- Al-Hajju Arafah – Haji itu adalah wukuf di Arafah.
- Membangunkan Kesadaran Perdamaian dan Umat Islam sebagai jamaah yang mesti kompak-bersatu.
- Tidaklah sempurna iman seseorang dari kalian, sehingga dia mencintai saudaranya (sesama Islam)sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. [HR Bukhari]
P
|
adang
Arafah ini terteletak sebelah timur kota Makkah, Arab Saudi. Jaraknya 16 miles
atau lk 25 kilometer. Padang Arafah adalah suatu tempat untuk melakukan wukuf
bagi jamaah yang berhaji. Wukuf dilaksanakan hanya pada satu hari (siang hari)
saja. Cara pelaksanaan ibadah wukuf ini dengan berdiam diri sambil berdoa dan berdzikir.
Lebih dari dua juta jamaah haji dari berbagai pelosok dunia selalu berkumpul
tiap tahunnya melaksanakan wukuf selama musim haji. D-day pada tanggal 9 Dzulhijjah 1436 penanggalan Hijriyah,
bertepatan dengan penanggalan Gregorian Insya Allah tanggal 22 September 2015. Melaksanakan
wukuf ini adalah kegiatan utama dalam ibadah haji. Bahkan, inti ibadah haji
adalah wukuf di Padang Arafah. Sebagaimana sabda Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam sendiri, “Al-Hajju Arafah”. Haji itu adalah Arafah. [Al-Hadits, diriwayatkan
oleh At-Tirmizi, Abu Dawud dan Ibnu Majah].
Haji
itu adalah Arafah, maksudnya adalah wukuf di Arafah. Wukuf di padang Arafah ini
wajib dilaksanakan diri sendiri yang melakukan ibadah haji. Tidak bisa
diwakilkan oleh siapapun. Lain halnya dengan melontar batu di Mina. Bagi yang
uzur, bisa di wakilkan. Maka ketika wukuf di Arafah tidak jarang orang yang
uzur atau sakit digotong kesana agar ibadah hajinya tercapai. Begitu pentingnya
arti dan makna serta konsep dari berwukuf di Arafah ini. Dalam melakukan
shalat-shalat wajib ketika beradah di Makkah (Masjidil Haram) atau di Mina
dilakukan pada waktunya dengan rakaat yang lengkap serta melakukan
shalat-shalat sunnah lainnya, sementara selama dalam wukuf (berdiam) di Arafah
dilakukan dengan mengqasar (memendekkan rakaat shalat wajib) dan jamak takdim
(penggabungan shalat Dzuhur bersama shalat Ashar dan shalat Magrib dengan
shalat Isya) serta tidak melakukan shalat-shalat sunnah, kecuali diantara waktu
shalat wajib yang diqasar dan jamak itu mereka hanya melakukan talbiyah,
tahmid, do’a dan membaca al-Qur’an sebanyak-banyaknya dan mencari hikmah dan
arti dari Arafah dan haji bagi diri
sendiri dan hubungan diri dengan diri yang lainnya – berjamaah, bermasyarakat,
berbangsa dan antarbangsa, dan merenungkan tadabbur arti hidup di dunia ini dan
peran amal-amal yang mesti kita lakukan sebagai khalifah pemakmur bumi.
Memang benar bahwa amalan haji itu bukan
hanya wukuf di Arafah, tapi juga mabit di Muzdalifah sambil mengumpulkan batu
kerikil. Kemudian tinggal di Mina setidaknya selama tiga hari untuk melakukan
lempar jamrat (lempar batu kerikil) sebanyak tujuh kali dari masing-masing
tiang dari tiga tiang sebagai lambang melawan syeitan. Selanjutnya melakukan
tawaf (keliling Ka’bah dengan arah melawan arah jarum jam sebanyak tujuh kali).
Setelah itu melakukan sa’i. Dalam sa’i kita lakukan kombinasi antara berjalan
kaki dan berlari-lari dari bukit Safa ke bukit Marwa. Namun kenapa Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bersabda
“Al-Hajju Arafah”. Pertanyaannya yang sangat mendasar sekarang adalah, “Apa makna dari konsep
ibadah wukuf di Arafah ini, tanpa meninggalkan rangkaian pekerjaan peribadatan
haji lainnya seperti tersebut diatas sebagai sunnah Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam yang mesti kita laksanakan?
Untuk menemui jawabannya, mari kita simak
uraian berikut ini. Secara topografi daerah padang Arafah (yang tandus, namun
kini telah ditanam dan ditumbuhi pepohonan) ini merupakan suatu daratan yang
sangat luas (bisa menampung jutaan jamaah haji sekaligus), dikelilingi
bukit-bukit batu. Jadi kalau kita perhatikan wilayah dari wukuf ini adalah
semua lapangan (dan pebukitan yang menghadap lapangan) yang berada ditengah
padang Arafah yang dibatasi oleh bukit-bukit sekelilingnya. Ditengah lapangan
luas Arafah ini ada satu bukit. Sedapat mungkin wukufnya mendekati bukit yang
ditengah itu (badan penyelenggara haji setempat telah menentukan tempat-tempat
wukuf sesuai dengan ketentuan syarat-syarat haji dan wukuf). Wukuf di Arafah
syah jika bukit ditengah padang Arafah masih bisa dilihat. Seandainya kita
wukuf dibalik bebukitan batu yang berada di sekelilingi padang Arafah sehingga
terhalang penglihatan ke bukit yang ada ditengah padang Arafah, maka wukufnya
batal. Ini berarti dalam wukuf di Arafah itu, wajib bukit yang ditengahnya itu
terlihat. Bukit itu bernama Rahmah atau bahasa aslinya “Jabal Rahmah”
Secara historis Arafah ini mengingatkan kita
akan “Bapak” umat manusia pertama. Nenek moyang dari orang-orang yang mendiami
lima benua, Adam Alayhis Salam sebagai
manusia pertama disertai istrinya yang
tercinta – Hawa Radhiyallahu Anha,
mula-mula berdiam di Surga. Sebagaimana anda berdiam di suatu kota, ada aturan
dan tatatertibnya, begitu pula halnya dengan Adam Alayhis Salam dan Hawa Radhiyallahu Anha. Ketika itu tidak
seruwet tinggal di kota sebagaimana kota yang kami tinggali sekarang.
Pekarangan rumah mesti bersih. Musim panas rumput tumbuh, jika terlalu panjang
mesti dipangkas. Musim rontok tiba, maka dedauan yang memenuhi pekarangan mesti
disapu. Musim dingin tiba, salju yang membeku jadi es sangat licin dan
berbahaya jika dilalui, mesti dikerok. Jika semuanya itu tidak dilakukan, maka
orang yang mendiami rumah itu didenda oleh Kotapraja, bahkan juga dicemoohkan
tetangga.
Satu saja peraturan Allah ‘Azza wa Jalla ketika itu, jangan dekati
pohon itu (pohon terlarang) 1, namun karena bujukan dan rayuan maut
Syeitan 2 akhirnya keduanya terpedaya. Bukan saja mendekati malah
memakan buahnya. Sebagai konsekwensi dari pelanggaran itu, maka keduanya
diturunkan ke Dunia. 3 Demikianlah riwayat umat manusia mengapa
sekarang berada di planet ini bekerja dengan susah payah (beda dari tinggal di
Surga 4 segala ada dan tidak bersusah seperti tinggal di planet Bumi).
Sebelum di turun ke Dunia, terlebih dahulu Allah memberikan pengampunan (sebagi
pancaran asma Ar-Rahmān dan Ar-Rahīm Allah) dengan mengajarkan
kepada keduanya bagaimana cara berdo’a (untuk menghapus atau membersihkan
kotoran dosa pelanggaran yang telah diperbuatnya itu) sebagaimana yang di
nukilkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an pada surat ke-7, al-A’rāf ayat 23 sebagai berikut:
Rabbanā zhalamnā anfusanā wa illam
taghfirlanā war hamnā lanakūnannā minal khasirīn.
Ya
Allah! Kami telah menganiaya diri kami sendiri, seandainya Engkau tidak memberi
ampun kami dan memberi rahmat kami, tentulah kami termasuk orang-orang yang
merugi.
Setelah
berdo'a seperti tersebut diatas keduanya di beri ampun dan maaf oleh Tuhan Allah
Yang Maha Kasih lagi Maha Sayang.
Tiada manusia lain di Bumi ketika itu
kecuali mereka berdua, namun terpisah. Seumpama dua kapsul yang dijatuhkan dari
langit ke Bumi, yang satu berada entah dimana, yang lainnya begitu pula.
Keduanya sepi dari kesendiriannya masing-masing ditengah bumi yang asing bagi
mereka berdua. Satu yang lainnya mengembara, saling mencari. Detik demi detik.
Jam demi jam. Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bulan demi bulan. Tahun demi
tahun. Sejuta tahun rasanya belum bertemu juga. Tak tahu arah dan dimana mau
bertemu. Untuk mengetahui dimana masing-masingnya berada, ketika itu belum ada
teknologi GPS dan cellpone. Dalam
keadaan seperti itu teringatlah betapa enaknya hidup mereka berdua di Surga nan
indah itu.
Ditengah dataran yang amat luas itu,
berdirilah suatu bukit. Tentunya bukit lebih tinggi dari dataran tanah
sekitarnya, memungkinkan mereka mudah melihat apa yang sedang dicari. Akhirnya,
bertemulah mereka berdua diatas bukit itu. Dapat kita bayangkan bagaimana
detik-detik yang sangat sangat sangat berbahagia itu tampak di wajah
masing-masing. Selama ini, sepi dari kesendirian masing-masing. Rindu rendam,
kangen yang akhirnya kesampaian. Mereka berdua ini sungguh bersukacita, yang
tak terperikan. Mereka berdua terlepas dari kesengsaraan bersendiri. Mereka
berdua tidak mau terpisah lagi, sampai hayat dikandung badan. Bukit tempat
pertemuan itu masih tegak abadi kini, namanya Jabal ar-Rahmah. Dalam bahasa dinamakan Bukit Rahmah. Artinya,
“Bukit Kasih”. Terambil dari kata Jabal, artinya Bukit. Dan Rahmah artinya,
Kasih. Padang dataran luas disekitar bukit bernama Arafah yang artinya “Pertemuan”.
Nah kini dapatlah kita mengerti sekarang
kenapa wukuf di Arafah ini wajib dilakukan dalam rangkaian peribadatan Haji,
dimana wukuf di Arafah ini menjadi titik sentralnya. Dengan peristiwa Arafah ini
dapat diambil pelajaran yang sangat berharga sekali, yaitu ajaran muamalah
dalam Islam. Semestinya sesama umat mesti ada kesetiakawanan. Malah hadits 5
menyatakan antara sesama Muslim ini diikat oleh tali persaudaraan. Sakit salah
satu dari anggotanya, maka rasa sakit terasakan bagi semua anggotanya. Berarti
kita mesti menolongnya, itulah arti dari kesetiakawanan itu. Kalau tidak
tentunya hidup ini hambar, lemah dan tak bermakna. Padahal naluri hidup manusia
itu adalah hidup “bermasyarakat” – “homo
sosial”. Kalau kita lawan juga takdir “homo
sosial” ini, maka kita mudah dikotak-katikan lawan atau orang yang tidak
senang dengan kita, seperti halnya khewan yang terpisah dari kelompoknya mudah
dimangsa oleh khewan lainnya. Tak percaya? Lihat tayangan filem dari National
Geography, perhatikan! Iya, kan. Diburu sampai tertangkap, dapat, lalu dibantai
habis semua tubuhnya dengan lahapnya.
Satu hal yang hampir luput dari penulisan
ini adalah peristiwa turunnya ayat al-Qur’an yang terakhir, 6 meskipun
begitu ada yang menyebutkan setelah itu ada lagi ayat al-Qur’anyang diturunkan. Namun terlepas
dari itu adalah pada kesempatan haji terakhir dari Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam yang disebut
haji ‘wada’ (perpisahan), karena 82 hari setelah itu Beliau Shallallahu ‘Alayhi Wasallam dipanggil
oleh Yang Maha Kuasa. Ayat dalam surat tersebut telah mengindikasikan bahwa
tugas atau risalah Nabi Shallallahu
‘Alayhi Wasallam akan selesai. Tugas mana telah dipikulnya selama 23 tahun.
Selama itu pula secara berangsur-angsur wahyu Allah turun. Turunnya sesuai
dengan keperluan dan menjawab persoalan-persoalan yang ada dan akan ada.
Menurut riwayat turun ayat tersebut pada saat Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam melakukan khutbah haji pada bulan
Dzulhijjah tahun ke-10 Hijriyyah. Turun ayat itu sangat penting bagi kita
dimana ayat itu merupakan pengumuman atau “Deklarasi Maha Agung” dari Allah
tentang Dinul (agama) Islam yang berbunyi sebagai berikut,
Pada
hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu. Aku telah cukupkan nikmat-Ku
kepadamu, dan Aku telah merasa senang (ridha) Islam itu menjadi agamamu. [QS
Al-Māidah 5:3]
Dengan turunnya ayat itu yang disampaikan di
saat peribadatan haji berlangsung, yakinlah kita dengan seyakin-yakinnya akan
kebenaran Dinul Islam, karena yang Maha Kuasapun telah puas dan ridha atas
Dinul Islam ini untuk kita. Kalau Allah Yang Maha Tahu confident (yakin, ridha, ikhlas) kenapa kita tidak?
Demikianlah ritual wukuf di Arafah ini
pegangan sentral yang amat menentukan dalam berhaji. Tanpa mengerti makna dari
peristiwa-peristiwa di Arafah dari haji yang kita lakukan, maka apa-apa yang
dilakukan selama haji ini belum maksimal (maksudnya hampir boleh dikatakan
sia-sia). Kini bertemulah makna haji yang disebutkan oleh Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bahwa haji
itu adala Arafah (Al-Hajju Arafah).
Dengan itu mengingatkan kita generasi sekarang yang hidup di seperlima abad
ke-21 ini dalam millennium ke-3 bahwa hidup bernafsi-nafsi bukanlah asli sifat
atau fitrah manusia. Satu sama lainnya saling butuh dalam mengarungi lautan
kehidupan ini. Terkadang ombaknya tinggi, angin sangat kencang, membuat oleng
kapal kehidupan. Dihempaskan ke kiri dan ke kanan. Kadang menurun, kadang
meninggi. Kadang terperosok di pusaran air. Kadang tersandung di batu karang.
Harap harap cemas. Namun dengan semangat kesatuan dan kesetiakawanan serta
persaudaraan dan saling cinta kasih, memudahkan menghadapi tantangan hidup.
Tanpa kesatuan dan cinta kasih bahtera kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
berorganisasi (dalam komuniti), berbangsa dan berantar bangsa, maka manusia akan
memangsa sesamanya dalam memperebutkan pengaruh dalam kekuatan ekonomi,
keuangan, politik, militer dan power
dari ego bangsa yang terkotak-kotak dalam pakta-pakta. Faham yang dimengertinya atau yang dilakukannya seperti itu memang terjadi
dalam hidup di millennium ke-2, hasilnya membuat dunia tidak stabil, perang-perang dahsyat terjadi (dalam PD I korbannya 20 juta, PD II 80 juta) dan
hampir-hampir binasa dalam menghadapi perang nuklir tahun 60-an. Pada millennium ke-3 ini
dunia hakekatnya tidak dapat lagi disekat-sekat, karena arus globalisasi sudah
sedemikian menderas. Teknologi telah mendekatkan warga dunia satu sama lainnya.
Perlu pendekatan baru, lebih aman, lebih stabil, lebih manusiawi, dan hasilnya “win-win” –
semuanya dapat. Yaitu asal menegakkan ta’aruf
(saling mengenal) 7, tafahum
(saling memahami), ta’awun (kerja sama),
itsar (saling membela, tidak
bertengkar). Allahu ‘alam bish-shawab. □ AFM
Bersambung ke: Makna Wukuf Arafah III
Baca
juga blog kami dengan tema Masa Depan Hidup Manusia
Catatan Kaki:
1 Jangan
dekati pohon itu (yang dilarang-Nya). [QS Al-Baqarah 2:35]
2 Rayuan
Syeitan untuk memakan buah dari pohon yang terlarang mendekati. [QS Al-A’rāf
7:22] dan [QS Thāhā 20:121]
3 Adam
dan Hawa di turun ke Bumi dari Surga. [QS Al-Baqarah 2:36]
4 Surga.
● Dan orang-orang yang beriman
dan beramal shaleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa
yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah kurunia
yang besar. [QS Asy-Syūrā 42:22] ● “Perumpamaan
Surga yang dijanjikan kepada prang-orang yang bertaqwa ialah (seperti taman)
mengalir sungai di dalamnya, buah yang tak henti-hentinya, sedang naungannya
(demikian pula). Itulah tempat kesudahannya bagi orang yang bertaqwa. [QS
Ar-Ra’d 13:35]
5 ● Rasulullah
Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bersabda,
“Perumpamaan orang Islam yang saling mengasihi dan mencintai satu sama lain
adalah ibarat satu tubuh, Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka
seluruh tubuh akan ikut merasa sakit dan tidak bisa tidur.” [HR Bukhari]
● Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam,
Tidak lah sempurna iman seseorang dari kalian, sehingga dia mencintai
saudaranya (sesama Islam) sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” [HR
Bukhari]
● Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi
Wasallam bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi sesama muslim
lainnya. Tidak boleh menganiaya ataupun membiarkan dianiaya. Barang siapa
memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang
siapa membebaskan kesusahannya, maka Allah akan membebaskan kesusahannya di
hari kiamat. Barang siapa menutupi aib-nya, maka Allah akan menutupi aib-nya
dihari kiamat ” [HR Bukhari].
6 Seperti
yang diriwayatkan oleh hadits Muslim yaitu ayat ‘Kala-lah’. Ayat mana membahas
masalah pembagian pusaka orang yang meninggal dengan tidak mempunyai ibu-bapak
yang masih hidup dan keturunan, seperti yang diuraikan dalam surat at-Taubah
(Bara-ah).
7 Lita ‘ārafū (ta’āruf), Wahai Manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal (Lita ‘ārafū, ta’āruf). [QS Al-Hujarāt
49:13] [Untuk selanjutnya tafahum
(saling memahami), ta’awun (kerja
sama), itsar (saling membela, tidak
bertengkar)]. □□□