MAKNA IBADAH & CAKUPANNYA
Oleh: Ahmad Faisal
Marzuki
PENDAHULUAN
A |
da baiknya kita mengenali kembali dari kata ‘ibadah’. Kata
ini sering kita dengar dalam Khutbah Jum’at, pengajian, bahkan ketika masa
kecil dalam belajar Agama Islam di sekolah, di madrasah, dari orang tua kita.
Mengenali kata ‘ibadah’ kembali penting sekali. Saking
sering di dengar menjadi terasa biasa bahkan menjadi hambar, hampir-hampir
kehilangan maknanya yang sebenarnya sungguh dahsyat. Mengulang kembali kajian
ini sangat berguna agar gairah beribadah tetap ‘tune’, sebagaimana ‘kendaraan’ agar tetap ‘fit’ (tidak ngadat) untuk
dipakai, maka perlu di ‘tune up’.
Ibadah ini sebenarnya ‘kendaraan kita’ untuk mendapatkan dan mencapai ridho dari Rabb Al-Nās
(baca: rabbin nās) - Tuhan pencipta dan pemelihara manusia.
Ibadah adalah hikmah penciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberitahukan
kepada kita melalui wahyuNya kepada RasulNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termaktub dalam Kitab Suci Al-Qur’an
bahwa ‘Dia menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepadaNya’
sebagaimana firmanNya:
Wa mā khalaqtul jinna wal-insa illā liya’budūn - Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepadaKu. [QS Adz-Dzāriyāt/51:56]
Dalam pelakasanaan perintah ‘ibadah’ tersebut diingatkan
pula olehNya tantangan yang akan dihadapinya manusia berupa ujian dalam
melaksanakan perintahNya yang bertujuan membangun (agen pembangunan), dan
menjauhi segala laranganNya (berbuat buruk dan merusak) yang bertujuan
mengganti yang buruk dan merusak agar diperbaiki menjadi baik (agen perubahan)
sebagaimana firmanNya menyebutkan:
Al-ladzī khalaqal-mauta
wal-hayāta layabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala - (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya… [QS Al-Mulk/67:2]
Maka semua yang berakal mulia (positif dan membangun), dari
kalangan jin dan manusia, dalam hidupnya semenjak dewasa sampai meninggal dunia
sesungguhnya mesti ada kesadaran bahwa dia berada dalam ujian dan cobaan - ini
adalah tantangannya - apakah iman yang ada pada dirinya itu dalam mengerjakan
ibadah disertai amal (yang hasilnya menjadi) perbuatan baik yang membangun.
Jika kita memahami seperti hal tersebut, yaitu bahwa hidup
manusia untuk beribadah kepadaNya [QS Adz-Dzāriyāt/51:56],
yaitu manusia dalam pelaksanaan (applikasi) beribadah kepadaNya tidak sia-sia
dan lulus dalam menghadapi ujian dan cobaan yang hasilnya berupa amal perbuatan
yang baik [QS Al-Mulk/67: 2] sebagaimana firmanNya yang lainnya menyebutkan:
Wal ‘ashri innal insāna lafī khusrin illal ladzīna āmnū wa ‘amilush shālihāti wa tawāshau bilhaqqi wa tawāshau bish-shabri. - Demi masa, Sungguh manusia dalam kerugian, kecuali ‘orang-orang
yang beriman’ dan ‘mengerjakan (beramal) kebajikan' serta saling menasehati
untuk kebenaran, dan saling menasehati untuk kesabaran. [QS Al-‘Ashr/103:1-3]
Dengan itu, maka alangkah pentingnya kita mengetahui ‘makna
ibadah dan cakupannya’, sehingga kita bisa mengisi hidup ini dengan beribadah yang
sesuai dengan tuntunanNya yang dengan itu bisa meraih ridhaNya - sesuai dengan yang dimaksudkanNya yaitu dengan beriman
kepadaNya mesti perbuatannya (amalnya) menghasilkan kebaikan (positif yang
membangun).
PEMBAHASAN
1.
MAKNA IBADAH.
A |
pa makna kata ibadah ini mesti kita ketahui, untuk itu mari
kita telusuri ta’rif atau definisi ibadah
secara bahasa dan istilah.
‘Ibādah secara bahasa artinya adalah
ketundukan dan kerendahan atau kepatuhan, seperti perkataan bangsa Arab
menyebutkan: “ba’īr mu’abbad” artinya
onta yang patuh. Onta patuh kepada pemiliknya, yang meliharanya, yang
mengajarkan dan yang memberinya makan dan minum.
Az-Zajjāj
rahimahullah (wafat 311 H/922 M) nama lengkapnya Abũ Ishāq Ibrāhīm
ibn Muhammad ibn al-Sarī al-Zajjāj adalah seorang ahli tata bahasa
Arab di Basrah, sarjana filologi dan teologi yang favorit di istana Abbasiah
berkata, “Ibadah dalam bahasa maknanya ketaatan disertai ketundukan.” [1]
Ar-Rāghib
al-Ash-bihani (Ar-Rāghib al-Isfahani) rahimahullah (wafat 425/502 H/1108/1109 M),
seorang ahli tafsir Al-Qur’an dan bahasa Arab, berkata, “’Ubudiyah adalah
menampakkan ketundukan, sedangkan ibadah lebih tinggi darinya, karena ibadah
adalah puncak ketundukan”. [2]
Sedangkan, ibadah
secara istilah, para ulama telah menjelaskannya dengan ungkapan yang
berbeda-beda, namun intinya sama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (lahir
661 H/1263 M - wafat 728 H/1328 M) berkata, “Ibadah adalah satu istilah yang
menghimpun seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa
perkataan dan perbuatan, yang lahir dan yang batin.” [3] Penjelasan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah ini mencakup seluruh jenis ibadah dalam agama Islam.
2.
CAKUPAN IBADAH
Ibadah dalam agama Islam mencakup ibadah mahdhah dan ibadah
ghairu mahdhah.
2. 1. Ibadah
mahdhah
Ibadah mahdhah
adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya memang
merupakan ibadah, berdasarkan nash
atau lainnya yang menunjukkan perkataan dan perbuatan tersebut haram
dipersembahkan kepada selain Allah Azza
wa Jalla.
Dalam kitab ad-Dīnul
Khālish,
1/215, disebutkan pengertian ibadah
mahdhah adalah “Segala yang diperintahkan oleh Pembuat Syari’at
(yaitu: Allah Subhanahu wa Ta’ala
-pen), baik berupa perbuatan atau perkataan hamba yang dikhususkan kepada
keagungan dan kebesaran Allah Azza wa
Jalla.”
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Wudhu’ adalah ibadah, karena ia tidak
diketahui, kecuali dari Pembuat Syari’at, dan semua perbuatan yang tidak
diketahui kecuali dari Pembuat Syari’at, maka itu adalah ibadah, seperti sholat
dan puasa, dan karena hal itu juga berkonsekuensi pahala.”[4]
Maka semua
perbuatan atau perkataan yang ditunjukkan oleh nash atau ijma’ atau
lainnya, atas kewajiban ikhlas kepadaNya, maka itu adalah ibadah, asal dari disyari’atkannya.
Ibadah mahdhah ini
mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Ibadah hati
Ibadah hati yaitu keyakinan dan amalan yang terbagi menjadi
dua bagian:
(1). Qaulul qalbi
(perkataan hati), dan dinamakan i’tiqād (keyakinan; keperca-yaan). Yaitu keyakinan bahwa tidak ada
Rabb (Pencipta; Pemilik; Penguasa)
selain Allah, dan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak diibadahi selain Dia,
mempercayai seluruh namaNya dan sifatNya, mempercayai para malaikatNya,
kitab-kitabNya, para RasulNya, hari Akhir, taqdir baik dan buruk, dan lainnya.
(2). ‘Amalul qalbi (amalan
hati), di antaranya ikhlas, mencintai
Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan pahalaNya, takut terhadap siksaNya, tawakkal
kepa-daNya, bersabar melaksanakan
perintahNya dan meninggalkan laranganNya dan lainnya.
b. Ibadah lisan
Ibadah lisan atau perkataan di antaranya adalah mengucapkan
kalimat tauhid, membaca al-Qur’an, berdzikir kepada Allâh dengan membaca tasbīh,
tahmīd, dan lainnya; berdakwah untuk beribadah kepada Allah, mengajarkan ilmu
syari’at, dan lainnya.
c. Ibadah badan
Di antaranya adalah melaksankan shalat, bersujud, berpuasa,
haji, thawaf, jihad, belajar ilmu syari’at, dan lainnya.
d. Ibadah harta
Di antaranya adalah membayar zakat, shadaqah, menyembelih
kurban, dan lainnya.
2. 2. Ibadah ghairu
mahdhah
Sedangkan ibadah ghairu mahdhah yang bukan ibadah,
karena tidak berasal dari asal disyari’atkannya, namun bisa menjadi ibadah
dengan niat yang baik, sebagaimana penjelasan berikutnya:
Ibadah ghairu mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan
perkataan-perkataan yang asalnya bukan ibadah, akan tetapi berubah menjadi
ibadah dengan niat yang baik.
Catatan:
Namun, jika
perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataannya dilakukan dengan niat yang buruk
atau tujuan yang buruk maka bukan ibadah lagi, melainkan akan berubah menjadi
kemaksiatan, dan pelakunya mendapatkan dosa. Seperti, melakukan jual beli untuk
mendapatkan harta dengan niat untuk melakukan maksiat; makan minum agar
memiliki kekuatan untuk mencuri; mempelajari ilmu seperti ilmu kedokteran, ilmu
jiwa, mekanika (teknik), dst dilakukan dengan niat yang buruk atau tujuan yang
buruk maka bukan ibadah lagi, melainkan akan berubah menjadi kemaksiatan.
Ibadah ghairu mahdhah
ini mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Melaksanakan wājibāt (perkara-perkara yang
diwajibkan) dan mandūbāt (perkara-perkara yang dianjurkan) yang asalnya tidak
masuk ibadah, dengan niat mencari wajah (ridha) Allah.
Sebagai contoh:
1. Mengeluarkan harta untuk keperluan diri sendiri, seperti makan, minum, dan sebagainya, dengan niat menguatkan badan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.
2. Berbakti kepada orang tua dengan niat melaksanakan perintah Allah.
3. Memberi nafkah kepada anak dan istri dengan niat melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Mendidik anak dan membiayai sekolahnya dengan niat agar mereka bisa beribadah kepada Allah dengan baik.
5. Menikah dengan niat menjaga kehormatan diri sehingga tidak terjatuh ke dalam zina.
6. Memberi pinjaman hutang dengan niat menolong dan mencarai pahala Allah.
7. Memberi hadiah kepada orang dengan niat mencari ridho Allah.
8. Memuliakan tamu dengan niat melaksanakan perintah Allah.
9. Memberi tumpangan kepada seorang yang tua agar sampai ke tempat tujuannya dengan niat mencari ridho Allah.
Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebagai ibadah
adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
Dari Abu Mas’ūd
Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
“Jika seorang laki-laki mengeluarkan nafkah kepada keluarganya yang dia
mengharapkan wajah Allah denganNya, maka itu shadaqah baginya”. [HR Al-Bukhari
no. 55]
Dalam hadits lain
diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqāsh Radhiyallahu anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak mengeluarkan nafkah yang engkau mencari
wajah Allah denganNya kecuali engkau diberi pahala padanya, termasuk apa yang
engkau taruh di mulut istrimu”. [HR. Al-Bukhari, no. 56]
b. Meninggalkan muharramāt (perkara-perkara yang
diharamkan) untuk mencari wajah Allâh Azza wa Jalla.
Termasuk dalam hal
ini adalah meninggalkan riba, meninggalkan perbuatan mencuri, meninggalkan
perbuatan penipuan, dan perkara-perkara yang diharamkan lainnya. Jika seorang
Muslim meninggalkannya karena mencari pahala Allah, takut terhadap siksaNya,
maka itu menjadi ibadah yang berpahala.
Dalilnya adalah
hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Allah berfirman: Jika hamba-Ku berkeinginan melakukan keburukan,
maka janganlah kamu menulisnya sampai dia melakukannya. Jika dia telah
melakukannya, maka tulislah dengan semisalnya. Dan jika dia meninggalkannya
karena Aku, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat
kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, maka tulislah satu kebaikan untuknya.
Jika dia telah melakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kalinya sampai 700
kali”. [HR Al-Bukhari no. 7501]
Catatan:
Namun jika seorang
Muslim meninggalkan suatu perbuatan maksiat karena tidak mampu melakukannya,
atau karena takut terhadap had dan
hukuman, atau tidak ada keinginan, atau sama sekali tidak pernah
memikirkannya, maka dia tidak mendapatkan pahala.
c. Melakukan
mubāhāt (perkara-perkara yang dibolehkan) untuk mencari wajah Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Di antaranya
tidur, makan, menjual, membeli, dan usaha lainnya dalam rangka mencari rezeki.
Semua ini dan yang semacamnya hukum asalnya adalah mubah. Jika seorang Muslim
melakukannya dengan niat menguatkan diri untuk melaksanakan ketaatan kepada
Allâh, maka hal itu menjadi ibadah yang berpahala.
Dalil adalah
hadits Abu Mas’ud dan Sa’ad yang telah lewat. Demikian juga perkataan Mu’adz
bin Jabal, ketika ditanya oleh Abu Musa al-Asy’ari, “Bagaimana engkau membaca
al-Qur’an?” Beliau Radhiyallahu anhu menjawab: Aku tidur di awal malam, lalu
aku bangun dan aku telah memberikan bagian tidurku, lalu aku membaca apa yang
Allâh takdirkan untukku. Sehingga aku mengharapkan pahala pada tidurku,
sebagaimana aku mengharapkan pahala pada berdiri (shalat) ku”. [HR Al-Bukhari
no. 4341]
3. HUBUNGAN
IBADAH MAHDHAH & IBADAH GHAIRU MAHDHAH
Hubungan ibadah mahdhah dan ibadah ghairu
mahdhah sangat erat sekali. Ibadah yang saling tunjang menunjang sebagai dua ‘sisi
mata uang’ sebagaimana yang digambarkan dalam Surat ke-28, Al-Qashash ayat 77 yang artinya:
“Dan carilah negeri Akhirat dengan apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (iman-taqwa, akhlaq, hikmah, ilmu,
tenaga, waktu, akal, rezeki, kesehatan). Tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu (share, peran) di dunia (sebagai khalifah-khalifah [5] pemakmur bumi [6] dengan membangun peradaban sebagai ladang ibadah)…” (QS Al-Qashash 28:77).
Bahkan Allah Azza wa Jalla memberi motivasi dan
pentunjukNya sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:
“…dan Kami berikan mereka
rezeki dari yang baik-baik (sumber daya alam), dan Kami lebihkan mereka (sumber
daya manusia yang mampu mengem-bangkan dan mengaplikasikan ‘iptek’, [7] ‘imtaq’, [8] bersosial kemayarakatan yang ‘berakhlaq’ [9]) diatas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang
sempurna (mampu memakmurkan hidup di bumi sebagai ladang ibadah dengan
membangun peradaban).” (QS Al-Isrā’ 17:70).
PENUTUP
K |
esimpulan pembahasan “Makna Ibadah dan Cakupannya” menunjukkan
bahwa ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah mencakup seluruh sisi
kehidupan manusia yang kaffah yaitu
selamat dan sejahtera di bumi, begitu pula di akhirat.
‘Manusia berkehendak’ yang tentu dipilih
yang terbaik - bukan hawanafsu egonya saja, tapi menggunakan pertimbangan qalb atau hati - sebagaimana firmanNya
menyebutkan yang artinya:
“Sungguh, Kami telah menunjukkan
kepadanya jalan yang lurus, ada yang bersyukur (mengikuti pertimbangan qalb
atau hatinya) dan ada pula yang kufur (mengikuti hawanafsu egonya saja tanpa
pertimbangan baik dan buruknya serta bermanfaat atau tidaknya baik bagi dirinya
atau masyarakatnya).” (QS Al-Insān 76:3).
Karena status dan
potensinya sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:
“Dialah
(Allah) yang menciptakan segala apa yang di bumi untukmu (manusia manfaatkan)…” (QS Al-Baqarah 2:29);
“Tidakkah
kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmatNya untukmu
lahir dan batin…” (QS Luqmān 31:20);
“…Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah)
dan menjadikanmu pemak-murnya,…”
(QS Hūd 11:61).
Untuk hidup ‘bermasyarakat’ yang sukses
perlu berkomunikasi (berinteraksi, berelasi) yang integral atau sempurna
diperlukan 3T1I (Ta'ruf - saling kenal; Tafahum - saling memaklumi; Ta'awun - saling bekerja sama; Itsar - saling peduli). Dengan akhlaq 3T1I
ini Dia memberi kemampuan verbal untuk berkomunikasi yang efektif dalam
berinteraksi sesamanya sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:
“(Allah)
Yang Maha Pengasih, Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai bicara (dengan
berkomunikasi sukses berdasarkan akhlaq 3T1I)” (QS Ar Rahmān 55:1-4).
dan memelihara alam
lingkungan hidupnya perlu memahami sunatullah perilaku alam sebagaimana
firmanNya menyebutkan yang artinya:
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah, dan kemanfaatan alam bagi manusia yang memiliki ‘iptek’
yang mumpuni) bagi orang yang yang berakal (ulil albāb, intelektual, cendikiawan)” (QS Āli ‘Imrān 3:190).
Manusia mempunyai tanggungjawab atas segala
pekerjaannya atau perbuatannya sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:
Apakah
manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertang-gungjawaban)? (QS Al-Qiyāmah 75:36).
“Maka
apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud)
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami (untuk
mempertanggungjawabkannya)?” (QS Al-Mu’minūn 23:115)
Berbuat kebaikan di bumi untuk hidup baik di
akhirat dan baik di bumi sebagaimana firmanNya menyebutkan dalam Surat ke-28 Al-Qashash ayat 77 seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Dari ayat-ayat firmanNya tersebut kita
mendapat pengetahuan yang sangat dahsyat sekaligus petunjuk bagi orang yang beribadah
kepadaNya serta ‘beriman dan melakukan perbuatan baik’ yang sangat jelas sekali.
Dengan itu mesti ada kesadaran atas peran kekhalifahan manusia di bumi yang
terkait erat dengan beribadah kepadaNya, yaitu mendapat kepercayaan (amanah)
berupa mandat sebagai khalifah pemakmur bumi dengan membangun peradaban sebagai
ladang ibadahnya. Dipercaya karena mempunyai potensi kelebihannya seperti yang
telah disebutkan sebelumnya yang mesti dipertanggung jawabkannya serta mendapat
balasan dariNya berupa Surga Firdaus bagi yang beribadah serta ‘beriman dan
berbuat kebajikan’ sesuai dengan petunjukNya.
Semoga Allah memberikan kemudahan dan
kemampuan kepada kita untuk beribadah (mahdhah
dan ghairu mahdhah) kepadaNya dengan
sebaik-baiknya sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. □
CATATAN
KAKI:
[1] Lisānul
‘Arab, bab: ‘abada.
[2] Mufradāt Alfāzhil Qur’ān, hlm. 542
[3] Al-‘Ubudiyah, hlm: 23, dengan penelitian: Syaikh Ali
bin Hasan al-Halabi hafizhahullāh.
[4] Al-Mustadrak ‘ala Majmũ’ al-Fatāwā,
3/29; Mukhtashar al-Fatāwā al-Mishriyah, hlm. 28
[5] Innī Jā’ilun fil Ardhi Khalīfah - Aku
hendak menjadikan khalifah di bumi, QS Al-Baqarah 2:30; Ja’alakum
Khalā-if - Dia menjadikan kalian khalifah-khalifah, QS Al-An’ām 6:165; Ja’alakum
Khulafā’ - Dia menjadikan kalian (kamu sebagai) khalifah-khalifah, QS Al-A’rāf 7:74.
“Dialah yang
menjadikan kamu khalifah-khalifah di
muka bumi” (QS pangkal ayat 21 surat Fāthir). Di dalam Al-Qur’an kata-kata khalā-if yang diartikan
khalifah-khalifah ditemukan pula dalam QS Yūnus 10:14,73; Al-An’ām 6:165;
Bertemu pula kata jama’ yang lain dengan
sebutan khulafā’ dalam QS Al-A’rāf
7:69,74; Bertemu pula kata khalīfah dalam
QS Al-Baqarah 2:30, artinya pengganti atau menjadi khalifah Allah. Niscaya
tidak cocok kalau diartikan ‘pengganti’, karena tidak ada pengganti bagi Allah.
Tentu maksudnya di ini ialah, orang yang disuruh (penulis: diamanahkan) oleh
Allah menjadi ‘pelaksana’ (penulis: penerus risalah yang dibawa Nabi Muhammad
Rasulullah saw yang bersumber dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah) di muka bumi. [Tafsir Al-Azhar, Prof.
Dr. Hamka, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1984, Juzu’ 22 hal. 262]
[6] Firman Allah swt: “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan-mu pemakmurnya - wasta’marakum
fihā (manusia
sebagai penghuni bumi untuk menguasai, memakmurkan dan memelihara lingkungan
hidup dan ekosistimnya - membangun peradaban).” (QS Hūd
11:61)
[7] Iptek: Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Teknologi. Ilmu pengetahuan (sains) yang melahirkan
teknologi sebagai perangkat alat untuk para pelaku pemakmur bumi di dunia dalam
membangun peradaban secara fisik sebagai ladang ibadah. Dunia tidak terlepas
dari urusan agama dimana dunia sebagai ladang ibadah. Jadi hidup di dunia
disini dalam pengertian Ajaran Islam adalah ibadah dalam kategori ibadah ghairu mahdhoh atau ada juga yang
menyebutnya sebagai ‘ibadah muamalah’.
[8] Imtaq
- Iman dan Taqwa adalah ibarat
dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Iman merupakan kendaraan bagi seseorang untuk
mencapai taqwa.
Tanpa iman tidak
mungkin seseorang akan mencapai taqwa. Taqwa adalah kemampuan seseorang dalam menjalankan segala perintah
Tuhan dan menjauhi segala laranganNya.
[9] Berakhlaq: Akhlak, akhlaq, atau akhlaqiyyah “Sesungguhnya
aku (Muhammad) diutus untuk ‘menyempurnakan akhlak’ yang mulia. (HR
Al-Bukhari). Akhlaq secara eksplisit adalah hal-hal yang berhubungan
dengan proses sosialisasi, interaksi dan komunikasi individu dengan individu,
individu dengan masyarakat menjadi baik dan membangun kebersamaan seperti yang
disebutkan pada 3T1I - Ta’aruf - saling kenal; Tafahum - saling memaklumi; Ta’awun - saling bekerja sama; dan Itsar - saling peduli. Artinya bermoral integritas, jujur, benar,
adil, beradab, amanah dan bertanggung jawab dalam beripoleksusbudlingdup -
bermasyarakat, bernegara dan antarnegara serta lingkungan hidup. Jabaran 3T1I
tersebut berasal dari firman Allah swt yang terdapat dalam surat Al-Hujurāt:
“Wahai
Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal (lita'ārafū,
ta’aruf) satu sama lainnya…” (QS Al-Hujurāt 49:13). □□
KEPUSTAKAAN:
1.https://almanhaj.or.id/53392-makna-dan-cakupan-ibadah-2.html;
AbuIsma’il Muslim Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl
al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr.
Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin, dan rujukan-rujukan hlm. 65-72;
Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M, Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta.
2. Sholat Membangun Peradaban Dunia, Ahmad Faisal Marzuki
3. https://en.wikipedia.org/wiki/Abu_Ishaq_al-Zajjaj
4. https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Raghib_al-Isfahani
5. https://www.britannica.com/biography/Ibn-Taymiyyah;
https://rumaysho.com/617-biografi-syaikhul-islam-ibnu-taimiyah.html □□□