Monday, September 7, 2015

Memahami Makna Gerakan Dan Bacaan Shalat 2


  • Sujud merupakan puncak rukun shalat yang dituju. Lantaran itulah, sedekat-dekat hamba kepada Allah swt adalah di ketika hamba bersujud itu. Telah dimaklumi bahwa seutama-utama perihal dalam bershalat kita ialah di kala berdekatan dengan Allah swt, maka dari itulah doa ditempat ini lebih diperkenankan.



Adab di Kala Ber-ta’awwudz

B
er-ta’awwudz itu ialah, melindungi diri dengan Allah swt dari gangguan-gangguan dan bencana-bencana. Ber-ta’awwudz di permulaan membaca al-Qur’an, berarti melindungi diri dengan Allah swt dari gangguan-gangguan syaithan yang terkutuk yang selalu berusaha memalingkan hati kita dari membaca al-Qur’an, dimana dalam kitab suci itu banyak pengajaran Allah swt bagi yang membacanya.


   Apabila kita membaca: “’A’ūdzu bil Lahi minasysyai-thanir rajim, wa hamzihi ma nafkhihi wa nafatsih”, maka hendaklah kita ingat bahwa kita melindungkan diri kepada Allah swt dan berpegang kuat-kuat kepada kekuatan-Nya dan qudrat-Nya dari musuh (syaithan) yang bermaksud memutarkan hati kita dari Allah swt 7, agar kita menjadi orang yang sesat, ingkar, buruk dan keji.


Adab Di Kala Membaca Basmalah 

  
Membaca basmalah dilakukan untuk mengambil berkah dengan menyebut nama Allah swt dalam melaksanakan pekerjaan. Apabila kita membaca basmalah di permulaan surat al-Fatihah, maka hendaklah kita hadirkan di dalam hati, bahwa kita mengambil berkah untuk membaca al-Fatihah dengan nama Allah swt yang memerintahkan kita bershalat; Yang telah memberikan kita kesanggupan melaksanakan shalat; Yang mempunyai rahmat yang lengkap, diberikan tertentu kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya yang ada di tangan Allah swt sendiri.


Memahami Makna Yang Dalam Surat al-Fatihah

   Disebut juga surat ash-Shalah, karena selalu dibaca disetiap rakaat shalat. Dengan demikian wajiblah kita memahami sedalam-dalamnya arti dan makna yang terkadung didalamnya.


Adab Di Kala Membaca al-Fatihah

   Al-Fatihah itulah kata-kata munajat, dengan al-Fatihah 8 inilah kita berbicara dengan Allah swt. Apabila kita membaca al-Fatihah, maka hendaklah hati kita mendahului lidah kita, yakni hendaklah lebih dahulu hati mengingat makna, dan kemudian barulah lidah mengucapkan bacaan.

   Jika tak dapat demikian, hendaklah lisan menjadi guru bagi hati, yakni hendaklah hati mengingat makna sesudah lidah membaca lafadz. Sedapat mungkin janganlah hendaknya lidah bergerak, kalau hati dalam kelalaian.

   Apabila kita membaca: “Alhamdu lil Lahi Rabbil ‘alamīn”, maka hendaklah kita ingat, bahwa segala puji yang indah-indah bertepatan dengan kebenaran-Nya - adalah kepunyaan Allah swt dan haq-Nya, lantaran Allah swt yang menjadikan alam dan seterusnya mengurus segala urusan alam. Allah menjadikan alam, tapi tidak membiarkan begitu saja terbengkalai melainkan terurus dengan sempurna. Allah mengurus alam yang sebelumnya Dia jadikan. Karena Dia yang menjadikan Dia persis tahu keadaannya, dengan itulah Dia mampu mengurus dengan sebaik-baiknya. Kita diuntungkan oleh Allah swt dengan alam yang terurus baik dan siap dihuni. Maka ketika mengakhiri bacaan “alhumdu lil Lahi Rabbil ‘alamīn”, hendaklah kita berhenti dahulu sejenak - sebelum melanjutkan ke ayat berikutnya - buat menantikan penjawaban Allah swt, yaitu: “hamidani ‘abdi” artinya: “Aku telah dipuji hamba-Ku” - hamba-Nya telah pandai bersyukur, Allah mengerti dan menyukai akan hal itu.

   Apabila kita membaca: “Ar-Rahmanir Rahīm”, maka hendaklah kita ingat, bahwa Allah swt senantiasa memberi rahmat kepada makhluknya; Hendaklah kita ingat pula akan kehalusan sifat Allah swt yang membangkitkan kita kepada mengharap-Nya; Dan hendaklah kita berhenti sejenak buat menantikan penjawaban Allah swt, yaitu: atsnā’alaiya ‘abdi” artinya: “Aku telah disanjung oleh hamba-Ku”.

   Apabila kita membaca: “Maliki yaumid dīn”, maka hendaklah kita ingat bahwasanya Allah swt sendiri yang memegang segala urusan di hari membuat perhitungan terhadap segala macam amalan. Yang memberi pembalasan dan ganjaran; Hendaknya kita ingat, bahwa tak ada pada hari itu yang dapat diharapkan selain dari Allah swt sendiri. Dan hendaklah kita berhenti sejenak diakhir ayat ini, buat menanti penjawaban Allah swt, yaitu: “Majjadani ‘abdi”, artinya: “Telah dimuliakan Aku oleh hamba-Ku”.
  
   Orang-orang yang arif, sangat lezat menyambut penjawaban Allah swt yang mesra ini. Demi Allah, sekiranya bukan karena jiwa telah tertutup kegelapan syahwat, terbanglah rasanya orang-orang yang membaca tiga ayat itu.

   Dalam hati orang yang arif, setelah membaca: “Alahamdu lil Lahi Rabbil ‘alamīn, Ar Rahmanir Rahīm, Maliki yaumid dīn, terpaterilah nama-nama Allah swt yang menjadi pokok “al-Asmā-ul Husna”, yaitu: “Allah, ar-Rabbi, ar-Rahman dan ar-Rahim”.

   Di waktu lidahnya menyebut: “Allah”, terlihatlah oleh hatinya akan Allah swt yang disembah; Yang dimaksud; Yang ditakuti; Yang dicintai; Dan yang berhaq menerima ibadah.

   Di waktu lidahnya menyebut: “Rabbil ‘alamīn”, tergambarlah dihatinya,  bahwasanya Allah swt itu “Qayyum” - mengurus segala sesuatu, “Qaimun bin nafsih” - yang berdiri sendiri-Nya.

   Di waktu lidahnya menyebut: “Maliki ‘yaumid’ dīn”, jiwanya mempersaksikan kebesaran-kebesaran yang hanya ada pada “Raja” yang haq lagi nyata. Raja haq lagi nyata itu, tentulah “Hayyun” - yang senantiasa hidup, “Qayyum” - yang mengurus segala sesuatu dengan sendiri-Nya; “Sami’un” - yang mendengar; “Bashirun” - yang melihat; “Mutakallimun” - yang mempunyai percakapan (kemampuan berbicara yang  jelas dan tegas serta bijak); “Amirun” - yang memerintah; “Nahin” - yang menegah (berkekuasaan memerintah atau yang menjalankan kekuasaan); Yang bersemayam di atas tahta kerajaan; Yang mengirim segala rupa perintah-Nya keseluruh kawasan kerajaan-Nya dimanapun, yang amat jauh maupun yang amat dekat, dialam apapun, diwaktu atau saat kapanpun; Yang meridhai hamba-hamba-Nya yang patut diridhai, serta memberi pahala; Yang  memarahi hambanya yang patut dimarahi, serta memberi siksa; Dan Allah swt-lah yang mempunyai tempat bahagia yakni surga, yang memiliki tempat siksa yakni neraka. Orang-orang yang cerdas dan pedulilah yang mengerti benar-benar konsep Maliki ‘yaumid’ dīn ini. Betapa menggembirakan jika kita berbuat baik, betapa sakit dan pilunya kita bila berbuat buruk.

   Apabila kita membaca: “Iyāka na’budu wa iyyaka nasta’īn, maka hendaklah kita ingat pada kala itu, bahwa kita berbicara kepada Allah swt Yang Maha Besar, buat menerangkan kepada-Nya kewajiban kita, yaitu: beribadat hanya kepada-Nya sendiri; Bahwa memohon pertolongan - pada yang diluar kekuasaan makhluk - yaitu hanya kepada Allah swt sendiri; Hendaklah kita ingat bahwa ujung tujuan yang penghabisan dan dasar cita cita yang penghabisan dari seseorang hamba dalam alam kehidupan yang pertama ini, adalah menyembah Allah swt dan memohon pertolonganya hanya dan kepada-Nya semata.

   Dan hendaklah kita berhenti sejenak di akhir ayat, buat menanti penjawaban Allah, yaitu: “hadza baini wa bainaabdi, wa li ‘abdi ma-saala” artinya: “inilah di antara-Ku, dan antara hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang yang dimintanya. Bagi-Ku adalah memberikan apa yang hamba-Ku minta.

   Sesungguhnya Allah swt telah menurunkan berbagai-bagai kitab-Nya. Kitab-kitab itu dikumpulkan dalam Taurat, Zabur dan Injil. Kemudian segala makna Taurat, Injil dan Zabur dikumpulkan dalam al-Qur’an. Segala makna al-Qur’an dikumpulkan dalam surat-surat al-Mufashshal. Segala makna surat-surat al-Mufashshal dikumpulkan dalam al-Fatihah. Segala makna al-Fatihah dikumpulkan dalam  “Iyyaka na’-budu wa iyyaka nasta’in”. Dua kalimat ini, melengkapi tauhid “Rububiyah” dan tauhid “Uluhiyah”.

   Apabila kita membaca: “Ihdinash shirathal mustaqīm”, maka hendaklah kita ingat bahwa kita memohon agar diberikan jalan yang benar, apakah itu berkenaan dengan ilmu maupun amal; Dan hendaknya kita merasakan bahwa kita sangat menghayati permohonan itu, karena kita tidak akan menemukan jalan yang lurus melainkan apabila Allah swt menunjukkan kita kepada jalan yang diridhai, dan jalan yang menyampaikan kita kepada keridhaan-Nya.

   Momohon petunjuk ke jalan yang lurus, sangat besar kepentingannya. Lantaran demikian, Allah mewajibkan kita mengulang-ulangi permohonan itu beberapa kali di dalam keadaan kita yang paling baik, yakni dalam shalat.

   Hendaklah di akhir ayat ini kita berhenti sejenak, buat menanti pula penjawaban Allah swt, yaitu: “hadza li ‘abdi ma saala”, artinya: “Ini bagi hamba-Ku, dan bagi-Ku apa yang dipintanya”.

   Apabila kita membaca: “Shirathal ladzina an’amta ‘alaihīm”, maka hendaklah kita ingat, bahwa jalan yang kita mohonkan itu telah jelas ialah: jalan yang Allah swt telah berikan nikmat kepada orang-orang yang karena iman mereka  benar dan amal mereka yang shaleh.

   Mengingat hal ini, hendaklah kita tiru dan teladani saja segala langkah dan gerak-gerik orang yang telah diberikan nikmat itu dalam pekerjaannya di dunia, semoga juga kita mendapat berkah yang sama serta menyertai mereka di akhirat kelak.

   Apabila kita membaca: “ghairil maghdhūbi ‘alaihim waladh dhallīn”, maka hendaklah kita ingat, bahwa kita memohon kepada Allah swt agar dijauhkan kita dari jalan manusia yang dibenci Allah swt - lantaran mereka mengutamakan kebathilan daripada yang haq (benar); Agar pula kita dijauhkan dari jalan orang-orang yang sesat  - lantaran mereka mengingkari atau tidak mengetahui jalan yang benar.

   Dan hendaklah kita berhenti sejenak di akhir ayat “’an ‘amta ‘alaihim dan di akhir “waldh dhallīn”, buat menanti penjawaban Allah yaitu: “hadza li’abdi wa li abdi ma saala” artinya: “Ini bagi hamba-Ku, dan bagi-Ku memberikan apa yang hamba mintakan”.


Adab Di Kala Ber-ta’min


   Apabila kita membaca: “Āmīn”, maka hendaklah kita penuhkan dada kita dengan pengharapan semoga Allah swt mengabulkan permohonan kita itu.


 Adab Di Kala Membaca Surat

   Apabila kita membaca surat, maka hendaklah kita membacanya dengan sepenuh-penuh ikhlas; Dan hendalah kita memperhatikan kandungan-kandungannya, dengan membandingkan antara perintah dan larangan; Antara janji baik dan janji buruk; Antara pujian dan teguran.

   Di kala kita membaca dan ketika membacanya itu mendapati kata perintah-Nya maka laksanakanlah. Di kala kita membaca dan ketika membacanya itu mendapati kata la-rangan-Nya maka tinggalkanlah.

   Di kala kita membaca dan ketika membacanya mendapati kata janji baik, hendaklah kita berharap semoga Allah swt memberikannya kepada kita. Di kala kita membaca dan ketika membacanya mendapati kata janji buruk, maka hendaklah kita hidupkan rasa takut akan Allah swt, dan hendaklah kita mengambil pelajaran dan pengajaran yang dikandung oleh surat-surat yang kita baca itu.

   Di kala kita membaca dan ketika membacanya mendapati kata pujian, maka kerjakanlah lagi apa yang disukai Allah itu dan hujamkanlah dalam hati perasaan syukur dan pujian Alhamdulillah. Di kala kita membaca dan ketika membacanya mendapati kata teguran, maka janganlah sekali-kali mendekati dan mengulangi pekerjaan yang tidak disukai Allah itu, dan tinggalkanlah segera dengan rasa penyesalan dan bertekad untuk tidak mengerjakannya lagi dan hujamkanlah pula dalam hati perasaan bersalah itu.



 Adab Di Kala Ruku’

   Apabila kita ruku’, maka hendaklah kita ingat bahwa kita melakukan ruku’ itu, untuk menyatakan kebesaran Allah baik dengan ‘bahasa badan’ maupun dengan ucapan, seutama-utama dzikir di dalam ruku’ ialah: “Subhaana rabbiyal ‘adhim”, mengikuti firman Allah swt, Fasabbih bismi rabbikal ‘azhiim9 “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Agung”. Sebagian ulama membatalkan shalat mereka yang meninggalkan (lupa) tasbih ini di dalam ruku’.


Adab Di Kala Membaca Tasbih di Dalam Ruku’

   Membaca tasbih adalah untuk mengakui kesempurnaan dan kesucian Allah Yang Maha Agung dari segala rupa kekurangan. Yang ada hanyalah kesempurnaan-Nya.    Maka apabila kita membaca: “Subhana Rabbiyal ’adhim” hendaklah kita kenangkan kemaha agungan dan kemaha besaran Allah; Kesempurnaan menyelesaikan segala urusan-Nya; Dan hendaklah kita ingat akan kekecilan dan kehinaan diri kita; Kesucian Allah dari segala kekurangan.


Adab Bangkit Ke I’tidal

   Apabila kita hendak bangkit ke i’tidal, maka hendaklah kita ingat bahwa kita akan tegak berdiri lagi untuk memuji Allah; dan hendaklah di kala membaca tasmi’ (membaca : “Sami’ Allāhu liman hamidah”) kita penuhkan dengan pengharapan: semoga Allah mendengar pujian-pujian yang akan kita hadapkan dan persembahkan ke hadirat-Nya.


Adab Di Kala I’tidal

   Apabila kita telah i’tidal, maka hendaklah kita ingat, bahwa kita berdiri itu adalah buat memuji Allah swt dan mensifatkan pujian kita itu untuk Allah swt; Dan buat mengakui kehambaan kita kepada Allah swt; Dan bahwasanya Allah swt sendirilah yang dapat memberi manfaat atau yang dapat menahannya. Rukun i’tidal ini melengkapi seafdhal-afdhal dzikir dan semanfaat-manfaatnya doa. Lantaran inilah rukun i’tidal tidak kurang derejatnya dari pada rukun ruku’.

   Apabila kita membaca: “Allahumma Rabbana lakal hamdu milus samāwāti, wa millul ardhi, wa milluma syi’ta min syai-in ba’du, Ahluts tsanā-i wal majdi, ahaqqu ma qalal ‘abdu”, maka hendaklah kita ingat bahwa puji yang kita hadapkan kepada Allah itu adalah: sepenuh langit, sepenuh bumi dan sepenuh apa saja yang Allah swt kehendaki.

   Apabila kita membaca: “wa kulluna laka ‘abdun”, maka hendaklah kita rasakan bahwa kita ini hamba Allah swt yang dijadikan untuk beribadat kepada-Nya , dan Allah sendirilah yang berhaq menerima ibadat itu. 10

   Apabila kita membaca: “ la mani’a lama a’thaita, wa la mu’thiya lima mana’ta, wa la radda lima qathaita, wa la yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu”, hendaklah kita lukiskan di hati kita bahwasanya Allah swt sendirilah yang berhaq menerima ibadat 9 dan yang mempunyai nikmat. Apabila Allah swt memberikan nikmat-Nya, tak ada yang dapat menahannya. Apabila Allah swt menahan nikmat-Nya, maka tak ada orang yang dapat memberinya. Dan tidak berguna di sisi-Nya barang sesuatu apapun juga. Tak dapatlah harta, ketinggian, kemasyhuran, nama yang menjulang langit, dapat melepas-kan kita dari adzab Allah swt; Yang memberi manfaat, hanyalah amalan-amalan kita, hanya amalan-amalan baik semacam itu yang mendekatkan diri kepada-Nya.

   Apabila kita membaca: “ Allahummaghsilni min khatha-yaya bits-tsalji, wal baradi, wal mail baradi. Allahumma naqqini min khatayaya kama yunaqqats tsaubul abyadhu minad-danas”, maka hendaklah kita bersungguh-sungguh benar mengharapkan supaya Allah swt menerima permohonan kita - mengabulkan doa kita.


Adab di Kala Bersujud

   Sujud dilakukan untuk benar-benar kita menyatakan penghormatan dan penjunjungan tinggi kita kepada Allah swt baik dengan bahasa badan - yaitu dengan sikap sujud - maupun lisan yang kita ucapkan; Bukti kerendahan diri kita kita dan ketinggian Allah swt; Merupakan sikap penghambaan yang sempurna, dan buat menyatakan ketawadhuan kita kepada ketinggian Allah swt.

   Apabila kita sujud, maka hendaklah kita ingat bahwasanya sujud itu adalah untuk menyatakan dengan seterang-terang pernyataan akan kehambaan kita dan keridhaan kita kepada Allah jalla jalālahu; dan bahwasanya Allah Maha Tinggi lagi Maha Mulia. Karena itu seutama-utama dzikir di dalam sujud ialah: “Subhana Rabbiyal a’la”.

   Tasbih seperti itulah yang sangat afdhal diucapkan di dalam dan sambil bersujud, karena tasbih ini mensifatkan Allah swt dengan yang Maha Tinggi. Mensifatkan Allah swt yang demikian itu dalam sujud bersesuai benar  dengan keadaan orang yang bersujud, yang merendahkan dirinya dengan bersujud sebagai tanda sangat sunguh-sungguh hormatnya kepada Allah swt.

   Sebenarnya sujud yang telah diatur dengan sebaik-baik kelakuan dalam bersujud itulah rahasia shalat dan rukunnya yang paling besar. Sujud merupakan puncak rukun shalat yang dituju, sedang rukun-rukun yang lain adalah sebagai pembuka jalan atau mukaddimahnya. Lantaran itulah, sedekat-dekat hamba kepada Allah swt adalah di ketika hamba bersujud itu. Telah dimaklumi bahwa seutama-utama perihal dalam bershalat kita ialah di kala berdekatan dengan Allah swt, maka dari itulah doa ditempat ini lebih diperkenankan.

   Karena sangat besar peranan sujud ini, Allah swt memuji orang yang bersujud di kala mendengar atau membaca “ayat-ayat sajdah”. Maka Allah swt mencela seandainya ada yang enggan bersujud di kala mendengar atau membaca ayat-ayat sajdah itu.

   Mengingat hal tersebut, hendaklah kita menyempurnakan rukun sujud dengan sesempurna-sempurnanya. Kesempurnaan sujud yang diwajibkan adalah sujudnya anggota tujuh serta merapatkan muka (dahi dan hidung) pada tempat sujud. [Bersambung – Memahami Makna Gerakan Dan Bacaan Shalat 3] □ AFM


Sumber:

Shalat & Dzikir Rasullullah – Implikasinya Dalam Kehidupan, A.Faisal Marzuki, Rockville, Maryland, USA.


Catatan kaki:


7 “.. saya (syaithan) benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, Kemudian itu (kata syaithan kepada Allah) aku (syaithan) akan mendatangi mereka (manusia) dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)”. [QS: al-A’rāf 7:16-17]

Syaithan (iblis) berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka". [QS al-Hijr 15:39-40]

8 Ubadah ibnu Shamit menerangkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah di dalamnya. [HR: al-Jama’ah]

 9 [QS al-Waqi’ah 56:96]

 10Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. [QS: adz-Dzariyat 51:56] □□□

Blog Archive