Saturday, December 8, 2018

Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun 2




Vatikan mengatakan Sistim Keuangan Islami dapat membantu Bank-Bank Barat yang dalam keadaan Krisis. Prinsip-prinsip etika yang didasarkan pada sistim keuangan Islam dapat membawa bank lebih dekat kepada nasabah mereka dan sungguh semangat ‘sistim keuangan Islam ini seharusnya menjadi contoh bagi setiap layanan keuangan, (Sumber: Suratkabar resmi Vatikan Osservatore Romano).


Keterkaitan Ekonomi dan Politik

S
ebelum membahas pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi, perlu dibentangkan di sini pemikiran Ibnu Khaldun tentang keterkaiatan ekonomi dengan politik (negara) dan aspek-aspek lainnya. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal ini dapat dilihat dalam gambaran skema variabel-variabel penentu seperti G, S, W, N, D, J sebagai aspek-aspek keterkaitan ekonomi dan politik seperti  bawah ini:

Variabel-Variabel Penentu:

          • G = Government (Pemerintah, Penguasa) = الملك
          • S = Syari’ah = الشريعة
          • W = Wealth (Kekayaan/Ekonomi) = الأموال
          • N = Nation (Masyarakat/Rakyat) = الرجال
          • D = Development (Pembangunan) = عمارة
          • J = Justice (Keadilan) =  العدل

Catatan: f = Faktor, penentunya 

Gambar hubungan-hubungan tersebut dibaca sebagai berikut:

1.  Pemerintah/Penguasa (G) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan implementasi Syari’ah (S)
2.  Syari’ah (S) tidak dapat diwujudkan kecuali oleh Pemerintah/Penguasa (G)
3.  Pemerintah/Penguasa (G) tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali oleh Masyarakat/Rakyat (N)
4.  Pemerintah/Penguasa (G) yang kokoh tidak terwujud tanpa Kekayaan/Ekonomi (W) yang tangguh
5.  Masyarakat/Rakyat (N) tidak dapat terwujud kecuali dengan Ekonomi/Kekayaan (W)
6. Kekayaan (W) tidak dapat diperoleh kecuali dengan Pembangunan (D)
7. Pembangunan (D) tidak dapat dicapai kecuali dengan Keadilan (J)
8. Pemerintah/Penguasa (G) bertanggung jawab mewujudkan Keadilan (J)
9. Keadilan (J) merupakan mizan (timbangan dalam mengukur baik tidaknya pekerjaan yang dilakukan oleh manusia) yang akan dievaluasi oleh Allah

Formulasi Ibnu Khaldun menunjukkan gabungan dan hubungan variabel-variabel yang menjadi prasyarat mewujudkan sebuah Pemerintahan (G). Variabel tersebut adalah  Syari’ah (S), Masyarakat/Rakyat (N),  Kekayaan/Ekonomi (W), Pembangunan (D) dan Keadilan (J)

Semua variabel tersebut bekerja dalam sebuah lingkaran yang dinamis saling tergantung dan saling mempengaruhi. Masing-masing variabel tersebut menjadi faktor (f) yang menentukan kemajuan suatu peradaban atau kemunduran dan keruntuhannya.

Keunikan konsep Ibnu Khaldun ini adalah tidak ada asumsi yang dianggap tetap (cateris paribus) sebagaimana yang diajarkan dalam ekonomi konvensional saat ini. Karena memang tidak ada variabel yang tetap (konstan). Satu variabel bisa menjadi pemicu, sedangkan variabel yang lain dapat bereaksi ataupun tidak dalam arah yang sama. Karena kegagalan di suatu variabel tidak secara otomotis menyebar dan menimbulkan dampak mundur, tetapi bisa diperbaiki. Bila variabel yang rusak ini bisa diperbaiki, maka arah bisa berubah menuju kemajuan kembali.

Sebaliknya, jika tidak bisa diperbaiki, maka arah perputaran lingkaran menjadi melawan jarum jam, yaitu menuju kemunduran. Namun bila variabel lain memberikan reaksi yang sama atas reaksi pemicu, maka kegagalan itu akan membutuhkan waktu lama untuk diidentifikasi penyebab dan akibatnya.

          Variabel Pembangunan (D) dan Keadilan (J) perlu mendapat perhatian, sebagaimana variabel-variabel lain. Pembangunan (D) merupakan unsur penting dalam masyarakat (N), tanpa pembangunan masyarakat (D+N) tidak akan maju dan berkembang (W).  Namun, pembangunan (D) tidak akan berarti tanpa keadilan (J). Oleh karena itu, perlu konsep distributive justice untuk mewujudkan keadilan pembangunan (J+D)tersebut.

          Bila masing-masing variabel itu digabung, relasi fungsional terwujud dalam formula G= f (S,N,W,D,J). Atau G adalah fungsi dari variabel (S,N,W,D,J). G ditempatkan sebagai variabel dependent, karena G dalam hal ini adalah kelangsungan peradaban, kejayaan atau kemunduran/keruntuhan, dipengaruhi oleh lima variabel tersebut. Secara sederhana bisa dibaca bahwa Penguasa/Pemerintah (G) bertugas dan bertangung jawab menerapkan syari’ah, sebab tanpa syari’ah, masyarakat akan kacau, negara akan runtuh. Negara juga harus menjamin hak-hak masyarakat dan bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan masyarakat (N) agar masyarakat sejahtera-makmur (W), melalui pembangunan yang adil. Bila variabel-variabel itu tidak dipenuhi, maka kekuasaan tingal menunggu waktu runtuhnya.

          M. Umer Chapra merumuskan pemikiran Ibnu Khaldun dengan gambar lingkaran, sebut saja lingkaran  keadilan.

Negara hanya satu komponen dari beberapa komponen yang ada
maka upaya penegakan Islam dapat dimulai dari komponen yang paling mungkin di zaman dan wilayah tertentu. Ekonomi yang dilambangkan dengan W juga merupakan salah satu komponen dalam entitas lingkaran di atas, yang dapat diuraigambarkan sebagai berikut:

• Kita bisa memulainya dari gerakan pemahaman ekonomi syari’ah (S), pengembangan kajian, sosialisasi dan mempraktekkanya dalam kehidupan ekonomi masyarakat (N). Upaya ini pada gilirannya akan meningkatkan kemakmuran-kesejahteraan masyarakat (W-->N). Masyarakat yang makmur jelas akan membayar zakat, infaq, sedeqah dan waqaf sebagai upaya mewujudkan keadilan ekonomi (justice) (N+W-->J,W).

• Ketika masyarakat Islam telah makmur, kaya dan sejahtera (N+W), maka mereka bisa membangun (development, D) infra struktur seperti lembaga pendidikan, dan pusat-pusat pelatihan, sarana ibadah, hotel syari’ah, gedung trade centre, sarana industri, jalan dan jembatan ke sektor produksi, dsb. Semua pembangunan ini hendaklah ditujukan untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan (justice) kesejahteraan masyakat (D-->J,W,N).

• Ketika ekonomi (W) kuat, maka negara/politik (G) pun bisa kuat/dikuasai.


Skema-Gambar di atas juga menunjukkan Siklus kemunduran negara atau al-Mulk (G). Jika proses kemunduran negara menuju keruntuhan terjadi, maka arahnya adalah melawan arah jarum jam, sebagai berikut:

• Pembangunan (D) yang tidak adil (-J) mengakibatkan kesejahteraan (-W+N) rakyat yang sejati tidak terwujud, selanjutnya masyarakat (-N) lemah tidak (eksis), masyarakat (-N) akan kacau, yang mempengaruhi dan mengganggu pemahaman dan implementasi syari’ah (-S). Ketika syari’ah (-S) telah roboh, maka G (daulah/al-mulk) pun runtuh (-G).

Adapun siklus kemajuan prosesnya adalah berputar seperti arah jarum jam, sebagai berikut:

• Tanamkan kesadaran syari’ah (S), kemudian
• Kembangkan masyarakat (N) sehingga tercipta masyarakat yang faham syari’ah (N,S)
• Tingkatkan kekayaan mereka (W,N)
• Laksanakan pembangunan yang adil (D,J)
• Barulah Tegak pemerintahan yang baik/kuat (G=S,W,N,D,J)

Maka jangan menegakkan negara di mana pemahaman syari’ah belum mantap dan ekonomi ummat belum kuat. - Dengan kata lain untuk menegakkan negara yang baik/kuat, mesti memantapkan atau dijaga pemahahaman syari’ah mantap dan ekonomi umat dibuat menjadi kuat.

          Gerakan ekonomi syari’ah yang sedang berlangsung sekarang ini, sangat kondusif dan signifikan untuk membangun (D,G). Pemahaman syari’ah (S) dan implementasi pembangunan ekonomi ummat (D,W,N) akan mewujudkan masyarakat sejahtrera yang makmur berdasarkan syari’ah (N,W,S). Apabila umat telah makmur (N,W), mereka dapat melaksanakan pembangunan  secara lebih adil (J). Bila gerakan ekonomi syari’ah (W,S) ini, baik secara akademis maupun praktek berjalan sukses (progress), maka akan bermuara pada penguasaan negara (G= S,W,N,D,J).

Umar Chapra menyatakan bahwa ummat Islam sebenarnya mampu menyajikan semua variabel dalam lingkaran keadilan menjadi kekuatan besar. Tapi sayangnya variabel-variabel itu tidak digerakkan oleh pemerintah (daulah). Pemerintah (G) mulai melupakan kewajiban-kewajiban dan tanggungjawabnya. Pemerintah gagal mengimplementsikan syari’ah (S) sebagai pedoman dan rujukan ketaatan. Mereka juga lalai dalam menjamin keadilan dan menyediakan fasilitas yang diperlukan rakyat (N). Dampaknya pembangunan dan kemakmuran mengalami kemunduran. Inilah yang menjadi pangkal terjadi kemunduran peradaban Islam.


Pembagian Kerja (Division of Labour).

D
alam kedudukannya sebagai individu, manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan membutuhkan bantuan orang lain (ta’awun). Manusia bisa menjadi kuat apabila melebur diri dalam masyarakat. Kesadaran tentang kelemahan tersebut mendorong manusia untuk bekerjasama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. “Kesanggupan seseorang untuk mendapatkan makanannya sendiri, tidak cukup baginya untuk mempertahankan hidupnya, karena kebutuhannya bukan sekedar makanan. Bahkan untuk mendapatkan sedikit makanan pun, misalnya kebutuhan gandum untuk makan satu hari saja, manusia membutuhkan orang lain. Pembuatan gandum, jelas membutuhkan berbagai pekerjaan (menggiling, mengaduk dan memasak). Tiap-tiap pekerjaan tersebut membutuhkan alat-alat yang mengharuskan adanya tukang kayu, tukang besi, tukang membuat periuk dan tukang-tukang lainnya. Andaikan pun misalnya, ia bisa makan gandum dengan tidak usah digiling lebih dahulu, ia tetap membutuhkan pekerjaan orang lain, sebab ia baru bisa mendapatkan gandum yang belum digiling itu setelah dilakukan berbagai pekerjaan, seperti menanam, menuai dan memisahkan gandum itu dari tangkainya. Bukankah semua proses ini membutuhkan banyak alat dan pekerjaan. [42]

          Jadi, mustahil bagi seseorang untuk melakukan semua atau sebagian pekerjaan-pekerjaan tersebut. Karena itu merupakan keharusan baginya untuk mensinergikan (ta’awun) pekerjaannya dengan pekerjaan orang lain. Manusia membutuhkan kerjasama ekonomi. Dengan kerja sama dan tolong-menolong dapat dihasilkan bahan makanan yang cukup untuk waktu yang lebih panjang dan jumlah yang lebih banyak. [43] Untuk itu diperlukan adanya pembagaian kerja (division of labour) antara individu dalam masyarakat, karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, pasti tergantung pada orang lain (ta’awun, bekerja secara team work).

          Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana yang ia kemukakan pada bab kelima al-Muqaddimah, ada tiga kategori utama dalam kerja: pertanian, perdagangan dan berbagai kegiatan lainnya.

Sarana produksi yang paling sederhana adalah pertanian. Pekerjaan ini, menurut Ibn Khaldun, tidak memerlukan ilmu dan ia merupakan “penghidupan orang-orang yang tidak punya dan orang-orang desa”. Oleh karena itu pekerjaan ini jarang dilakukan oleh orang-orang kota dan orang-orang kaya. [44] Di sini kelihatan Ibn Khaldun meletakkan pertanian pada peringkat pekerjaan yang sedikit lebih rendah daripada pekerjaan profesi orang-orang kota.

Penilaian Ibnu Khaldun ini setidaknya disebabkan tiga  alasan. Pertama, tidak memerlukan ilmu yang luas dan dalam, sebab siapa saja bisa menjadi petani tanpa harus sekolah pertanian. Analisa ini dikemukakannya karena pada saat itu kondisi masyarakat masih sederhana dan belum ada fakultas pertanian seperti sekarang. Kedua, bila ditinjau dari segi besarnya penghasilan, para petani umumnya berpenghasilan rendah dibanding orang-orang kota.  Ketiga, para petani diwajibkan membayar pajak. Menurut Ibn Khaldun orang-orang yang membayar pajak adalah orang-orang yang lemah, sebab orang-orang yang kuat tidak mau membayar pajak. [45] Alasan ketiga ini juga sifatnya kondisional yang berbeda dengan kondisi modern sekarang ini.


Perdagangan

S
elanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa para petani menghasilkan hasil pertanian lebih banyak dari yang mereka butuhkan. Karena itu  mereka menukarkan kelebihan produksi mereka dengan produk-produk lain yang mereka perlukan. Dari sinilah timbul perdagangan (tijarah). Jadi, pekerjaan perdagangan ini secara kronologis timbul setelah adanya produksi pertanian Seperti telah dikemukan, perdagangan adalah upaya memproduktifkan modal yaitu dengan membeli barang-barang dan berusaha menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Ini dijalankan, baik dengan menunggu meningkatnya harga pasar atau dengan membawa (menjual) barang-barang itu ke tempat yang lebih membutuhkan, sehingga akan didapat harga yang lebih tinggi, atau kemungkinan lain dengan menjual barang-barang itu atas dasar kredit jangka panjang.

          Selanjutnya Ibnu Khaldun, mengatakan bahwa: “Laba perdangangan yang diperoleh  pedagang akan kecil bila modalnya kecil. Tetapi bilamana kapital besar maka laba tipis pun akan merupakan keuntungan yang besar”. [46] Perdagangan menurutnya  adalah “pembelian dengan harga murah dan penjualan dengan harga mahal”. [47] Pekerjaan pedagang ini, menurut Ibn Khaldun, memerlukan perilaku tertentu bagi pelakunya, seperti  keramahan dan  pembujukan. Namun, “para pedagang sering kali melakukan kebiasaan mengelak dari jawaban yang sebenarnya (dusta), dan pertengkaran”, karena itu para pedagang selalu mengadukan persoalan sengketa perdagangan kepada hakim. [48]

          Ibnu Khaldun juga mengkritik para pejabat dan penguasa yang melakukan perdagangan. [49] Hal ini agaknya dimaksudkan Ibnu Khaldun agar para penguasa bisa berlaku fair terhadap para pedagang. Point ini menjadi penting diterapkan pada masa kini, agar tidak terjadi monopoli proyek oleh “penguasa yang pengusaha”.


Perindustrian

P
erindustrian, menduduki peringkat budaya yang  tinggi dan lebih kompleks ketimbang pertanian dan perdagangan. Perindustrian umumnya terdapat pada kawasan-kawasan perkotaan di mana penduduknya lebih mencapai peringkat kebudaan yang lebih maju. “Di kota-kota kecil jarang terdapat industri-industri  kecuali industri yang sederhana. Apabila peradaban (civilization) semakin meningkat dan kemewahan semakin meluas, maka industri benar-benar akan tumbuh dan berkembang dengan nyata”. [50]

Jadi, setiap kali peradaban semakin meningkat maka semakin berkembanglah industri, karena antara keduanya terjalin hubungan yang erat. Industri-industri yang  kompleks dan beraneka ragam itu membutuhkan banyak pengetahuan, skills, latihan dan pengalaman. Oleh karena itu individu-individu yang bergerak di bidang ini harus memiliki spesialisasi. Menurut Ibn Khaldun kegiatan perindustrian ini membutuhkan bakat praktis dan ilmu pengetahuan”. [51]

          Ibn Khaldun mengklasifikasikan industri menjadi dua, pertama, industri yang memenuhi kebutuhan manusia, baik yang primer maupun yang skunder, dan kedua industri yang khusus bergerak di bidang ide/pemikiran, seperti “penulisan naskah buku-buku, penjilidan buku, profesi sebagai penyanyi, penyusunan puisi, pengajaran ilmu, dan lain-lain sebagainya”. [52] Ibn Khaldun juga memasukkan profesi tentara dalam klasifikasi yang terakhir ini.

          Spesialisasi di bidang industri tidak hanya bergerak secara individual, tapi juga bercorak regional atau dengan kata lain ada kawasan tertentu yang memiliki keahlian dalam suatu bidang industri sementara  kawasana lainnya memiliki keahlian dalam industri lainnya sesuai dengan kesiapan masing-masing kawasan.

          Pembagian kerja di atas berdasarkan pembagian masyarakat menjadi dua, yakni masyarakat desa dan masyarakat kota. Masyarakat desa bergerak di bidang pertanian dan pemeliharaan hewan. Sedangkan masyarakat kota bergerak di bidang perdagangan dan perindustrian. Sebagian para penulis secara keliru, memandang pengkatagorian masyarakat desa hanya didasarkan pada penggembalaan hewan saja. Ini terjadi karena kekeliruan memahami kata “ra’yu”, yang menurut mereka berarti pemgembalaan hewan.

Di antara yang berpendapat yang demikian itu ialah Gaston Bouthoul dalam karya Ibn Kaldoun, Sa Philosophie Sociale, [53] dan Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr dalam karyanya Tarikh al-Falsafah al-‘Arabiyyah. Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr berpendapat bahwa Ibn Khaldun mengklasifikasikan bangsa-bangsa berdasarkan pola produksinya menjadi tiga kategori: para pengembala yang tersebar di tanah-tanah dataran rendah dan pegunungan, kaum baduwi dan nomaden, dan penduduk kota. [54] Kekeliruan dalam memahami makna kata “ru’ya”, tersebut timbul karena kata itu dipahami dalam maknanya pada masa kita ini. Padahal kata itu bagi Ibn Khaldun memiliki makna yang lain, yakni orang-orang yang tinggal di luar kota, terlepas mereka itu pengembala yang nomaden atau petani yang menetap. Kata Ibn Khaldun: “Pendapat kita bahwa kehidupan desa mendahului dan menjadi asal kehidupan kota, dikuatkan dengan kenyataan bahwa penyelidikan tentang nenek moyang penduduk kota mana saja akan memberikan bukti bahwa sebahagian besar mereka berasal dari desa yang bedekatan dengan kota tempat nenek moyang mereka itu. Mereka datang sewaktu mereka sudah dapat memperbaiki kehidupannya dan beralih kepada kehidupan yang penuh kesengajaan dan kemewahan yang ada di kota. Ini menunjukkan bahwa masyarakat desa lebih dulu terwujud ketimbang masyarakat kota”. [55] Sementara pada tempat lain ia mengatakan: “Dan untuk mencukupi kebutuhannya para petani dan peternak hewan, terpaksa pergi ke teempat-tempat lain yang masih terbuka luas, yang tidak terdapat di kota-kota, untuk persawahan, pengembalaan, dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan orang kota ialah orang-orang yang tinggal di kota-kota. Di antara mereka ada yang memperoleh penghidupannya dari industri dan perdagangan. Penghasilan mereka lebih besar daripada penghasil kelompok yang bekerja dalam bidang pertanian dan peternakan hewan yang tinggal di desa”. [56]

          Pendapat Ibn Khaldun tersebut di atas hampir sejalan dengan pendapat Marx yang dikemukakannya dalam karyanya The German Ideology. Kata Marx: “Pembagaian kerja dalam suatu bangsa pertama-tama akan membuat terpisahnya kerja industrial dan perdagangan dari kerja pertanian, dan juga membuat terpisahnya desa dari kota”. [57] Kesamaan itu juga terdapat dalam teks lain dalam karya Marx itu. [58]

Memang kadang-kadang ada persamaan antara Ibn Khladun dan Marx, khususnya dalam hal yang berkenaan dengan fase pengorganisasian negara. Para penguasa terpaksa pindah ke kota dan harus mengolah administrasinya, antara lain dengan membentuk badan kepolisan dan memberlakukan pajak. Kesamaan pendapat itu juga terdapat dalam hal yang berkenaan dengan kehidupan di kota, yang penuh kemewahan dan orang-orang yang tenggelam dalam kelezatan hidup.

          Ibn Khaldun, dalam mengkaji perkembangan berbagai masyarakat, menekankan pentingnya pembagian kerja dalam masyarakat tersebut. Ia mengurutkan bangsa-bangsa dan sistem-sistem yang ia kaji sesuai dengan pola produksi ekonomisnya. Roger Garaudy, dalam salah satu makalahnya tentang Ibn Khaldun, mengatakan bahwa Ibn Khaldun selalu mempergunakan kategori-kategori agama, ras, periode dan geografi dalam membandingkan antara masyarakat desa dan masyarakat kota, seakan-akan Ibn Khaldun mendapatkan adanya pertentangan antar kelas di antara kedua masyarakat itu. [59]

Menurut Ibn Khaldun, fase ekonomi yang pertama dalam kehidupan suatu bangsa ialah fase kehidupan masyarakat desa, yakni fase yang merupakan cikal bakal kebudayaan. “Masyarakat desa lebih dahulu daripada masyarakat kota, dan pedesaan adalah asal kebudayaan dan kota adalah perluasannya”. [60]

Masyarakat desa hidup dalam keadaan sederhana, bersahaja, dan sistem ekonominya juga sangat sederhana, karena penduduknya bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan primer saja. Akibatnya pembagaian kerja di kalangan mereka sedikit sekali. Tetapi Keinginan-keinginan mereka akan meningkat, bila mana mereka menjadi penduduk kota, di mana kemewahan telah mempengaruhi pola kehidupan dan kebiasaan mereka. Kebutuhan mereka menjadi bertambah dan pembagaian kerja di antara mereka menjadi lebih tegas.

          Para ilmuwan ada yang mengatakan bahwa  pemikiran Ibnu Khaldun tentang pembagian kerja merupakan pemikiran yang biasa. Muhammad Shalih, misalnya mengatakan bahwa pada dasarnya pembagian kerja merupakan suatu fenomena ekonomi umum yang ada pada setiap ruang dan waktu. Pembagian kerja adalah suatu fenomena historis dalam masyarakat, karena setiap individu dalam memenuhi kebutuhannya pasti membutuhkan hasil kerja orang lain. [61]

          Dalam kenyataannya Ibn Khaldun hanya memperbincangkan pembagian kerja dalam masyarakat desa dan  masyarakat kota. Kedua masyarakat ini memang memiliki suatu peringkat tertentu dalam kebudayaan, semua orang tahu akan hal itu.   Juga merupakan pemikiran yang biasa, pendapat Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa industri menimbulkan dampak adanya fenomena pembagian kerja. Dengan demikian Ibn Khaldun tidak melupakan hubungan yang ada antara peringkat kebudayaan dan pembagian kerja. Adanya kaitan antara industri dan pembagian kerja sendiri juga diakui Marx, antara lain seperti yang dikemukakan dalam karyanya Misere de la Philosophie. Tidak ada yang luar biasa dalam pemikiran Ibnu Khaldun, karena pemikirannya banyak memiliki kesamaan dengan pemikiran-pemikiran ilmuwan sesudahnya. [62]

Di sini Muhammad Mushlih keliru. Justru, di situlah terletak kehebatan Ibnu Khaldun, karena ia telah merumuskan pemikiran division of labour beberapa abad sebelum pemikir Barat, seperti Karl Marx merumuskannya.
Lebih jauh lagi Muhammad Shalih mengkritik sikap Ibn Khaldun yang tidak menaruh perhatian terhadap dampak-dampak yang timbul akibat adanya pembagian kerja, seperti timbulnya kelas-kelas sosial. Ibnu Khaldun juga, katanya tidak menaruh perhatian terhadap sumber-sumber pembagian kerja. Dalam menjawab kritik ini Muhammad ‘Ali Nasy’at, dalam karyanya al-Fikr al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibn Khaldun, menyatakan bahwa pembagian kerja yang diperbincangkan Ibn Khaldun adalah pembagian kerja sebelum revolusi industri. Pada masa itu pembagian kerja belum lagi mempunyai dampak luas seperti halnya yang terjadi pada produksi yang besar. [63] Dari sini perlu ditambahkan bahwa dalam menilai seorang ilmuwan, seperti Ibn Khaldun, tidak bisa dilakukan dengan ukurun-ukuran modern, zaman industri dan kemajuannya yang luar biasa. Demikian juga, hendaknya kita tidak menuntutnya memliki pendapat-pendapat yang belum berkembang pada masanya. Dalam menilai pemikiran seorang tokoh, pendapat Arnold Toynbee perlu diperhatikan. Dalam karyanya A Study of History, ia menyatakan bahwa pengkajian terhadap seorang pemikir, tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya. [64] Seorang tokoh adalah anak dari zamannya.


Teori harga dan Hukum Supply and Demand

I
bnu Khaldun ternyata telah merumuskan teori harga jauh sebelum ekonom Barat modern merumsukannya. Sebagaimana disebut di awal Ibnu Khaldun telah mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Malthus. Inilah fakta sejarah yang tak terbantahkan. Ibnu Khaldun, dalam bukunya Al-Muqaddimah menulis secara khusus satu bab, bab yang berjudul “Harga-harga di Kota”. Menurutnya bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah banyak, rakyatnya semakin makmur, maka permintaan (demand) terhadap barang-barang semakin meningkat, akibatnya harga menjadi naik. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menulis:

“Sesungguhnya apabila sebuah kota telah makmur dan berkembang serta penuh dengan kemewahan, maka di situ akan timbul permintaan (demand) yang besar terhadap barang-barang. Tiap orang membeli barang-barang mewah itu menurut kesanggupannya. Maka barang-barang menjadi kurang. Jumlah pembeli meningkat, sementara persediaan menjadi sedikit. Sedangkan orang kaya berani membayar dengan harga tinggi untuk barang itu, sebab kebutuhan mereka makin besar. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya harga sebagaimana anda lihat”.

Franz Rosenthal yang menerjemahkan buku Muqadddimah Ibnu Khaldun menjadi The Muqaddimah: An Introduction to History, menerjemahkan kalimat di atas sebagai berikut:

When a city has a highly developed, abundant civilization and is full of luxuries, there is a very large demand for those conviniences and for having as many of them as a person can expect in view of his situation. This results in a very great shortage of such things. Many will bit for them, but they will be in  short supply. They will be needed for many purposes and prosperous people used to luxuries will pay exorbitant prices for them, because they needed them more than others. Thus, as one can see, prices some to be high.

Di sini Ibnu Khaldun telah menganalisa secara empiris tentang teori supply and demand dalam masyarakat. Dalam kalimat di atas Ibnu Khaldun secara ekspilisit  memformulasikan  tentang hukum supply dan kaitannya dengan harga. Menurutnya apabila sebuah kota berkembang pesat, mengalami kemajuan dan penduduknya padat, maka persediaan bahan makanan pokok melimpah. Hal ini dapat diartikan penawaran meningkat yang berakibat pada murahnya harga barang pokok tersebut. Inilah makna tulisan Ibnu Khaldun:

“Apabila sebuah kota berkembang pesat, penduduknya padat, maka harga-harga kebutuhan pokok (berupa makanan) menjadi murah”.

Analisa supply and demand Ibnu Khaldun tersebut dalam ilmu ekonomi modern, diteorikan sebagai terjadinya peningkatan disposable income dari penduduk kota. Naiknya disposible income (kelebihan pendapatan) dapat menaikkan marginal propersity to consume (kecendrungan marginal untuk mengkonsumsi) terhadap barang-barang mewah dari setiap penduduk kota tersebut. Hal ini menciptakan demand baru atau peningkatan permintaan terhadap barang-barang mewah. Akibatnya harga barang-barang mewah akan meningkat pula. Adanya kecendrungan  tersebut  karena terjadi disposable income  penduduk seiring dengan berkembangnya kota. 

Inilah teori supply and demand Ibnu Khaldun. Menurutnya, supply bahan pokok di kota besar jauh lebih besar dari pada supply bahan pokok penduduk desa (kota kecil).  Penduduk kota besar memiliki supply bahan pokok yang berlimpah yang melebihi kebutuhannya sehingga harga bahan pokok di kota besar relatif lebih murah. Sementara itu, supply bahan pokok di desa relatif sedikit, karena itu orang-orang khawatir kehabisan  makanan, sehingga harganya relatif lebih mahal. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menulis dalam Al-Muqaddimah:

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya semua pasar menyediakan kebutuhan manusia, di antaranya kebutuhan dharuriy (primier), yaitu makanan pokok seperti gandum dan segala jenis makanan pokok lainnya seperti sayur buncis, bawang merah, bawang putih dan sejenisnya. Ada pula kebutuhan yang bersifat hajiy (sekunder) dan kamaly (tertier) yang merupakan kebutuhan pelengkap seperti bumbu makanan, buah-buahan, pakaian, perabot rumah tangga, kenderaan, dan seluruh produk hasil industri. Apabila sebuah kota berkembang maju dan penduduknya padat (banyak), maka murahlah harga barang kebutuhan dharuriy seperti makanan pokok dan menjadi mahal harga-harga barang kebutuhan pelengkap, Apabila penduduk suatu daerah sedikit (seperti desa) dan lemah peradabannya, maka terjadi sebaliknya (harga menjadi mahal).

          Analisa Ibnu Khaldun tentang harga dengan menggunakan hukum kekuatan supply and demand adalah suatu rumusan yang sangat luar biasa, karena jauh sebelum kelahiran ekonom modern, ia secara cerdas telah merumuskannya. Dari kalimat pertama Ibnu Khaldun di atas, jelas, bahwa pasar menurutnya merupakan tempat yang menyediakan kebutuhan manusia, baik kebutuhan primer maupun sekunder dan tertier. Pada kalimat selanjutnya ia mengkategorikan segala macam biji-bijian merupakan bagian dari bahan makanan pokok. Supply makanan pokok di kota besar berlebih dari kebutuhan penduduk kota, sehingga harganya menjadi murah.

          Yang menarik dan penting untuk digaris bawahi adalah pernyataan Ibnu Khaldun yang diberi warna biru di atas. Secara jelas ia menyatakan, bahwa apabila sebuah kota berkembang maju dan penduduknya padat (banyak), maka murahlah harga barang kebutuhan dharuriy seperti makanan pokok. Apabila penduduk suatu daerah sedikit (seperti desa) maka harga menjadi mahal.  Dasar pemikirannya ialah bahwa di desa (kota kecil) yang sedikit penduduknya, supply bahan makanan sedikit, karena mereka memiliki supply kerja yang sedikit dan kecil, sehingga mereka khawatir akan kehabisan persediaan makanan pokok. Merekapun menyimpan makanan yang mereka miliki. Persediaan itu sangat berharga bagi mereka dan orang-orang yang membelinya haruslah membayar dengan harga yang tinggi.

Selanjutnya Ibnu Khaldun mengatakan:

“Kota-kota kecil (desa) yang sedikit penduduknya, membutuhkan makanan yang sedikit, karena sedikitnya pekerjaan di dalamnya. Hal ini disebabkan karena kota itu kecil, di mana persediaan makanan pokok, kurang. Oleh karena itu mereka mengadakan (makanan) apa adanya dan menyimpannya. Maka makanan menjadi berharga bagi mereka, sehingga harganya naik (mahal) bagi mereka yang ingin membelinya. Mereka juga tidak ada permintaan (demand)   terhadap barang-barang hajiyat (sekunder), karena sedikitnya penduduk yang mampu dan lemahnya keadaan (ekonomi) mereka. Sedikit bisnis yang bisa mereka lakukan, sehingga konsekuensinya harga barang sekunder/tertier menjadi murah.

Foodstuffs in small cities  that have few inhabitants are few, because they have a small  (supply) of labour and because, in view of the small size of the city, the people fear food shortages. Therefore they hold on to (the food) that comes in to their hands and store it. It thus becomes something precious to them and those who want to buy it have to pay higher prices. They also have no demand for conveniences, because the inhabitants are few and their condition is weak. Little business is done by them, and the price there, consequently become particularly low.

Hukum supply and demand Ibnu Khaldun di atas dapat diillustrasikan sebagai berikut:

Keterangan Gambar-Skema:  Supply bahan pokok penduduk kota besar (QS2), jauh lebih besar daripada supply bahan pokok penduduk kota kecil QS1.  Menutut Ibnu Khaldun,  penduduk kota besar memiliki supply bahan pokok yang melebihi kebutuhannya sehingga harga bahan pokok di kota besar realtif lebih murah (P2). Sementara itu supply bahan pokok di kota kecil, relatif kecil, karena itu orang-orang khawatir kehabisan makanan sehingga harganya lebih mahal (P1)

Ibnu Khaldun juga menjelaskan pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tersebut pada sisi penawaran. Dalam konteks ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa bea cukai yang dipungut atas bahan-makanan di pintu-pintu kota dan pasar-pasar untuk raja juga para petugas pajak menarik keuntungan dari transaksi bisnis untuk kepentingan mereka sendiri. Oleh sebab itulah, maka harga di kota-kota lebih tinggi dari di desa. [65] Di sini Ibnu Khaldun ingin menjelaskan bahwa pajak berpengaruh terhadap harga-harga.

Selanjutnya Ibnu Khaldun juga membahas masalah profit (ribh). Menurutnya keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan. Keuntungan yang rendah akan membuat lesu perdagangan karena para pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya, jika pedagang mengambil keuntungan yang sangat tinggi, juga akan menimbulkan kelesuan perdagangan karena permintaan konsumen melemah. [66] Hal yang patut juga dicatat dari pemikiran Ibnu Khaldun ialah penjelaannya             yang detail dan eksplisit tentang elemen-elemen persaingan.

Selanjutnya Ibnu Khaldun mengamati fenomena tinggi rendahnya harga diberbagai negara, tanpa mengajukan konsep apapun tentang kebijakan kontrol harga. Inilah perbedaan Ibnu Khaldun dengan Ibnu Taymiyah. Ibnu Khaldun lebih fokus pada penjelasan fenomena aktual yang terjadi, sedangkan Ibnu Taymiyah lebih fokus pada solusi kebijakan untuk menyikapi fenomena yang terjadi.

Dalam mengkaji masalah demand (permintaan), Ibnu Khaldun membahas faktor-faktor penentu yang menaikkan  dan menurunkan permintaan. Menurutnya, setidaknya ada 5 faktor: 1). Harga, 2). Pendapatan, 3). Jumlah penduduk, 4). kebiasaan masyarakat dan 5). Pembangunan kesejahteraan umum.

Sedangkan dalam konteks supply (penawaran), faktor-faktor penentunya ada 6 faktor: 1). Harga, 2).  Permintaan, 3).  Laju keuntungan, 4). Buruh, 5). Keamanan, 6). Tingkat kesejahteraan masyarakat.

Ibnu Khaldun merumuskan bahwa peningkatan supply (penawaran) akan menurunkan harga. Sebaliknya, jika terjadi penurunan penawaran (supplay) akan menaikkan harga. Ibnu Khaldun sebagaimana dijelaskan Umer Chapra menyatakan bahwa harga-harga yang terlalu rendah akan merugikan pengrajin dan pedagang, sehingga akan mendorong mereka keluar dari pasar. Sebaliknya, harga-harga yang tinggi akan merugikan konsumen. Oleh karena itu, harga-harga yang moderat antara kedua ekstrim tersebut  merupakan titik harga keseimbangan yang diinginkan, karena hal itu tidak saja  memberikan tingkat keuntungan yang secara sosial dapat diterima oleh pedagang, melainkan juga akan membersihkan pasar dengan mendorong penjualan dan pada gilirannya akan menimbulkan keuntungan dan kemakmuran besar. [67]

Di sisi lain, harga-harga yang rendah jelas tetap diinginkan terhadap barang-barang kebutuhan pokok, karena hal ini akan meringankan beban orang miskin yang merupakan mayoritas penduduk. Dari pemikiran Ibnu Khaldun, terlihat bahwa ia sangat menginginkan terciptanya harga yang stabil dengan ongkos (biaya) hidup yang relatif rendah.

Meningkatnya permintaan sangat mempengaruhi penawaran. Kondisi ini akan menaikkan harga-harga barang. Realita ini secara panjang lebar telah dipaparkan Ibnu Khaldun sebagaimana telah dikemukakan di atas secara ringkas. [Bersambung ke-3]


Serial ke:1  |  2  |  3


Blog Archive