Kerangka Teoritis tentang Kaum
Fundamentalis Islam
K
|
aum fundamentalis Islam, sebagai musuh
AS, adalah “an aggressive revolutionary movement as militant and violent as
the Bolshevik, Fascist, and Nazi movements of the past” - suatu gerakan
revolusioner yang agresif, militan dan kekerasan seperti gerakan Bolshevik, Fasis, dan Nazi di masa lalu,
kata Amos Perlmutter, seorang ilmuwan politik. Selanjutnya, Perlmutter
menyebutkan bahwa kaum fundamentalis ini sangat “authoritarian,
anti-democratic, anti-secular,” – otoriter, anti demikrasi, anti sekuler, dan
tidak bisa bersahabat dengan “Christian-secular universe” – Kristen sekuler
sedunia, dan tujuannya adalah untuk mendirikan sebuah “negara Islam
transnasional yang bersifat otoriter”.
Martin E. Marty dan R. Scott Appleby
yang sangat serius dalam Proyek Fundamentalisme, menyebutkan bahwa
fundamentalisme selalu mengikuti suatu pola. Mereka adalah “embattled forms of spirituality”- bentuk
perang spiritual, yang muncul sebagai respon terhadap suatu krisis kecurigaan
(perceived crisis). Kaum fundamentalis terlibat dalam konflik dengan
musuh-musuh sekular yang dicurigai membuat kebijakan-kebijakan yang
bertentangan secara frontal dengan agama. Kaum fundamentalis tidak menganggap
pertentangan frontal ini sebagai sebuah “arena bermain” (play ground), melainkan sebuah “medan perang” (battle field) yang serius, yang bukan sekadar sebuah perlawanan
politik konvensional, melainkan menganggapnya sebagai sebentuk “perang kosmik”
(cosmic war) – perang semesta, antara
kekuatan-kekuatan yang haq dan kekuatan yang bathil.
Mereka takut terhadap dan selalu merasa
adanya ancaman kaum kafir untuk membasmi mereka yang bersumber dari
kekuatan-kekuatan Barat sekular dan berusaha membentengi diri mereka dengan
doktrin dan praktek yang pernah hidup di masa lalu (doktrin dan praktek jihad).
Untuk menghindari diri mereka dari
“dunia buruk” dan menutup diri dari kontaminasi “perang kosmik” itu, kaum
fundamentalis seringkali mundur dan menyempal dari mainstream masyarakat untuk menciptakan budaya tandingan (counterculture); dan kaum fundamentalis
bukanlah kaum yang bermimpi di siang bolong. Mereka menyerap rasionalisme
pragmatis dari modernitas, dan, di bawah bimbingan para pemimpin kharismatik
mereka, menyaring apa yang perlu dari dunia teknikal untuk membuat rencana aksi
yang seringkali bersifat destruktif.
Dari apa yang kita saksikan pada
peristiwa penyerangan serempak terhadap gedung WTC dan Pentagon, Bom Bali, Bom
Malam Natal, Bom Marriot dan lain-lain adalah kumpulan dari ahli-ahli yang
memiliki kemampuan teknikal setaraf pilot dan teknisi yang mengerti
fungsi-fungsi transponder, black box, radar, elemen kimia, komponen elektronika
lanjut dan global positioning tool-box
serta kemampuan manajerial lainnya.
Kaum fundamentalis merasa bahwa mereka
berperang melawan kekuatan-kekuatan yang mengancam nilai-nilai yang sangat suci
dari komunitas mereka dan reaksi mereka akan bersifat teror politik. AS yang
muncul sebagai aktor tunggal pemenang “perang dingin” semenjak runtuhnya
kekuatan Komunis di blok Soviet dianggap banyak kalangan fundamentalis telah
menyergap kesadaran orang-orang Islam sebagai kekuatan adidaya yang tak mungkin
dikalahkan dan siap menjadikan masyarakat muslim sebagai musuh berikutnya. Aksi
serangan berbentuk teror di New York dan Washington itu sesungguhnya merupakan
sebuah respon yang berisi pesan yang ingin membuktikan bahwa AS ternyata
bertumpu pada “jaring laba-laba” yang begitu lemah.
Selama “perang dingin” antara negara
formal dengan kelompok teroris yang tak memiliki batas negara, para aktor
perang sering kali emosional, panik dan kurang menghargai posisi masing-masing.
Dari beberapa temuan studi Karen Armstrong, modernisasi telah membawa
polarisasi masyarakat pada posisi-posisi ekstrim yang saling berlawanan, dan
untuk menghindari eskalasi konflik, hanya ada satu cara: kita harus mencoba
memahami the pain and perceptions of the
other side – rasa sakit dan persepsi dari sisi orang lain. Karena selama
ini mereka sering menyatakan: “nobody
knows our trouble we see, nobody knows our problem” (tidak ada yang tahu
masalah kita kecuali kita sendiri, mereka tidak tahu masalah kita hadapi), maka
akan sangat mengejutkan jika kemudian sebagai konsekuensinya, “nobody knows of what our plan of action”
– dengan itu mereka tidak ada yang tahu apa rencana dan tindakan kita.
Bagi kita semua yang telah mencicipi
kebebasan dan prestasi modernitas, Karen Armstrong merekomendasikan, “kita tak
boleh berhenti untuk berempati dan bersimpati terhadap kesusahan dan
penderitaan yang dialami sebagian komunitas kaum fundamentalis Islam.” Ibarat
pecandu narkoba, mereka tidak boleh dianggap sebagai kaum yang melanggar hukum
yang harus dikejar-kejar, melainkan harus dipandang sebagai kaum yang
membutuhkan perawatan untuk mengobati penyakit ketergantungan dan ketakutan
irasional mereka. “Modernisasi”, menurut Karen Armstrong, “seringkali dirasakan
tidak sebagai sebuah pembebasan melainkan sebuah serangan agresif”.
Berbeda dengan kaum fundamentalis, kaum
radikal Islam justru memandang bahwa memahami agama secara mengakar jauh lebih
penting sebelum membuat rencana aksi yang cenderung bersifat kekerasan.
Penyeragaman pan-dangan terhadap komunitas yang memberikan respon terhadap
modernisasi, pemerintahan sekular dan budaya Barat ke dalam sebutan
“fundamentalis” sesungguhnya merupakan sebuah penyederhanaan yang berlebihan.
Spektrum dunia pergerakan Islam sesungguhnya menyimpan warna-warna yang kaya dalam
khazanah yang cukup plural. Tidak semua kalangan yang kritis dan anti terhadap
AS, Israel, budaya Barat, materialisme, kapitalisme, isu-isu feminisme, hak
asasi manusia dan demokrasi dapat dikategorikan sebagai kaum ‘fundamentalis’.
Kaum radikal Islam yang bangkit dengan
garis yang berbeda, bahkan secara diametral berlawanan dengan fundamentalis
adalah taksonomi pergerakan Islam yang mesti dilihat secara berhati-hati.
Adanya fakta bahwa fundamentalisme telah muncul dalam ledakan-ledakan kecil dan
besar di semua budaya (budaya agama monotheis, maupun politheis)
mengindikasikan sebuah kekecewaan yang meluas terhadap masyarakat modern di
mana banyak di antara kita malah merasakannya sebagai sesuatu yang membebaskan,
menyenangkan dan memberdayakan.
Proyek-proyek yang secara kasat mata
dipandang baik oleh kaum liberal, di mana kaum radikal Islam juga termasuk di
dalamnya, —seperti demokrasi, penciptaan perdamaian, kepedulian terhadap
lingkungan, pembebasan wanita, atau kekebasan berbicara— dapat dipandang buruk,
bahkan haram, oleh kaum fundamentalis.
Kaum fundamentalis seringkali
mengekspresikan dirinya secara kekerasan, tapi kekerasan itu adalah cara atau
jalan yang paling sederhana yang memancar dari ketakutan mereka yang mendalam
akan hancurnya komunitas, tradisi, nilai dan budaya yang mereka anggap luhur.
Dilihat dari latar-belakang pendidikan, mereka adalah kaum intelektual —yang
oleh Bruce Hoffman disebut sebagai “violent
intellectual”— yang berusaha mencapai tujuannya karena dimotivasi oleh
doktrin-doktrin agama yang mereka persepsikan secara berbeda (out of mainstream).
Setiap gerakan kaum fundamentalis yang
pernah saya teliti, terdapat sebuah ketakutan irrasional akan proses
penghancuran terhadap mereka secara sistematis. Menurut Scott Appleby,
kemapanan kaum sekular bertujuan untuk menghapuskan keberadaan mereka sebagai
kaum beragama dari muka bumi ini, sekalipun di AS sendiri. Kaum fundamentalis
yakin bahwa respon mereka secara kekerasan adalah sebentuk perlawanan terhadap
kekuatan-kekuatan yang telah menakut-nakuti mereka selama ini. Kaum
fundamentalis percaya bahwa mereka selama ini melawan demi mempertahankan agama
dan mempertahankan masyarakat yang beradab.
Sekarang banyak masyarakat dalam
komunitas dunia Islam yang menolak persepsi bahwa Barat sebagai tak bertuhan,
tidak adil, dan dekaden. Kaum Islam radikal baru tidaklah sesederhana kaum
fundamentalis yang membenci Barat. Bagaimanapun, kaum radikal baru Islam tidak
merupakan gerakan yang homo-gen. Muslim radikal pada pokoknya berupaya
meletakkan rumah mereka sendiri dalam suatu tata-aturan yang berbeda sesuai
dengan yang mereka persepsikan. Tidak sebagaimana kaum fundamentalis yang
mengidap dislokasi kultural yang parah, kaum radikal juga merasa nyaman dengan
zaman modern.
Adalah mustahil untuk menggeneralisasi
bentuk-bentuk ekstrim kelompok agama karena mereka bukan hanya berbeda antara
tiap-tiap negara, tapi juga berbeda antara tiap-tiap kota bahkan di tiap-tiap kampung
dan desa. Hanya sebagian kecil saja dari kelompok fundamentalis yang setia
dengan aksi-aksi teror, sementara banyak kaum radikal Islam bahkan sangat
bersahabat, menginginkan perdamaian, berpengharapan pada hukum dan tata-aturan,
dan menerima nilai-nilai positif dari masyarakat modern. Jika kaum
fundamentalis tidak pernah punya waktu untuk berbicara tentang demokrasi,
pluralisme, toleransi beragama, penciptaan perdamaian, kebebesan individu atau
pemisahan antara agama dan negara, maka komunitas lainnya bahkan yang radikal
sekalipun justru menganggap semua itu adalah sublimasi nilai-nilai agama dalam
bahasa profan.
Semoga AS —dan negara-negara yang
sedang dilanda semangat anti teroris karena serangkaian bom yang meledak di
tempat-tempat ibadah Nasrani atau di tempat-tempat di mana terjadinya penetrasi
kapitalisme, liberalisme dan sekularisme Barat— tidak panik dan salah dalam
membedakan mana yang fundamentalis dan mana yang radikal. □ AFM
Bersambung ke: Antropologi PemikiranKaum Teroris 3
Sumber:
https://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/13/antropologi-pemikiran-kaum-teroris-1/