- Firman Allah swt: “Kerjakanlah Shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan jahat (keji) dan yang melawan hukum (mungkar).” [QS al-‘Ankabūt ayat 29:45]
S
|
halat dilakukan secara total. Artinya lahir (pisik
dalam gerakan dan pembacaan bacaan shalat) dan bathin (hati hadir, sadar dan paham
makna ucapan dan gerakan). Pada tema ini dibahas adab bathin dalam shalat.
Adab-adab
bathin dalam shalat yaitu
bagaimana shalat juga dikerjakan oleh anggota yang sifatnya bathin. Maksudnya
adalah bathin ikut serta
dalam shalat tersebut. Dengan ikut sertanya bathin lengkaplah kesempurnaan bershalatnya kita.
Shalatnya jadi khusyu’, thu’maninah, benar-benar tertuju kepada Allah swt yang sedang kita sembah dalam “bermunajat”-nya
para pelaku shalat. Lantaran
itu, lahirlah bekasan-bekasan atau
goresan-goresan yang tertulis pada bathin. Jika sudah tertanam di bathin
seperti itu, maka otomatis pada giliran berikatnya psycho-motoric (motor
jiwa) hidup dan bekerja sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam bacaan dan gerakan shalat. Artinya, shalatnya yang dikerjakankan seperti itu (lahir dan
bathin) kemudiannya, menjadi tetap “bersambungan” dengan post (setelah
selesai mengerjakan) shalat, karena bekasan-bekasan atau goresan-goresan telah tertulis pada bathin. Inilah yang dikehendaki oleh Allah Subhana Wa Ta’ala dalam bershalat itu yaitu, dengan shalat dapat mencegah perbuatan jahat (keji) dan yang melawan hukum (mungkar)
1 serta
menyehatkan badan. 2
Adab Di
Kala Berdiri
Berdiri itu sebaik-baik sikap manusia. Maka
apabila kita telah berdiri, hendaklah kita ketahui dan ingat selalu bahwa Allah
itu adalah “Pembesar” segala alam. Pembesar yang mendirikan segala alam ini, dari tiada kepada ada. Pembesar, yang
mengendalikan dan memelihara alam. Pembesar, yang menciptakan kita serta
memberikan fasilitas kehidupan kita di bumi. Bagaimanakah kehidupan tanpa
udara? Bagaimana kehidupan tanpa air? Bagaimana kehidupan tanpa tanah, tempat kita
berpijak, tumbuhnya tanaman dan
pepohonan, hidupnya binatang ternak, berdiri rumah tempat tinggal, rumah
sekolah, rumah ibadah, jalanan bagi
pejalan kaki dan kendaraan lalu lalang, jembatan, mengalirnya air sungai, berdirinya
bangunan pencakar langit?
Maka hendaklah kita ingat itu semua ketika
berdiri dihadapannya. Berdiri sebagai penghargaan dan terima kasih kita atas
kepemurahan dan kekasihsayangan-Nya
kepada kita. Yaitu dengan jalan
memuji dan menyanjung-Nya, memuliakan-Nya, membacakan kalam-Nya. Semuanya itu adalah suatu perbuatan yang
mendatangkan kehormatan yang sangat bagi kita dalam berhadapan dengan Pembesar
segala alam ini - Jangankan Pembesar segala alam, bertemu dengan Presiden atau
Gubernur bahkan Wali kota atau Bupati saja kita sudah sangat senang - apatah lagi
Dia.
Hendaklah kita ingat bahwa kita berdiri itu
untuk memperhadapkan jiwa dan raga kepada Allah, sebagaimana kita
memperhadapkan muka ke arah kiblat. Hendaklah kita ingat, bahwa kita telah
memalingkan muka dari keterfokusan masalah dunia, kini
menghadap
ke rumah Allah, Ka’bah. Begitu pula kita memalingkan jiwa dan raga dari
segala sesuatu, selain dari dan hanya
kepada Allah sendiri.
Hendaklah dikala berdiri itu kita kenangkan
bahwa Allah itu “Hayyun” “Qayyum”. Hayyun
artinya, Allah senantiasa Hidup. Allah hidup yang memberikan kehidupan segala makhluk
yang Dia ciptakan. Allah hidup bukan karena anugerah, tapi Allah hidup dengan
sendirinya. Allah hidup langgeng - kekal. Jangankan Allah mati, tidur dan
kantukpun tidak menyentuhnya. Qayyum
sering diartikan, ”Yang Maha Berdiri Sendiri.” Makna yang lengkapnya adalah Allah
yang berdiri sendiri dalam memenuhi
kebutuhan makhluk. Atau juga disebut dengan qiyyāmuhu binafsih.
Adab Di Kala Mengangkat Tangan Dan Takbir
Mengangkat tangan itu artinya memberi isyarat akan memulai upacara munajat shalat. Isyarat mana menandakan: Ketundukan (kudhu’)
kepada Allah; Kekecilan (istihanah) kita dibandingkan dengan
kemahatinggian Allah atau kehinaan kita dibanding dengan kemahabesaran Allah;
Ketulusan hati dalam bermunajat (ibtihāl) kepada Allah sebagai rasa
menghormati (ta’dzim) dan selanjutnya mengikuti segala ketetapan dan
aturan-Nya. Maka apabila mengangkat
tangan, hendaklah kita ingat akan kebesaran dan ketinggian Allah.
Takbir itu, tanda telah masuk ke dalam
upacara bermunajat dengan sesungguh-sungguhnya. Takbir itu mengandung segala
ucapan shalat dan perbuatan-perbuatannya. Karena Takbir itu menisbatkan (ada hubungan erat dan asal muasalnya dengan) segala
kesempurnaan bagi Allah atas segala ciptaan dan perbuatan-Nya sekaligus mensucikan Allah dari segala
kekurangan (yang tidak mungkin ada). Artinya tiada kekurangan sedikitpun dari
ciptaan dan perbuatan Allah. Tegasnya jangan terbetik sedikitpun baik di dalam
fikiran maupun hati dalam memandang atau memahami akan perilaku Allah. Kalaupun
katakanlah ada, itupun
terletak dari ketidakmampuan kita memahaminya. Atau kekecilan kapasitas kita untuk dapat memahaminya. Dalam hal ini kita berpegang
kepada prinsip hikmah. Karena akhirnya kita dapat memahaminya
setelah menangkap hikmah dibalik atau setelah kejadian yang ada.
Hujamkanlah ke diri
bathin kita bahwa Allah itu maha besar,
maha tinggi, maha mulia lagi maha berkuasa. Dan kita ini adalah sangat-sangat-sangat kecil baik dalam artian fisik atau lahir maupun bathin, terbatas dayanya, tidak memiliki apapun dan kalau ada hanyalah perolehan dari-Nya.
Hal ini dikarenakan ‘kita’ relatif, ‘Dia’ absolut. Kita ‘makhluk’ (creation), Dia ‘Khalik’ (Creator).
Bahasa mulianya dalam agama, kita ini adalah hina. Karena
kehinaan inilah kita memerlukan Allah. Dengan
keadaan semacam itulah di kala kita meletakkan tangan pada dada kita itu perasaan hina ini kita tampilkan. Baru setelah itu perasaan kemaha besaran-Nya benar-benar
efektif dapat hadir, dan itu sungguh kita rasakan. Biarkanlah perasaan Dia
hadir di diri kita. Dengan itu maka kita mendapat berkah yang kita perlukan
disamping rahmat kebahagiaan dan kecintaan kita kepada-Nya dapat diraih.
Adab Di
Kala Membaca Dzikir (Tasbih) Iftitah
Iftitah, artinya pembukaan, membuka dengan
melakukan do’a (ucapan lidah, membaca do’a yang telah ditentukankan apa yang
mesti disebutkan). Apabila kita membaca dzikir iftitah, maka hendaklah kita
ingat benar-benar akan segala maknanya.
Setelah itu kita pahamkan dengan sebaik-baiknya.
Makna yang perlu
diingat ketika membaca Tasbih Iftitah
Makna yang
terkandung dari tasbih
iftitah itu ialah, mengakui
kesempurnaan Allah seutuhnya, bulat. Artinya pada zat-Nya tidak ada segala
macam kecacatan apapun baik terang-terangan maupun tersembunyi. Yang ada hanya
melulu kesempurnaan-Nya. Dan itupun kekal pula,
seperti:
Apabila kita
membaca; “Subhanakal Lahumma wa bi-hamdika”, hendaknya kita kenangkan
bahwa Allah swt-lah yang Maha Sempurna. Sempurna dari segala kekurangan dan
kecacatan. Dia Maha Sejahtera. Sejahtera dari aneka kekurangan. Lantaran itu
segala pujian-pujian itu hanya pantas bagi-Nya sendiri. Sesungguhnya dengan
memuji Allah swt itu, berarti menghendaki kita mensifati-Nya dengan segala
sifat kesempurnaan-Nya. Lepas dari segala sifat kekurangan.
Apabila kita
membaca: “Wa tabarakas muka”, hendaklah kita kenangkan bahwa menyebut
nama Allah swt diketika melakukan sesuatu perbuatan, akan mendatangkan keberkatan;
Bahwasanya menyebut nama Allah terhadap sesuatu yang sedikit, menyebabkan Allah
swt memperbanyakkannya; Bahwasanya
menyebut nama Allah swt terhadap sesuatu bencana, menyebabkan Allah swt
menghilangkan bencana itu; Bahwasanya
menyebut nama Allah swt terhadap syaithan, menyebabkan hinalah syaithan itu dan
mematahkan tipu dayanya.
Sungguh sangat
besar kebesaran Allah swt. Nama Allah swt
dapat menolak bencana di langit dan di bumi. Karena itulah, Nabi saw
membaca tiga kali pada petang hari dan tiga kali pada pagi hari untuk
memelihara diri dari segala bencana,
seperti pada dzikir di bawah ini:
“Bismillāhil ladzī lāyadhurru ma’asmihi syai-un fil-ardhi
wa lā fīs-samā-i wa huwas-samī’ul ‘alīmu.”
“Dengan menyebut nama Allah, tak dapat sesuatupun memberi
bahaya, baik dilangit maupun di bumi, karena Allah itu Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” 3
Apabila kita
membaca: “wa ta’āla
jadduka”, hendaklah kita
kenangkan, bahwasanya Allah swt itu sangat tinggi kebesaran-Nya, mengatasi
segala kebesaran yang ada maupun yang pernah ada; Bahwasanya Allah swt maha
tinggi urusan-Nya, mengatasi segala urusan yang ada dan pernah ada; Bahwasanya
Allah swt maha tinggi kekuasaan-Nya, mengalahkan segala kekuasaan yang ada
maupun yang pernah ada.
Apabila kita
membaca: “wa lā ilāha ghairuka”,
hendaklah kita ingat benar-benar, bahwasanya Allah swt maha tingginya tidak
karena berserikat; Bahwasanya Allah swt maha sempurana bukan lantaran bersekutu
baik itu dalam pemerintahan-Nya, dalam ketuhanan-Nya, dalam keuluhiyyahan-Nya, dalam pekerjaan-Nya dan tidak pula dalam
sifat-sifat-Nya.
Tasbih iftitah
ini, diutamakan oleh Umar ra, ‘Aisyah ra, dan lain-lain para sahabat besar,
karena banyak benar sifat-sifat Allah yang nyata dalam beberapa kalimat ini
dijiwai orang-orang arif.
Adab Di Kala Membaca Do’a Tawajjuh
Apabila kita
membaca: “Wajahtu wajhiya”, ingatlah dengan hati yaitu aku tuju dan aku
hadapkan mukaku kepada Allah swt yang telah memerintahkan aku berdiri
dihadapan-Nya, karena mengharapkan kemurahan-Nya serta anugerah-Nya.
Di ketika
membaca: “lilladzi fatharus samāwāti wal ardh” ingatlah bahwa Tuhan yang
kita hadapi itu ialah Tuhan yang menjadikan langit; Yang menurunkan hujan dari
awan; Udara yang terbang dengan bebasnya yang perlu untuk kehidupan. Tuhan
yang menjadikan bumi, yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan padanya; Berkembang
biaknya binatang ternak; Mengalirnya air sungai dengan lancar; Menggelombangnya
air lautan; Berhilir mudiknya ikan-ikan serta sebangsanya, semua perlu bagi
kemanfaatan manusia.4
Bumi dan
langit itu pada mulanya bersatu. Lalu Tuhan menceraikan satu sama lainnya.
Kemudian berjalan mengikuti gerak
evolusi “sunatullah” dalam masa ke masa di mana ciptaan-ciptaan baru lainnya bermunculan. Inilah sebesar-besar tanda adanya Allah swt
yang dapat dilihat oleh pancaindera dan alam pikiran manusia. Terakhir manusia
yang diberi kemampuan ilmu 5 dan teknologi.
Apabila
kita membaca: “hanifan”, hendaklah kita hujamkan perasaan ini, dengan
itu kita akan berdiri teguh dalam kebenaran dan tidak akan berpindah
daripadanya.
Apabila kita
membaca: “musliman” hendaklah kita ingat bahwa kebenaran yang kita
pegang erat itu ialah Islam,
yaitu agama yang telah diakui oleh Allah swt. 6 Hendaklah kita ingat bahwa kita akan dipandang orang
yang akan sempurna dan kuat beragama, apabila kita turuti perintah-Nya: Dalam lahir dan batin; Dalam terang dan tersembunyi;
Dalam suka dan duka; Dalam malas dan rajin; Dalam sempit dan lapang. Jika belum
dapat kita tunaikan yang demikian itu, maka belumlah sempurna dan kuat beragama
kita ini.
Apabila kita
membaca: “wa ma ana minal musyrikin”, hendaklah diingat benar-benar
bahwa Allah itu suci dari berserikat dalam ketuhanan-Nya. Allah suci dari
i’tikad yang dianut oleh orang-orang nasrani (i’tikad menigakan Tuhan - trinitas); Dari i’tikad penyembah-penyembah
berhala yang menjadikan patung-patungnya dan berhala-berhalanya badan
perantara; Dari i’tikad majusi yang menyatakan alam ini mempunyai dua Tuhan
seperti cahaya dan gelap. Allah suci dari permulaan dan suci dari ada yang
qadim seperti Dia; Allah suci dari apa yang di-i’tikadkan oleh kaum nihilis dan sebagian ahli filsafat;
Allah suci dari yang di-i’tikadkan
oleh kaum agnostik yang meniadakan kehadiran-Nya dalam perkara alam, bahkan
anti Tuhan seperti kaum ateis; Allah suci dari bersifat dengan sifat-sifat
makhluk; Dia suci pula dari ada yang menyekutu-Nya dalam perbuatan-Nya.
Dan hendaknya
kita ingat, bahwa Allah suci dari berserikat dalam menerima ibadat; Dia suci
pula dari ada orang lain yang ditujui oleh hambanya. Tegasnya, hendaklah kita
ingat di ketika membaca “wama ana minal musyrikin” benar-benar hanya
meng-Esa-kan Allah.
Apabila kita
membaca: “inna shalati, wa nusuki, wa mah-yaya wa mamati lillahi rabbil
‘alamin” maka hendaklah kita hujamkan perasaan: Bahwa segala yang tersebut
seperti shalat, segala rupa ibadat, hidup dan mati atau segala macam kekuasaan
hanya kepunyaan Allah; Hendaknya dan seterusnya diingat bahwasanya Allah
pembina (Rabb: mendidik,
memelihara dan membimbing) sekalian alam dengan jalan melahirkan alam ini dari
alam yang tersembunyi ke alam yang nyata, dengan rupa yang indah menarik,
mempunyai hukum-hukum yang pasti dan lengkap, harmonis, teratur, kompak dan
kokoh. Dialah pemilik dan pengatur kesemuanya itu.
Apabila kita
membaca: “la syarika lahu”, hendaklah diingat bahwasanya Allah
menjadikan alam raya ini dengan tidak berhajat kepada pembantu dan penolong.
Dia sendiri yang mengadakan alam ini. Dia sendiri yang menerima persembahan
hamba-Nya dalam beribadat kepada-Nya.
Di ketika
membaca: “wa bidzalika umirtu”, hendaklah kita insyafi bahwa kita ini
diperintahkan untuk berhadap kepada
Allah yang menjadikan segala alam, baik yang sudah kita ketahui melalui
pancaindra kita maupun dengan alat teknologi dan ilmu pengetahuan, atau
pun yang belum dapat ditangkap oleh ilmu pengetahuan.
Diketika membaca:
“wa ana minal muslimin”, hendaklah diinsyafi pula yaini ucapan itu
menegaskan bahwa kita benar-benar tunduk patuh atas segala yang
diperintahkan-Nya. Maka pengakuan “wa ana minal muslimin”
ini menghendaki kita supaya benar-benar memenuhi apa yang kita akui itu dengan
sepenuh-penuh kesadaran, kemauan dan keinsyafan.
Diketika
membaca: “Allahumma antal malik”, kita hujamkan benar-benar bahwa Allah
swt-lah yang merajai atau mengusai segala makhluk baik dari yang sebesar
“zarah” maupun yang “sangat raksasa”; Makhluk yang bersel “satu” maupun manusia
yang bersel “triliyunan”; Yang “kaya” maupun yang “miskin”; Yang “berkedudukan”
maupun yang “bersahaja”; Yang “super power” maupun yang “lemah”; Yang “sudah
maju” maupun yang “sedang berkembang”, hanya Allahlah yang sebenar-benar
penguasa atau raja yang menguasai segala macam dan rupa makhluk.
Di ketika kita
membaca: “lā ilāha illa anta rabbi wa ana ‘abduka”, kita paterikan
benar-benar dalam qalbu kita yaitu perasaan yang sangat dalam sekali yang ada
di diri kita bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah
swt sendiri, artinya kita menjadi manusia merdeka atau “free” dari
menyembah atau menghambakan diri kepada sesama makhluk. Hanya Allah-lah yang
diabdi, di-ibadahi, disembah.
Kita ini tidak lain dari hamba-Nya yang tidak ada daya, kecuali daya dari-Nya.
Di ketika kita
ucaapkan “dzalamtu nafsi wa’taraftu bidzam-bi”, hendaklah kita rasakan
benar-benar bahwa sungguh-sungguh kita sengaja atau tidak telah mendzalimi diri
kita sendiri. Kita dahulukan pengakuan salah itu bukan berarti menunjukkan
kehinanaan yang tiada arti, melainkan
pembebasan dari beban-beban dosa (yang kita mohonkan berikutnya) yang dengan
itu kita menjadi bersih dan mulia.
Di ketika kita
mengucapkan: “Faghfirli dzunubi jami’an fa innahu lā yaghfiru dzunuba illa
anta”, kita tekankan ke dalam perasaan kita dengan sungguh-sungguh untuk bermohon kepada Allah swt supaya Dia
mengampuni segala dosa kita yang telah memberatkan pundak kita. Juga ingat dan
ketahuilah hanya Allah-lah yang dapat mengampuni dosa itu.
Di ketika kita
ucapkan: “wahdini li ahsanil akhlaqi fa innahu lā yahdi li ahsaniha illa
anta, wa shrif ‘anni saiyi-aha, lā yashrifu ‘anni saiyi-aha illa anta”,
hendaklah permohonan yang tersebut ini dimohonkan dengan sepenuh hati. Sebab
doa yang diucapkan oleh lidah saja - tanpa disertai oleh permohonan dari hati
(kesadaran) - tiadalah berbekas dan
berarti apa-apa; Hendaklah kita ingat benar-benar bahwa Allah sajalah yang
dapat membimbing kita kepada akhlak yang baik; Dan Allah sajalah yang dapat
memalingkan kita dari pekerjaan-pekerjaan yang buruk.
Di ketika kita
membaca: “labaik wa sa’daika”, kita harus ingat benar-benar bahwa ucapan
itu tidak lain dari pengakuan kita akan tetap berdiri dengan ta’at dan akan mematuhi segala perintah-Nya.
Di ketika kita
membaca: “wal khairu kulluhu fi yadaika”, hendaklah kita ingat bahwa
segala kebajikan yang sampai kepada kita dan kepada segala hamba; Juga segala
kebajikan yang kita harapkan dapat kita peroleh, adalah semuanya itu di tangan
Allah swt sendiri yang kuasa memberikannya.
Di ketika kita
membaca: “Wasysyarru laisa ilaika,” hendaklah kita ingat bahwa bukanlah
dengan kejahatan kita mendekatkan diri
kepada Allah swt. Juga ingat benar-benar bahwasanya kita tidaklah boleh
sekali-kali menganggap dengan kejahatan
kita boleh mendekati diri kepada Allah swt. Mendekati Allah swt harus
semata-mata dengan cara-cara yang baik dan benar.
Adapun makna “ana
bika wa ilaika” terjemahannya: “aku dengan Engkau kepada Engkau”, maksudnya
adalah: “Bahwasanya kita menuju dan melindungkan diri kepada Allah swt”.
Apabila kita
membaca: “Tabarakata wa ta’alaita”, maka hendaklah kita ingat bahwa
hanya Allah-lah yang berhak menerima segala puji dan sanjung, karena dari
Dia-lah segala pengasih (fasilitas kehidupan dan kekuatan hidup makhluk), dan
Dia-lah yang maha kekal ketinggian-Nya.
Pada akhirnya,
hendaklah kita hujamkan di dalam hati kita kala membaca: “wa astaghfiruka wa
atubu ilaika”, bahwa permohonan agar diampuni dan mengaku bertaubat itu
sungguh-sungguh keluar dari bukan hanya dari lidah kita saja, tapi qalbu-pun
juga, dengan hati merasakan kebesaran
Allah swt dan kekuasaan-Nya serta kesanggupan-Nya memberi. [Bersambung
– Memahami Makna Gerakan Dan Bacaan Shalat 2] □ AFM
Sumber:
Shalat
& Dzikir Rasullullah – Implikasinya Dalam Kehidupan, A.Faisal Marzuki,
Rockville, Maryland, USA.
Catatan
kaki:
1 Firman Allah swt: “Kerjakanlah Shalat, sesungguhnya
shalat itu mencegah perbuatan jahat (keji) dan yang melawan hukum (mungkar).”
[QS al-‘Ankabūt ayat 29:45]
2 “Makna
Gerakan Shalat Dari Segi Kesehatan”.
3
Doa
ini diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan dan Ibnu Hibban dari Uts-man ibnu Affan Tuhfatidz Dzakirin, sebaiknya
dibaca 3 kali.
4
Allah-lah yang telah menciptakan langit
dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan
air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah
menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan
kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
[QS Ibrahim 14:32].
Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan
bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu
malam dan siang. [QS Ibrahim 14:33]
5
Tuhan
mengajarkan pengetahuan kepada manusia
pertama Adam as seperti berikut: “Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya… [QS al-aqarah 2:31]
Selanjutnya pengetahuan ini
dikembangkan oleh manusia menjadi ilmu dan ilmu terapan yang kelak melahirkan
teknologi dan manajemen.
6
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama
bagimu. [QS
al-Maidah 5:3] □□□