Allah
Maha Menyaksikan atau Maha Melihat dengan itu Allah Maha Mengetahui, disebut
pula sebagai Asmaul Husna Asy-Syahid (Maha Menyaksikan)
T
|
ulisan berikut akan membahas salah satu
bab dari kitab “Al-Maqshadul Asna fi Syarhi Ma’ani Asmaaillah al-Husna”
karya Al-Imam Al-Ghazali rahimahullah, singkatnya bermaksud membahas
nama Allah Asy-Syahid – Allah Maha Menyaksikan. Yang bersumber dari ceramah Ust.
Fathuddin Ja’far, MA. Serta
ditambahkan seperlunya oleh Admin blog. Semoga bermanfaat. □ AFM
A
|
sy-Syahid maknanya kembali kepada makna
Al-‘Alim (Maha Mengetahui), seperti dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan tentang Allah: “Dia lah Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,” [QS Al-Hasyr
59:22].
Ghaib adalah sesuatu yang tersembunyi,
sedangkan asy-Syahadah adalah sesuatu yang tampak dan dapat disaksikan. Jadi
makna asy-Syahid adalah Dia Maha Mengetahui yang ghaib (tak nampak tapi ada) dan yang nampak (nyata). Seperti
halnya jin dan angin, keduanya tidak nampak dan tidak dapat dilihat oleh
manusia tapi Allah mengetahui sesuatu yang tidak nampak oleh manusia.
Sesuatu yang dapat dilihat oleh manusia
baru sebagian kecil dari makhluk yang ada, masih ada sebagian besar makhluk
Allah yang tidak bisa dilihat. Seperti halnya dengan pengetahuan isi alam
semesta yang manusia ketahui adalah kurang dari 1 (satu) persen dari keseluruhan
alam semesta yang diselidiki dan diyakini manusia ada tapi hakekatnya tidak
diketahui yaitu, 73 persen dalam bentuk ‘energi gelap, sedang sisanya dalam
bentuk ‘materi gelap’.
Bahkan apa yang ada di dalam dirinya
sendiri ia tidak dapat melihatnya seperti jantung, ginjal, hati dan lainnya,
karena terbungkus oleh kulit dan daging yang menutupi seluruh tubuh manusia.
Kita tahu dari gambar-gambar dari ilmu tubuh manusia, sementara dokter yang
mengoperasi pasiennya tahu.
Tapi yang sama sekali kita tidak dapat melihat
adalah ruh kita sendiri dan ruh manusia lainnya serta hal-hal yang gaib lainnya
seperti malaikat, syaithan dan seterusnya. Karena itu ketika Luqmān mengajarkan
tentang muraqabah (merasa diawasi)
oleh Allah kepada anaknya sangat luar biasa mengungkapkannya seperti yang dinukilkan
dalam firman-Nya dalam Kitab Suci Al-Qur’an yang artinya:
(Luqmān
berkata): “Hai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi,
dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya
(balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui (Teliti),”
[QS Luqmān 31:16).
Demikian Luqmān menerangkan kepada
anaknya tentang hal-hal yang bersifat ghaib. Untuk itu, seorang yang beramal
shaleh tidak lah perlu riya lagi, karena semua yang dilakukannya Allah telah
mengetahuinya. Jadi, semua nama-nama Allah sebenarnya adalah perbuatan-Nya dan memperkuat
keimanan (karena kebenaran-Nya) seorang muslim dalam setiap lini dan aspek
kehidupan.
Jika Allah Maha Menyaksikan, apakah
seorang hamba masih berani berbuat maksiat sementara Allah menyaksikan
perbuatan seorang hamba yang tersembunyi dan nampak?
Jauh sebelum teknologi sekarang yang
ada kameranya dimana-mana (tentunya ditempat yang diperlukan untuk diawasi)
untuk pengawasan dan pengendalian suatu kawasan, apatah lagi Allah asy-Syahid
(Maha Mengetahui, karena Dia yang menciptakannya) sebagai ar-Rabb. Ibnul Atsir berkata, “Kata ar-Rabb
secara bahasa diartikan pemilik, penguasa, pengatur, pembina, pengurus dan
pemberi nikmat. Artinya, termasuk pula mencipta, mengendalikan dan mengawasi
alam semesta dan segala isinya.
Orang yang berani korupsi, maka
keimanannya dengan nama Allah asy-Syahid perlu dipertanyakan. Ia masih berani
korupsi dengan sembunyi-sembunyi, padahal Allah mengetahui perbuatannya. Orang
korupsi itu seperti orang yang sedang mengemudikan mobil sambil menggunakan telepon genggamnya,
padahal terlarang menggunakannya dalam peraturan lalu lintas. Setiap hari ia berbuat
seperti itu, tapi suatu hari polisi melihatnya dan ia pun diminta meminggirkan
ketepi jalan dan diberi tiket (“tilang”). Itu menunjukkan bahwa kepada polisi
boleh saja ia bermain-main, tapi kepada Allah ia tidak akan dapat bermain-main
karena Ia Maha Menyaksikan – Asy-Syahid.
Hidup bersama Allah itu enak jika
seseorang bisa menghadirkan-Nya dalam kehidupannya. Bukan menghadirkan
Dzat-nya, tapi menghadirkan hikmah dari makna nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Bagaimana ia merasa takut kekurangan
rizki sementara Allah Maha Pemberi Rizki, takut tidak sembuh sementara Allah
yang Maha Menyembuhkan, takut dosa tidak diampuni sementara Allah Maha
Pengampun? Bila masih ada seseorang yang stres dalam menjalani kehidupan ini
berarti ia belum mengenal Allah. Allah berfirman dalam Kitab Suci Al-Qur’an
yang artinya:
“Katakanlah:
“Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” [ QS Az-Zumar
39:53].
Selama seseorang itu belum dijeput ajal,
maka masih ada peluang Allah mengampuni dosa-dosanya.
Nama Allah Asy-Syahid membuat hidup
seseorang tenang, karena ketika seorang hamba sedang sakit maka pasti Allah
melihatnya sehingga cukuplah ia meminta kesembuhan kepada-Nya dan melakukan
sunatullah-Nya seperti minum obat atau pergi ke dokter.
Ketika seseorang punya anak, dan
anaknya sudah punya anak serta cucunya sudah punya anak pula, maka seseorang
itu tidak perlu khawatir dan memikirkan bagaimana rizki keturunannya karena
Allah Maha Pemberi Rizki melalui usaha (ikhtiar yakni sunatullah-Nya)
sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:
“Dan
tidak ada suatu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semua
rizkinya di jamin Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat
penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfūzh),” [QS
Hūd 11:6].
Allah telah menjamin akan memberi rizki
makhluk yang telah diciptakan, baik mukmin atau kafir atau pun makhluk lainnya.
Bila Allah stop rizki makhluknya berarti masa hidupnya telah habis, karena ajal
tiba. Rizki akan Allah berikan selama makhluk-Nya masih hidup.
Kesaksian Allah atas hamba-Nya adalah
terhadap apa yang dilakukan oleh seorang hamba, baik yang nampak maupun yang
tersembunyi. Bila Allah mengetahui segala sesuatu secara mutlak maka Dia berhak
disebut dengan Al-‘Alim, bila disandarkan pada pengetahuan sesuatu yang ghaib
atau sesuatu yang tidak tampak maka Ia adalah Al-Khabir. Bila disandarkan pada
pengetahuan perkara-perkara yang tampak maka Dia adalah asy-Syahid.
Asy-Syahid juga bisa bermakna kesaksian
Allah di hari kiamat atas semua hamba-Nya. Pembahasan seputar nama Allah
asy-Syahid ini sangat mirip dengan nama Allah Al-‘Alim dan al-Khabir, karenanya
tidak perlu diulang lagi pembahasannya. Nama Allah asy-Syahid, al-‘Alim dan
al-Khabir saling terkait tapi tidak sama.
Hikmah mengetahui makna nama-nama
Allah, seorang hamba harus semakin dekat dengan Allah Ta’ala. Jika pemahaman
terhadap makna nama-nama Allah dihayati dan dinternalisasikan dalam kehidupan
maka hidup seorang hamba akan merasa tenang dan aman. Ia tidak akan pernah
merasa khawatir terhadap rizkinya, kesehatannya dan lainnya.
Jauh dekatnya seorang hamba kepada
Allah tergantung dengan ikhtiarnya (usaha), kecuali orang-orang yang dipilih
oleh Allah dari kalangan para nabi. Karenanya seorang hamba harus proaktif
mendekatkan diri kepada Allah melalui pemahaman terhadap nama-nama Allah.
Seperti Allah adalah Al-‘Alim, tapi seorang hamba tidak akan mendapatkan ilmu
tanpa ia mencarinya. Untuk itu seorang muslim diwajibkan menuntut ilmu sebagai
hadits menyebutkan yang artinya:
“Mencari
ilmu itu kewajiban atas setiap muslim,” [HR Bukhari dan Muslim]
Ilmu yang didapat oleh seorang hamba
sesuai dengan yang dicarinya. Bila ia menginginkan keimanan maka ilmu yang
dicari harus lah ilmu yang berkaitan dengan keimanan. Begitu juga ilmu tentang
dunia, bila ia menginginkannya maka dia harus mencari ilmu tentang dunia.
Seorang hamba harus berupaya mencari apa yang diinginkannya dengan disertai
do’a kepada Allah.
Hanya saja dalam masalah rizki beda
dengan masalah ilmu. Allah telah menciptakan makhluk maka Allah pasti akan
memberi rizkinya. Meski makhluk itu tidak berdo’a meminta rizki pasti Allah
akan memberinya walaupun kadarnya sesuai yang Allah berikan. Seperti ketika
seseorang berkunjung ke tetangganya, lalu ia dijamu dan diberi makan oleh
tetangganya. Itu menunjukkan rizki akan diberikan meski tidak diminta.
Urusan rizki adalah urusan yang biasa,
tapi urusan ilmu adalah urusan yang luar biasa atau besar. Ilmu menentukan
pilihan. Bila seorang memilih surga maka di akan mempelajari urusan agama. Bila
ia cinta Allah maka ia akan mempelajari nama-nama Allah. Bila ia cinta Rasul
maka ia harus mempelajari sunnah-sunnahnya. Adapun urusan rizki, terkadang
orang tidak bekerja ia pun mendapatkan rizki lebih banyak dari orang yang
bekerja. Seperti halnya orang yang mendapat warisan. Lazimnya mendapat rezki (sunatullahnya)
disertai ikhtiar (berusaha, bekerja).
Dalam hal ilmu, meski orang tuanya
berilmu tapi belum tentu anaknya berilmu karena ia tidak bisa diwariskan.
Itulah beda antara harta dan ilmu, harta akan ditinggal sedangkan ilmu akan
dibawa oleh pemiliknya. Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya
Allah tidak mencabut ilmu (pengetahuan) dengan mencabutnya dari hamba-Nya, akan
tetapi Ia akan mencabut ilmu tersebut dengan cara mencabut (nyawa) para ulama,”
[HR. Bukhari dan Muslim]
Jadi Allah bukan mencabut ilmu dari
jiwa seseorang, tapi Allah mencabut ilmu dengan mematikan pemiliknya sehingga
ilmunya ikut pergi dengannya.
Ada kisah seorang ulama di Madinah, ia
memiliki perpustakaan yang besar di rumahnya. Ketika seseorang datang ke
rumahnya, ia heran kemana buku-buku yang biasa mengisi perpustakaannya. Seorang
itu bertanya, “Wahai syaikh, kemana buku-bukunya, apakah dijual?” Syaikh itu
menjawab, “Tidak, saya wakafkan ke salah satu universitas di Yaman.” Seorang
itu bertanya, “Kenapa?” Syaikh itu terdiam lama dan menjawab dengan sedih,
“Anak saya tidak ada yang cenderung jadi ulama, yang satu jadi seorang Manager
disuatu perusahaan di Saudi Arabia dan anak saya yang lainnya jadi itu dan itu.
Dari pada tidak jelas manfaatnya, maka saya wakafkan buku-buku itu supaya
mendapatkan pahala dari orang yang membacanya.”
Kisah di atas menunjukkan bahwa ilmu
tidak bisa diwariskan. Untuk itu, harusnya perbandingan perhatian seorang hamba
terhadap mencari ilmu dan harta 9 berbanding 1. Jangan dibalik, 9 mencari harta
dan 1 mencari ilmu. Inilah perlunya pemahaman terhadap makna Allah asy-Syahid
sehingga hidup seorang hamba tidak akan merasa khawatir karena Allah Maha
Menyaksikan-nya. Tidak pernah luput kesaksian Allah sehingga tidak perlu takut
terhadap keamanannya, rizkinya dan lainnya. Tidak perlu takut kepada tindakan kriminal
seseorang karena Allah Maha Menyaksikan dan Menjaganya. Semua itu berjalan
sesuai dengan takdir dan ajalnya, meski orang jahat datang dan menyerangnya belum tentu korban
yang diserang meninggal - karena belum ajalnya. Bisa jadi justru orang jahatnya
yang meninggal. Tapi sebaliknya, bila sudah ajalnya tiba, maka seseorang tidak
bisa lari kemana pun. Kematian itu hanya satu, tapi sebab-sebabnya banyak.
Ketakutan terhadap sesama makhluk akan
menjadi-jadi dalam diri seseorang bila ia jauh dari Allah. Bila ia dekat
kepada-Nya, maka ia tidak akan pernah takut dan khawatir. Bila ia membutuhkan
sesuatu ia dapat meminta dengan berdo’a kepada Allah – disamping sunatullahnya
dikerjakan (ikhtiar, usaha), karena Allah sudah menjamin akan mengabulkan do’a
seorang hamba yang meminta kepada-Nya. Ketika seseorang berpergian hendaknya ia
berdo’a kepada Allah supaya dijaga dan diberi keamanan. Tidak ada yang dapat
memberi perlindungan dan keamanan kecuali Allah, karenanya harus selalu minta
kepada-Nya.
Bahkan ketika seorang hamba hendak
tidur, hendaknya ia berdo’a supaya Allah menjaganya. Bisa jadi ketika ia
tertidur, Allah tidak mengembalikan nyawanya. Bila Allah telah mentaqdirkan
ajal seseorang tiba, maka nyawanya tidak akan kembali. Karenanya seorang hamba
yang bisa bangun tidur kembali disunnahkan untuk membaca do’a sebagai ungkapan
syukur telah dihidupkan lagi setelah mati sementara.
Ketika sebelum tidur seorang muslim
disunnahkan membaca do’a karena ia akan mati sementara (tidur): “Dengan
nama-Mu ya Allah aku hidup dan mati.” Setelah bangun dari tidur, ia juga
disunnahkan untuk bersyukur dengan berdo’a: “Segala puji bagi Allah yang
menghidupkan aku kembali setelah mematikan aku dan kepada Allah akan bangkit .”
Demikianlah Allah itu Maha Menyaksikan
segala fenomena alam dan tingkah laku perbuatan manusia dan membalasinya sesuai
dengan apa yang dikerjakannya. Lahā mā kasabat
wa ‘alayhā māktasabat. Artinya: “Dia
(manusia) mendapat (pahala) kebaikan dari kebajikan yang dikerjakannya. Dan dia
(manusia) mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya,” [QS
Al-Baqarah 2:286] □□
Sumber:
https://mtf-online.com/asmaul-husna-asy-syahid-maha-menyaksikan/
https://muslim.or.id/3868-ar-rabb-yang-maha-mengatur-dan-menguasai-alam-semesta.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/10/penciptaan-alam-semesta-dalam-enam-masa.html
□□□