Monday, April 4, 2022

Makna Ibadah & Cakupannya




MAKNA IBADAH & CAKUPANNYA

Oleh: Ahmad Faisal Marzuki

 

PENDAHULUAN

A

da baiknya kita mengenali kembali dari kata ‘ibadah’. Kata ini sering kita dengar dalam Khutbah Jum’at, pengajian, bahkan ketika masa kecil dalam belajar Agama Islam di sekolah, di madrasah, dari orang tua kita.

Mengenali kata ‘ibadah’ kembali penting sekali. Saking sering di dengar menjadi terasa biasa bahkan menjadi hambar, hampir-hampir kehilangan maknanya yang sebenarnya sungguh dahsyat. Mengulang kembali kajian ini sangat berguna agar gairah beribadah tetap ‘tune’, sebagaimana ‘kendaraan’ agar tetap ‘fit’ (tidak ngadat) untuk dipakai, maka perlu di ‘tune up’. Ibadah ini sebenarnya ‘kendaraan kita’ untuk mendapatkan dan mencapai ridho dari Rabb Al-Nās (baca: rabbin nās) - Tuhan pencipta dan pemelihara manusia.

Ibadah adalah hikmah penciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberitahukan kepada kita melalui wahyuNya kepada RasulNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termaktub dalam Kitab Suci Al-Qur’an bahwa ‘Dia menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepadaNya’ sebagaimana firmanNya:

Wa mā khalaqtul jinna wal-insa illā liya’budūn - Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu. [QS Adz-Dzāriyāt/51:56]

Dalam pelakasanaan perintah ‘ibadah’ tersebut diingatkan pula olehNya tantangan yang akan dihadapinya manusia berupa ujian dalam melaksanakan perintahNya yang bertujuan membangun (agen pembangunan), dan menjauhi segala laranganNya (berbuat buruk dan merusak) yang bertujuan mengganti yang buruk dan merusak agar diperbaiki menjadi baik (agen perubahan) sebagaimana firmanNya menyebutkan:

Al-ladzī khalaqal-mauta wal-hayāta layabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala - (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya… [QS Al-Mulk/67:2]

Maka semua yang berakal mulia (positif dan membangun), dari kalangan jin dan manusia, dalam hidupnya semenjak dewasa sampai meninggal dunia sesungguhnya mesti ada kesadaran bahwa dia berada dalam ujian dan cobaan - ini adalah tantangannya - apakah iman yang ada pada dirinya itu dalam mengerjakan ibadah disertai amal (yang hasilnya menjadi) perbuatan baik yang membangun.

Jika kita memahami seperti hal tersebut, yaitu bahwa hidup manusia untuk beribadah kepadaNya [QS Adz-Dzāriyāt/51:56], yaitu manusia dalam pelaksanaan (applikasi) beribadah kepadaNya tidak sia-sia dan lulus dalam menghadapi ujian dan cobaan yang hasilnya berupa amal perbuatan yang baik [QS Al-Mulk/67: 2] sebagaimana firmanNya yang lainnya menyebutkan:

Wal ‘ashri innal insāna lafī khusrin illal ladzīna āmnū wa ‘amilush shālihāti wa tawāshau bilhaqqi wa tawāshau bish-shabri. - Demi masa, Sungguh manusia dalam kerugian, kecuali ‘orang-orang yang beriman’ dan ‘mengerjakan (beramal) kebajikan' serta saling menasehati untuk kebenaran, dan saling menasehati untuk kesabaran. [QS Al-‘Ashr/103:1-3]

Dengan itu, maka alangkah pentingnya kita mengetahui ‘makna ibadah dan cakupannya’, sehingga kita bisa mengisi hidup ini dengan beribadah yang sesuai dengan tuntunanNya yang dengan itu bisa meraih ridhaNya - sesuai dengan yang dimaksudkanNya yaitu dengan beriman kepadaNya mesti perbuatannya (amalnya) menghasilkan kebaikan (positif yang membangun).


PEMBAHASAN

1. MAKNA IBADAH.

A

pa makna kata ibadah ini mesti kita ketahui, untuk itu mari kita telusuri ta’rif atau definisi ibadah secara bahasa dan istilah.

   ‘Ibādah secara bahasa artinya adalah ketundukan dan kerendahan atau kepatuhan, seperti perkataan bangsa Arab menyebutkan: “ba’īr mu’abbad” artinya onta yang patuh. Onta patuh kepada pemiliknya, yang meliharanya, yang mengajarkan dan yang memberinya makan dan minum.

   Az-Zajjāj rahimahullah (wafat 311 H/922 M) nama lengkapnya Abũ Ishāq Ibrāhīm ibn Muhammad ibn al-Sarī al-Zajjāj adalah seorang ahli tata bahasa Arab di Basrah, sarjana filologi dan teologi yang favorit di istana Abbasiah berkata, “Ibadah dalam bahasa maknanya ketaatan disertai ketundukan.” [1]

   Ar-Rāghib al-Ash-bihani (Ar-Rāghib al-Isfahani) rahimahullah (wafat 425/502 H/1108/1109 M), seorang ahli tafsir Al-Qur’an dan bahasa Arab, berkata, “’Ubudiyah adalah menampakkan ketundukan, sedangkan ibadah lebih tinggi darinya, karena ibadah adalah puncak ketundukan”. [2]

   Sedangkan, ibadah secara istilah, para ulama telah menjelaskannya dengan ungkapan yang berbeda-beda, namun intinya sama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (lahir 661 H/1263 M - wafat 728 H/1328 M) berkata, “Ibadah adalah satu istilah yang menghimpun seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir dan yang batin.” [3] Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ini mencakup seluruh jenis ibadah dalam agama Islam.

2. CAKUPAN IBADAH

Ibadah dalam agama Islam mencakup ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

2. 1. Ibadah mahdhah

   Ibadah mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya memang merupakan ibadah, berdasarkan nash atau lainnya yang menunjukkan perkataan dan perbuatan tersebut haram dipersembahkan kepada selain Allah Azza wa Jalla.

   Dalam kitab ad-Dīnul Khālish, 1/215, disebutkan pengertian ibadah mahdhah adalah “Segala yang diperintahkan oleh Pembuat Syari’at (yaitu:  Allah Subhanahu wa Ta’ala -pen), baik berupa perbuatan atau perkataan hamba yang dikhususkan kepada keagungan dan kebesaran Allah Azza wa Jalla.”

   Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Wudhu’ adalah ibadah, karena ia tidak diketahui, kecuali dari Pembuat Syari’at, dan semua perbuatan yang tidak diketahui kecuali dari Pembuat Syari’at, maka itu adalah ibadah, seperti sholat dan puasa, dan karena hal itu juga berkonsekuensi pahala.”[4]

   Maka semua perbuatan atau perkataan yang ditunjukkan oleh nash atau ijma’ atau lainnya, atas kewajiban ikhlas kepadaNya, maka itu adalah ibadah, asal dari disyari’atkannya.

Ibadah mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Ibadah hati

Ibadah hati yaitu keyakinan dan amalan yang terbagi menjadi dua bagian:

(1). Qaulul qalbi (perkataan hati), dan dinamakan i’tiqād (keyakinan; keperca-yaan). Yaitu keyakinan bahwa tidak ada Rabb (Pencipta; Pemilik; Penguasa) selain Allah, dan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak diibadahi selain Dia, mempercayai seluruh namaNya dan sifatNya, mempercayai para malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari Akhir, taqdir baik dan buruk, dan lainnya.

(2). ‘Amalul qalbi (amalan hati), di antaranya ikhlas, mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan pahalaNya, takut terhadap siksaNya, tawakkal kepa-daNya, bersabar melaksanakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya dan lainnya.

b. Ibadah lisan

Ibadah lisan atau perkataan di antaranya adalah mengucapkan kalimat tauhid, membaca al-Qur’an, berdzikir kepada Allâh dengan membaca tasbīh, tahmīd, dan lainnya; berdakwah untuk beribadah kepada Allah, mengajarkan ilmu syari’at, dan lainnya.

c. Ibadah badan

Di antaranya adalah melaksankan shalat, bersujud, berpuasa, haji, thawaf, jihad, belajar ilmu syari’at, dan lainnya.

d. Ibadah harta

Di antaranya adalah membayar zakat, shadaqah, menyembelih kurban, dan lainnya.

2. 2. Ibadah ghairu mahdhah

   Sedangkan ibadah ghairu mahdhah yang bukan ibadah, karena tidak berasal dari asal disyari’atkannya, namun bisa menjadi ibadah dengan niat yang baik, sebagaimana penjelasan berikutnya:

Ibadah ghairu mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya bukan ibadah, akan tetapi berubah menjadi ibadah dengan niat yang baik.

Catatan:

   Namun, jika perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataannya dilakukan dengan niat yang buruk atau tujuan yang buruk maka bukan ibadah lagi, melainkan akan berubah menjadi kemaksiatan, dan pelakunya mendapatkan dosa. Seperti, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta dengan niat untuk melakukan maksiat; makan minum agar memiliki kekuatan untuk mencuri; mempelajari ilmu seperti ilmu kedokteran, ilmu jiwa, mekanika (teknik), dst dilakukan dengan niat yang buruk atau tujuan yang buruk maka bukan ibadah lagi, melainkan akan berubah menjadi kemaksiatan.

Ibadah ghairu mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Melaksanakan wājibāt (perkara-perkara yang diwajibkan) dan mandūbāt (perkara-perkara yang dianjurkan) yang asalnya tidak masuk ibadah, dengan niat mencari wajah (ridha) Allah.

   Sebagai contoh:

1.      Mengeluarkan harta untuk keperluan diri sendiri, seperti makan, minum, dan sebagainya, dengan niat menguatkan badan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.

2.     Berbakti kepada orang tua dengan niat melaksanakan perintah Allah.

3.     Memberi nafkah kepada anak dan istri dengan niat melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4.     Mendidik anak dan membiayai sekolahnya dengan niat agar mereka bisa beribadah kepada Allah dengan baik.

5.     Menikah dengan niat menjaga kehormatan diri sehingga tidak terjatuh ke dalam zina.

6.     Memberi pinjaman hutang dengan niat menolong dan mencarai pahala Allah.

7.     Memberi hadiah kepada orang dengan niat mencari ridho Allah.

8.     Memuliakan tamu dengan niat melaksanakan perintah Allah.

9.     Memberi tumpangan kepada seorang yang tua agar sampai ke tempat tujuannya dengan niat mencari ridho Allah.

Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebagai ibadah adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

   Dari Abu Mas’ūd Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Jika seorang laki-laki mengeluarkan nafkah kepada keluarganya yang dia mengharapkan wajah Allah denganNya, maka itu shadaqah baginya”. [HR Al-Bukhari no. 55]

   Dalam hadits lain diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqāsh Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak mengeluarkan nafkah yang engkau mencari wajah Allah denganNya kecuali engkau diberi pahala padanya, termasuk apa yang engkau taruh di mulut istrimu”. [HR. Al-Bukhari, no. 56]

b. Meninggalkan muharramāt (perkara-perkara yang diharamkan) untuk mencari wajah Allâh Azza wa Jalla.

   Termasuk dalam hal ini adalah meninggalkan riba, meninggalkan perbuatan mencuri, meninggalkan perbuatan penipuan, dan perkara-perkara yang diharamkan lainnya. Jika seorang Muslim meninggalkannya karena mencari pahala Allah, takut terhadap siksaNya, maka itu menjadi ibadah yang berpahala.

   Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman: Jika hamba-Ku berkeinginan melakukan keburukan, maka janganlah kamu menulisnya sampai dia melakukannya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah dengan semisalnya. Dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kalinya sampai 700 kali”. [HR Al-Bukhari no. 7501]

Catatan:

   Namun jika seorang Muslim meninggalkan suatu perbuatan maksiat karena tidak mampu melakukannya, atau karena takut terhadap had dan hukuman, atau tidak ada keinginan, atau sama sekali tidak pernah memikirkannya, maka dia tidak mendapatkan pahala.

c. Melakukan mubāhāt (perkara-perkara yang dibolehkan) untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

   Di antaranya tidur, makan, menjual, membeli, dan usaha lainnya dalam rangka mencari rezeki. Semua ini dan yang semacamnya hukum asalnya adalah mubah. Jika seorang Muslim melakukannya dengan niat menguatkan diri untuk melaksanakan ketaatan kepada Allâh, maka hal itu menjadi ibadah yang berpahala.

   Dalil adalah hadits Abu Mas’ud dan Sa’ad yang telah lewat. Demikian juga perkataan Mu’adz bin Jabal, ketika ditanya oleh Abu Musa al-Asy’ari, “Bagaimana engkau membaca al-Qur’an?” Beliau Radhiyallahu anhu menjawab: Aku tidur di awal malam, lalu aku bangun dan aku telah memberikan bagian tidurku, lalu aku membaca apa yang Allâh takdirkan untukku. Sehingga aku mengharapkan pahala pada tidurku, sebagaimana aku mengharapkan pahala pada berdiri (shalat) ku”. [HR Al-Bukhari no. 4341]

3. HUBUNGAN IBADAH MAHDHAH & IBADAH GHAIRU MAHDHAH

   Hubungan ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah sangat erat sekali. Ibadah yang saling tunjang menunjang sebagai dua ‘sisi mata uang’ sebagaimana yang digambarkan dalam Surat ke-28, Al-Qashash ayat 77 yang artinya:

Dan carilah negeri Akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (iman-taqwa, akhlaq, hikmah, ilmu, tenaga, waktu, akal, rezeki, kesehatan). Tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu (share, peran) di dunia (sebagai khalifah-khalifah [5] pemakmur bumi [6] dengan membangun peradaban sebagai ladang ibadah)…” (QS Al-Qashash 28:77).

Bahkan Allah Azza wa Jalla memberi motivasi dan pentunjukNya sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:

“…dan Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik (sumber daya alam), dan Kami lebihkan mereka (sumber daya manusia yang mampu mengem-bangkan dan mengaplikasikan ‘iptek’, [7] ‘imtaq’, [8] bersosial kemayarakatan yang ‘berakhlaq’ [9]) diatas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna (mampu memakmurkan hidup di bumi sebagai ladang ibadah dengan membangun peradaban).” (QS Al-Isrā’ 17:70).

PENUTUP

K

esimpulan pembahasan “Makna Ibadah dan Cakupannya” menunjukkan bahwa ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah mencakup seluruh sisi kehidupan manusia yang kaffah yaitu selamat dan sejahtera di bumi, begitu pula di akhirat.

   ‘Manusia berkehendak’ yang tentu dipilih yang terbaik - bukan hawanafsu egonya saja, tapi menggunakan pertimbangan qalb atau hati - sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:

Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, ada yang bersyukur (mengikuti pertimbangan qalb atau hatinya) dan ada pula yang kufur (mengikuti hawanafsu egonya saja tanpa pertimbangan baik dan buruknya serta bermanfaat atau tidaknya baik bagi dirinya atau masyarakatnya).” (QS Al-Insān 76:3).

Karena status dan potensinya sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:

Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang di bumi untukmu (manusia  manfaatkan)…”  (QS Al-Baqarah 2:29);

Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmatNya untukmu lahir dan batin…” (QS Luqmān 31:20);

“…Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemak-murnya,…” (QS Hūd 11:61).

   Untuk hidup ‘bermasyarakat’ yang sukses perlu berkomunikasi (berinteraksi, berelasi) yang integral atau sempurna diperlukan 3T1I (Ta'ruf - saling kenal; Tafahum - saling memaklumi; Ta'awun - saling bekerja sama; Itsar - saling peduli). Dengan akhlaq 3T1I ini Dia memberi kemampuan verbal untuk berkomunikasi yang efektif dalam berinteraksi sesamanya sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:

“(Allah) Yang Maha Pengasih, Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai bicara (dengan berkomunikasi sukses berdasarkan akhlaq 3T1I)” (QS Ar Rahmān 55:1-4).

dan memelihara alam lingkungan hidupnya perlu memahami sunatullah perilaku alam sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah, dan kemanfaatan alam bagi manusia yang memiliki ‘iptek’ yang mumpuni) bagi orang yang yang berakal (ulil albāb, intelektual, cendikiawan)” (QS Āli ‘Imrān 3:190).

   Manusia mempunyai tanggungjawab atas segala pekerjaannya atau perbuatannya sebagaimana firmanNya menyebutkan yang artinya:

Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertang-gungjawaban)? (QS Al-Qiyāmah 75:36).

Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami (untuk mempertanggungjawabkannya)?” (QS Al-Mu’minūn 23:115)

   Berbuat kebaikan di bumi untuk hidup baik di akhirat dan baik di bumi sebagaimana firmanNya menyebutkan dalam Surat ke-28 Al-Qashash ayat 77 seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

     Dari ayat-ayat firmanNya tersebut kita mendapat pengetahuan yang sangat dahsyat sekaligus petunjuk bagi orang yang beribadah kepadaNya serta ‘beriman dan melakukan perbuatan baik’ yang sangat jelas sekali. Dengan itu mesti ada kesadaran atas peran kekhalifahan manusia di bumi yang terkait erat dengan beribadah kepadaNya, yaitu mendapat kepercayaan (amanah) berupa mandat sebagai khalifah pemakmur bumi dengan membangun peradaban sebagai ladang ibadahnya. Dipercaya karena mempunyai potensi kelebihannya seperti yang telah disebutkan sebelumnya yang mesti dipertanggung jawabkannya serta mendapat balasan dariNya berupa Surga Firdaus bagi yang beribadah serta ‘beriman dan berbuat kebajikan’ sesuai dengan petunjukNya.

   Semoga Allah memberikan kemudahan dan kemampuan kepada kita untuk beribadah (mahdhah dan ghairu mahdhah) kepadaNya dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. □

 

 

CATATAN KAKI:

[1] Lisānul ‘Arab, bab: ‘abada.

[2] Mufradāt Alfāzhil Qur’ān, hlm. 542

[3] Al-‘Ubudiyah, hlm: 23, dengan penelitian: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullāh.

[4] Al-Mustadrak ‘ala Majmũ’ al-Fatāwā, 3/29; Mukhtashar al-Fatāwā al-Mishriyah, hlm. 28

[5] Innī Jā’ilun fil Ardhi Khalīfah - Aku hendak menjadikan khalifah di bumi, QS Al-Baqarah 2:30; Ja’alakum Khalā-if - Dia menjadikan kalian khalifah-khalifah, QS Al-An’ām 6:165; Ja’alakum Khulafā’ - Dia menjadikan kalian (kamu sebagai) khalifah-khalifah, QS Al-A’rāf 7:74.

   “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi” (QS pangkal ayat 21 surat Fāthir). Di dalam Al-Qur’an kata-kata khalā-if yang diartikan khalifah-khalifah ditemukan pula dalam QS Yūnus 10:14,73; Al-An’ām 6:165; Bertemu pula kata jama’  yang lain dengan sebutan khulafā’ dalam QS Al-A’rāf 7:69,74; Bertemu pula kata khalīfah dalam QS Al-Baqarah 2:30, artinya pengganti atau menjadi khalifah Allah. Niscaya tidak cocok kalau diartikan ‘pengganti’, karena tidak ada pengganti bagi Allah. Tentu maksudnya di ini ialah, orang yang disuruh (penulis: diamanahkan) oleh Allah menjadi ‘pelaksana’ (penulis: penerus risalah yang dibawa Nabi Muhammad Rasulullah saw yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah) di muka bumi. [Tafsir Al-Azhar, Prof. Dr. Hamka, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta 1984, Juzu’ 22 hal. 262]

[6] Firman Allah swt: “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan-mu pemakmurnya - wasta’marakum fihā (manusia sebagai penghuni bumi untuk menguasai, memakmurkan dan memelihara lingkungan hidup dan ekosistimnya - membangun peradaban). (QS Hūd 11:61)

[7] Iptek: Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Teknologi.  Ilmu pengetahuan (sains) yang melahirkan teknologi sebagai perangkat alat untuk para pelaku pemakmur bumi di dunia dalam membangun peradaban secara fisik sebagai ladang ibadah. Dunia tidak terlepas dari urusan agama dimana dunia sebagai ladang ibadah. Jadi hidup di dunia disini dalam pengertian Ajaran Islam adalah ibadah dalam kategori ibadah ghairu mahdhoh atau ada juga yang menyebutnya sebagai ‘ibadah muamalah’.

[8] Imtaq - Iman dan Taqwa adalah  ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Iman merupakan kendaraan bagi seseorang untuk mencapai taqwa. Tanpa iman tidak mungkin seseorang akan mencapai taqwaTaqwa adalah kemampuan seseorang dalam menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala laranganNya.

[9] Berakhlaq: Akhlak, akhlaq, atau akhlaqiyyah Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk ‘menyempurnakan akhlak’ yang mulia. (HR Al-Bukhari). Akhlaq secara eksplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi, interaksi dan komunikasi individu dengan individu, individu dengan masyarakat menjadi baik dan membangun kebersamaan seperti yang disebutkan pada 3T1I - Ta’aruf - saling kenal; Tafahum - saling memaklumi; Ta’awun - saling bekerja sama; dan Itsar - saling peduli. Artinya bermoral integritas, jujur, benar, adil, beradab, amanah dan bertanggung jawab dalam beripoleksusbudlingdup - bermasyarakat, bernegara dan antarnegara serta lingkungan hidup. Jabaran 3T1I tersebut berasal dari firman Allah swt yang terdapat dalam surat Al-Hujurāt: Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita'ārafū, ta’aruf) satu sama lainnya” (QS Al-Hujurāt 49:13). □□


KEPUSTAKAAN:

1.https://almanhaj.or.id/53392-makna-dan-cakupan-ibadah-2.html; AbuIsma’il Muslim Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin, dan rujukan-rujukan hlm. 65-72; Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M, Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.

2. Sholat Membangun Peradaban Dunia, Ahmad Faisal Marzuki

3. https://en.wikipedia.org/wiki/Abu_Ishaq_al-Zajjaj

4. https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Raghib_al-Isfahani

5. https://www.britannica.com/biography/Ibn-Taymiyyah;

    https://rumaysho.com/617-biografi-syaikhul-islam-ibnu-taimiyah.html  □□□

Blog Archive