Tuesday, November 17, 2015

Antropologi Pemikiran Kaum Teroris 2




Kerangka Teoritis tentang Kaum Fundamentalis Islam


K
aum fundamentalis Islam, sebagai musuh AS, adalah “an aggressive revolutionary movement as militant and violent as the Bolshevik, Fascist, and Nazi movements of the past” - suatu gerakan revolusioner yang agresif, militan dan kekerasan seperti gerakan Bolshevik, Fasis, dan Nazi di masa lalu, kata Amos Perlmutter, seorang ilmuwan politik. Selanjutnya, Perlmutter menyebutkan bahwa kaum fundamentalis ini sangat “authoritarian, anti-democratic, anti-secular,” – otoriter, anti demikrasi, anti sekuler, dan tidak bisa bersahabat dengan “Christian-secular universe” – Kristen sekuler sedunia, dan tujuannya adalah untuk mendirikan sebuah “negara Islam transnasional yang bersifat otoriter”.

Martin E. Marty dan R. Scott Appleby yang sangat serius dalam Proyek Fundamentalisme, menyebutkan bahwa fundamentalisme selalu mengikuti suatu pola. Mereka adalah “embattled forms of spirituality”- bentuk perang spiritual, yang muncul sebagai respon terhadap suatu krisis kecurigaan (perceived crisis). Kaum fundamentalis terlibat dalam konflik dengan musuh-musuh sekular yang dicurigai membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan secara frontal dengan agama. Kaum fundamentalis tidak menganggap pertentangan frontal ini sebagai sebuah “arena bermain” (play ground), melainkan sebuah “medan perang” (battle field) yang serius, yang bukan sekadar sebuah perlawanan politik konvensional, melainkan menganggapnya sebagai sebentuk “perang kosmik” (cosmic war) – perang semesta, antara kekuatan-kekuatan yang haq dan kekuatan yang bathil.

Mereka takut terhadap dan selalu merasa adanya ancaman kaum kafir untuk membasmi mereka yang bersumber dari kekuatan-kekuatan Barat sekular dan berusaha membentengi diri mereka dengan doktrin dan praktek yang pernah hidup di masa lalu (doktrin dan praktek jihad).

Untuk menghindari diri mereka dari “dunia buruk” dan menutup diri dari kontaminasi “perang kosmik” itu, kaum fundamentalis seringkali mundur dan menyempal dari mainstream masyarakat untuk menciptakan budaya tandingan (counterculture); dan kaum fundamentalis bukanlah kaum yang bermimpi di siang bolong. Mereka menyerap rasionalisme pragmatis dari modernitas, dan, di bawah bimbingan para pemimpin kharismatik mereka, menyaring apa yang perlu dari dunia teknikal untuk membuat rencana aksi yang seringkali bersifat destruktif.

Dari apa yang kita saksikan pada peristiwa penyerangan serempak terhadap gedung WTC dan Pentagon, Bom Bali, Bom Malam Natal, Bom Marriot dan lain-lain adalah kumpulan dari ahli-ahli yang memiliki kemampuan teknikal setaraf pilot dan teknisi yang mengerti fungsi-fungsi transponder, black box, radar, elemen kimia, komponen elektronika lanjut dan global positioning tool-box serta kemampuan manajerial lainnya.

Kaum fundamentalis merasa bahwa mereka berperang melawan kekuatan-kekuatan yang mengancam nilai-nilai yang sangat suci dari komunitas mereka dan reaksi mereka akan bersifat teror politik. AS yang muncul sebagai aktor tunggal pemenang “perang dingin” semenjak runtuhnya kekuatan Komunis di blok Soviet dianggap banyak kalangan fundamentalis telah menyergap kesadaran orang-orang Islam sebagai kekuatan adidaya yang tak mungkin dikalahkan dan siap menjadikan masyarakat muslim sebagai musuh berikutnya. Aksi serangan berbentuk teror di New York dan Washington itu sesungguhnya merupakan sebuah respon yang berisi pesan yang ingin membuktikan bahwa AS ternyata bertumpu pada “jaring laba-laba” yang begitu lemah.

Selama “perang dingin” antara negara formal dengan kelompok teroris yang tak memiliki batas negara, para aktor perang sering kali emosional, panik dan kurang menghargai posisi masing-masing. Dari beberapa temuan studi Karen Armstrong, modernisasi telah membawa polarisasi masyarakat pada posisi-posisi ekstrim yang saling berlawanan, dan untuk menghindari eskalasi konflik, hanya ada satu cara: kita harus mencoba memahami the pain and perceptions of the other side – rasa sakit dan persepsi dari sisi orang lain. Karena selama ini mereka sering menyatakan: “nobody knows our trouble we see, nobody knows our problem” (tidak ada yang tahu masalah kita kecuali kita sendiri, mereka tidak tahu masalah kita hadapi), maka akan sangat mengejutkan jika kemudian sebagai konsekuensinya, “nobody knows of what our plan of action” – dengan itu mereka tidak ada yang tahu apa rencana dan tindakan kita.

Bagi kita semua yang telah mencicipi kebebasan dan prestasi modernitas, Karen Armstrong merekomendasikan, “kita tak boleh berhenti untuk berempati dan bersimpati terhadap kesusahan dan penderitaan yang dialami sebagian komunitas kaum fundamentalis Islam.” Ibarat pecandu narkoba, mereka tidak boleh dianggap sebagai kaum yang melanggar hukum yang harus dikejar-kejar, melainkan harus dipandang sebagai kaum yang membutuhkan perawatan untuk mengobati penyakit ketergantungan dan ketakutan irasional mereka. “Modernisasi”, menurut Karen Armstrong, “seringkali dirasakan tidak sebagai sebuah pembebasan melainkan sebuah serangan agresif”.

Berbeda dengan kaum fundamentalis, kaum radikal Islam justru memandang bahwa memahami agama secara mengakar jauh lebih penting sebelum membuat rencana aksi yang cenderung bersifat kekerasan. Penyeragaman pan-dangan terhadap komunitas yang memberikan respon terhadap modernisasi, pemerintahan sekular dan budaya Barat ke dalam sebutan “fundamentalis” sesungguhnya merupakan sebuah penyederhanaan yang berlebihan. Spektrum dunia pergerakan Islam sesungguhnya menyimpan warna-warna yang kaya dalam khazanah yang cukup plural. Tidak semua kalangan yang kritis dan anti terhadap AS, Israel, budaya Barat, materialisme, kapitalisme, isu-isu feminisme, hak asasi manusia dan demokrasi dapat dikategorikan sebagai kaum ‘fundamentalis’.

Kaum radikal Islam yang bangkit dengan garis yang berbeda, bahkan secara diametral berlawanan dengan fundamentalis adalah taksonomi pergerakan Islam yang mesti dilihat secara berhati-hati. Adanya fakta bahwa fundamentalisme telah muncul dalam ledakan-ledakan kecil dan besar di semua budaya (budaya agama monotheis, maupun politheis) mengindikasikan sebuah kekecewaan yang meluas terhadap masyarakat modern di mana banyak di antara kita malah merasakannya sebagai sesuatu yang membebaskan, menyenangkan dan memberdayakan.

Proyek-proyek yang secara kasat mata dipandang baik oleh kaum liberal, di mana kaum radikal Islam juga termasuk di dalamnya, —seperti demokrasi, penciptaan perdamaian, kepedulian terhadap lingkungan, pembebasan wanita, atau kekebasan berbicara— dapat dipandang buruk, bahkan haram, oleh kaum fundamentalis.

Kaum fundamentalis seringkali mengekspresikan dirinya secara kekerasan, tapi kekerasan itu adalah cara atau jalan yang paling sederhana yang memancar dari ketakutan mereka yang mendalam akan hancurnya komunitas, tradisi, nilai dan budaya yang mereka anggap luhur. Dilihat dari latar-belakang pendidikan, mereka adalah kaum intelektual —yang oleh Bruce Hoffman disebut sebagai “violent intellectual”— yang berusaha mencapai tujuannya karena dimotivasi oleh doktrin-doktrin agama yang mereka persepsikan secara berbeda (out of mainstream).

Setiap gerakan kaum fundamentalis yang pernah saya teliti, terdapat sebuah ketakutan irrasional akan proses penghancuran terhadap mereka secara sistematis. Menurut Scott Appleby, kemapanan kaum sekular bertujuan untuk menghapuskan keberadaan mereka sebagai kaum beragama dari muka bumi ini, sekalipun di AS sendiri. Kaum fundamentalis yakin bahwa respon mereka secara kekerasan adalah sebentuk perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang telah menakut-nakuti mereka selama ini. Kaum fundamentalis percaya bahwa mereka selama ini melawan demi mempertahankan agama dan mempertahankan masyarakat yang beradab.

Sekarang banyak masyarakat dalam komunitas dunia Islam yang menolak persepsi bahwa Barat sebagai tak bertuhan, tidak adil, dan dekaden. Kaum Islam radikal baru tidaklah sesederhana kaum fundamentalis yang membenci Barat. Bagaimanapun, kaum radikal baru Islam tidak merupakan gerakan yang homo-gen. Muslim radikal pada pokoknya berupaya meletakkan rumah mereka sendiri dalam suatu tata-aturan yang berbeda sesuai dengan yang mereka persepsikan. Tidak sebagaimana kaum fundamentalis yang mengidap dislokasi kultural yang parah, kaum radikal juga merasa nyaman dengan zaman modern.

Adalah mustahil untuk menggeneralisasi bentuk-bentuk ekstrim kelompok agama karena mereka bukan hanya berbeda antara tiap-tiap negara, tapi juga berbeda antara tiap-tiap kota bahkan di tiap-tiap kampung dan desa. Hanya sebagian kecil saja dari kelompok fundamentalis yang setia dengan aksi-aksi teror, sementara banyak kaum radikal Islam bahkan sangat bersahabat, menginginkan perdamaian, berpengharapan pada hukum dan tata-aturan, dan menerima nilai-nilai positif dari masyarakat modern. Jika kaum fundamentalis tidak pernah punya waktu untuk berbicara tentang demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, penciptaan perdamaian, kebebesan individu atau pemisahan antara agama dan negara, maka komunitas lainnya bahkan yang radikal sekalipun justru menganggap semua itu adalah sublimasi nilai-nilai agama dalam bahasa profan.

Semoga AS —dan negara-negara yang sedang dilanda semangat anti teroris karena serangkaian bom yang meledak di tempat-tempat ibadah Nasrani atau di tempat-tempat di mana terjadinya penetrasi kapitalisme, liberalisme dan sekularisme Barat— tidak panik dan salah dalam membedakan mana yang fundamentalis dan mana yang radikal. □ AFM


Sumber:

https://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/13/antropologi-pemikiran-kaum-teroris-1/

Blog Archive