Teror adalah fenomena yang
cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan
atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang
sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai
”teror” atau ”terorisme”.
L
|
embaran sejarah manusia telah
diwarnai oleh tindakan-tindakan teror mulai dari perang psikologis yang ditulis
oleh Xenophon
(431-350 SM), Kaisar
Tiberius (14-37 SM) dan Caligula
(37-41M) dari Romawi telah mempraktekan terorisme dalam penyingkiran atau
pembuangan, perampasan harta benda, dan menghukum lawan-lawan politiknya. Roberspierre (1758-1794)
meneror musuhnya dalam masa revolusi Perancis. Setelah perang sipil Amerika
Serikat, muncul kelompok teroris rasialis yang dikenal dengan Ku Klux Klan. Demikian
juga Hitler dan Josef Stalin. Kata ’assassin’ mengacu pada gerakan dalam Perang
Salib abad ke-11 Masehi yang mengantisipasi terorisme internasional di era
globalisasi ini.
Kata teror masuk dalam kosakata
politisi baru pada Revolusi Prancis. Diakhir abad ke-19, awal abad ke-20 dan
menjelang PD-II, ”terorisme” menjadi teknik perjuangan revolusi. Misalnya,
dalam rejim Stalin pada tahun 1930-an yang juga disebut ”pemerintahan teror”.
Di era perang dingin ”teror” dikaitkan dengan ancaman senjata nuklir.
Istilah ”terorisme” sendiri
pada 1970-an dikenakan pada beragam fenomena, dari bom yang meletus di
tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan. Beberapa
pemerintahan bahkan menstigma musuh-musuhnya sebagai ”teroris” dan aksi-aksi
mereka disebut ”terorisme”. Istilah ”terorisme” jelas berkonotasi peyoratif,
seperti istilah ”genosida” atau ”tirani”. Karena itu istilah ini juga rentan
dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka peluang penyalahgunaan. Namun
pendefinisian juga tak lepas dari keputusan politis.
Definisi Terorisme
Apa yang disebut-sebut dengan
terorisme dan tindakan teror telah banyak terjadi ditengah-tengah masyarakat
sehingga secara umum arti kata terorisme sudah dapat dipahami oleh banyak
kalangan. Namun pada saat terorisme didefinisikan secara khusus dalam rumusan
kata-kata menimbulkan cukup banyak varian.
Umumnya pendefinisian terorisme
beranjak dari asumsi bahwa sejumlah tindakan kekerasan, khususnya menyangkut
kekerasan politik (political
violence), adalah justifiable
(dapat dibenarkan) dan sebagian lagi adalah unjustifiable (tidak dapat dibenarkan). Kekerasan jenis terakhir inilah
yang sering disebut sebagai ”teror”. Sedangkan terorisme adalah paham yang
berpendapat bahwa penggunaan cara-cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan
adalah cara yang sah untuk mencapai suatu tujuan.
T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation
(1964) mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan
simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik
dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan
ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi dua katagori, yaitu
enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap
kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan menggangu
tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu.
Menurut Webster's New World College Dictionary (1966), definisi terorisme adalah "the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate" artinya, penggunaan kekuatan atau ancaman untuk mengacaukan atau menjatuhkan moral lawan, mengintimidasi, dan menundukkan.
Doktrin membedakan Terorisme
kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act)
dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli
bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan “terorisme” adalah
tindakan-tindakan yang memiliki elemen-elemen: 1) Kekerasan. 2) Tujuan politik.
3) Teror intended audience, yakni menarik
perhatian masyarakat lokal dan regional, atau bangsa dan antar bangsa serta
dunia.
Sebagai bagian dari fenomena
sosial, terorisme kemudian berkembang seiring dengan perkembangan peradaban
manusia. Cara-cara yang digunakan untuk melakukan kekerasan dan ketakutan juga
semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi modern. Proses globalisasi
dan budaya massa menjadi lahan subur perkembangan terorisme. Kemudahan
menciptakan ketakutan dengan teknologi tinggi dan disseminasi informasi
yang dicover media luas, membuat jaringan dan tindakan teror semakin mudah
mencapai tujuan.
Tafsir Terorisme
Giovanna Borradori dalam Philosophy in a Time of Terror
[2005] memberikan penafsiran ulang secara lebih dalam dan kritis terhadap
berbagai fenomena global, khususnya yang dinamakan terorisme. Bagi dia, istilah
terorisme merupakan tafsir pragmatis, yang banyak terselubung di dalamnya
berbagai kepentingan, baik ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya.
Jurgen Habermes [2001]
juga menilai, tafsir terorisme yang berkembang selama ini begitu sepihak. Fundamentalisme sebagai kelompok utama yang bertanggung jawab atas
peristiwa 11 September begitu diekspos besar-besaran oleh media Barat, sehingga
komunitas mana pun yang berkaitan dan berhubungan bahkan “sama dalam pakaian
formal” diklaim sebagai bagian dari arus fundamentalisme.
Bagi Jurgen Habermes,
fundamentalisme sangat politis. Dalam case Islam khususnya, arus fundamentalisme
telah dipolitisasi oknum tertentu untuk memainkan politik kepentingan yang
sepihak. Dengan demikian, klaim kebenaran yang sering diusung kaum
fundamentalis, tidak hanya menyalahkan umat Islam yang tidak sepaham an
sich, namun yang lebih tragis adalah menyalahkan kaum agama lain yang dianggap
merusak agamanya.
Motif Gerakan Terorisme
International summit on democracy
terrorism and security yang
diadakan di Madrid tahun 2005 lalu, tepatnya pada 8-11 Maret, memberikan
penjelasan bahwa motif gerakan teror atau penyebab timbulnya gerakan teror,
berikut sejumlah faktor yang dirangkum dari summit tersebut: 1) Psikologis. 2) Politik.
3) Ekonomi. 4) Agama. 5) Budaya. Uraian masing-masing dapat dibaca dari SummitClub Madrid.
Akar dan motif terorisme
terkait erat dengan dimensi moral yang luas seperti nilai, ideologi, agama,
ketidakadilan tatanan dan struktur sosial maupun konstelasi dunia. Terorisme
bukanlah masalah yang berdiri sendiri dan tidak dapat ditafsirkan secara
monolinier, subyektif apalagi sepihak. Problem terorisme membutuhkan upaya
pembenahan dan perbaikan dalam spektrum yang luas dan berkelanjutan. Terorisme
bukanlah semata-mata persoalan keamanan, dan penanganan terorisme. Namun harus
dilakukan secara menyeluruh baik politik, sosial maupun ekonomi. Kalau tidak
maka kejadiannya selalu akan berulang - bila hanya diatasi dengan kekerasan pula.
Alih-alih selesainya konflik, dibalas lagi. Balas membalas tanpa henti. Dengan
itu hanya mengukuhkan efek vicious cycle (lingkaran setan). □ AFM
Saksikan pula video: MaknaSebenarnya Menjadi Seorang Muslim.
Sumber:
https://serbasejarah.wordpress.com/2009/07/22/memahami-terorisme/□□□