Wednesday, September 9, 2015

Besarnya Kerajaan Allah 1




Kepunyaan Allah-lah Kerajaan (yang ada di) Langit dan Bumi, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (yang ada di Langit dan Bumi serta yang ada diantara keduanya). [QS Āli ‘Imrān 3:189]


PENDAHULUAN

D
ari surat Āli ‘Imrān ayat 189 Allah swt menerangkan kepada kita bahwasanya Dia mempunyai wilayah Kerajaannya meliputi Langit dan seisinya termasuk Bumi. Seberapa besar dan luasnya Langit itu dan berapa banyak isinya selain dari Bumi ini?
.
Sementara itu menurut team ahli ilmu pengetahuan NASA/WMAP mencoba memplotnya kedalam sebuah gambar sket dari Langit. Gambar sket ini disusun dari kumpulan-kumpulan dari jumlah ratusan ribu atau jutaan gambar hasil pemotretan. Bagian-bagian dari langit jagat raya diteropong melalui bermacam-macam teleskopnya yang dipasang kameranya disana, antara lain dari teleskop ruang angkasa Hubble.

Dari situ disusunlah gambarnya, kemudian dirangkaikan dengan teori “Big Bang” ledakan besar dari “Kun, Fayakun”. Wal hasil, bentuknya seperti “terompet”. Terompek ini sungguh maha maha maha besar, dengan isinya berjumlah triliyunan lebih bintang-bintang dan lainnya. Mereka membentuk kelompok-kelompok tata-surya. Kemudian lebih besar lagi dari itu, tersusun dalam kelompok galaksi. Kemudiannya lebih besar lagi dalam kelompok kelompok itu bernama superkluster.

Anggota superkluster ini adalah terdiri dari kumpulan-kumpulan galaksi. Namun demikian, sekeliling “terompet” itu masih gelap, lihat Gambar 1. Belum tahu apa isinya dibalik kegelapan itu. Sementara ini, baru sebatas itulah kemampuan ahli ilmu pengetahuan jagat raya mengetahuinya.

Dalam persitiwa Isra’ dan Mi’raj, “Sesungguhnya dia (Muhammad) telah melihat tanda-tanda (kekuasaan dan wilayah kekuasaan) Tuhannya yang paling (paling paling) besar” [QS An-Najm 53:18; 1 s/d 17]

Pertama Rasulullah saw melakukan perjalanan horizontal dari Mekkah, Saudi Arabia ke Masjidil Aqsha, Palestina. Perjalanan itu hanya ditempuh Nabi saw dalam waktu tidak sampai 1 detik. Kenapa bisa secepat itu? Karena Nabi Muhammad, Jibril dan Buraq melesat dengan kecepatan cahaya, 300.000 km per detik. Dengan jarak Makkah Palestina yang hanya sekitar 1.500 km itu pun tidak terlalu berarti bagi perjalanan mereka.

Sesampai di Masjidil Aqsha, Rasulullah saw sempat melakukan shalat bersama malaikat Jibril as sebelum, kemudian melanjutkan perjalanan ke langit ke tujuh. Perjalanan berikutnya adalah sebuah perjalanan yang memiliki mekanisme berbeda dengan etape pertama seperti tersebut diatas.

Pada etape pertama, Rasulullah saw melakukan perjalanan dengan badan wadag yang telah diubah menjadi badan cahaya. Akan tetapi sesampai di Masjidil Aqsha badan Nabi telah berubah kembali menjadi badan material sebagaimana sebelumnya. Ini adalah etape “teleportasi”, sebagaimana digambarkan dalam berbagai film science fiction. Akan tetapi pada etape kedua, Beliau saw tidak lagi menggunakan mekanisme tersebut melainkan melakukan perjalanan “dimensional. Semuanya mungkin berkat “Kekuasaan Ilmu”-Nya. Dia pula yang memberi kemampuan yang diperlukan oleh manusia pilihan-Nya. Dalam hal ini memperjalankannya (menggunakan mekanisme teleportasi) dari Makkah ke Masjidil Aqsha. Selanjutnya memperjalankan lagi (menggunakan mekanisme dimensional) dari Mesjidil Aqsha menuju ke langit yang paling tinggi “Sidratul Muntaha”. Kemudian kembali lagi (menggunakan mekanisme dimensional) ke Makkah.

Ini adalah bagian yang sangat abstrak dan agak rumit dijelaskan. Akan tetapi, dengan berbagai perumpamaan dan analogi, mudah-mudahan pembaca bisa mengikuti apa yang akan disampaikan di bagian-bagian berikut ini. Sebelum ada beberapa pertanyaan yang harus dimengerti dulu berkaitan dengan perjalanan menuju langit ke tujuh ini. Untuk menghindari kesalah pahaman, maka kita harus menyamakan dulu persepsi tentang beberapa hal. Di antaranya adalah sebagai berikut ini. ● Apakah yang disebut langit? ● Di langit manakah Bumi kita berada? ● Apa dan bagaimanakah langit berlapis tujuh? ● Bagaimana Rasulullah saw bisa melakukan perjalanan menembus, langit satu sampai ke tujuh, dan berada di Sidratul Muntaha?


MEMAHAMI LANGIT

B
anyak di antara kita yang memiliki persepsi berbeda tentang langit. Ada yang berpendapat bahwa langit adalah sebuah ‘atap’ alias bidang pembatas ruang angkasa. Artinya, mereka mengira bahwa ruang di atas kita ada pembatasnya, semacam atap. Kelompok pertama ini, biasanya adalah mereka yang awam tentang ilmu Astronomi.

Kelompok kedua adalah mereka yang mengikuti berbagai macam informasi tentang angkasa luar dari berbagai film-film fiksi ilmiah, ataupun berbagai macam media massa. Pada umumnya mereka mengerti bahwa yang dimaksud langit adalah sebuah ruang raksasa yang berisi triliunan benda-benda langit, seperti matahari, planet-planet (termasuk Bumi), bulan, bintang, galaksi, dan lain sebagainya. Mereka memperoleh pemahaman yang lebih baik bahwa langit bukanlah sebuah bidang batas, melainkan seluruh ruang angkasa di atas kita.

Kelompok yang ketiga adalah mereka yang mempelajari informasi Astronomi lebih banyak dan lebih detil, seperti dalam majalah-majalah jurnal ilmiah. Lebih jauh, mereka mencoba memahami berbagai hal yang berkait dengan struktur langit lewat berbagai teori-teori Astronomi. Mereka terus-menerus mengikuti berbagai informasi dan mencoba melakukan rekonstruksi terhadap struktur langit, yang secara umum dipahami sebagai alam semesta atau Universe.

Nah, dari ketiga kelompok pemahaman itu dapat diambil kesimpulan yang bersifat global saja, sebagai pijakan awal pemahaman kita tentang langit. Bahwa yang disebut langit sebenarnya bukanlah sebuah bidang batas di angkasa sana, melainkan sebuah ruang tak berhingga besar. Memuat triliyunan benda-benda angkasa. Mulai dari batuan angkasa yang berukuran kecil, satelit semacam bulan, planet-planet, matahari dan bintang, galaksi hingga superkluster.

Karena itu, jika kita bergerak ke langit naik pesawat angkasa luar, misalnya, maka kita akan bergerak menuju ruang angkasa yang tidak pernah ada batasnya. Sehari, seminggu, sebulan, setahun dan seterusnya kita bergerak ke angkasa, maka yang kita temui hanya ruang angkasa gelap. Sesekali ditemukan cahaya dari bintang yang terdekat, seperti matahari adalah bintang. Ruang angkasa ini berisi berbagai benda langit saja. Sampai mati pun, kita tidak akan pernah menemukan pembatasnya. Ya, langit adalah ruang angkasa yang luar biasa besarnya. Bahkan, tidak diketahui dimana tepinya.

Nah, pemahaman tentang langit ini penting untuk menyamakan persepsi kita tentang perjalanan Mi’raj Rasulullah saw. Sebab, dalam pemahaman tradisional selama ini, kita memperoleh kesan betapa langit itu digambarkan sebagai atap alias ‘langit-langit’. Bahkan digambarkan pula sebagai atap yang ada pintu-pintunya, yang kemudian mesti dibuka sebagaimana pintu rumah, ketika Rasulullah saw mau memasuki langit yang lebih tinggi.

Istilah langit dalam bahasa Inggris, barangkali memberikan gambaran yang lebih jelas, disebut ‘Sky’. Dalam bahasa Indonesia lebih pas disebut sebagai ‘Angkasa’. Istilah lainnya adalah ‘Space’. Sehingga, angkasa di luar Bumi disebut sebagai ‘Outer Space’. Jadi langit adalah Ruang Angkasa.

Pemahaman tentang langit adalah pemahaman yang cukup rumit. Apalagi jika dikaitkan dengan struktur langit yang tujuh. Untuk langit pertama saja, tidaklah mudah. Bahkan sampai sekarang ilmu Astronomi masih menemui berbagai kendala yang agak rumit dalam mempersepsi struktur alam tersebut. Akan tetapi, Insya Allah semuanya berangsur-angsur bisa dijelaskan.

Di dalam Al-Qur’an, Allah secara jelas dan berulangkali menerangkan bahwa langit yang Dia ciptakan itu memang bukan hanya satu, melainkan 7 lapis, sebagaimana disebutkan dalam ayat yang artinya berikut ini:

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula Bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [QS Ath-Thalaq 65: 12]

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” [QS Al Mulk 67:3]


Dan masih ada beberapa ayat lagi yang memberitakan tentang langit yang tujuh. Dalam hal ini, kita mesti mencermati penggunaan kata langit (as-samā’ dan as-samāwāt – tunggal dan jamak). Kata-kata ini ternyata digunakan oleh Allah untuk menggambarkan ruang di atas Bumi, baik yang berarti atmosfir, maupun yang berarti angkasa luar.

Penggunaan kata langit yang bermaksud untuk angkasa luar, misalnya adalah yang terdapat dalam ayat-ayat di atas. Dan juga ayat berikut ini yang artinya:

“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” [QS Fushilat 41:12]

Di ayat tersebut tergambar jelas sekali bahwa Allah menggunakan kata as-samāwāt untuk menggambarkan angkasa luar. Kenapa ada kesimpulan begitu? Karena Dia menggambarkan bahwa langit yang dekat dihiasi dengan bintang-bintang. Dan kita tahu semua bahwa bintang-bintang itu bukan terdapat di atmosfir, melainkan di ruang angkasa. Maka, ketika Allah bercerita tentang langit yang tujuh di ayat tersebut, langit yang dimaksudkan adalah langit alam semesta yang jumlahnya 7 tingkat.

Akan tetapi, di ayat-ayat yang lain Allah menggunakan kata-kata as-samā’ dan as-samāwāt untuk menggambarkan atmosfir Bumi. Hal itu, misalnya, terdapat pada ayat-ayat yang artinya seperti berikut:

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS Al Baqarah 2:29]

Di situ digambarkan betapa Allah menciptakan segala sesuatu di Bumi, untuk manusia. Kemudian Dia memproses langit yang tujuh. Di ayat ini Allah menggunakan kata ‘langit’, untuk atmosfer. Kenapa demikian, karena langit tersebut ternyata diproses setelah Bumi terbentuk.

Jika yang dimaksudkan adalah langit alam semesta, hal itu menjadi tidak cocok. Karena sesungguhnya proses terbentuknya langit semesta lebih dulu dibandingkan dengan Bumi. Planet Bumi adalah bagian dari langit semesta, disamping miliyaran matahari dan triliyunan planet yang ada.

Ayat lain yang menunjukkan ‘langit’ sebagai atmosfer terdapat pada ayat-ayat yang artinya sebagai berikut ini:

“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan ke luar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba Nya yang dikehendaki Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira.” [QS Rūm 30: 48]





Karena ‘langit’ di sini dikaitkan dengan hujan, kita lantas bisa mendapatkan gambaran bahwa yang dimaksudkan adalah atmosfir, lihat Gambar 2. Maka, ketika Allah menyebutkan bahwa langit tersebut ada tujuh, orientasi pemahaman kita menuju kepada lapisan-lapisan atmosfer yang memang ada tujuh lapis, yaitu: Troposfer, stratosfer, ozonosfer, mesosfer, ionosfer, eksosfer, dan magnetosfer. [Bersambung ke Besarnya Kerajaan Allah 2] □ AFM




Sumber:
Urgensi Mengenal Allah, B1, Inside of Dinul Islam in a serial great topics, Powered by AFM Washington DC – Jakarta.
Jalan Mengenal Allah, B2, Inside of Dinul Islam in a serial great topics, Powered by AFM Washington DC – Jakarta.
https://mitrakencana.wordpress.com/2010/03/30/memahami-sidratul-muntaha/□□□

Blog Archive