Friday, May 20, 2016

Hikmah Isra’ Mi’raj 3







ISRA’ - MI’RAJ (3)
Oleh: A. Faisal Marzuki


Tujuan Isra’ - Mi’raj

P
erisriwa Isra’ - Mi’raj itu sebetulnya bertujuan membawa Rasulullah saw ke satu posisi yang paling tinggi untuk memahami betapa dahsyatnya ciptaan Allah. Untuk apakah semuanya itu? Yaitu untuk memotivasi Rasulullah saw. Mengapakah demikian? Karena sebelum Isra’  -  Mi’raj, Rasulullah saw sedang berada pada titik terendah perjuangannya yang paling sulit, yaitu ketika dijepit oleh orang kafir dan diembargo secara ekonomi. Di saat-saat itu justru Allah mewafatkan paman Rasulullah, Abi Thalib dan mewafatkan istri Rasulullah, Khadijah ra. Hal ini bukannya kebetulan, melainkan sesuai dengan ketetapan-Nya, karena memang tak ada yang kebetulan di dalam kehidupan ini bagi Allah swt.

Semuanya itu justru terjadi pada saat Rasulullah saw berada pada titik nadir (terendah) perjuangannya. Beliau berharap memindahkan front syi’arnya dari pusat Makkah ke luar kota Makkah - yaitu ke Tha’if. Beliau berharap disambut baik oleh penduduk Tha’if, tapi malah yang terjadi beliau dilempari batu sampai berdarah-darah. Maka kemudian Allah swt memompa kembali semangat beliau, yaitu dengan cara Isra’ - Mi’raj. “Muhammad, engkau adalah utusan Allah swt,” mungkin seperti itulah yang ingin disampaikan oleh Allah swt melalui peristiwa Isra’ - Mi’raj tersebut - dengan  memperlihatkan secara ril kebesaran dan kekuasaan alam ciptaan-Nya.

Kemudian, ketika Rasulullah saw kembali dari Isra’ - Mi’raj, maka setahun kemudian terjadilah titik balik perjuangannya, yaitu Beliau saw bersama pengikutnya Hijrah ke Madinah, kemudian dari Madinah bisa menaklukkan kota Makkah dari kaum musyrikin Makkah yang telah berusaha membunuhnya tapi tidak berhasil. Malah Rasul saw bersama Abubakar as pergi Hijrah ke Yatrib dengan selamat, walaupun dalam bayangan pengejaran dan ancaman pembunuhannya. Sesampai disana Yatrib diberi nama baru yaitu Madinah yang artinya Kota Yang Berperadaban, yaitu mendirikan (negara) kota. Kemudian membangunnya, memajukannya, memurnikan dan memartabatkan, yaitu jauh dari cara-cara jahiliyyah (tidak beradab, semena-mena). Penyandangan nama tersebut pantas, karena jalannya pemerintahan di atur layaknya seperti zaman modern ini yaitu negara berjalan berdasarkan hukum.


KESIMPULAN

U
ntuk menyimpulkan paparan diatas terutama yang menyangkut sains (ilmu pengetahuan modern) penulis kutipkan pendapat seorang pakar astronomi yang juga mengetahu ilmu agama bidang tertentu (ahli tafsir ayat-ayat Kauniyyah), Dr. T. Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN - Anggota Tim Tafsir Kauni Kementerian Agama-LIPI sebagai berikut ini.

Isra’ - Mi’raj bukanlah kisah perjalanan antariksa. Aspek astronomis sama sekali tidak ada dalam kajian Isra’ - Mi’raj. Namun, Isra’ - Mi’raj mengusik keingintahuan akal manusia untuk mencari penjelasan ilmu. Aspek aqidah dan ibadah berintegrasi dengan aspek ilmiah dalam membahas Isra’ - Mi’raj. Inspirasi saintifik Isra’ - Mi’raj mendorong kita untuk berfikir mengintegrasikan sains dalam aqidah dan ibadah.

Mari kita mendudukkan masalah Isra’ - Mi’raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits shahih. Kemudian sekilas kita ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan Isra’ - Mi’raj dengan kajian astronomi. Hal yang juga penting dalam mengambil hikmah peringatan Isra’ - Mi’raj adalah menggali inspirasi saintifik yang mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah.


Kisah dalam Al-Qur’an dan Hadits

Di dalam surat Al-Isrā’ ayat 1, Allah menjelaskan tentang Isra’, Allah swt berfirman yang artinya:  Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad saw) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, [1] agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.

Dan tentang Mi’raj Allah menjelaskan dalam Surah An-Najm Allah swt berfirman yang artinya:  Dan sungguh dia (Nabi Muhammad saw) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntahā, [2] di dekatnya ada Surga tempat tinggal, (Nabi Muhammad saw melihat Jibril as) ketika Sidratil Muntahā diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, penglihatannya (Nabi Muhammad saw) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh, dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar.” (QS An-Najm 53:13-18)

Sidratul Muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah swt yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana Sidratul Muntaha itu.

Kejadian-kejadian sekitar Isra’ - Mi’raj dijelaskan di dalam Hadits-Hadits Nabi. Dari Hadits-Hadits yang shahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut seperti telah dipaparkan sebelumnya. Suatu hari Malaikat Jibril as datang dan membawa Nabi saw, lalu dibedahnya dada Nabi saw dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah.

Kemudian didatangkan Buraq, ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan Buraq itu Nabi as melakukan Isra’ dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis, Palestina. Nabi saw shalat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril as segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu, Nabi saw memilih susu. Kata malaikat Jibril as, “Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau.”

Dengan Buraq pula Nabi saw melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam as yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa as dan Nabi Yahya as. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf as. Nabi Idris as dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi saw bertemu dengan Nabi Harun as di langit ke lima, Nabi Musa as di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim as di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya Baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap Malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.

Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (pena). Dari Sidratul Muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di Surga, dua sungai fisik (dhahir) di Dunia:  sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril as membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril as pun berkomentar, “Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat engkau.” Jibril mengajak Nabi saw melihat Surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an Surah An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi saw melihat wujud Jibril as yang sebenarnya.

Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib. Mulanya diwajibkan shalat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa as, Nabi saw meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi saw enggan meminta keringanan lagi, “Aku telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah.” Maka Allah swt berfirman, “Itulah fardhu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku.”

Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma’mur sampai menerima perintah shalat tidak sama dalam beberapa Hadits, mungkin menunjukkan kejadian-kajadian itu serempak dialami Nabi saw. Dalam kisah itu, hal yang fisik (dzhahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi saw yang pergi dengan jasad fisik hingga bisa shalat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril as, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi saw dan pergi sampai ke Surga. Juga ditunjukkan dua sungai non-fisik di Surga dan dua sungai fisik di Dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad saw, dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang Mu’min semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.

“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu, “Sungguh, (ilmu) Tuhanmu meliputi seluruh manusia”. Dan Kami tidak menjadikan mimpi, [3] (penglihatan, ar-ru’yā) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia, …” [QS Al-Isrā’ 17:60].

“Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai aku (kata Nabi saw), aku berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah swt menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, aku dapatkan apa yang aku inginkan dan aku jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, aku memperhatikannya….” [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya].


Hakikat Tujuh Langit

Peristiwa Isra’ - Mi’raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur’an.  Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan?

Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samā’ atau samāwāt) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.

Bilangan ‘tujuh’ sendiri dalam beberapa hal dalam Al-Qur’an tidak selalu menyatakan  hitungan  eksak  dalam  sistem desimal. Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu  pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Surah Al-Baqarah Allah swt menjanjikan: Perumpamaan orang yang  menginfakkan  hartanya di  jalan  Allah  seperti   sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai,  pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendakinya,….” (QS Al-Baqarah 2:261). Juga di dalam Surah Luqmān yang artinya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)-nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah….[4] (QS Luqmān  31:27)

Jadi ‘tujuh langit’ lebih mengena bila  difahamkan  sebagai  tatanan  benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.

Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, … sampai langit ke tujuh dalam kisah Isra’ - Mi’raj?  Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya -termasuk bumi - mengorbit jauh dari matahari.

Pengertian langit dalam kisah Isra’ Mi’raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi saw pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan para Nabi saw yang hakikatnya telah wafat. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah Isra’ - Mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah saw yang berkesempatan mengetahuinya. Isra’ - Mi’raj adalah mu’jizat yang hanya diberikan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw.


Perjalanan Keluar Dimensi Ruang Waktu


Isra’ - Mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat terbang antarnegara dari Makkah ke Palestina dan penerbangan antariksa dari Masjidil Aqsha ke langit ke tujuh lalu ke Sidratul Muntaha. Isra’ - Mi’raj adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu, lihat Gambar di atas. Tentang caranya, iptek (sains dan teknologi) tidak dapat menjelaskan. Tetapi bahwa Rasulullah saw melakukan perjalanan keluar ruang waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah logika yang bisa menjelaskan beberapa kejadian yang diceritakan dalam Hadits shahih. Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman.

Kita hidup di alam yang dibatas oleh dimensi ruang-waktu yaitu tiga dimensi ruang - mudahnya kita sebut panjang, lebar, dan tinggi, serta satu dimensi waktu. Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu. Dalam kisah Isra’ - Mi’raj, Rasulullah saw bersama Jibril as dengan wahana “Buraq” keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada di Masjidil Aqsha. Rasul bukan bermimpi karena dapat menjelaskan secara detil tentang Masjid Al-Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam perjalanan. Rasul juga keluar dari dimensi waktu sehingga dapat menembus masa lalu dengan menemui beberapa Nabi. Di langit pertama (langit dunia) sampai langit tujuh berturut-turut bertemu (1) Nabi Adam as, (2) Nabi Isa as dan Nabi Yahya as, (3) Nabi Yusuf as, (4) Nabi Idris as, (5) Nabi Harun as, (6) Nabi Musa as, dan (7) Nabi Ibrahim as. Rasulullah saw juga ditunjukkan Surga dan Neraka, suatu alam yang mungkin berada di masa depan, mungkin juga sudah ada masa sekarang sampai setelah kiamat nanti.

Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang waktu adalah seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Sekadar ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3 adalah ruang. Alam dua dimensi (bidang) dengan mudah menggambarkan alam satu dimensi (garis). Demikian juga alam tiga dimensi (ruang) dengan mudah menggambarkan alam dua dimensi (bidang). Tetapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak berdimensi tiga tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang berdimensi dua.

Sekarang bayangkan ada alam berdimensi dua (bidang) berbentuk U. Makhluk di alam “U” itu bila akan berjalan dari ujung satu ke ujung lainnya perlu menempuh jarak jauh. Kita yang berada di alam yang berdimensi lebih tinggi dengan mudah memindahkannya dari satu ujung ke ujung lainnya dengan mengangkat makhluk itu keluar dari dimensi dua, tanpa perlu berkeliling menyusuri lengkungan “U”, perhatikan Gambar diatas, sebelumnya.

Alam malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan waktu. Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi tiga mudah saja menggambarkan dimensi dua. Bukankah isyarat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits juga menunjukkan hal itu. Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur, sehingga seolah tidak ada kematian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di berbagai tempat karena tak dibatas oleh ruang.

Rasulullah saw bersama Jibril as diajak ke dimensi malaikat, sehingga Rasulullah saw dapat melihat Jibril as dalam bentuk aslinya, baca Surah An-Najm ayat 13-18 seperti tersebut diatas. Rasul saw pun dengan mudah pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, tanpa terikat ruang dan waktu. Langit dalam konteks Isra’ - Mi’raj pun bukanlah langit fisik berupa planet atau bintang, tetapi suatu dimensi tinggi. Langit memang bermakna sesuatu di atas kita, dalam arti fisik maupun non-fisik.


Sains Terintegrasi dengan Aqidah dan Ibadah

Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan Isra’ - Mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali, sebagaimana yang disebutkan dalam Surah Al-Isrā’ yang artinya: Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”, (QS Al-Isrā’ 17:85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa Isra’ - Mi’raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah saw. Rupanya, begitulah rencana Allah swt menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS Al-Isrā’ 17:60) dan menyampaikan perintah shalat wajib secara langsung kepada Rasulullah saw.

“…dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: ‘Sungguh, (ilmu) Tuhanmu meliputi suluruh manusia’ dan Kami tidak menjadikan penglihatan - Ar-Ru’ya (saat Isra’ Mi’raj) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia …” (QS Al-Isrā’ 17:60)

Pemahaman dengan pendekatan konsep ektra dimensi sekadar pendekatan sains untuk merasionalkan konsep aqidah terkait Isra’ - Mi’raj, walau belum tentu tepat. Tetapi upaya pendekatan saintifik sering dipakai sebagai dalil aqli (akal) untuk memperkuat keyakinan dalam aqidah Islam. Sains seharusnya tidak kontradiktif dengan aqidah dan aqidah bukan hal yang bersifat dogmatis semata, tetapi memungkinkan dicerna dengan akal. Mengintegrasikan sains dalam memahami aqidah dapat menghapuskan dikhotomi aqidah dan sains, karena Islam mengajarkan bahwa kajian sains tentang ayat-ayat kauniyah tak terpisahkan dari pemaknaan aqidah.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal [Ulil Albab], (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” [QS Āli ‘Imrān 3:190-191]

Pada sisi lain Isra’ Mi’raj mengajarkan makna mendalam dalam hal ibadah. Makna penting Isra’ Mi’raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah shalat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan shalat sebagai ibadah utama dalam Islam. Shalat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.

Shalat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah swt mengingatkan yang artinya:

“Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah (laksanakanlah) shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [QS Al-‘Ankabūt 29:45]

Isra’ - Mi’raj juga memberikan inspirasi untuk merenungi makna ibadah shalat, termasuk aspek saintifiknya. Umat Islam telah membuktikan bahwa sains pun bisa diintegrasikan dalam urusan ibadah, untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah. Demi kepentingan ibadah shalat, umat Islam mengembangkan ilmu astronomi atau ilmu falak untuk penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Tuntutan ibadah mendorong kemajuan sains astronomi pada awal sejarah Islam. Kini astronomi telah menjadi alat bantu utama dalam penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Konsepsi astronomi bola digunakan untuk penentuan arah kiblat. Perhitungan posisi matahari digunakan untuk mencari waktu istimewa dalam penentuan arah kiblat dan jadwal shalat harian. Kita cukup melihat jadwal shalat, tidak lagi direpotkan harus melihat langsung fenonema cahaya matahari atau bayangannya setiap akan shalat. Kini semua ummat Islam Indonesia maupun dunia, apa pun komuniti (ormas)-nya, bahkan dunia secara umum bisa bersepakat dengan kriteria astronomis dalam penyusunan jadwal shalat.

Boleh juga dibaca atau diikuti tajuk ini (klik --->)  Penciptaan Alam Semesta Dalam Enam Masa dan (klik --->) Dahsyatnya Penciptaan Alam Semesta yang menerangkan bagaimana Kekuasaan Allah dalam menciptakan Alam Semesta dan Kemaha Besaran Kerajaan-Nya yang dengan itu menambah tebal dan kuat keyakinan kita kepada-Nya. Allahu ‘Alam Bish-Shawab, Wabillahit Taufiq Wal-Hidayah. Kembali ke (klik --->) Hikmah Isra’ Mi’raj 1. □ AFM



Catatan Kaki:
[1] Masjidil Aqsha dan daerah sekitarnya dapat berkah dari Allah dengan diturunkannya nabi-nabi di negeri itu berikut kesuburan tanahnya.
[2] Sidratil Muntahā yaitu tempat yang paling atas pada langit yang ke-7, yang telah dikunjungi Nabi saw ketika Mi’raj.
[3] Mimpi adalah terjemahan dari kata Ar-Ru’ya dalam ayat ini maksudnya ialah mimpi tentang Perang Badar yang dialami Rasulullah saw, sebelum peristiwa Perang Badar itu terjadi. Banyak pula pala mufasir menerjemahkan kata Ar-Ru’ya dengan penglihatan yang maksudnya, penglihatan yang dialami Rasulullah saw pada waktu malam Isra’ dan Mi’raj
[4] Ilmu-Nya dan hikmah-Nya, artinya semua itu tidak cukup untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah. □□



Daftar Kepustakaan:
Media Elektronik
1. http://www.al-habib.info/review/masjid-aqsha-dan-kubah-emas-yerusalem.htm
2. http://www.bmtnu-ngasem.com/2016/03/pembahasan-lengkap-isra-miraj-nabi.html
3. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/07/08/isra%E2%80%99-mi%E2%80%99raj-inspirasi-mengintergrasikan-sains-dalam-aqidah-dan-ibadah/
4. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/06/22/isra-miraj-perjalanan-keluar-dimensi-ruang-waktu/
5. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/28/isra-miraj-mujizat-salah-tafsir-dan-makna-pentingnya/



Media Cetak (Buku)
1. Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, 1997, Jakarta.
2. Terpesona di Sidratul Muntaha - Serial ke-3 Diskusi Tasawuf Modern, Agus Mustofa, Padma Press, Surabaya, 2008
3. Translasi dari Bahasa Al-Qur’an (Arab) ke Bahasa Indonesia bersumber dari ALFATIH, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir.
4. Dan sumber-sumber lainnya. □□□

Blog Archive