Dunia
mungkin belum tahu betapa berharganya warisan ilmu-ilmu pengetahuan yang
ditemukan oleh Kaum Muslimin. Bahkan agaknya banyak yang tak menyangka bahwa
prinsip-prinsip pengetahuan modern itu ditemukan lewat kecemerlangan pemikiran Ilmuwan
Muslim. Untuk masa itu, ilmu mereka dapat dikatakan telah melampaui batas
zamannya. Berikut adalah kontribusi ilmuwan dan penemu Muslim bagi dunia, “Ibnu Khaldun Bapak Ilmu Sosiologi dan Ekonomi”.
“Manusia
bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.”
[Ibnu Khaldun]
Ibnu Khaldun
P
|
emilik Facebook, Mark
Zuckerberg menjadikan buku karangan Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, sebagai salah
satu buku bacaan wajib. Sementara, dunia mendaulatnya sebagai ‘Bapak Sosiologi
Islam’. Sederet pemikir Barat terkemuka seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel,
Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur
Laffer mengagumi pemikirannya. Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood
menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus
sarjana. Sebagai salah satu ilmuwan pemikir hebat dan serba bisa
sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh.
Dialah penulis buku yang
melegenda, Al-Muqaddimah. Ilmuwan besar yang terlahir di Tunisia pada 27 Mei
1332 M atau 1 Ramadhan 732 H itu memiliki nama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin
Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Nenek moyangnya berasal dari
Hadramaut (Yaman) yang bermigrasi ke Seville (Spanyol Al-Andalus) pada abad
ke-8 M, setelah semenanjung itu ditaklukan Islam.
Setelah Al-Andalus (Spanyol Andalusia) direbut
penguasa Kristen, keluarga besar Ibnu Khaldun hijrah ke Maroko dan kemudian
menetap di Tunisia. Di kota itu, keluarga Ibnu Khaldun dihormati pihak istana dan
tinggal di lahan milik dinasti Hafsiah. Sejak terlahir ke dunia, Ibnu Khaldun
sudah hidup dalam komunitas kelas atas.
Ibnu Khaldun hidup pada masa
peradaban Islam berada di ambang degradasi dan disintegrasi. Kala itu, Khalifah
Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran
Baghdad dan wilayah di sekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258 M, sekitar
tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun.
Guru pertama Ibnu Khaldun
adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia sudah menghafal Al-Qur'an dan menguasai
tajwid. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari
sejumlah ulama Al-Andalus (Spanyol Andalusia) yang hijrah ke Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai
yang memuaskan dalam semua bidang studi.
Studinya kemudian terhenti pada
749 H. Saat menginjak usia 17 tahun, tanah kelahirannya diserang wabah penyakit
pes yang menelan ribuan korban jiwa. Akibat peristiwa yang dikenal sebagai Black Death itu, para ulama
dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko).
Ahmad Syafii Maarif dalam
bukunya Ibnu Khaldun dalam pandangan Penulis Barat dan Timur memaparkan, di usia
yang masih muda, Ibnu Khaldun sudah menguasi berbagai ilmu Islam klasik seperti
filsafat, tasawuf, dan metafisika. Selain menguasai ilmu politik, sejarah,
ekonomi serta geografi, di bidang hukum, ia juga menganut madzhab Maliki.
Sejak muda, Ibnu Khaldun sudah
terbiasa berhadapan dengan berbagai intrik politik. Pada masa itu, Afrika Utara
dan Al-Andalus (Spanyol Andalusia) sedang diguncang peperangan. Dinasti-dinasti kecil saling
bersaing memperebutkan kekuasaan, di saat umat Islam terusir dari Spanyol. Tak
heran, bila dia sudah terbiasa mengamati fenomena persaingan keras, saling
menjatuhkan, saling menghancurkan.
Di usianya yang ke-21, Ibnu
Khaldun sudah diangkat menjadi sekretaris Sultan Al-Fadl dari Dinasti Hafsiah yang
berkedudukan di Tunisia. Dua tahun kemudian, dia berhenti karena penguasa yang
didukungnya itu kalah dalam sebuah pertempuran. Ia lalu hijrah ke Baskarah,
sebuah kota di Maghrib Tengah (Aljazair).
Ia berupaya untuk bertemu dengan
Sultan Abu Anam, penguasa Bani Marin dari Fez, Maroko, yang tengah berada di
Maghrib Tengah. Lobinya berhasil. Ibnu Khaldun diangkat menjadi anggota majelis
ilmu pengetahuan dan sekretaris sultan setahun kemudian. Ia menduduki jabatan
itu selama dua kali dan sempat pula dipenjara. Ibnu Khaldun kemudian
meninggalkan negeri itu setelah Wazir Umar bin Abdillah murka.
Ia kemudian terdampar di
Granada pada 764 H. Sultan Bani Ahmar menyambut kedatangannya dan
mempercayainya sebagai duta negara di Castilla, sebuah kerajaan Kristen yang
berpusat di Seville. Tugasnya dijalankan dengan baik dan sukses. Namun tak lama
kemudian, hubungannya dengan Sultan kemudian retak.
Dua tahun berselang, jabatan
strategis kembali didudukinya. Penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad
mengangkatnya menjadi perdana menteri sekaligus, khatib dan guru di Bijayah.
Setahun kemudian, Bijayah jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, gubernur
Qasanthinah (sebuah kota di Aljazair). Ibnu Khaldun lalu hijrah ke Baskarah.
Ia kemudian berkirim surat
kepada Abu Hammu, sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad yang isinya akan memberi
dukungan. Tawaran itu disambut hangat Sultan dan kemudian memberinya jabatan
penting. Iming-iming jabatan itu ditolak Ibnu Khaldun, karena akan melanjutkan
studinya secara otodidak. Ia bersedia berkampanye untuk mendukung Abu Hammu.
Sikap politiknya berubah, tatkala Abu Hammu diusir Sultan Abdul Aziz.
Ibnu Khaldun kemudian berpihak
kepada Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Tak lama kemudian, Tilmisan kembali
direbut Abu Hammu. Ia lalu menyelamatkan diri ke Fez, Maroko pada 774. Saat Fez
jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, ia kembali pergi ke Granada buat yang
kedua kalinya. Namun, penguasa Granada tak menerima kehadirannya.
Ia balik lagi ke Tilmisan.
Meski telah dikhianati, namun Abu Hammu menerima kehadiran Ibnu Khaldun. Sejak
saat itulah, Ibnu Khaldun memutuskan untuk tak berpolitik praktis lagi. Ibnu
Khaldun lalu menyepi di Qa’lat Ibnu Salamah dan menetap di tempat itu sampai
tahun 780 H. Dalam masa menyepinya itulah, Ibnu Khaldun mengarang sejumlah
kitab yang monumental.
Diawali dengan menulis kitab
Al-Muqaddimah yang mengupas masalah-masalah sosial manusia, Ibnu Khaldun juga
menulis kitab Al-'Ibar (Sejarah Umum). Pada 780 H, Ibnu Khaldun sempat kembali
ke Tunisia. Di tanah kelahirannya itu, ia sempat merevisi kitab Al’Ibar.
Empat tahun kemudian, ia hijrah
ke Iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekisruhan politik di Maghrib. Di
Kairo, Ibnu Khaldun disambut para ulama dan penduduk. Ia lalu membentuk halaqah
di Al-Azhar. Ia didaulat raja menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di
Madrasah Qamhiyah. Tak lama kemudian, dia diangkat menjadi ketua pengadilan
kerajaan.
Ibnu Khaldun sempat
mengundurkan diri dari pengadilan kerajaan, lantaran keluarganya mengalami
kecelakaan. Raja lalu mengangkatnya lagi menjadi dosen di sejumlah madrasah
(universitas). Setelah menunaikan ibadah haji, ia kembali menjadi ketua
pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada 803 H (1401 M), dia bersama pasukan
Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus untuk mengusir Timur Lenk, penguasa
Mogul.
Berkat
diplomasinya yang luar biasa, Ibnu Khaldun malah bisa bertemu Timur Lenk yang
dikenal sebagai penakluk yang disegani. Dia banyak berdiskusi dengan Timur.
Ibnu Khaldun, akhirnya kembali ke Kairo dan kembali ditunjuk menjadi ketua pengadilan
kerajaan. Ia tutup usia pada umur 73 tahun, pada tanggal 25 Ramadhan 808 H atau 19 Maret 1406 M di Kairo, Mesir. Meski dia telah
berpulang enam abad yang lalu, pemikiran dan karya-karyanya masih tetap dikaji
dan digunakan hingga saat ini. [Sumber: Republika, MuslimDaily]
Keistimewaana Buku Al-Muqaddimah Ibnu Khaldun
Tidak banyak tokoh yang
memiliki penguasaan ilmu pengetahuan multidisipliner seperti al-Allamah Ibnu Khaldun alias Abdul Rahman
bin Muhammad bin Khaldun (1332-1406 M). Ini ditunjukkan oleh karya-karyanya,
antara lain: Kitab al-‘Ibrar, wa
Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min Dzawi al-Sulthan al-‘Akbar
(Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang
mencakup Peristiwa politik tentang Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar serta
Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian dikenal dengan nama
kitab al-‘Ibrar. Namun uniknya, pengantar kitab inilah yang justru
lebih dikenal luas daripada buku aslinya. Buku pengantar yang berjudul al-Muqaddimah ini
menjadikan nama Ibnu Khaldun begitu harum.
Proses penulisan buku itu
dilakukan oleh Ibnu Khaldun saat menyepi di Qal’at Ibn Salamah istana
yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat tahun. Selama masa kontemplasi
itu, Ibnu Khaldun berhasil merampungkan sebuah karya monumental yang hingga
kini masih tetap dibahas dan diperbincangkan.
“Dalam pengunduran diri inilah
saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam
perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik,” ungkap
Ibnu Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Ta’rif
bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan. Buah pikir Ibnu
Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J
Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang
sejarah.
Menurut Ahmad Syafii Ma’arif,
salah satu tesis Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah: “Manusia bukanlah produk nenek moyangnya,
tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.” Secara garis
besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah
menjadi tiga bagian utama.Pertama,
membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan
Arab-Muslim. Kedua, Al-Muqaddimah
mengupas soal ilmu kultur. Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar
bagi pemahaman sejarah. Ketiga,
mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai
dengan abad ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang
berjudul Al-‘Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya,
seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat
dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian
sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.
“Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah
menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng,” papar
Syafii Ma’arif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia
politik pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Al-Muqaddimah dengan jernih.
Dalam kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum
kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History,
lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan
jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah
satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara
lain; “Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk sosial berubah dan berkembang.”
Pemikiran Ibnu Khaldun telah
memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Aguste
Comte, pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan
positivisme Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam
seperti Ibnu Khaldun (1332-1406).
Dalam metodeloginya, Ibnu
Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis,
dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan
Barat dan dunia, saat ini. “Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha
merumuskan hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon.
Keahliannya dalam sosiologi,
filasafat, ekonomi, politik dan budaya, tampak jelas dalam buku ini. Pada saat
yang sama, Ibnu Khaldun juga tampak sangat menguasai ilmu-ilmu keislamannya,
ketika menguraikan tentang ilmu hadits, fiqh, ushul fiqh, dan lainya.
Salah satu teorinya tentang
ekonomi, apa yang disebutkan dengan “Model Dinamika”. Teori tersebut memberikan
pandangan jelas bahwa semua faktor-faktor dinamika sosial, moral, politik, dan
ekonomi meski berbeda, tapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya bagi
kemajuan maupun kemunduran pemerintahan dan masyarakat dalam sebuah wilayah
atau negara. Selain itu, Ibnu Khaldun juga telah menyumbangkan pemikiran
tentang teori produksi, teori nilai, teori pemasaran, dan teori siklus yang
dipadu menjadi teori ekonomi umum yang koheren yang disusun dalam kerangka
sejarah.
Dalam soal politik, Ibnu
Khaldun mengetengahkan teori tentang ashabiyah sebagai perekat hubungan politik
antarwarga dalam sebuah negara. Dengan keluasan wawasan ini, wajar jika ilmuwan
yang menulis tentang sosok Ibnu Khaldun, antara lain: Spengler yang menulis: Economic
Thought of Islam: Ibnu Khaldun, Ahmad Ali menulis Economics of
Ibnu Khaldun-A Selection, T.B Irving menulis Ibn Khaldun on Agriculture,
dan masih banyak lagi literatur lainya. □ AFM
Bersambung ke: Ibnu Khaldun Bapak Ilmu Sosial dan Ekonomi 2
Sumber:
● Republika
● elasq.wordpress
● Abu
Syahmin ● MuslimDaily