Sunday, September 6, 2015

Memahami Makna Gerakan Dan Bacaan Shalat 1



  • Firman Allah swt: “Kerjakanlah Shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan jahat (keji) dan yang melawan hukum (mungkar).” [QS al-Ankabūt ayat 29:45]




S
halat dilakukan secara total. Artinya lahir (pisik dalam gerakan dan pembacaan bacaan shalat) dan bathin (hati hadir, sadar dan paham makna ucapan dan gerakan). Pada tema ini dibahas adab bathin dalam shalat. Adab-adab bathin dalam shalat yaitu bagaimana shalat juga dikerjakan oleh anggota yang sifatnya bathin. Maksudnya adalah bathin ikut serta dalam shalat tersebut. Dengan ikut sertanya bathin lengkaplah kesempurnaan bershalatnya kita. Shalatnya jadi khusyu, thumaninah, benar-benar tertuju kepada Allah swt yang sedang kita sembah dalam “bermunajat”-nya para pelaku shalat. Lantaran itu, lahirlah bekasan-bekasan atau goresan-goresan yang tertulis pada bathin. Jika sudah tertanam di bathin seperti itu, maka otomatis pada giliran berikatnya psycho-motoric (motor jiwa) hidup dan bekerja sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam bacaan dan gerakan shalat. Artinya, shalatnya yang dikerjakankan seperti itu (lahir dan bathin) kemudiannya, menjadi tetap “bersambungan dengan post (setelah selesai mengerjakan) shalat, karena bekasan-bekasan atau goresan-goresan telah tertulis pada bathin. Inilah yang dikehendaki oleh Allah Subhana Wa Ta’ala dalam bershalat itu yaitu,  dengan shalat dapat mencegah perbuatan jahat (keji) dan yang melawan hukum (mungkar) 1 serta menyehatkan badan. 2



Adab Di Kala Berdiri

   Berdiri itu sebaik-baik sikap manusia. Maka apabila kita telah berdiri, hendaklah kita ketahui dan ingat selalu bahwa Allah itu adalah “Pembesar” segala alam. Pembesar yang mendirikan segala alam ini, dari tiada kepada ada. Pembesar, yang mengendalikan dan memelihara alam. Pembesar, yang menciptakan kita serta memberikan fasilitas kehidupan kita di bumi. Bagaimanakah kehidupan tanpa udara? Bagaimana kehidupan tanpa air? Bagaimana kehidupan tanpa tanah, tempat kita berpijak, tumbuhnya tanaman dan pepohonan, hidupnya binatang ternak, berdiri rumah tempat tinggal, rumah sekolah, rumah ibadah, jalanan bagi pejalan kaki dan kendaraan lalu lalang, jembatan, mengalirnya air sungai, berdirinya bangunan pencakar langit?


   Maka hendaklah kita ingat itu semua ketika berdiri dihadapannya. Berdiri sebagai penghargaan dan terima kasih kita atas kepemurahan dan kekasihsayangan-Nya kepada kita. Yaitu dengan jalan memuji dan menyanjung-Nya, memuliakan-Nya, membacakan kalam-Nya. Semuanya itu adalah suatu perbuatan yang mendatangkan kehormatan yang sangat bagi kita dalam berhadapan dengan Pembesar segala alam ini - Jangankan Pembesar segala alam, bertemu dengan Presiden atau Gubernur bahkan Wali kota atau Bupati saja kita sudah sangat senang - apatah lagi Dia.


   Hendaklah kita ingat bahwa kita berdiri itu untuk memperhadapkan jiwa dan raga kepada Allah, sebagaimana kita memperhadapkan  muka ke arah kiblat. Hendaklah kita ingat, bahwa kita telah memalingkan muka dari keterfokusan masalah dunia, kini menghadap ke rumah Allah, Kabah. Begitu pula kita memalingkan jiwa dan raga dari segala sesuatu, selain dari dan hanya kepada Allah sendiri.


   Hendaklah dikala berdiri itu kita kenangkan bahwa Allah itu “Hayyun” “Qayyum”. Hayyun artinya, Allah senantiasa Hidup. Allah hidup yang memberikan kehidupan segala makhluk yang Dia ciptakan. Allah hidup bukan karena anugerah, tapi Allah hidup dengan sendirinya. Allah hidup langgeng - kekal. Jangankan Allah mati, tidur dan kantukpun tidak menyentuhnya. Qayyum sering diartikan, ”Yang Maha Berdiri Sendiri.” Makna yang lengkapnya adalah Allah yang berdiri sendiri  dalam memenuhi kebutuhan makhluk. Atau juga disebut dengan qiyyāmuhu binafsih.


Adab Di Kala Mengangkat Tangan Dan Takbir

  
   Mengangkat tangan itu artinya memberi isyarat akan memulai upacara munajat shalat. Isyarat mana menandakan: Ketundukan (kudhu’) kepada Allah; Kekecilan (istihanah) kita dibandingkan dengan kemahatinggian Allah atau kehinaan kita dibanding dengan kemahabesaran Allah; Ketulusan hati dalam bermunajat (ibtihāl) kepada Allah sebagai rasa menghormati (ta’dzim) dan selanjutnya mengikuti segala ketetapan dan aturan-Nya. Maka apabila mengangkat tangan, hendaklah kita ingat akan kebesaran dan ketinggian Allah.


   Takbir itu, tanda telah masuk ke dalam upacara bermunajat dengan sesungguh-sungguhnya. Takbir itu mengandung segala ucapan shalat dan perbuatan-perbuatannya. Karena Takbir itu menisbatkan (ada hubungan erat dan asal muasalnya dengan) segala kesempurnaan bagi Allah atas segala ciptaan dan perbuatan-Nya sekaligus mensucikan Allah dari segala kekurangan (yang tidak mungkin ada). Artinya tiada kekurangan sedikitpun dari ciptaan dan perbuatan Allah. Tegasnya jangan terbetik sedikitpun baik di dalam fikiran maupun hati dalam memandang atau memahami akan perilaku Allah. Kalaupun katakanlah ada, itupun terletak dari ketidakmampuan kita memahaminya. Atau kekecilan kapasitas kita untuk dapat memahaminya. Dalam hal ini kita berpegang kepada prinsip hikmah. Karena akhirnya kita dapat memahaminya setelah menangkap hikmah dibalik atau setelah kejadian yang ada.


   Hujamkanlah ke diri bathin kita bahwa Allah itu maha besar, maha tinggi, maha mulia lagi maha berkuasa. Dan kita ini adalah sangat-sangat-sangat kecil baik dalam artian fisik atau lahir maupun bathin, terbatas dayanya, tidak memiliki apapun  dan kalau ada hanyalah perolehan dari-Nya. Hal ini dikarenakan ‘kita’ relatif, ‘Dia’ absolut. Kita ‘makhluk’ (creation), Dia ‘Khalik’ (Creator). Bahasa mulianya dalam agama, kita ini adalah hina. Karena kehinaan inilah kita memerlukan Allah.  Dengan keadaan semacam itulah di kala kita meletakkan tangan pada dada kita itu perasaan hina ini kita tampilkan. Baru setelah itu perasaan kemaha besaran-Nya benar-benar efektif dapat hadir, dan itu sungguh kita rasakan. Biarkanlah perasaan Dia hadir di diri kita. Dengan itu maka kita mendapat berkah yang kita perlukan disamping rahmat kebahagiaan dan kecintaan kita kepada-Nya dapat diraih.


Adab Di Kala Membaca Dzikir (Tasbih) Iftitah


   Iftitah, artinya pembukaan, membuka dengan melakukan do’a (ucapan lidah, membaca do’a yang telah ditentukankan apa yang mesti disebutkan). Apabila kita membaca dzikir iftitah, maka hendaklah kita ingat benar-benar akan segala maknanya. Setelah itu kita pahamkan dengan sebaik-baiknya.

Makna yang  perlu diingat ketika membaca Tasbih Iftitah

   Makna yang terkandung dari tasbih iftitah itu ialah, mengakui kesempurnaan Allah seutuhnya, bulat. Artinya pada zat-Nya tidak ada segala macam kecacatan apapun baik terang-terangan maupun tersembunyi. Yang ada hanya melulu kesempurnaan-Nya. Dan itupun kekal pula,  seperti:

   Apabila kita membaca; “Subhanakal Lahumma wa bi-hamdika”, hendaknya kita kenangkan bahwa Allah swt-lah yang Maha Sempurna. Sempurna dari segala kekurangan dan kecacatan. Dia Maha Sejahtera. Sejahtera dari aneka kekurangan. Lantaran itu segala pujian-pujian itu hanya pantas bagi-Nya sendiri. Sesungguhnya dengan memuji Allah swt itu, berarti menghendaki kita mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Lepas dari segala sifat kekurangan.


   Apabila kita membaca: “Wa tabarakas muka”, hendaklah kita kenangkan bahwa menyebut nama Allah swt diketika melakukan sesuatu perbuatan, akan mendatangkan keberkatan; Bahwasanya menyebut nama Allah terhadap sesuatu yang sedikit, menyebabkan Allah swt memperbanyakkannya;  Bahwasanya menyebut nama Allah swt terhadap sesuatu bencana, menyebabkan Allah swt menghilangkan bencana itu;  Bahwasanya menyebut nama Allah swt terhadap syaithan, menyebabkan hinalah syaithan itu dan mematahkan tipu dayanya.

   Sungguh sangat besar kebesaran Allah swt. Nama Allah swt  dapat menolak bencana di langit dan di bumi. Karena itulah, Nabi saw membaca tiga kali pada petang hari dan tiga kali pada pagi hari untuk memelihara diri dari segala bencana,  seperti pada dzikir di bawah ini:

“Bismillāhil ladzī lāyadhurru ma’asmihi syai-un fil-ardhi wa lā fīs-samā-i wa huwas-samī’ul ‘alīmu.”

“Dengan menyebut nama Allah, tak dapat sesuatupun memberi bahaya, baik dilangit maupun di bumi, karena Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” 3


     Apabila kita membaca: “wa taāla jadduka”, hendaklah kita kenangkan, bahwasanya Allah swt itu sangat tinggi kebesaran-Nya, mengatasi segala kebesaran yang ada maupun yang pernah ada; Bahwasanya Allah swt maha tinggi urusan-Nya, mengatasi segala urusan yang ada dan pernah ada; Bahwasanya Allah swt maha tinggi kekuasaan-Nya, mengalahkan segala kekuasaan yang ada maupun yang pernah ada.


   Apabila kita membaca: “wa lā ilāha ghairuka”, hendaklah kita ingat benar-benar, bahwasanya Allah swt maha tingginya tidak karena berserikat; Bahwasanya Allah swt maha sempurana bukan lantaran bersekutu baik itu dalam pemerintahan-Nya, dalam ketuhanan-Nya, dalam keuluhiyyahan-Nya, dalam pekerjaan-Nya dan tidak pula dalam sifat-sifat-Nya.

   Tasbih iftitah ini, diutamakan oleh Umar ra, ‘Aisyah ra, dan lain-lain para sahabat besar, karena banyak benar sifat-sifat Allah yang nyata dalam beberapa kalimat ini dijiwai orang-orang arif.


Adab Di Kala Membaca Doa Tawajjuh

   Apabila kita membaca: “Wajahtu wajhiya”, ingatlah dengan hati yaitu aku tuju dan aku hadapkan mukaku kepada Allah swt yang telah memerintahkan aku berdiri dihadapan-Nya, karena mengharapkan kemurahan-Nya serta anugerah-Nya.

   Di ketika membaca: “lilladzi fatharus samāwāti wal ardh” ingatlah bahwa Tuhan yang kita hadapi itu ialah Tuhan yang menjadikan langit; Yang menurunkan hujan dari awan;  Udara yang terbang dengan bebasnya yang perlu untuk kehidupan. Tuhan yang menjadikan bumi, yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan padanya; Berkembang biaknya binatang ternak; Mengalirnya air sungai dengan lancar; Menggelombangnya air lautan; Berhilir mudiknya ikan-ikan serta sebangsanya, semua perlu bagi kemanfaatan manusia.4
  
   Bumi dan langit itu pada mulanya bersatu. Lalu Tuhan menceraikan satu sama lainnya. Kemudian berjalan mengikuti  gerak evolusi “sunatullah” dalam masa ke masa di mana ciptaan-ciptaan baru lainnya bermunculan.  Inilah sebesar-besar tanda adanya Allah swt yang dapat dilihat oleh pancaindera dan alam pikiran manusia. Terakhir manusia yang diberi kemampuan ilmu 5 dan  teknologi.
  
   Apabila kita membaca: “hanifan”, hendaklah kita hujamkan perasaan ini, dengan itu kita akan berdiri teguh dalam kebenaran dan tidak akan berpindah daripadanya.

   Apabila kita membaca: “musliman” hendaklah kita ingat bahwa kebenaran yang kita pegang erat itu ialah Islam, yaitu agama yang telah diakui oleh Allah swt. 6 Hendaklah kita ingat bahwa kita akan dipandang orang yang akan sempurna dan kuat beragama, apabila kita turuti perintah-Nya: Dalam lahir dan batin; Dalam terang dan tersembunyi; Dalam suka dan duka; Dalam malas dan rajin; Dalam sempit dan lapang. Jika belum dapat kita tunaikan yang demikian itu, maka belumlah sempurna dan kuat beragama kita ini.

    Apabila kita membaca: “wa ma ana minal musyrikin”, hendaklah diingat benar-benar bahwa Allah itu suci dari berserikat dalam ketuhanan-Nya. Allah suci dari i’tikad yang dianut oleh orang-orang nasrani (i’tikad menigakan Tuhan -  trinitas); Dari i’tikad penyembah-penyembah berhala yang menjadikan patung-patungnya dan berhala-berhalanya badan perantara; Dari i’tikad majusi yang menyatakan alam ini mempunyai dua Tuhan seperti cahaya dan gelap. Allah suci dari permulaan dan suci dari ada yang qadim seperti Dia; Allah suci dari apa yang di-i’tikadkan oleh kaum nihilis dan sebagian ahli filsafat; Allah suci dari yang di-i’tikadkan oleh kaum agnostik yang meniadakan kehadiran-Nya dalam perkara alam, bahkan anti Tuhan seperti kaum ateis; Allah suci dari bersifat dengan sifat-sifat makhluk; Dia suci pula dari ada yang menyekutu-Nya dalam perbuatan-Nya.

   Dan hendaknya kita ingat, bahwa Allah suci dari berserikat dalam menerima ibadat; Dia suci pula dari ada orang lain yang ditujui oleh hambanya. Tegasnya, hendaklah kita ingat di ketika membaca “wama ana minal musyrikin” benar-benar hanya meng-Esa-kan Allah.

   Apabila kita membaca: “inna shalati, wa nusuki, wa mah-yaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin” maka hendaklah kita hujamkan perasaan: Bahwa segala yang tersebut seperti shalat, segala rupa ibadat, hidup dan mati atau segala macam kekuasaan hanya kepunyaan Allah; Hendaknya dan seterusnya diingat bahwasanya Allah pembina (Rabb: mendidik, memelihara dan membimbing) sekalian alam dengan jalan melahirkan alam ini dari alam yang tersembunyi ke alam yang nyata, dengan rupa yang indah menarik, mempunyai hukum-hukum yang pasti dan lengkap, harmonis, teratur, kompak dan kokoh. Dialah pemilik dan pengatur kesemuanya itu.

   Apabila kita membaca: “la syarika lahu”, hendaklah diingat bahwasanya Allah menjadikan alam raya ini dengan tidak berhajat kepada pembantu dan penolong. Dia sendiri yang mengadakan alam ini. Dia sendiri yang menerima persembahan hamba-Nya dalam beribadat kepada-Nya.

   Di ketika membaca: “wa bidzalika umirtu”, hendaklah kita insyafi bahwa kita ini diperintahkan  untuk berhadap kepada Allah yang menjadikan segala alam, baik yang sudah kita ketahui melalui pancaindra kita maupun dengan alat teknologi dan ilmu pengetahuan, atau pun yang belum dapat ditangkap oleh ilmu pengetahuan.

   Diketika membaca: “wa ana minal muslimin”, hendaklah diinsyafi pula yaini ucapan itu menegaskan bahwa kita benar-benar tunduk patuh atas segala yang diperintahkan-Nya. Maka pengakuan wa ana minal muslimin ini menghendaki kita supaya benar-benar memenuhi apa yang kita akui itu dengan sepenuh-penuh kesadaran, kemauan dan keinsyafan.

   Diketika membaca: “Allahumma antal malik”, kita hujamkan benar-benar bahwa Allah swt-lah yang merajai atau mengusai segala makhluk baik dari yang sebesar “zarah” maupun yang “sangat raksasa”; Makhluk yang bersel “satu” maupun manusia yang bersel “triliyunan”; Yang “kaya” maupun yang “miskin”; Yang “berkedudukan” maupun yang “bersahaja”; Yang “super power” maupun yang “lemah”; Yang “sudah maju” maupun yang “sedang berkembang”, hanya Allahlah yang sebenar-benar penguasa atau raja yang menguasai segala macam dan rupa makhluk.

   Di ketika kita membaca: “lā ilāha illa anta rabbi wa ana ‘abduka”, kita paterikan benar-benar dalam qalbu kita yaitu perasaan yang sangat dalam sekali yang ada di diri kita bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah swt sendiri, artinya kita menjadi manusia merdeka atau “free” dari menyembah atau menghambakan diri kepada sesama makhluk. Hanya Allah-lah yang diabdi, di-ibadahi, disembah. Kita ini tidak lain dari hamba-Nya yang tidak ada daya, kecuali daya dari-Nya.

   Di ketika kita ucaapkan “dzalamtu nafsi wa’taraftu bidzam-bi”, hendaklah kita rasakan benar-benar bahwa sungguh-sungguh kita sengaja atau tidak telah mendzalimi diri kita sendiri. Kita dahulukan pengakuan salah itu bukan berarti menunjukkan kehinanaan yang tiada arti,  melainkan pembebasan dari beban-beban dosa (yang kita mohonkan berikutnya) yang dengan itu kita menjadi bersih dan mulia.

   Di ketika kita mengucapkan: “Faghfirli dzunubi jami’an fa innahu lā yaghfiru dzunuba illa anta”, kita tekankan ke dalam perasaan kita dengan sungguh-sungguh  untuk bermohon kepada Allah swt supaya Dia mengampuni segala dosa kita yang telah memberatkan pundak kita. Juga ingat dan ketahuilah hanya Allah-lah yang dapat mengampuni dosa itu.

   Di ketika kita ucapkan: “wahdini li ahsanil akhlaqi fa innahu lā yahdi li ahsaniha illa anta, wa shrif ‘anni saiyi-aha, lā yashrifu ‘anni saiyi-aha illa anta”, hendaklah permohonan yang tersebut ini dimohonkan dengan sepenuh hati. Sebab doa yang diucapkan oleh lidah saja - tanpa disertai oleh permohonan dari hati (kesadaran) - tiadalah berbekas dan berarti apa-apa; Hendaklah kita ingat benar-benar bahwa Allah sajalah yang dapat membimbing kita kepada akhlak yang baik; Dan Allah sajalah yang dapat memalingkan kita dari pekerjaan-pekerjaan yang buruk.

   Di ketika kita membaca: “labaik wa sa’daika”, kita harus ingat benar-benar bahwa ucapan itu tidak lain dari pengakuan kita akan tetap berdiri dengan taat dan akan mematuhi segala perintah-Nya.

   Di ketika kita membaca: “wal khairu kulluhu fi yadaika”, hendaklah kita ingat bahwa segala kebajikan yang sampai kepada kita dan kepada segala hamba; Juga segala kebajikan yang kita harapkan dapat kita peroleh, adalah semuanya itu di tangan Allah swt sendiri yang kuasa memberikannya.

   Di ketika kita membaca: “Wasysyarru laisa ilaika,” hendaklah kita ingat bahwa bukanlah dengan kejahatan  kita mendekatkan diri kepada Allah swt. Juga ingat benar-benar bahwasanya kita tidaklah boleh sekali-kali  menganggap dengan kejahatan kita boleh mendekati diri kepada Allah swt. Mendekati Allah swt harus semata-mata dengan cara-cara yang baik dan benar.

   Adapun makna “ana bika wa ilaika” terjemahannya: “aku dengan Engkau kepada Engkau”, maksudnya adalah: “Bahwasanya kita menuju dan melindungkan diri kepada Allah swt”.

   Apabila kita membaca: “Tabarakata wa ta’alaita”, maka hendaklah kita ingat bahwa hanya Allah-lah yang berhak menerima segala puji dan sanjung, karena dari Dia-lah segala pengasih (fasilitas kehidupan dan kekuatan hidup makhluk), dan Dia-lah yang maha kekal ketinggian-Nya.

   Pada akhirnya, hendaklah kita hujamkan di dalam hati kita kala membaca: “wa astaghfiruka wa atubu ilaika”, bahwa permohonan agar diampuni dan mengaku bertaubat itu sungguh-sungguh keluar dari bukan hanya dari lidah kita saja, tapi qalbu-pun juga, dengan hati merasakan  kebesaran Allah swt dan kekuasaan-Nya serta kesanggupan-Nya memberi. [Bersambung – Memahami Makna Gerakan Dan Bacaan Shalat  2] □ AFM




Sumber:

Shalat & Dzikir Rasullullah – Implikasinya Dalam Kehidupan, A.Faisal Marzuki, Rockville, Maryland, USA.

Catatan kaki:

1 Firman Allah swt: “Kerjakanlah Shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan jahat (keji) dan yang melawan hukum (mungkar).” [QS al-Ankabūt ayat 29:45]

2 “Makna Gerakan Shalat Dari Segi Kesehatan”.

3 Doa ini diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan dan Ibnu Hibban dari Uts-man ibnu Affan Tuhfatidz Dzakirin, sebaiknya dibaca 3 kali.

4 Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. [QS Ibrahim 14:32].

Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. [QS Ibrahim 14:33]

5 Tuhan mengajarkan  pengetahuan kepada manusia pertama Adam as seperti berikut: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya… [QS al-aqarah 2:31]   Selanjutnya  pengetahuan ini dikembangkan oleh manusia menjadi ilmu dan ilmu terapan yang kelak melahirkan teknologi dan manajemen.


6 Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. [QS al-Maidah 5:3] □□□

Blog Archive