Wednesday, November 4, 2015

Ibnu Khaldun Bapak Ilmu Sosiologi dan Ekonomi 1







Dunia mungkin belum tahu betapa berharganya warisan ilmu-ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh Kaum Muslimin. Bahkan agaknya banyak yang tak menyangka bahwa prinsip-prinsip pengetahuan modern itu ditemukan lewat kecemerlangan pemikiran Ilmuwan Muslim. Untuk masa itu, ilmu mereka dapat dikatakan telah melampaui batas zamannya. Berikut adalah kontribusi ilmuwan dan penemu Muslim bagi dunia, “Ibnu Khaldun Bapak Ilmu Sosiologi dan Ekonomi”.

Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.” [Ibnu Khaldun]


Ibnu Khaldun

P
emilik Facebook, Mark Zuckerberg menjadikan buku karangan Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, sebagai salah satu buku bacaan wajib. Sementara, dunia mendaulatnya sebagai ‘Bapak Sosiologi Islam’. Sederet pemikir Barat terkemuka seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi pemikirannya. Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus sarjana. Sebagai salah satu ilmuwan pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh.

Dialah penulis buku yang melegenda, Al-Muqaddimah. Ilmuwan besar yang terlahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 M atau 1 Ramadhan 732 H itu memiliki nama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut (Yaman) yang bermigrasi ke Seville (Spanyol Al-Andalus) pada abad ke-8 M, setelah semenanjung itu ditaklukan Islam.

Setelah Al-Andalus (Spanyol Andalusia) direbut penguasa Kristen, keluarga besar Ibnu Khaldun hijrah ke Maroko dan kemudian menetap di Tunisia. Di kota itu, keluarga Ibnu Khaldun dihormati pihak istana dan tinggal di lahan milik dinasti Hafsiah. Sejak terlahir ke dunia, Ibnu Khaldun sudah hidup dalam komunitas kelas atas.

Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam berada di ambang degradasi dan disintegrasi. Kala itu, Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah di sekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258 M, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun.

Guru pertama Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia sudah menghafal Al-Qur'an dan menguasai tajwid. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama Al-Andalus (Spanyol Andalusia) yang hijrah ke Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dalam semua bidang studi.

Studinya kemudian terhenti pada 749 H. Saat menginjak usia 17 tahun, tanah kelahirannya diserang wabah penyakit pes yang menelan ribuan korban jiwa. Akibat peristiwa yang dikenal sebagai Black Death itu, para ulama dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko).

Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Ibnu Khaldun dalam pandangan Penulis Barat dan Timur memaparkan, di usia yang masih muda, Ibnu Khaldun sudah menguasi berbagai ilmu Islam klasik seperti filsafat, tasawuf, dan metafisika. Selain menguasai ilmu politik, sejarah, ekonomi serta geografi, di bidang hukum, ia juga menganut madzhab Maliki.

Sejak muda, Ibnu Khaldun sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai intrik politik. Pada masa itu, Afrika Utara dan Al-Andalus (Spanyol Andalusia) sedang diguncang peperangan. Dinasti-dinasti kecil saling bersaing memperebutkan kekuasaan, di saat umat Islam terusir dari Spanyol. Tak heran, bila dia sudah terbiasa mengamati fenomena persaingan keras, saling menjatuhkan, saling menghancurkan.

Di usianya yang ke-21, Ibnu Khaldun sudah diangkat menjadi sekretaris Sultan Al-Fadl dari Dinasti Hafsiah yang berkedudukan di Tunisia. Dua tahun kemudian, dia berhenti karena penguasa yang didukungnya itu kalah dalam sebuah pertempuran. Ia lalu hijrah ke Baskarah, sebuah kota di Maghrib Tengah (Aljazair).

Ia berupaya untuk bertemu dengan Sultan Abu Anam, penguasa Bani Marin dari Fez, Maroko, yang tengah berada di Maghrib Tengah. Lobinya berhasil. Ibnu Khaldun diangkat menjadi anggota majelis ilmu pengetahuan dan sekretaris sultan setahun kemudian. Ia menduduki jabatan itu selama dua kali dan sempat pula dipenjara. Ibnu Khaldun kemudian meninggalkan negeri itu setelah Wazir Umar bin Abdillah murka.

Ia kemudian terdampar di Granada pada 764 H. Sultan Bani Ahmar menyambut kedatangannya dan mempercayainya sebagai duta negara di Castilla, sebuah kerajaan Kristen yang berpusat di Seville. Tugasnya dijalankan dengan baik dan sukses. Namun tak lama kemudian, hubungannya dengan Sultan kemudian retak.

Dua tahun berselang, jabatan strategis kembali didudukinya. Penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad mengangkatnya menjadi perdana menteri sekaligus, khatib dan guru di Bijayah. Setahun kemudian, Bijayah jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, gubernur Qasanthinah (sebuah kota di Aljazair). Ibnu Khaldun lalu hijrah ke Baskarah.

Ia kemudian berkirim surat kepada Abu Hammu, sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad yang isinya akan memberi dukungan. Tawaran itu disambut hangat Sultan dan kemudian memberinya jabatan penting. Iming-iming jabatan itu ditolak Ibnu Khaldun, karena akan melanjutkan studinya secara otodidak. Ia bersedia berkampanye untuk mendukung Abu Hammu. Sikap politiknya berubah, tatkala Abu Hammu diusir Sultan Abdul Aziz.

Ibnu Khaldun kemudian berpihak kepada Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Tak lama kemudian, Tilmisan kembali direbut Abu Hammu. Ia lalu menyelamatkan diri ke Fez, Maroko pada 774. Saat Fez jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, ia kembali pergi ke Granada buat yang kedua kalinya. Namun, penguasa Granada tak menerima kehadirannya.

Ia balik lagi ke Tilmisan. Meski telah dikhianati, namun Abu Hammu menerima kehadiran Ibnu Khaldun. Sejak saat itulah, Ibnu Khaldun memutuskan untuk tak berpolitik praktis lagi. Ibnu Khaldun lalu menyepi di Qa’lat Ibnu Salamah dan menetap di tempat itu sampai tahun 780 H. Dalam masa menyepinya itulah, Ibnu Khaldun mengarang sejumlah kitab yang monumental.

Diawali dengan menulis kitab Al-Muqaddimah yang mengupas masalah-masalah sosial manusia, Ibnu Khaldun juga menulis kitab Al-'Ibar (Sejarah Umum). Pada 780 H, Ibnu Khaldun sempat kembali ke Tunisia. Di tanah kelahirannya itu, ia sempat merevisi kitab Al’Ibar.

Empat tahun kemudian, ia hijrah ke Iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekisruhan politik di Maghrib. Di Kairo, Ibnu Khaldun disambut para ulama dan penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar. Ia didaulat raja menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tak lama kemudian, dia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan.

Ibnu Khaldun sempat mengundurkan diri dari pengadilan kerajaan, lantaran keluarganya mengalami kecelakaan. Raja lalu mengangkatnya lagi menjadi dosen di sejumlah madrasah (universitas). Setelah menunaikan ibadah haji, ia kembali menjadi ketua pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada 803 H (1401 M), dia bersama pasukan Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus untuk mengusir Timur Lenk, penguasa Mogul.

Berkat diplomasinya yang luar biasa, Ibnu Khaldun malah bisa bertemu Timur Lenk yang dikenal sebagai penakluk yang disegani. Dia banyak berdiskusi dengan Timur. Ibnu Khaldun, akhirnya kembali ke Kairo dan kembali ditunjuk menjadi ketua pengadilan kerajaan. Ia tutup usia pada umur 73 tahun, pada tanggal 25 Ramadhan 808 H atau 19 Maret 1406 M di Kairo, Mesir. Meski dia telah berpulang enam abad yang lalu, pemikiran dan karya-karyanya masih tetap dikaji dan digunakan hingga saat ini. [Sumber: Republika, MuslimDaily]


Keistimewaana Buku Al-Muqaddimah Ibnu Khaldun


Tidak banyak tokoh yang memiliki penguasaan ilmu pengetahuan multidisipliner seperti al-Allamah Ibnu Khaldun alias Abdul Rahman bin Muhammad bin Khaldun (1332-1406 M). Ini ditunjukkan oleh karya-karyanya, antara lain: Kitab al-‘Ibrar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min Dzawi    al-Sulthan al-‘Akbar (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa politik tentang Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian dikenal dengan nama kitab al-‘Ibrar. Namun uniknya, pengantar kitab inilah yang justru lebih dikenal luas daripada buku aslinya. Buku pengantar yang berjudul al-Muqaddimah ini menjadikan nama Ibnu Khaldun begitu harum.

Proses penulisan buku itu dilakukan oleh Ibnu Khaldun saat menyepi di Qal’at Ibn Salamah istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itu, Ibnu Khaldun berhasil merampungkan sebuah karya monumental yang hingga kini masih tetap dibahas dan diperbincangkan.

“Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik,” ungkap Ibnu Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Ta’rif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan. Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.

Menurut Ahmad Syafii Ma’arif, salah satu tesis Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah: “Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.” Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama.Pertama, membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim. Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur. Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul Al-‘Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.

“Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng,” papar Syafii Ma’arif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Al-Muqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.

Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; “Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk sosial berubah dan berkembang.”

Pemikiran Ibnu Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Aguste Comte, pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibnu Khaldun (1332-1406).

Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. “Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon.

Keahliannya dalam sosiologi, filasafat, ekonomi, politik dan budaya, tampak jelas dalam buku ini. Pada saat yang sama, Ibnu Khaldun juga tampak sangat menguasai ilmu-ilmu keislamannya, ketika menguraikan tentang ilmu hadits, fiqh, ushul fiqh, dan lainya.

Salah satu teorinya tentang ekonomi, apa yang disebutkan dengan “Model Dinamika”. Teori tersebut memberikan pandangan jelas bahwa semua faktor-faktor dinamika sosial, moral, politik, dan ekonomi meski berbeda, tapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya bagi kemajuan maupun kemunduran pemerintahan dan masyarakat dalam sebuah wilayah atau negara. Selain itu, Ibnu Khaldun juga telah menyumbangkan pemikiran tentang teori produksi, teori nilai, teori pemasaran, dan teori siklus yang dipadu menjadi teori ekonomi umum yang koheren yang disusun dalam kerangka sejarah.

Dalam soal politik, Ibnu Khaldun mengetengahkan teori tentang ashabiyah sebagai perekat hubungan politik antarwarga dalam sebuah negara. Dengan keluasan wawasan ini, wajar jika ilmuwan yang menulis tentang sosok Ibnu Khaldun, antara lain: Spengler yang menulis: Economic Thought of Islam: Ibnu Khaldun, Ahmad Ali menulis Economics of Ibnu Khaldun-A Selection, T.B Irving menulis Ibn Khaldun on Agriculture, dan masih banyak lagi literatur lainya.  □ AFM

Sumber:
Republika elasq.wordpress Abu Syahmin MuslimDaily

Blog Archive