- Sujud merupakan puncak rukun shalat yang dituju. Lantaran itulah, sedekat-dekat hamba kepada Allah swt adalah di ketika hamba bersujud itu. Telah dimaklumi bahwa seutama-utama perihal dalam bershalat kita ialah di kala berdekatan dengan Allah swt, maka dari itulah do’a ditempat ini lebih diperkenankan.
Adab di Kala Ber-ta’awwudz
B
|
er-ta’awwudz itu ialah, melindungi diri dengan Allah swt
dari gangguan-gangguan dan bencana-bencana. Ber-ta’awwudz di permulaan membaca al-Qur’an, berarti
melindungi diri dengan Allah swt dari gangguan-gangguan syaithan yang terkutuk
yang selalu berusaha memalingkan hati kita dari membaca al-Qur’an, dimana dalam
kitab suci itu banyak pengajaran Allah swt bagi yang membacanya.
Apabila kita
membaca: “’A’ūdzu bil Lahi minasysyai-thanir rajim, wa hamzihi ma nafkhihi
wa nafatsih”, maka hendaklah kita ingat bahwa kita melindungkan diri kepada
Allah swt dan berpegang kuat-kuat kepada kekuatan-Nya dan qudrat-Nya dari musuh
(syaithan) yang bermaksud memutarkan hati kita dari Allah swt 7, agar kita menjadi orang yang sesat, ingkar, buruk dan
keji.
Adab Di Kala Membaca Basmalah
Membaca basmalah dilakukan untuk mengambil berkah dengan menyebut nama Allah swt dalam melaksanakan pekerjaan. Apabila kita membaca basmalah di permulaan surat al-Fatihah, maka hendaklah kita hadirkan di dalam hati, bahwa kita mengambil berkah untuk membaca al-Fatihah dengan nama Allah swt yang memerintahkan kita bershalat; Yang telah memberikan kita kesanggupan melaksanakan shalat; Yang mempunyai rahmat yang lengkap, diberikan tertentu kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya yang ada di tangan Allah swt sendiri.
Memahami Makna Yang Dalam Surat al-Fatihah
Disebut juga
surat ash-Shalah, karena selalu
dibaca disetiap rakaat shalat. Dengan demikian wajiblah kita memahami
sedalam-dalamnya arti dan makna yang terkadung didalamnya.
Adab Di Kala Membaca al-Fatihah
Al-Fatihah
itulah kata-kata munajat, dengan al-Fatihah 8 inilah kita berbicara dengan Allah swt.
Apabila kita membaca al-Fatihah, maka hendaklah hati kita
mendahului lidah kita, yakni hendaklah lebih dahulu hati mengingat makna, dan
kemudian barulah lidah mengucapkan bacaan.
Jika tak dapat
demikian, hendaklah lisan menjadi guru bagi hati, yakni hendaklah hati
mengingat makna sesudah lidah membaca lafadz. Sedapat mungkin janganlah
hendaknya lidah bergerak, kalau hati dalam kelalaian.
Apabila kita
membaca: “Alhamdu lil Lahi Rabbil ‘alamīn”, maka hendaklah kita ingat,
bahwa segala puji yang indah-indah bertepatan dengan kebenaran-Nya - adalah kepunyaan Allah swt dan haq-Nya, lantaran
Allah swt yang menjadikan alam dan seterusnya mengurus segala urusan alam.
Allah menjadikan alam, tapi tidak membiarkan begitu saja terbengkalai melainkan
terurus dengan sempurna. Allah mengurus alam yang sebelumnya Dia jadikan.
Karena Dia yang menjadikan Dia persis tahu keadaannya, dengan itulah Dia mampu
mengurus dengan sebaik-baiknya. Kita diuntungkan oleh Allah swt dengan alam
yang terurus baik dan siap dihuni. Maka ketika mengakhiri bacaan “alhumdu lil
Lahi Rabbil ‘alamīn”, hendaklah kita berhenti dahulu sejenak - sebelum
melanjutkan ke ayat berikutnya - buat menantikan penjawaban Allah swt, yaitu: “hamidani ‘abdi” artinya: “Aku telah dipuji hamba-Ku” - hamba-Nya
telah pandai bersyukur, Allah mengerti dan menyukai akan hal itu.
Apabila kita
membaca: “Ar-Rahmanir Rahīm”, maka hendaklah kita ingat, bahwa Allah swt
senantiasa memberi rahmat kepada makhluknya; Hendaklah kita ingat pula akan
kehalusan sifat Allah swt yang membangkitkan kita kepada mengharap-Nya; Dan
hendaklah kita berhenti sejenak buat menantikan penjawaban Allah swt, yaitu:
”atsnā’alaiya
‘abdi” artinya: “Aku telah disanjung
oleh hamba-Ku”.
Apabila
kita membaca: “Maliki yaumid dīn”, maka hendaklah kita ingat bahwasanya
Allah swt sendiri yang memegang segala urusan di hari membuat perhitungan
terhadap segala macam amalan.
Yang memberi pembalasan dan ganjaran; Hendaknya kita ingat, bahwa tak ada pada
hari itu yang dapat diharapkan selain dari Allah swt sendiri. Dan hendaklah kita berhenti sejenak diakhir ayat ini,
buat menanti penjawaban Allah swt, yaitu: “Majjadani
‘abdi”, artinya: “Telah dimuliakan Aku oleh hamba-Ku”.
Orang-orang
yang arif, sangat lezat menyambut penjawaban Allah swt yang mesra ini. Demi
Allah, sekiranya bukan karena jiwa telah tertutup kegelapan syahwat, terbanglah
rasanya orang-orang yang membaca tiga ayat itu.
Dalam hati orang
yang arif, setelah membaca: “Alahamdu lil Lahi Rabbil ‘alamīn, Ar Rahmanir Rahīm,
Maliki yaumid dīn”, terpaterilah nama-nama Allah swt yang menjadi pokok
“al-Asmā-ul Husna”, yaitu: “Allah, ar-Rabbi, ar-Rahman
dan ar-Rahim”.
Di waktu
lidahnya menyebut: “Allah”, terlihatlah oleh hatinya akan Allah swt yang
disembah; Yang dimaksud; Yang ditakuti; Yang dicintai; Dan yang berhaq menerima
ibadah.
Di waktu
lidahnya menyebut: “Rabbil ‘alamīn”, tergambarlah dihatinya, bahwasanya Allah swt itu “Qayyum” - mengurus
segala sesuatu, “Qaimun bin nafsih” - yang berdiri sendiri-Nya.
Di waktu
lidahnya menyebut: “Maliki ‘yaumid’ dīn”, jiwanya mempersaksikan kebesaran-kebesaran
yang hanya ada pada “Raja” yang haq lagi nyata. Raja haq lagi nyata itu,
tentulah “Hayyun” - yang senantiasa hidup, “Qayyum” - yang mengurus segala
sesuatu dengan sendiri-Nya; “Sami’un” - yang mendengar; “Bashirun” - yang
melihat; “Mutakallimun” - yang mempunyai percakapan (kemampuan berbicara
yang jelas dan tegas serta bijak);
“Amirun” - yang memerintah; “Nahin” - yang menegah (berkekuasaan memerintah
atau yang menjalankan kekuasaan); Yang bersemayam di atas tahta kerajaan; Yang
mengirim segala rupa perintah-Nya keseluruh kawasan kerajaan-Nya dimanapun,
yang amat jauh maupun yang amat dekat, dialam apapun, diwaktu atau saat
kapanpun; Yang meridhai hamba-hamba-Nya yang patut diridhai, serta memberi
pahala; Yang memarahi hambanya yang patut
dimarahi, serta memberi siksa; Dan Allah swt-lah yang mempunyai tempat bahagia
yakni surga, yang memiliki tempat siksa yakni neraka. Orang-orang yang cerdas
dan pedulilah yang mengerti benar-benar konsep Maliki ‘yaumid’ dīn ini.
Betapa menggembirakan jika kita berbuat baik, betapa sakit dan pilunya kita
bila berbuat buruk.
Apabila kita
membaca: “Iyāka na’budu wa iyyaka nasta’īn”, maka hendaklah kita
ingat pada kala itu, bahwa kita berbicara kepada Allah swt Yang Maha Besar,
buat menerangkan kepada-Nya kewajiban kita, yaitu: beribadat hanya kepada-Nya
sendiri; Bahwa memohon pertolongan - pada yang diluar kekuasaan makhluk - yaitu
hanya kepada Allah swt sendiri; Hendaklah kita ingat bahwa ujung tujuan yang
penghabisan dan dasar cita cita yang penghabisan dari seseorang hamba dalam
alam kehidupan yang pertama ini, adalah menyembah Allah swt dan memohon
pertolonganya hanya dan kepada-Nya semata.
Dan hendaklah
kita berhenti sejenak di akhir ayat, buat menanti penjawaban Allah, yaitu: “hadza baini wa baina ‘abdi, wa li ‘abdi ma-saala” artinya: “inilah
di antara-Ku, dan antara hamba-Ku.
Bagi hamba-Ku apa yang yang dimintanya. Bagi-Ku adalah
memberikan apa yang hamba-Ku minta.”
Sesungguhnya
Allah swt telah menurunkan berbagai-bagai kitab-Nya. Kitab-kitab itu
dikumpulkan dalam Taurat, Zabur dan Injil. Kemudian segala makna Taurat, Injil
dan Zabur dikumpulkan dalam al-Qur’an. Segala makna al-Qur’an dikumpulkan dalam
surat-surat al-Mufashshal. Segala makna surat-surat al-Mufashshal dikumpulkan
dalam al-Fatihah. Segala makna al-Fatihah dikumpulkan dalam “Iyyaka na’-budu wa iyyaka nasta’in”. Dua
kalimat ini, melengkapi tauhid “Rububiyah” dan tauhid “Uluhiyah”.
Apabila
kita membaca: “Ihdinash shirathal mustaqīm”, maka hendaklah kita ingat
bahwa kita memohon agar diberikan jalan yang benar, apakah itu berkenaan dengan
ilmu maupun amal; Dan hendaknya kita merasakan bahwa kita sangat menghayati
permohonan itu, karena kita tidak akan menemukan jalan yang lurus melainkan
apabila Allah swt menunjukkan kita kepada jalan yang diridhai, dan jalan yang
menyampaikan kita kepada keridhaan-Nya.
Momohon petunjuk
ke jalan yang lurus, sangat besar kepentingannya. Lantaran demikian, Allah
mewajibkan kita mengulang-ulangi permohonan itu beberapa kali di dalam keadaan
kita yang paling baik, yakni dalam shalat.
Hendaklah di
akhir ayat ini kita berhenti sejenak, buat menanti pula penjawaban Allah swt,
yaitu: “hadza li ‘abdi ma saala”,
artinya: “Ini bagi hamba-Ku, dan bagi-Ku
apa yang dipintanya”.
Apabila
kita membaca: “Shirathal ladzina an’amta ‘alaihīm”, maka hendaklah kita
ingat, bahwa jalan yang kita mohonkan itu telah jelas ialah: jalan yang Allah
swt telah berikan nikmat kepada orang-orang yang karena iman mereka benar dan amal mereka yang shaleh.
Mengingat hal
ini, hendaklah kita tiru dan teladani saja segala langkah dan gerak-gerik orang
yang telah diberikan nikmat itu dalam pekerjaannya di dunia, semoga juga kita
mendapat berkah yang sama serta menyertai mereka di akhirat kelak.
Apabila
kita membaca: “ghairil maghdhūbi ‘alaihim waladh dhallīn”, maka
hendaklah kita ingat, bahwa kita memohon kepada Allah swt agar dijauhkan kita
dari jalan manusia yang dibenci Allah swt - lantaran mereka mengutamakan
kebathilan daripada yang haq (benar); Agar pula kita dijauhkan dari jalan
orang-orang yang sesat - lantaran mereka
mengingkari atau tidak mengetahui jalan yang benar.
Dan hendaklah
kita berhenti sejenak di akhir ayat “’an ‘amta ‘alaihim dan di akhir “waldh
dhallīn”, buat menanti penjawaban Allah yaitu: “hadza li’abdi wa li abdi ma
saala” artinya: “Ini bagi hamba-Ku, dan bagi-Ku memberikan
apa yang hamba mintakan”.
Adab Di Kala Ber-ta’min
Apabila kita
membaca: “Āmīn”, maka hendaklah kita penuhkan dada kita dengan
pengharapan semoga Allah swt mengabulkan permohonan kita itu.
Adab Di Kala Membaca Surat
Apabila kita
membaca surat, maka hendaklah kita membacanya dengan sepenuh-penuh ikhlas; Dan
hendalah kita memperhatikan kandungan-kandungannya, dengan membandingkan antara
perintah dan larangan; Antara janji baik dan janji buruk; Antara pujian dan
teguran.
Di kala kita
membaca dan ketika membacanya itu mendapati kata perintah-Nya maka
laksanakanlah. Di kala kita membaca dan ketika membacanya itu mendapati kata
la-rangan-Nya maka tinggalkanlah.
Di kala kita
membaca dan ketika membacanya mendapati kata janji baik, hendaklah kita
berharap semoga Allah swt memberikannya kepada kita. Di kala kita membaca dan
ketika membacanya mendapati kata janji buruk, maka hendaklah kita hidupkan rasa
takut akan Allah swt, dan hendaklah kita mengambil pelajaran dan pengajaran
yang dikandung oleh surat-surat yang kita baca itu.
Di kala kita
membaca dan ketika membacanya mendapati kata pujian, maka kerjakanlah lagi apa
yang disukai Allah itu dan hujamkanlah dalam hati perasaan syukur dan pujian
Alhamdulillah. Di kala kita membaca dan ketika membacanya mendapati kata
teguran, maka janganlah sekali-kali mendekati dan mengulangi pekerjaan yang
tidak disukai Allah itu, dan tinggalkanlah segera dengan rasa penyesalan dan
bertekad untuk tidak mengerjakannya lagi dan hujamkanlah pula dalam hati
perasaan bersalah itu.
Adab Di Kala Ruku’
Apabila kita
ruku’, maka hendaklah kita ingat bahwa kita melakukan ruku’ itu, untuk
menyatakan kebesaran Allah baik dengan ‘bahasa badan’ maupun dengan ucapan,
seutama-utama dzikir di dalam ruku’ ialah: “Subhaana rabbiyal ‘adhim”,
mengikuti firman Allah swt, “Fasabbih
bismi rabbikal ‘azhiim” 9 “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
Maha Agung”. Sebagian
ulama membatalkan shalat mereka yang meninggalkan (lupa) tasbih ini di dalam ruku’.
Adab Di Kala Membaca Tasbih di Dalam Ruku’
Membaca tasbih
adalah untuk mengakui kesempurnaan dan kesucian Allah Yang Maha Agung dari
segala rupa kekurangan. Yang ada hanyalah kesempurnaan-Nya.
Maka apabila
kita membaca: “Subhana Rabbiyal ’adhim” hendaklah kita kenangkan kemaha
agungan dan kemaha besaran Allah; Kesempurnaan menyelesaikan segala urusan-Nya;
Dan hendaklah kita ingat akan kekecilan dan kehinaan diri kita; Kesucian Allah
dari segala kekurangan.
Adab Bangkit Ke I’tidal
Apabila kita
hendak bangkit ke i’tidal, maka hendaklah kita ingat bahwa kita akan tegak
berdiri lagi untuk memuji Allah; dan hendaklah di kala membaca tasmi’ (membaca
: “Sami’ Allāhu liman hamidah”) kita penuhkan dengan pengharapan: semoga Allah
mendengar pujian-pujian yang akan kita hadapkan dan persembahkan ke
hadirat-Nya.
Adab Di Kala I’tidal
Apabila kita
telah i’tidal, maka hendaklah kita ingat, bahwa kita berdiri itu adalah buat
memuji Allah swt dan mensifatkan pujian kita itu untuk Allah swt; Dan buat mengakui kehambaan kita kepada
Allah swt; Dan bahwasanya Allah swt sendirilah yang dapat memberi manfaat atau
yang dapat menahannya. Rukun
i’tidal ini melengkapi seafdhal-afdhal dzikir dan semanfaat-manfaatnya do’a. Lantaran inilah rukun i’tidal tidak kurang derejatnya
dari pada rukun ruku’.
Apabila kita
membaca: “Allahumma Rabbana lakal hamdu milus samāwāti, wa millul ardhi, wa
milluma syi’ta min syai-in ba’du, Ahluts tsanā-i wal majdi, ahaqqu ma qalal
‘abdu”, maka hendaklah kita ingat bahwa puji yang kita hadapkan kepada
Allah itu adalah: sepenuh langit, sepenuh bumi dan sepenuh apa saja yang Allah
swt kehendaki.
Apabila kita
membaca: “wa kulluna laka ‘abdun”, maka hendaklah kita rasakan bahwa
kita ini hamba Allah swt yang dijadikan untuk beribadat kepada-Nya , dan Allah
sendirilah yang berhaq menerima ibadat itu. 10
Apabila kita
membaca: “ la mani’a lama a’thaita, wa la mu’thiya lima mana’ta, wa la radda
lima qathaita, wa la yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu”, hendaklah kita lukiskan di hati kita bahwasanya Allah swt
sendirilah yang berhaq menerima ibadat 9 dan yang mempunyai nikmat.
Apabila Allah swt memberikan nikmat-Nya, tak ada yang dapat menahannya. Apabila
Allah swt menahan nikmat-Nya, maka tak ada orang yang dapat memberinya. Dan
tidak berguna di sisi-Nya barang sesuatu apapun juga. Tak dapatlah harta,
ketinggian, kemasyhuran, nama yang menjulang langit, dapat melepas-kan kita
dari adzab Allah swt; Yang memberi manfaat, hanyalah amalan-amalan kita, hanya
amalan-amalan baik semacam itu yang mendekatkan diri kepada-Nya.
Apabila kita
membaca: “ Allahummaghsilni min khatha-yaya bits-tsalji, wal baradi, wal
mail baradi. Allahumma naqqini min khatayaya kama yunaqqats tsaubul abyadhu
minad-danas”, maka hendaklah kita bersungguh-sungguh benar mengharapkan
supaya Allah swt menerima permohonan kita - mengabulkan do’a kita.
Adab di Kala Bersujud
Sujud dilakukan untuk benar-benar kita
menyatakan penghormatan dan penjunjungan tinggi kita kepada Allah swt baik
dengan bahasa badan - yaitu dengan sikap sujud - maupun lisan yang kita
ucapkan; Bukti kerendahan diri kita kita dan ketinggian Allah swt; Merupakan
sikap penghambaan yang sempurna, dan buat menyatakan ketawadhuan kita kepada
ketinggian Allah swt.
Apabila kita
sujud, maka hendaklah kita ingat bahwasanya sujud itu adalah untuk menyatakan
dengan seterang-terang pernyataan akan kehambaan kita dan keridhaan kita kepada
Allah jalla jalālahu; dan bahwasanya Allah Maha Tinggi lagi Maha Mulia. Karena
itu seutama-utama dzikir di dalam sujud ialah: “Subhana Rabbiyal a’la”.
Tasbih seperti
itulah yang sangat afdhal diucapkan di dalam dan sambil bersujud, karena tasbih
ini mensifatkan Allah swt dengan yang Maha Tinggi. Mensifatkan Allah swt yang
demikian itu dalam sujud bersesuai benar
dengan keadaan orang yang bersujud, yang merendahkan dirinya dengan
bersujud sebagai tanda sangat sunguh-sungguh hormatnya kepada Allah swt.
Sebenarnya sujud
yang telah diatur dengan sebaik-baik kelakuan dalam bersujud itulah rahasia
shalat dan rukunnya yang paling besar. Sujud merupakan puncak rukun shalat yang
dituju, sedang rukun-rukun
yang lain adalah sebagai pembuka jalan atau mukaddimahnya. Lantaran itulah,
sedekat-dekat hamba kepada Allah swt adalah di ketika hamba bersujud itu. Telah
dimaklumi bahwa seutama-utama perihal dalam bershalat kita ialah di kala
berdekatan dengan Allah swt, maka dari itulah do’a ditempat ini lebih diperkenankan.
Karena sangat
besar peranan sujud ini, Allah swt memuji orang yang bersujud di kala mendengar
atau membaca “ayat-ayat sajdah”. Maka Allah swt mencela seandainya ada yang
enggan bersujud di kala mendengar atau membaca ayat-ayat sajdah itu.
Mengingat hal
tersebut, hendaklah kita menyempurnakan rukun sujud dengan
sesempurna-sempurnanya. Kesempurnaan sujud yang diwajibkan adalah sujudnya
anggota tujuh serta merapatkan muka (dahi dan hidung) pada tempat sujud. [Bersambung – Memahami Makna Gerakan Dan Bacaan
Shalat 3] □ AFM
Sumber:
Shalat
& Dzikir Rasullullah – Implikasinya Dalam Kehidupan, A.Faisal Marzuki,
Rockville, Maryland, USA.
Catatan
kaki:
7
“..
saya (syaithan) benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau
yang lurus, Kemudian itu (kata syaithan kepada Allah) aku (syaithan) akan
mendatangi mereka (manusia) dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan
dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur
(taat)”. [QS: al-A’rāf 7:16-17]
Syaithan
(iblis) berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku
sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di
muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba
Engkau yang mukhlis di antara mereka". [QS al-Hijr 15:39-40]
8 Ubadah
ibnu Shamit menerangkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tak ada shalat bagi
orang yang tidak membaca al-Fatihah di dalamnya. [HR: al-Jama’ah]
9
[QS al-Waqi’ah 56:96]
10 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” [QS: adz-Dzariyat 51:56] □□□