Saturday, December 8, 2018

Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun 3




“Oleh karena itu keuntungan (pendapatan) hanya dapat diperoleh dengan usaha dan kerja” - yang baik (skill, rajin, dengan ilmu atau tahu caranya).  Lahā Mā Kasabat Wa ‘Alayhā Maktasabat - “Dia mendapat (kesuksesan) dari kebajikan (usaha dan kerja yang baik) yang dikerjakannya dan dia mendapat (kesengsaraan) dari (kemalasan, kebodohan) yang diperbuatnya”. [QS Al-Baqarah 2:286]

“Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan) “Makanlah oleh mu dari rizki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafār” - (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman, adil-makmur, berperadaban rahmatan lil ‘ālamīn) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. [QS Saba’ 34:15]



Upah Buruh

I
bnu Khaldun juga telah membahas masalah upah buruh dalam perekonomian.  Ia menyebut istilah buruh dengan terminologi shina’ah (pekerjaan di pabrik) sebagaimana dituliskannya dalam buku al-Muqaddimahnya:

Pekerjaan (di pabrik/perusahaan) adalah kemampuan praktis yang berhubungan dengan keahlian (skills). Dikatakan keahlian praktis karena berkaitan dengan kerja fisik material, di mana seorang buruh secara langsung bekerja secara indrawi. Dalam terminologi ekonomi modern, shina’ah tersebut dikenal dengan istilah employment (ketenagakerjaan). Orang yang melakukannya disebut employee atau labour (tenaga kerja atau buruh).

          Ibnu Khaldun adalah ilmuwan pertama dalam sejarah yang memberikan penjelasan rinci tentang teori nilai buruh. Menurutnya, buruh adalah sumber nilai. Penting dicatat bahwa Ibnu Khaldun tidak pernah menyebut nilai buruh dengan istilah “teori”. Meskipun demikian, penjelesan tentang buruh secara detail dipaparkan Ibnu Ibnu Khaldun pada Bab IV buku Al-Muqaddimahnya.

Pemikiran Ibnu Khaldun tentang buruh ini selanjutnya dikembangkan oleh David Hume dalam bukunya Political Discouse yang diterbitkan tahun 1752 dengan mengatakan: “Setiap yang ada di bumi ini dihasilkan oleh buruh”. Pernyataan ini selanjutnya dikutip Adam Smith dalam footnote, “Segala sesuatu yang dibeli dengan uang atau barang dihasilkan oleh buruh.” Uang atau barang menyelamatkan kita. Nilai kuantitas buruh kita tukar sesuai dengan waktu (dan kualitas kerja) yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah kuantitas. Dengan demikian, nilai dari sebuah komoditas sebenarnya tidak untuk digunakan atau dikonsumsi sendiri, melainkan untuk ditukar dengan komoditas lain yang sebanding dengan kuantitas buruh.

Buruh dengan demikian merupakan alat ukur dari pertukaran nilai seluruh komoditas.  Jika paragraf ini yang dipublikasikan pada tahun 1776 dianggap sebagai pemikiran Adam Smith, ternyata pemikiran seperti ini telah dikemukakan Ibnu Khaldun lebih tiga abad sebelum Adam Smith. Buruh sangat dibutuhkan dalam seluruh pendapatan dan keuntungan. Tanpa buruh pendapatan dan keuntungan tidak dapat diperoleh. [68]

Artinya dalam bahasa Indonesia disalin dari bahasa Arab tulisan Ibnu Khaldun sebagai berikut: Barang-barang hasil industri dan tenaga kerja juga menjadi mahal di kota-kota yang telah makmur. Kemahalan itu dikarenakan tiga hal sebagai berikut: Pertama: Karena besarnya kebutuhan yang ditimbulkan oleh meratanya hidup mewah di suatu kota dan karena banyaknyanya penduduk; Kedua: Tenaga kerja (employee) tidak mau menerima upah yang rendah bagi pekerjaan dan jasanya, karena gampangnya orang mencari penghidupan/pekerjaan  dan banyaknya bahan makanan di kota-kota; Ketiga: Karena besarnya jumlah orang-orang kaya dan besarnya kebutuhan mereka kepada tenaga kerja untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan mereka, maka muncullah persaingan dalam mendapatkan pelayanan dan tenaga kerja dan mereka berani membayar tenaga kerja lebih dari nilai pekerjaannya. Maka posisi buruh (tenaga kerja) dan orang-orang yang memiliki keahlian menjadi kuat, sehingga upah mereka menjadi naik (mahal).

Dalam bahasa Inggrisnya Rosental menerjemahkannnya sebagai berikut: Crafts and labour also are expensive in cities with an abundant civilization. Thera are three reason for this: First, they are much needed, because of the place luxury occopies in the city on account of its large population; Second, industrial workers place a high value on their services and employment (for they do not to work) since live is easy in a town because of the abundance of food there; Third, the number of people  with money to waste is great, and these people have money needs for which they have  to employ the services  of others and have to use many workers   and their skills. Therefore they pay more for (the services of) workers than their labaour is (ordinarly considered) worth, because there is competition for (the services) and the wish to have axclusive use of them. Thus, workers craftsmen and professional people become arrogant, their labaour becomes expensive, and the expenditure of the inhabitants   of the city for this things, increase.

Faktor yang paling menentukan, urgen dan bernilai (qimah) dalam ekonomi  menurut Ibnu Khaldun adalah kerja buruh yang memilki keahlian (skills) yang diistilahkannya dengan shina’ah. Mengenai hal ini kata Ibn Khaldun dalam sebuah pasal al-Muqaddimah dengan judul “Realitas Rezki, Pendapatan dan Uraian Tentang Keduanya Serta Bahwa Pendapatan  Adalah Nilai Kerja Manusia”:

“Oleh karena itu keuntungan (pendapatan) hanya dapat diperoleh dengan usaha dan kerja”.

Ini jelas sekali dalam industri-industri di mana faktor kerja jelas kelihatan. Demikian halnya penghasilan yang diperoleh dari pertambangan, pertanian, atau peternakan, karena kalau tidak ada kerja dan usaha (buruh) maka tidak akan ada hasil keuntungan.

Oleh karena itu maka penghasilan yang diperoleh orang dari industri merupakan nilai dari kerjanya para buruh. Dalam industri-industri tertentu harga bahan mentah harus diperhitungkan, misalnya saja kayu dan benang dalam industri kayu dan pertenunan.  Nilai kerja buruh adalah lebih besar daripada harga bahan mentahnya, karena kerja dalam kedua industri ini mengambil bagian yang terbanyak.

Dalam perkerjaan-pekerjaan lain dari industri pun nilai kerja harus ditambahkan pada (harga) produksi. Sebab dengan tidak adanya kerja maka tidak akan ada produksi.

          Dalam seluruh kegiatan produksi pekerjaan buruh (shina’ah) penting sekali. dan karenanya  nilai kerja buruh itu  baik besar atau kecil, harus dipentingkan. Dalam persoalan-persoalan lain, misalnya, persoalan harga bahan makanan, bagian kerja itu seringkali tidak  nampak. Padahal kerja buruh itulah yang menyebebkan adanya output (produksi). Sekali pun biaya kerja buruh (wage) itu mempengaruhi harga bahan makanan, tetapi hal itu tak menjadi persoalan, sebab sudah menjadi kelaziman bahwa setiap produksi membutuhkan biaya, dalam hal ini biaya buruh. Maka jelaslah bahwa semua atau sebagian besar dari penghasilan dan laba (profit) menggambarkan nilai kerja manusia”. [69]

Teks di atas secara jelas mengemukakan bahwa nilai sesuatu terletak pada kerja manusia. Dengan kata lain substansi nilai adalah kerja para buruh (shina’ah). Namun harus dicatat, kata Ibnu Khaldun, bahwa pencurahan tenaga kerja dalam suatu produksi seharusnya mengeluarkan output yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian antara shina’ah (kerja buruh) dan hasil produksi terdapat hubungan timbal balik. Berarti bahwa bilaman kuantitas kerja menurun maka nilai produksi akan menurun pula, dan sebaliknya bilaman kuantitas kerja meningkat maka nilai hasil produksi juga meningkat. Menarik sekali bahwa hal yang sama dikemukakan Marx sekitar 4 abad sesudah Ibnu Khaldun.  Kata Marx: “Kuantitas kerja untuk menghasilkan sesuatu saja-lah yang menentukan kuantitas nilai produksi (output)”. [70]

Untuk menguatkan pendapatnya selanjutnya Ibn Khaldun mengatakan, “Pendapatan yang dinikmati seseorang sesungguhnya merupakan nilai dari kerjanya. Andaikan saja seseorang sepenuhnya tidak memiliki pekerjaan (shina’ah) niscaya ia akan kehilangan pendapatan sepenuhnya”. [71]

Jadi, menurut Ibn Khaldun faktor yang menentukan nilai barang-barang produksi adalah kuantitas kerja yang dicurahkan kepadanya. Hal yang serupa juga dikemukakan Lenin. [72]

Marx bukanlah orang yang pertama-tama mengemukakan tentang nilai pada zaman modern. Hal ini sebelumnya telah dikemukakan seorang ahli ekonomi politik Inggris yang berjaya pada sekitar masa revolusi Prancis, William Godwin (1756-1836) berpendapat bahwa materi kekayaan adalah kerja. Setelah itu muncul Ricardo yang dalam bab pertama karyanya Principles of Political Economi and Taxation menyatakan sebagai berikut: “Nilai barang terletak pada kuantitas relatif dari kerja, kuantitas yang diperlukan untuk memproduksinya, dan bukan terletak pada upah yang diberikan dalam kerja ini”. Sementara Adam Smith, dalam karyanya Wealth of Nation, dalam menguraikan tentang bentuk paling umum dari hukum nilai antara lain berkata sebagai berikut: “Kerja adalah ukuran riil nilai secara timbal balik”. [73]

Namun ternyata sebelum para pemikir di atas muncul, telah ada seorang pemikir muslim yang menaruh perhatian terhadap kenyataan ekonomis dan juga menaruh perhatian untuk menganalisisnya, sehingga akhirnya ia memahami adanya hukum-hukum yang mengendalikan kenyataan itu dan mengemukakan teori nilainya. Memang ia tidak menguraikan hukum-hukum itu secara rinci dalam beberapa pasal, tetapi meski demikian ia telah meletakkan prinsip-prinsip dengan secara gamblang dan ringkas. Menurut Ibn Khaldun ‘kerja’ merupakan faktor penting dalam menciptakan kemajuan dan semaraknya kebudayaan. Bilamana Aristoteles memandang rendah kerja tangan, sebaliknya Ibn Khaldun memandang sebagai salah satu pertanda kemajuan kebudayaan. Bahkan kerja  buruh (shina’h) merupakan faktor terpenting bagi pertumbuhan kemajuan dan peradaban. Jadi setiap kali kuantitas kerja secara umum meningkat maka akan meningkat pulalah kemakmuran suatu masyarakat, dan sebaliknya bilamana kuantitas kerja menurun maka akan menurun pulalah kondisi ekonomi suatu masyarakat yang dapat berakibat timbulnya disintegrasi politis.

Ibn Khaldun juga mengkaitkan antara jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, setiap kali jumlah penduduk meningkat maka kuantitas kerja pun akan meningkat yang berakibat meningkatnya produksi. Sebaliknya setiap kali jumlah penduduk menurun akan menurun pulalah kuantitas kerja yang berakibat menurunnya produksi. Kata Ibn Khaldun: “Tidakkah anda saksikan bahwa di tempat-tempat yang kurang penduduknya kesempatan kerja adalah sedikit atau tidak ada sama sekali, dan penghasilan rendah sebab sedikitnya kegiatan-kegiatan manusia. Sebaliknya kota-kota yang kebudayaannya lebih maju penduduknya lebih baik keadaannya dan makmur”. [74]

Dengan demikian Ibn Khaldun menghargai kerja dan dampak ekonomisnya. Selain itu juga menekankan fungsi sosial dan moral kerja. Sebab masyarakat desa, menurut Ibn Khaldun, yang banyak bekerja memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka mempunyai suatu keistimewaan, yaitu moral mereka yang kuat. Sementara masyarakat kota, yang hidup dalam kemewahan, kemalasan, kesantaian, dan ketenggelaman dalam berbagai kelezatan hidup, moral mereka bobrok. Dengan demikian kerja menurut Ibn Khaldun merupakan katup pengaman moral. Sebab ketenggelaman dalam kemewahan tanpa kerja akan mengantarkan pada penyelewengan. [75]

Roger Garaudy, dalam kajiannya tentang Ibn Khaldun, menyatakan bahwa teori nilai Ibn Khaldun didasarkan pada kerja dan ia melakukan hal yang demikian ini sebelum dilakukan seorang ahli ekonomi Eropa pada abab kedelapan belas. [76]

Memang kita tidak dapat menyatakan bahwa teori Ibn Khaldun tentang nilai telah tuntas dan sempurna. Namun kita dapat menyatakan bahwa bilamana pendapat-pendapatnya tentang nilai kita rangkum semuanya, akan dapat membentuk suatu teori ekonomi. Dalam pendapat-pendapatnya ini, seperti yang dikemukakan Muhammad ‘Ali Nasy’at, terkandung unsur-unsur penting yang baru dicapai oleh peneliti ilmiah di bidang ekonomi pada masa jauh setelahnya. [77]

Meskipun  kajian-kajian Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah tentang nilai demikian jelas, tetapi ada juga penulis yang menolak kontribusi Ibn Khaldun di bidang penelitian tentang nilai. Misalnya saja Gaston Bouthoul yang menyatakan bahwa dalam karya Ibn Khaldun tersebut tidak terdapat sama sekali pembahasan yang berkenaan dengan apa yang kini disebut dengan ekonomi politik teoretis dan ia tidak sama sekali mengkaji ide nilai. [78] Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr. Menurut kami tampaknya pendapat kedua penulis ini dikutip dari pendapat Gaston Bouthoul. [79] Terhadap pendapat yang demikian itu teks-teks al-Muqaddimah merupakan jawaban yang paling tepat baginya. Tepat komentar Muhammad ‘Ali Nasy’at tentang posisi Ibn Khaldun dalam masalah ini: “Ibn Khaldun patut dimasukkan dalam barisan para penulis terbaik tentang masalah-masalah ekonomi, karena pemahamannya yang mendalam atas esensi persoalan-persoalan ekonomi yang paling pelik, di antaranya teori nilai”. [80]


Faktor-Faktor Produksi.

F
aktor-faktor produksi menurut Ibnu Khaldun ada tiga, yaitu alam, pekerjaan, dan modal. Namun pendapat-pendapat Ibn Khaldun mengenai ketiga faktor tersebut berserakan dalam al-Muqaddimah. Kajian ini berupaya menghimpun pendapat-pendapat itu.

Pertama-tama, alam merupakan sumberdaya yang membekali manusia berupa materi yang adakalanya dapat dipergunakan secara langsung dan adakalanya pula setelah diolah. Kata Ibn Khaldun dalam uraiannya tentang dampak alam atas produksi: “Penghidupan ialah mencari dan mendapatkan jalan untuk keperluan hidup… Jalan ini bisa didapat, adakalanya dengan kekerasan terhadap orang lain sesuai dengan hukum kebiasaanya yang berlaku, dan cara ini terkenal dengan nama penetapan pajak atau cukai; Bisa juga diperoleh dengan menangkap binatang-binatang buas dan membunuhnya di laut atau di darat, suatu jalan penghidupan yang terkenal dengan nama berburu; Dengan mengambil penghasilan dari binatang jinak yang sudah umum dilakukan orang, seperti susu dari hewan ternak, sutera dari  ulat sutera dan madu dari lebah; Dengan menjaga dan memelihara tanam-tanaman dan pohon-pohonan dengan tujuan dengan mengambil buahnya. Jalan penghidupan ini disebut pertanian.

Bisa juga diperoleh dari kegiatan manusia, baik yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat tertentu dan terkenal dengan nama pertukangan, seperti menulis, bertukang kayu, menjahit, menenun, naik kuda dan sebagainya; Atau yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat yang tidak tertentu, yakni segala macam pelayanan dan perburuhan, jujur, atau tidak jujur; atau keperluan hidup itu mungkin juga diperoleh dengan menyediakan barang-barang untuk ditukar, dengan jalan membawa barang-barang itu ke tempat-tempat lain keseluruh penjuru negeri atau dengan jalan memonopoli pasar bagi barang-barang itu dan menantikan geraknya pasar, dan nilai yang terkenal dengan nama perdagangan”. [81] Dengan demikian alam merupakan azas segala bentuk produksi.

Sedang faktor kedua, yaitu pekerjaan, hal ini telah diuraikan di muka dalam pembahasan tentang teori nilai. Namun di sini perlu ditambahkan bahwa faktor ini merupakan faktor utama yang melebihi kedua faktor lainnya. Faktor pekerjaan mempunyai kelebihan dengan coraknya yang positif. Dan ini merupakan faktor yang selalu ada dalam semua bentuk produksi, malah hasil alam tidak mungkin diperoleh kecuali dengan pekerjaan. Pada masa Ibn Khaldun sendiri pekerjaan mengungguli faktor-faktor produksi lainnya, demikian pula halnya faktor ini terpisah dari modal. Sebab ketika itu pemilik modal juga pekerja.

Ibn Khaldun tidak memisahkan modal dari kerja seperti halnya yang dilakukan para ahli ekonomi dewasa ini. [82] Seperti diketahui pemisahan antara modal dan kerja terjadi akibat dampak revolusi industri dan munculnya kelompok kaum kapitalis. Oleh karena itu tidaklah aneh bila Ibn Khaldun merangkum kedua faktor tersebut. Menurut Sobhi Mahmassani, Ibn Khaldun tidak mengemukakan perlunya modal kecuali dalam kedudukannya sebagai salah satu alat produksi. Atau dengan kata lain dengan kedudukannya sebagai kekayaan dan bersaham dalam produksi di samping faktor pekerjaan dan alam. [83] Ibn Khaldun tidak banyak membahas peran yang mungkin dilakukan para pemilik modal. Malah ia berpendapat bahwa akumulasi harga yang besar akan mendatangkan bahaya atas pemiliknya dari pihak penguasa dan pembesar. Kata Ibn Khaldun dalam sebuah pasal dengan judul “Pemusatan Harta Benda tak Bergerak dan Tanah-Tanah Perkebunan: Keuntungan dan Kejelekannya”: “Pemusatan harta benda tak bergerak dan tanah-tanah perkebunan di tangan perseorangan dari desa atau orang kota tidaklah terjadi dengan seketika, juga tidak dalam suatu keturunan … Tanah perkebunan semacam itu diperoleh sedikit demi sedikit. Adakalanya dengan jalan warisan yang mengakibatkan berpusatnya kekayaan dari beberapa nenek-moyang dan saudara di tangan seorang pewaris. Sebab pada saat-saat jatuhnya suatu dinasti dan bangkitnya suatu kekuasaan baru, tanah-tanah perkebunan kehilangan daya tariknya, karana kurang terjaminnya perlindungan yang dapat diberikan negara dan karena keadaan yang kacau balaun (chaos).  Akan tetapi apabila kekuasan baru telah tegak, keamanan dan kemakmuran telah kembali serta negeri telah kuat lagi seperti sedia kala, maka tanah perkebunan itu sekali lagi akan menjadi lebih menarik, karena kegunaannya yang besar dan harganya sekali lagi akan naik … Namun penghasilan dari harta benda tak bergerak dan tanah-tanah perkebunan tidak mencukupi penghidupan pemiliknya karena hidupnya yang penuh kemewahan … Pada umumnya para penguasa dan pembesar merasa tertarik pada tanah-tanah itu atau ingin membelinya dari para pemiliknya pun mendapat malapetaka …”. [84]


Penutup

D
ari paparan-paparan di  atas,  dapat dipahami bahwa pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi sesungguhnya sangat brilian yang mencakup berbagai permasalahn ekonomi, baik mikro maupun makro, apalagi pemikiran itu dikemukakannya pada abad 14 ketika Eropa masih terkebelakang.

Ibnu Khaldun telah melakukan kajian empiris tentang ekonomi Islam, karena ia menjelaskan fenomena ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat dan negara. Dari kajian makalah ini dapat disimpulkan bahwa secara historis, pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi jauh mendahului para sarjana Barat modern. Oleh karena itu, yang pantas disebut sebagai Bapak ekonomi adalah Ibnu Khaldun, bukan Adam Smith.

Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pajak, perdagangan internasional, usaha membangun peradaban dan politik sangat urgen untuk dipertimbangkan dalam konteks kekinian dalam rangka mewujudkan masyarakat dan negara yang sejahtera.

          Demikianlah paparan dari Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun yang kemunculan ilmu ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mengarahkan perhatian para ilmuan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Salah satunya disebutkan oleh Vatican - Kantor Pusat Agama Katolik mengatakan:

“Sistim Keuangan Islami dapat membantu Bank-Bank Barat yang dalam keadaan Krisis. (Karena) “Prinsip-prinsip etika yang didasarkan pada ‘sistim keuangan Islam dapat membawa bank lebih dekat kepada nasabah mereka dan sungguh semangat ‘sistim keuangan Islam ini seharusnya menjadi contoh bagi setiap layanan keuangan, (Sumber: Suratkabar resmi Vatikan Osservatore Romano).

Berjalannya ‘Sistim Ekonomi Islam’ yang sedang berlangsung sekarang ini, sangat kondusif dan signifikan untuk membangun ekonomi dunia. Pemahaman sistim kehidupan islami dan implementasi pembangunan ekonomi ummat akan mewujudkan masyarakat sejahtrera yang makmur berdasarkan sistim ekonomi islami. Apabila umat telah makmur, mereka dapat melaksanakan pembangunan secara lebih adil (bagi semua). Bila gerakan sistim ekonomi islami ini, baik secara akademis maupun praktek berjalan sukses, maka akan bermuara pada masyarakat (negara) islami yang berjalan adil dan makmur dalam ridha-Nya -  Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Billahit Taufiq wal-Hidayah. [Tamat] □ AFM


Serial ke:1  |  2  |  3



Catatan Kaki:
[1].Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta, Rajawali Pers, cetakan kedua, 1997
[2].Schumpeter, J.A.: History of Economic Analysis, Oxford University Press, London, 1959, p.136 and p.788.
[3].Muhammad Hilmi Murad, Abu al-Iqtishad, Ibnu Khaldun dalam A’mal Mahrajan Ibnu Khaldun, Kairo, Markaz Al-Qawmi lil Buhuts al-Ijtimaiyah wa al-Jinaiyah, 1962, hlm. 308
[4].Shiddiqy, Muhammad Nejatullah, Muslim Economic Thinking,  A Survey of Contemporary Literature, dalam buku  Studies in Islamic Economics, International Centre for Research in Islamic Economics King Abdul Aziz Jeddah  and The Islamic Foundation, United Kingdom,  1976, hlm. 261.
[5].Boulakia, Jean David C., “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist” – Journal of Political Economiy 79 (5) September –October 1971: 1105-1118
[6].Ibid, p. 1117
[7].Ibid, p.1118
[8].Shiddiqi, op.cit, hlm. 260
[9].Ezzat Al-Alfi, S, Production, Distribution and Exchange in Khaldun’s  Writing, Minnesota, University of Minnesota, 1968
[10].Nash’at M. Ali, “al-Fikr al-Iqtisadi fi Muqaddimat Ibn Khaldun (Economic Though in the Prolegomena of Ibn Khaldun). Ph.D. Thesis. Cairo University. Matba Dar al-Kutub al-Misriya. 1944.
[11].Rozenthal, Franz,”Ibn Khaldun the Muqaddimah, An Introduction to History, V.I London. Routledge & Kegan Paul, 1958. 481p. (Complete History is 3 Volumes).
[12].Spengler.J.J, “Economic Thought of Islam: Ibn Khaldun”, Comparative Studies in Society and History (The Hague). VI. 64: 268-309.
[13].Boulakia, Jean David C., “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist” – Journal of Political Economiy 79 (5) September –October 1971: 1105-1118
[14].Ali, Syed Ahmad, “Economics of Ibn Khaldun-A Selection”, Africa Quarterly (New Delhi) 10(3) Oct.-Dec. 70:251-259.
[15].Ibn al-Sabil, Waitlif Khalid, “Islami Ishtirakiyat fi’l Islam” (Some Aspects of Islamic Communism) Fikr-O-Nazar (Karachi) 7(7), Jan. 70: 513-526.
[16].Abdul al-Qadir, Muhammad, “Ibn Khaldun ke Ma’ashi Khayalat” (Economic Views of Ibn Khaldun), Ma’arif (Azamgarh) 50(6), Dec. 42: 433-441. dan Lihat “Ibn Khaldun ke Ma’ashirati, Siyasi, Ma’ashi Khalayat (Social, Political and Economic Ideas of Ibn Khaldun) Hyderabad (Dn.), A’zam Steam Press, 1943.
[17].Rif’at, Sayyid Mubariz al-Din, “Ma’ashiyat par Ibn Khaldun ke Khalayat” (Ibn Khaldun’s Views on Economics), Ma’arif (Azamgarh) 40(1) July 37: 16-28; 40(2), Aug. 37:85-95
[18].De Somogyi, Joseph, “Economic Theory in the Classical Arabic Literature”, Studies In Islam (Delhi) 2(1), Jan. 1-6.
[19].Al-Tahawi, Ibrahim, “al-Iqtisad al-Islami Madhhaban wa Nizaman wa Dirasah Muqaranh.(Islamic Economics-a School of Thought and a System, a Comparative Study), al-Qahirah, Majma’al-Buhuth al-Islamiyah, 1974. 2v. 616, 400p.
[20].Irving, T.B, “Ibn Khaldun on Agriculture”, Islamc Literature (Lahore) 7 (8). Aug.55:31-31.
[21].Abdus Sattar, M. Ibn Khaldun’s Contibution to Economic Thoughtin: Contemporary Aspects of Economic and Social Thingking in Islam. Gary. Indiana, M.S.S. of U.S & Canada.1973: 157-168.
[22].Spengler. J.J. Ibid, dan Lihat dalam al-Jaraf, Muhammad Kamal, “al-Nizam al-mali al-Islami (Islamic Financial System), al-Qahirah, Maktabat al-Nahdat al-Jadidah, 1970.
[23].Abdus Sattar, M. Op.Cit
[24].Abdus Sattar, M. Op.cit, dan Lihat dalam Yamani, Ahmad Zaki, “ ’Adalatuna’l-Ijtima’i (Our Social Justice) al-Muslimoon (Genewa) 9(9), July 65: 12-24; 9(10), Nov. 65: 55-62.
[25].Irving, T.B, Op.Cit. dan Lihat dalam Hasan, Hasan Ibrahim.”Islam: A Religious, Political, Social and Economic Study, Beirut, Khayats, 1967.
[26].Abdul al-Qadir, Muhammad, Op.Cit. dan Lihat. dalam Nadwi, Mujibullah, “Islami Qunun-e Ujrat ka ek bab” (A Chapter of the Islamic Law of Wages), Ma’arif (Azamgath) 77(6), June 56:405-421.
[27].Abdus Sattar, M. Op.cit, dan Lihat. Yusuf, S.M. “Economic Justice in Islam”. Lahore, Muhammad Ashraf, 1971.vii. 116p.
[28.De Somogyi, Joseph, “Economic Theory in the Classical Arabic Literature”, Op. Cit.
[29].Abdul al-Qadir, Muhammad, Op.Cit. dan Lihat. dalam Qureahi, ‘Abdul Majid. “Minhat ke Masa’il aur unke hal (Labour Problems and their Solution). Ichra, Lahore, al-Habib Publications, n.d. 60p.
[30].Abdul al-Qadir, Muhammad, Op.Cit. Lihat. dalam Khan, Muhammad Akram. “The Theory of Employment in Islam”, Islamic Literatur (Lahore) 14(4), Apr. 68: 5-16. dan Lihat dalam Qureahi, ‘Abdul Majid. Op.cit.
[31].Ibn al-Sabil, Waitlif Khalik, Op. cit, dan Lihat dalam Sheikh, Nasir Ahmad, “Some Aspects of the Constitution and the Economic of Islam”, Woking, England, The Woking Mission & Literary Trust, 1967. 256p. (Fisst Published in 1957).
[32].Rif’at, Sayyid Mubariz al-Din, Op.cit, dan Lihat dalam, al-Fasi,‘Allal, “al-Naqd al-Dhati (self Criticism), Beirut, Dar al-Kashshaf, 1966. 477p.
[33].Abdus Sattar, M. Op.cit, dan Lihat dalam Yusufuddin, Muhammad. “Islam ke Ma’ashi Nazariye (Economic Theories of Islam) 2nd ed. Hyderabad, Matba’ Ibrahimiyah, 1950. 2v. 756p.
[34].Rif’at, Sayyid Mubariz al-Din, Op.cit, dan Lihat dalam, al-Fasi,‘Allal, “al-Naqd al-Dhati. Op. cit.
[35].Al-Tahawi, Ibrahim, Op.cit dan Lihat dalam Abazah, Ibrahim Dasuqi. “al-Islam wa’l-Tanmiyat al-Iqtisadiyah” (Islam and Economic Development) al-Manhal (Jeddah) 33(11) Dec.72-Jan. 73:1123-1132. dan juga dalam Dawalibi, Ma’ruf. “Islam versus Capitalism and Marxism”, Word Muslim League (Singapore) 3(5), May 66: 14-24.
[36].Al-Tahawi, Ibrahim, Op.cit dan Lihat dalam Sherwani, H.K. “Ibn-e- Khaldun and His Politico-Economic Thought”, Islamic Culture 44(2). Apr. 70: 71-80.
[37].Boulakia, Jean David C., Op. Cit. Pp. 1107-1108
[38].Ibid, p. 1109.
[39].Gaston Bouthoul, Ibn Khaldoun, sa Philosophie Sociale, (Paris: P. Geuthner, 1930), h. 62.
[40].Muhammad Hilmi Murat, “Abu al-Iqtishad, Ibn Khaldun”, dalam A’mal Mahrajan Ibn Khaldun, (Kairo: al-Markaz al-Qaumi li al-Buhuts al-Ijtima’iyyah wa al-Jina’iyyah, 1962), h. 308.
[41].Muhammad ‘Ali Nasy’at, al-Fikr al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibn Khaldun, (Kairo: t.p., 1944), h. 5-6.
[42].Abd al-Rahman ibn Khaaldun, op. cit., h. 36-37
[43].Ibid.
[44].Ibid, h. 344.
[45].Thaha Hussein, La Philosophie Sociale d’Ibn Khaldoun, (Paris: t.p., 1918), h. 195-196.
[46].‘Abd al-Rahman ibn Khaaldun, op. cit., h. 345.
[47].Ibid
[48].Ibid, h. 346.
[49].Ibid.
[50].Ibid, h. 350.
[51].Ibid, h. 346.
[52].Ibid, h. 350.
[53].Gaston Bouthoul, op. cit., h. 62.
[54].Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr, op. cit., h. 491
[55].‘Abd al-Rahman ibn Khāldun, op. cit., h. 107.
[56].Ibid, h.105.
[57].Karl Marx dan F. Engels, al-I Diulujiyyah al-Almaniyyah, terj. oleh Goerge Tharabisyi, (Damaskus: Dar Dimasyq li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, 1966), h. 14.
[58].Ibid, h. 53.
[59].Roger Garaudy, Ibn Khaldun”, dalam Majallah al-Hilal.
[60].‘Abd al-Rahman ibn Khāldun, op. cit., h. 106
[61].Dikutip dari Muhammad ‘Ali Nasy’at, op.cit., h. 22-24.
[62].Karl Maxr, Misere de la Philosophie, (Paris: Editions Sociale, 1946), h. 107.
[63].Muhammad ‘Ali Nasy’at, op.cit., h. 22-24.
[64].Arnold Toynbee, A Study of History, vol 3, London, Oxford University Press, 1948, hlm 67
[65].Ibid., hlm 422. Masalah ini juga dibahas oleh  Charles Issawi, Ibnu Khaldun’S Analysis of Economics Issues dalam Abdul Hasan M.Shadeq dan Aidit Ghazali (ed), Reading in Islamic Thought, Malaysia, Logman, 1992, hlm. 224
[66].Ibid, hlm. 340-341
[67].M.Umer Chapra, The Future of Islamic Economics, (terj, Masa Depan Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 2001, hlm. 138)
[68].Ibid, hlm. 334
[69].‘Abd al-Rahman ibn Khaldun, op. cit., h. 333-334.
[70].Karl Marx, Ra’s al-Mal, Vol. 1, terj. oleh Muhammad ‘Itani, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1956), h. 50.
[71].‘Abd al-Rahman ibn Khaldun, op. cit., h. 341.
[72].V. Lenin, Marx, Egels, al-Marksiyyah, (Moscow: Dar al-Taqaddum, 1968), h. 24-25.
[73].Roger Garaudy, Karl Marx, (Paris: Seghers, 1946), h. 166-167.
[74].‘Abd al-Rahman ibn Khaldun, op. cit., h. 334.
[75].Ibnu, Khaldun, op.cit, hlm, 432.
[76].Roger Garaudy, “Ibn Khaldun”, op. cit., h. 257.
[77].Muhammad ‘Ali Nasy’at, op.cit., h. 55.
[78].Gaston Bouthoul, op. cit., h. 31.
[79].Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr, op. cit., h. 493.
[80].Muhammad ‘Ali Nasy’at, op.cit., h. 73.
[81].‘Abd al-Rahman ibn Khaldun, op. cit., h. 334-335.
[82].Muhammad ‘Ali Nasy’at, op.cit., h. 31
[83].Sobhi Mahmassani, op. cit., h. 177.
[84].‘Abd al-Rahman ibn Khaldun, op. cit., h. 321.
26 February 2011
[85].Kerajaan Hafsids (Arabic: الحفصيون al-afiyūn)  adalah sebuah dinasti Muslim Sunni keturunan Berber yang memerintah Ifriqiya (Libya barat, Tunisia, dan Aljazair timur) dari tahun 1229 hingga 1574. □□


Sumber:
en.wikipedia.org
https://shariaeconomics.wordpress.com/tag/pemikiran-ekonomi-ibnu-khaldun/
https://pistaza.wordpress.com/2011/10/11/pemikiran-ekonomi-ibnu-khaldun/
Dan sumber-sumber lain. □□□

Blog Archive