kualitas. Ia mengatakan bahwa kunci kemenangan itu terletak dalam kualitas bukan kuantitas. Maka banyak sejarah menunjukan yang sedikit mengalahkan yang banyak. Ia memberi pelajaran dari peperangan antara Jalut dan Thalut yang akhirnya dimenangkan oleh Thalut yang sedikit.
 
Yang kedua ia menjelaskan bahwa kunci kemenangan itu terletak dalam keberanian dan kekuatan untuk bertahan dalam penderitaan. Sedangkan yang ketiga ialah menghidupkan ilmu dalam masyarakat. Ilmu disini bukanlah ilmunya orang-orang yang jumud dan bukan pula ilmunya orang-orang yang ingkar – orang yang tidak mengambil dari sumber ajaran Islam (yang menghendaki westernisasi).
 
Mungkin solusi yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun maupun Al Amir Syakib Arsalan itu terkesan sederhana atau mungkin sebagian orang mengatakannya sebagai sesuatu yang sudah klasik. Karena itulah, untuk memahami lebih lanjut solusi yang diberikan oleh sarjana muslim tersebut, barangkali ada baiknya apabila kita menelaah kembali dua konsep yang diutarakan oleh dua sarjana muslim yang lain. Yakni konsep lahirnya peradaban menurut Malik bin Nabi [6]. Dan konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer yang dirumuskan oleh Syed Naquib Muhammat Al Attas. [7] Dan lainnnya Hamid Fahmy Zarkasyi dan Adian Husaini.


PENUTUP

H
arapannya, dengan menelaah karya intelektual keempat sarjana muslim tersebut, pemahaman yang lebih mendalam tentang permasalahan Ummat Islam bisa diraih. Terutama terkait imperialisme epistemologi yang dilakukan oleh Barat yang seharusnya getol dilawan oleh setiap mahasiswa muslim.

Tentu tidak dengan aksi di jalanan dan berteriak menuntut para pejabat turun atau menekan kontrak. Tapi dengan kepemimpinan intelektual (konsep pemikiran peradaban) yang dilakukan oleh ulil albab ---klik---> intelektual muslim. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM - gpmmi



 
[1] Al-Ghazali nama lengkap Abū āmid Muammad ibn Muammad al-Ghazālī (bahasa Arab أبو حامد محمد بن محمد الغزالي; bahasa Latin - Algazelus atau Algazel, c. 1058 - 19 Desember 1111) adalah seorang ahli teologi Muslim abad pertengahan, ahli hukum, filsuf , dan sufi asal Persia.
[2] Ibnu Khaldun (Arab Saudi: أبو زيد عبد الرحمن بن محمد بن خلدون الحضرمي, Abū Zayd 'Abd ar-Ramān ibn Muammad ibn Khaldūn al-aramī; 27 Mei 1332 - 17 Maret 1406) adalah seorang ahli historiografi Arab dan sejarawan. Dia diklaim sebagai pendahulu disiplin ilmu historiografi modern, sosiologi, ekonomi, dan demografi.
[3] Di dalam Kitab An-Nihāyah fi Gharīb al-Atsar dinyatakan: “Al-'Ashabiyyu man yu’īnu qaumahu 'ala al-Dhulm - orang yang ashabiyyah adalah orang yang menolong kaumnya dalam kedzaliman. [An-Nihayah fi Ghariib al-Atsar, juz 3/482].
[4] Al-Amir Syakib Arsalan atau Shakib Arslan (bahasa Arab: شكيب أرسلان, 25 Desember 1869 - 9 Desember 1946) adalah seorang pangeran Druze (amir) dari Lebanon yang dikenal sebagai Amir al-Bayān (bahasa Arab untuk "Prince of Eloquence") karena selain menjadi seorang politisi, dia juga seorang penulis, penyair dan sejarawan berpengaruh. Seorang penulis yang produktif, dia menulis 20 buku dan 2000 artikel, yang dapat ditambahkan dua koleksi puisi dan sebuah "korespondensi yang luar biasa."
[5] Jumud: Beku, statis; iman yang tidak disertai ibadah; setelah beribadah maghdah melakukan amalan sosial yang baik, beriman dan melakukan amalan yang baik).
Malek Bin Nabi adalah seorang penulis dan filsuf Aljazair, yang menulis tentang masyarakat manusia, khususnya masyarakat Muslim dengan fokus pada alasan di balik jatuhnya peradaban Muslim.
Syed Muhammad al-Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al-Attas (lahir di Bogor, 5 September 1931) ialah seorang Cendekiawan Mus;im, ahli falsafah Muslim dan Tokoh Melayu Terbilang 2011. Kini, beliau menetap di Malaysia. Beliau menguasai ilmu teologi, falsafah, metafisik, sejarah, dan kesusasteraan. Beliau juga menulis pelbagai buku dalam bidang pemikiran dan peradaban Islam, khususnya tentang sufisme, kosmologi, falsafah, dan Kesusasteraan Melayu Malaysia. □□




Sumber:
http://gpmmi.blogspot.com/2009/03/sebab-sebab-kemunduran-umat-islam-dan.html
http://tulisan-syabab.blogspot.com
https://kbbi.web.id
https://en.wikipedia.org/wiki/
https://ms.wikipedia.org/wiki/
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/05/ulil-albab-adalah-intelektual-muslim.html

Blog Archive