MEMAHAMI MAKNA ILĀH
Oleh: Ahmad Faisal Marzuki
Aku hadapkan wajahku kepada (Allah)
yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang
benar, dan aku bukanlah yang termasuk orang-orang musyrik (dan ateis).
[Al-An’am/6:79]
Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf (ta’murūna bilma’rūf - agen pembangunan,), dan mencegah dari
yang mungkar / dan menggantinya dengan yang baik (wa
tanhauna ‘anilmunkar - agen perubahan,), dan beriman kepada Allah. [Ali
‘Imran/3:110]
PENDAHULUAN
D |
i dunia
ini banyak hal yang diperlakukan manusia
sebagai tuhan selain Allah atau bersama Allah meskipun
sebenarnya secara objektif tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan sedikitpun.
Demikian itu karena betapa hebatnya, pasti memiliki kekurangan dan
keterbatasan. Dengan itu memahami makna ilāh yang benar menjadi penting. Ilāh yang benar
merupakan sandaran iman yang mesti di pegang teguh bagi kaum muslimīn wa muslimāt, mu’minīn wa mu’mināt, selaku ‘agen pembangunan’ dan
‘agen perubahan’, (Ali
‘Imran/3:110). [1]
Orang yang meng-ilāh-kan seperti
itu ia merasa bahwa sesuatu itu sempurna, hebat, dan menenteramkannya karena
memberikan jaminan dan perlindungan. Karena itu, ia merindukan dan mencintainya
bahkan menyembahnya dengan segenap cinta, penuh kerendahan hati, dan segala
ketundukan. Sesuatu yang mendapat perlakuan demikian selanjutnya disebut Ilāh yang dalam bahasa Indonesia
disebut Tuhan.
Hal tersebut diatas tergambarkan
dari pengalaman Ibrahim as. saat
mencari siapa ‘tuhan’ yang senarnya ‘Tuhan’ sangat berharga bagi pengetahuan kita.
Pada setiap benda yang beliau kagumi dia mengiranya sebagai ‘tuhan’, ternyata selalu ditemui
kekurangan (Al-An’ām/6:76-78).
[2] Sehingga, akhirnya beliau mengambil
kesimpulan bahwa semua itu bukan ‘tuhan’.
‘Tuhan’ yang benar dan berhak
mendapat perlakuan seperti di atas berdasar pengamatan dan pengalamannya adalah
‘yang menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi,’ (Al-Baqaroh/2:260 [3],
Al-An’ām/6:79 [4]).
PROSES PENCARIAN TUHAN
Penafsiran Al-Qusyairi dengan nuansa sufistik dalam Lathaif al- Isyaray-nya, menjelaskan yang artinya "Tatkala Nabi Ibrahim menyaksikan bintang-bintang, matahari dan bulan lalu mengatakan 'ini Tuhanku', maka sesungguhnya ia telah melihat bekas (atsar) dan segala sesuatu yang lain melalui Allah. Ia melihat sesuatu karena Allah, dari Allah. Kemudian Nabi Ibrahim memurnikan niat dan menghadapkan wajahnya, serta berkata: Aku berniat dan bermaksud untuk Allah, aku sucikan akidahku dari sesuatu selain dari Allah, aku jaga keyakinanku dan komitmenku hanya untuk Allah, dan aku ikhlas karena Allah, maka ketika itu keyakinan Nabi Ibrahim telah dipenuhi Allah, Allah dan Allah.""
Secara eksplisit, ayat-ayat dalam
surah Al-An’ām/6:76-78 [5], surah
Al-Baqaroh/2:260 [6], surah Al-An’ām/6:79 [7]
menunjukkan betapa sentralnya bintang-bintang, matahari dan bulan sehingga Allah swt
menjadikannya sebagai ‘pelajaran’ bagi Nabi Ibrahim as atas prosesi pencarian kediriannya dalam memahami ‘Siapa tuhan
yang sebenar-benarnya Tuhan'. Bintang-bintang, matahari, dan bulan ternyata tidak hanya mengilhami ilmu sains, namun
juga ilmu agama. Posisi bintang-bintang, matahari dan bulan telah menegaskan
peran akal untuk mencerna dan mengolah informasi sedemikian rupa guna
kepentingan ilmu pengetahuan di satu sisi dan keimanan (teologi) pada sisi yang
lain.
Al-Ghazali menjelaskan hadirnya matahari
(dan benda-benda di langit lainnya) sebagai sumber cahaya yang dengan itu
matahari bercahaya telah mengilhami itu, katanya adalah akal. Baginya, matahari sebagai pemantik. Justru karena akal
lah manusia dapat memproses energi yang ditimbulkan bulatan panas yang menghasilkan
satu kemanfaatan manusia di bumi bagi kehidupannya sehari-hari.
Muhammad Mahdi al-Asafi dalam
kitabnya, al-Hawa fi Hadits ahl al-Bait,
menandaskan bahwa akal mempunyai tiga peran dalam kehidupan manusia – belajar
dari kisah Nabi Ibrahim di atas, yaitu:
(1). Mengenal
Allah adalah pangkal (basis) dan entry point tugas akal. Dalam bahasa
Arab Al-Qur’an ‘afalā ta’qilūn’ - maka
apakah kalian tidak menggunakan akal, (Al-Anbiyā’/21:67). [8]
(2). Ketaatan
mutlak kepada segala perintah Allah sehinga ia kenal dengan rububiyah Allah yang menghasilkan satu ketaatan;
(3). Taqwa kepada Allah. Ketiga fungsi ini
dijalankan dengan baik oleh Nabi Ibrahim as
sehingga ending (akhir)nya ia
bertakwa kepada Allah swt dan semakin
mantap kokoh keimanannya.
Dengan demikian, ayat-ayat di atas
menjadi ibrah (hikmah) bagi kita
semua ternyata semua ciptaan Allah tak terkecuali bintang-bintang, matahari dan bulan dalam pembahasan ini mampu menjadi sumber ilmu agama
yang mampu menguatkan dan memperkokoh keimanan kita kepada Allah swt. Semoga kita mampu memetik hikmah
dari segala ciptaan-Nya.
MAKNA ILAH YANG SEBENARNYA
Kalimat yang sering kita ucapkan, bahkan bagian dari dzikir yang agung "lā ilāha illallāh" (dari terjemahan perkatanya: lā - tiada, ilāha - tuhan, illallāh - selain Allah). Apa makna kalimat lā ilāha illallāh? Kalimat lā ilāha illallāh tidak mungkin kita pahami kecuali dengan terlebih dulu makna ilāh yang berasal dari aliha yang memiliki berbagai macam pengertian. Dengan memahaminya kita akan mengetahui motif-motif manusia mengilahkan sesuatu.
Untuk itu itu makna ilāh yang sebenarnya, dapat kita pahami dari akar kata yang membentuknya. Ilāh terbentuk dari kata kerja aliha. Dalam bahasa Arab alihahu berarti:
Pertama: Meraka merasa tenteram
kepada-Nya (sakana ilayhi), (Yūnus/10:78; Al-A’rāf/7:136).
Ketika ilāh tersebut diingat-ingatnya, ia merasa senang, dan manakala mendengar namanya disebut atau dipuji orang ia merasa tenteram sehingga ia asyik masyuk dengan-Nya dan enggan meninggalkannya.
Kedua: Merasa dilindungi oleh-Nya (istajārobihi), (Al-Jinn/72:6;
Yā Sīn/36:74-75).
Dengan kekuatan, kehebatan, dan kekuasaan-Nya. Ilāh tersebut dianggap memiliki kekuatan yang tak terlihat (ghaib), tapi terasakan dan mampu melindungi dan menolong dirinya dari kesulitan hidup.
Ketiga: Merasa selalu rindu kepada-Nya (isytāqo ilayhi), (Al-Baqaroh/2:93; Thōhā/20:91; Asy-Syu’arā’/26:71).
Terasa keberadaannya
memberikan rasa tenteram dan aman sehingga ia berusaha untuk selalu dekat
dengan-Nya. Ada
keinginan selalu bertemu dengannya, baik terus-menerus atau tidak. Ada
kegembiraan apabila bertemu dengannya.
Keempat: Merasa sangat mencintai-Nya dengan ketulusan hati dan
cenderung kepada-Nya (wuli’abihi),
(Al’Ankabūt/29:25; Al-Baqaroh/2: 165).
Rasa rindu menguasai diri menjadikannya mencintai ilāh tersebut, walau bagaimanapun keadaannya. Ia selalu beranggapan bahwa pujaan-Nya memiliki kelayakan untuk dicintai sepenuh hati, karena tiga hal tersebut diatas.
Bila keempat hal yang disebutkan itu diketahui, dirasakan, dan diyakini,
maka ia akan:
Kelima: Menyembah (Mengabdi, Berdedikasi, Beribadah kepada)-Nya (‘abadahu).
Ia siap
melaksanakan ajaran-Nya dan ilmu-Nya yang diberikan-Nya yang terdapat dalam
Kitab-Nya. Bahkan menjadi ‘agen pembangunan’ (ta’murūna bilma’rūf - menyuruh berbuat yang ma’ruf) dan ‘agen
perubahan’ (wa tanhauna ‘anilmunkar -
mencegah dari yang mungkar / dan menggantinya dengan yang baik). [9] Ekstrimnya, jika perlu mengorbankan apa saja
karena-Nya. Kalau perlu jiwa dan raganya pun, demi kecintaaan kepada-Nya yang
menenteramkan, melindungi, dan selalu ia rindukan. Sebagaimana layaknya ‘tentara
atau penduduknya’ yang selalu menjaga keeksistensian negara atau tempat ia
berada dari orang-orang yang memeranginya.
Berangkat dari makna bahasa di atas, ilāh adalah:
● Sesuatu
yang diharapkan (almarghūbu), (Al-Baqaroh/2:163-1640.
Karena Dia
(Allah) memiliki kekuasaan memberi manfaat dan mengabulkan permintaan orang
yang berharap kepada-Nya.
● Sesuatu
yang ditakuti (almarhūbu), (Al-Baqaroh/2:186;
Gōfir/ 40:60; Asy-Syarh 94:7-8; Al-Anbiyā’/21:90-91;
Al-Baqaroh/2:40; At-Taubah/9:13; Al-Ahzāb/ 33:39).
Kalau
tidak mematuhinya, pasti kekacauan yang mengakibatkan kecelakaan, kerusakan
harta benda, kecederaan bahkan kematian yang sia-sia bagi manusia. yang berada
di lalu lintas jalan. Seperti itu pulalah yang akan terjadi dalam kehidupan ini
yang mesti dihindari jika tidak menuruti petunjuk dan peraturan-Nya.
Jadi
itulah maksudnya dari “sesuati yang ditakuti (almarhūbu)” yaitu takut menjadi pelanggar, pembangkang perintah yang
dibuat-Nya demi menjaga keteraturan dan ketertiban serta keselamatan dalam
menjalani hidup di dunia - bahkan kehidupan
di akhirat kelak tergantung dari ‘iman dan amal perbutan’ manusia di bumi /
dunia.
● Sesuatu
yang diikuti (almutbū’), (Adz-Dzariyāt/51:50; Ash-Shōffāt/ 37:99).
Karena
petunjuk dan ajaran-Nya adalah benar dan menjamin keselamatan hidup manusia di
dunia dalam rangka mencapai keselamatan hidup manusia di akhirat.
● Sesuatu
yang dicintai (almahbūbu), (Al-Baqaroh/2:165;
Al-Anfāl/8:2; At-Taubah/9:24).
Karena
rahmat dan cinta-Nya amat besar yang tak pernah henti dan tiada habis-habisnya dicurahkan
kepada hamba-hamba-Nya yang ‘beriman dan beramal sholeh’ (amanū wa a’milūsh shōlihāti).
PENUTUP
Dengan segala sifat-sifat-Nya yang
telah dipaparjelaskan tersebut, maka Dia adalah sesuatu yang pantas disembah.
Karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya itu, maka Dia adalah sesuatu yang berhak
diibadahi, didedikasi, dan dituruti segala perintah dan larangan-Nya serta
ajaran-Nya. Jadi sikap kita kepada-Nya mesti loyal dan taat. Hanyalah Dia - Allah
swt - memiliki sifat-sifat Mahasempurna.
Dialah pencipta serta pemegang kendali dan kekuasaan langit dan bumi dan
diantara keduanya di seluruh jagad raya alam semesta ini.
Apabila ada
manusia memperlakukan selain Allah sebagai Allah yang telah menciptakan manusia
dan alam semesta sebagai Al-Khaliq, maka perbuatan
itu adalah perbuatan tidak pantas, tidak benar, bahkan sesat yang nyata,
[10] . Karena itu Allahu Ash-Shomad
tidak menghendaki bila manusia mempertuhankan apa dan atau siapa pun selain-Nya.
Ash-Shomad
merupakan salah satu dari 99 nama-nama baik (Asmaul Husna) Allah swt. Ash Shomad memiliki makna bahwa Allah swt adalah dzat yang dibutuhkan oleh
semua makhluk ciptaan-Nya. Hakikatnya, hanya kepada Allah-lah tempat
bergantung, bersandar, dan mengadu semua makhluk-Nya yang mengharapkan
pertolongan-Nya.
Ditegaskan melalui firman-Nya dalam Al-Qur'an
surah ke-16 An-Nahl ayat 53, Allah swt
berfirman yang artinya, “Dan segala nikmat yang ada padamu, (datangnya) dari
Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu
meminta pertolongan.” Jadi Ash-Shomad
termasuk sifat Allah swt. Artinya, “Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” Karena Allah adalah Ash-Shomad,
maka Dialah yang menjadi tempat mencari perlindungan di saat menghadapi
kesulitan. Dia (Allah) kekal dan memenuhi setiap kebutuhan makhluk-Nya. ‘Semua
alam ciptaan-Nya bergantung kepada-Nya.’ [11] □
Catatan Kaki:
[1] Kamu (umat Islam) adalah umat
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang
makruf (ta’murūna bilma’rūf - agen pembangunan,), dan mencegah dari
yang mungkar - dan menggantinya dengan yang baik - (wa
tanhauna ‘anilmunkar - agen perubahan,), dan beriman kepada Allah. [Ali
‘Imran/3:110]
[2]
(76). Ketika malam telah menjadi gelap,
dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka
ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka dengan yang terbenam.”
(77). Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku.”
Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak
memberi petunjuk kepadaku, pasti aku menjadi orang orang-orang yang sesat.”
(78). Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku
ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku!
Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” [Al-An’ām/6:76-78].
[3]
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkan kepadaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah
engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang
(mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung,
lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu
bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan
segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. [Al-Baqaroh/2:260].
[4] Aku hadapkan wajahku kepada (Allah)
yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang
benar, dan aku bukanlah yang termasuk orang-orang musyrik (dan ateis / tidak
percaya Tuhan). [Al-An’am/6:79].
[5] idem [2]
[6] idem [3]
[7] idem [4]
[8] “Celaka kamu dan apa yang kamu
sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti? * [Al-Anbiyā’/21:67].
* Asal perkatanya
adalah ‘afalā ta’qilūn’? Yang
artinya: “maka apakah kalian tidak menggunakan akal?” Kemudian salinan terjemahannya menjadi “Tidakkah kamu mengerti?”
[9] Allāhush-shomad - "Allah tempat meminta segala sesuatu." [Al-Ikhlāsh/ 112:2].
[10] idem [8]
[11]
idem [9] □□
Kepustakaan:
Jasiman, Lc., Syarah Rasmul
Bayan Tarbiyah, Aulia Press, Surakarta 2009.
Marzoeki Jatim, Tarich
Nabi-Nabi I, Penerbit Pustaka Antara P.T., Djakarta 1964.
H. Ahmad Faisal Marzuki, B.Sc.,
M.Sc., Mendirikan Salat Menegakkan Peradaban, Mekar Cipta Lestari, Jakarta,
2022.
ALFATIH, Al-Qur’an Tafsir Per
Kata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir, Terjemahan Qur’an, Pustaka ALFATIH.
https://rasmulbayantarbiyah.wordpress.com/2013/04/28/a-3-makna-ilah/
https://tafsiralquran.id/kisah-nabi-ibrahim-mencari-tuhan-melalui-matahari-dalam-al-quran/
www detik com. □□□