Bagi kita semua yang
telah mencicipi kebebasan dan prestasi modernitas, Karen Armstrong
merekomendasikan, “kita tak boleh berhenti untuk berempati dan bersimpati
terhadap kesusahan dan penderitaan yang dialami sebagian komunitas kaum
fundamentalis Islam.” Ibarat pecandu narkoba, mereka tidak boleh dianggap
sebagai kaum yang melanggar hukum yang harus dikejar-kejar, melainkan harus
dipandang sebagai kaum yang membutuhkan perawatan untuk mengobati penyakit
ketergantungan dan ketakutan irasional mereka. “Modernisasi”, menurut Karen
Armstrong, “seringkali dirasakan tidak sebagai sebuah pembebasan melainkan sebuah
serangan agresif”.
Kata Pengantar
Ada baiknya
mengikuti tulisan ini - walaupun ditulis sudah beberapa tahun yang lalu namun
masih up to date sampai hari ini. Penulisnya
bernama Al Chaidar, dosen pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe,
Aceh.
Tak pelak
lagi paparan Al Chaidar yang begitu baik. Ia mengenal kategori Islam secara
umum, maupun “Islam Fundamental” yang berbeda dengan “Islam Radikal”, dan
memahami pula Barat melalui analisis Karen Armstrong yang menawarkan pendekatan
yang bukan pendekatan militer tapi sebagai pendekatan intelektual yang dalam.
Baik bagi
golongan menengah muda Muslim, karena paparan dalam blog ini menghantarkannya
kepada gambaran yang lengkap dan menyeluruh dan berbeda dari apa yang
dilihatnya dalam pemberitaan-pemberitaan media massa dan jejaringan sosial
lainnya yang selama ini ada.
Dengan itu
posisinya sebagai generasi muda muslim dapat memberikan sumbangan positif dan
membangun bagi kehidupan dalam pergaulan nasional dan internasional dalam
memahami dunia dan memahami “Islam sebagai rahmatan lil ‘alamīn”. Yaitu
berperan serta sebagai solusi dunia di millennium ke-3 ini dan sampai akhir
zaman, karena semangat Islam adalah amar makruf (agent of development)
dan nahi mungkar (agent of change). Sebagaimana yang dipaparkan
juga dalam blog kami yang bertajuk: Memahami Terorisme.
Dan juga sebagai komparatif studi dan pengetahuan yang berkaitan dengan terorisme lainnya seperti dalam uraian yang bertajuk: Tragedi Paris dan Kemunafikan Dunia.
Dan juga sebagai komparatif studi dan pengetahuan yang berkaitan dengan terorisme lainnya seperti dalam uraian yang bertajuk: Tragedi Paris dan Kemunafikan Dunia.
Mudah-mudahan kejadian-kejadadian terror di
Perancis dalam minggu ini, di Palestina, di Syria, di Myanmar, di Irak, di
Afghanistan dan belahan dunia lain dapat di akhiri. Kami sebagai salah seorang penduduk
Bumi di era seperlima abad ke-21 atau sepersepuluh millennium ke-3 ini rasanya
malu. Karena apa? Sementara Ilmu Pengetahuan dan Teknologi maju pesat menukik
keatas hampir-hampir vertical, namun prihatin dalam melihat kemunduran sosiologis
dalam bernegara dan berantar negara di abad globalisasi ini yang begitu “brutal”
dan tidak manusia antara negara maju dan dunia ketiga. Seolah-olah kembali ke abad
tengah (the medieval ages) Eropah.
Kami berharap kalau yang mau dibaca itu sebaiknya
seperti apa yang dipaparkan Karen Armstrong [1] dari pada hanya berpegang kepada teori The Clash of Civilizations and the
Remaking of World Order oleh Samuel P. Huntington [2]. Wallahu ‘alam bish-shawab. □
Latar Belakang
D
|
ari pengakuan para tersangka tindak
pidana terorisme Bom Bali 12 Oktober 2002, jelas terlihat sebuah ekspresi emosi
keagamaan. Ali Gufron, salah seorang tersangka teror Bom Bali, bahkan
menyatakan sikapnya dengan tegas dan sederhana: “… membalas kezaliman dan
kesewenangan AS dan sekutunya terhadap kaum Muslim dengan maksud agar mereka
menghentikan kezalimannya.” Ada suatu nilai yang bekerja dan mendikte
jalan pikiran mereka. Ali Ghufron misalnya, menyatakan bahwa pemboman itu
adalah “aksi pengabdian kepada Tuhan.” Maka Ali Ghufron, Imam Samudra, Amrozi,
dan kelompoknya merasakan suatu delusion
of grandeur, perasaan mempunyai atau mewakili atau mendapatkan titah dan
menjadi bagian dari unsur kebesaran yang berkeyakinan dirinya mengemban misi
khusus dari Tuhan.
Kaum teroris senantiasa merasa diri
sebagai “pejuang Tuhan” yang terpanggil untuk bertindak atas nama Tuhan dan
agama, menjadi “tangan Tuhan” di muka bumi untuk merealisasikan “kemurkaan-Nya”
dalam sebentuk resis-tensi, pemboman. Akibat dari interpretasi dan ekspresi
emosi keagamaan yang delusif ini, maka tragedi pun terjadi dan sejumlah besar
spekulasi pun muncul di tengah-tengah publik.
Tragedi serangkaian serangan bom kaum
teroris di Bali, Makassar, Jakarta dan lain tempat di Indonesia telah
memunculkan serangkaian spekulasi dari yang apologis hingga yang a-priori.
Spekulasi pertama adalah tentang siapa pelaku serangan teror yang sangat
terencana dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan teknikal
yang canggih. Pelakunya diidentifikasi secara arbitrer sebagai anti-AS,
anti-Israel, anti-demokrasi, anti kekuatan ekonomi kapitalis, dan militer
global. Spekulasi kedua adalah tentang motif kaum teroris dalam melakukan
tindakan penghancuran berlebihan terhadap tempat-tempat di mana kekuatan
ekonomi, politik, dan militer AS berada. Spekulasi ketiga adalah tentang
sasaran-sasaran apa lagi yang akan dituju terhadap AS dan Israel.
Pelakunya secara allegedly (diduga) diidentifikasikan sebagai kaum fundamentalis
Islam yang saat ini menjadi musuh bebuyutan AS, Osama bin Laden yang saat ini
bersembunyi di Afghanistan (sekarang sudah tiada). Kalaupun bukan Osama,
masyarakat dunia berasumsi bahwa pelakunya adalah orang-orang lain dari
kalangan fundamentalis Islam yang memiliki hubungan doktrinal dengan jaringan
Al Qaedah.
Sebagaimana diketahui, kaum
fundamentalis Islam sangat berkarakter anti-AS, anti-Israel, anti-demokrasi,
anti kapitalis, dan militer global. Motifnya, sejauh yang bisa dianalisa dari
karakter politik luar negeri AS selama ini, adalah kebencian terhadap sikap AS
yang sekular, anti-Islam dan yang terlalu posesif dan over-protective terhadap Israel. Sedangkan spekulasi tentang
sasaran berikutnya, adalah respon biasa dari hilangnya rasa aman dan
bergentayangannya rasa takut rakyat AS yang membutuhkan jawaban segera terhadap
apa yang mungkin terjadi.
Spekulasi ini wajar sekali terbentuk
karena kejadian ini begitu tiba-tiba, massive dan serempak dengan daya hancur
yang sangat luar biasa. Spekulasi ini juga wajar karena telah menimbulkan
amarah yang sangat besar rakyat dan pemimpin AS yang sedang merasa nyaman hidup
dalam guyubnya modernitas, sekularisme dan kesejahteraan ekonomi tiba-tiba
harus menghadapi mimpi buruk yang menyakitkan dan memalukan ini. Rakyat AS bukan
kali ini saja menghadapi serangan kaum teroris. Bagi kaum fundamentalis dan
radikal Islam —yang lebih dikenal awam dengan istilah ‘kaum teroris’—, melawan
AS adalah melaksanakan kewajiban personal, sebuah jihad global. Maka, AS pun telah menempatkan teroris Muslim sebagai musuh sejak
tahun 1979 (yang memunculkan nama “Ayatollah Khomeini” sebagai nama bagi musuh
yang dipersepsikan itu) pada saat terjadinya Revolusi Iran dan memuncak pada
peristiwa krisis teluk tahun 1990 (dimana muncul nama “Saddam Hussein” sebagai
musuh, yang tadi sebagai teman dalam menghadapi Iran).
Dengan tertangkapnya para tersangka
pelaku tindak terorisme di Indonesia dan di beberapa negara Asia Tenggara dan
bahkan di Amerika dan Eropa, semakin memperlihatkan kepada kita bahwa jaringan
organisasi kaum teroris sangat luas. Meski secara moral dan diplomasi
internasional teroris diserang dengan “perang wacana” yang memojokkan mereka
sebagai “kaum pengecut”, “kaum tak berperikemanusiaan”, “kaum yang berbahagia
di atas penderitaan orang lain”, serta “kaum yang bertendensi penyakit jiwa”,
namun kaum teroris terus-menerus muncul dalam peta politik dunia
hingga kini untuk menyampaikan pesan-pesan yang sangat sulit diinterpretasikan.
Begitu tersembunyinya musuh yang satu ini, telah menimbulkan kesan misteri dan
ketakutan psikologis tersendiri. Bagi rakyat Amerika, teroris adalah hantu (spectre, momok) lain yang pernah
dihadapi AS setelah hantu komunisme, sebentuk musuh ideologi, sekaligus musuh
spiritual baru sebagaimana pernah diperingatkan oleh Huntington dalam The Clash
of Civilization. Douglas E. Streusand bahkan berani menyebut “that specter is Islam”, yang kemudian
diidentifikasi secara awam oleh publik AS sebagai “green peril” (bahaya hijau). Dan, dengan peristiwa serangan
terhadap WTC dan Pentagon dua tahun silam (tulisan ini dibuat tahun 2003), nama
Osama bin Laden muncul sebagai “musuh” untuk mengembalikan kepercayaan dari
publik AS terhadap pemerintahnya dalam menangani terorisme dari kaum muslim.
Untuk konteks Indonesia sebagai negara
Muslim terbesar di dunia, problem terorisme ini memunculkan banyak dilema:
antara menjaga perasaan ummat Islam dan law
enforcement (penegakkan hukum) yang mesti ditegakkan. Lebih dari itu, ada
sebuah kenyataan bahwa serangan brutal telah terjadi dan musuh mesti
didefinisikan untuk kemudian diambil langkah-langkah selanjutnya sebelum
mengeksekusi ‘penjahat’ yang walaupun terus bersembunyi di balik simbol-simbol
dan alasan agama. Untuk mengetahui konteks teoritis kemunculan “teroris” ini,
perlu disimak perkembangan pemikiran fundamentalisme dalam Islam. □ AFM
Bersambung ke: Antropologi PemikiranKaum Teroris 2
Catatan Kaki:
[1] Karen Armstrong
Karen
Armstrong OBE FRSL is a British author and commentator known for her books on
comparative religion. A former Roman Catholic religious sister, she went from a
conservative to a more liberal and mystical Christian faith. Born: November 14, 1944 (age 71), Worcestersshire,
United Kingdom. Education: St Anne’s College, Oxford, University of Oxford. Organizations founded:
Charter for Compassion.
Kuotasi Karen Amstrong:
Compassion is not a popular virtue.
Kasih Sayang bukanlah ajaran kebajikan yang populer.
Mohammed was not an apparent
failure. He was a dazzling success, politically as well as spiritually, and
Islam went from strength to strength to strength.
Muhammad bukanlah sosok orang yang gagal dalam menjalankan misinya. Sebenarnya dia adalah orang yang berhasil serta mengagumkan baik secata politik (ajaran hubungan harmonis sesama manusia) maupun spiritual (beribadah kepada-Nya dan menjalankan ajaran-ajaran-Nya dalam hidup di Dunia untuk hari akhiratnya), dan Islam maju karena kekuatnnya - maju dengan kekuatannya - dari kekuatannya.
Islam is a religion of success.
Unlike Christianity, which has as its main image, in the west at least, a man
dying in a devastating, disgraceful, helpless death.
Islam adalah agama yang berhasil.
Tidak halnya Kristen yang melihat gambaran dirinya seperti segala-galanya,
setidaknya di dunia Barat seperti itu, padahal dia adalah manusia sekarat,
memalukan, dan mati dalam ketiadaan daya.
[2] Samuel P. Huntington
Samuel P. Huntington, Political Scientist. Samuel Phillips Huntington was an influential American conservative political scientist, adviser and academic. Born: April 18, 1927, New York City, NY. Died: December 24, 2008, Martha's Vineyard, MA. Influenced: John Mearsheimer, Francis Fukuyama. Education: Harvard University (1951), University of Chicago (1948), Yale University (1946), Stuyvesant High School. Awards: Guggenheim Fellowship for Social Sciences, US&Canada. [Wikipedia].
Sumber:
https://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/13/antropologi-pemikiran-kaum-teroris-1/□□□