Monday, December 7, 2015

Bagaimana Dunia Tanpa Manusia

Oleh: A. Faisal Marzuki






Manusia sebagai species makhluk unggulan dari Sang Pencipta Alam Raya di Raya - universe, dimana manusia khalifah ini diserahi tugas untuk mengelola kehidupan manusia di bumi sebagai pemakmur bumi.


K
alau ada waktu, sekurang-kurangnya seminggu sekali saya berolah raga jalan. Kebetulan tempat saya tinggal tidak begitu besar seperti kota New York City dan tidak pula kecil seperti Gettysburg di route 15, Maryland. Bandingan antara kawasan pepohonan dan kawasan hunian sangat serasi sebagai kota yang bersih, sehat, nyaman dan manusiawi. Jarak tempuh yang saya ambil dalam berolah raga itu setidaknya 3 mil atau kira-kira 5 km dengan waktu kira-kira kurang dari 1 jam. Lintasan yang paling saya sukai adalah park area. Yaitu, hutan kecil yang ditata rapih, ada jalan kecil sebagai lintasan olah raga jalan, lari dan bersepeda. Park area ini dekat dengan daerah hunian. Jadi tidak terlalu kesepian dalam kesendirian saya berolah raga jalan ini.
Suatu ketika saya berada di deretan rumah-rumah yang cukup bagus dengan tanaman dan rumput yang rapih seperti rapihnya taman bunga di daerah Cibubur tepi jalan bebas hambatan Jagorawi. Melihat rumah-rumah itu terbuka juga wawasan kehidupan saya, perintang hidup dari yang kadang kala kusut masai. Tengah asyik mencuri-pandang rumah-rumah orang yang agak terlampau lama dilihat-lihat, tiba-tiba terhenyak sadarkan diri dari keadaan satu rumah yang amat lain sekali – seperti siang dan malam dari rumah tetangga kiri kanan dan sekitarnya. Hal ini mengundang daya paham hikmah dari kejadian itu sebagai bahan penulisan dalam blog ini.
Kenapa saya menatap rumah yang satu ini dalam-dalam? Tidak lain karena tak habis pikir dari bréngsék-nya keadaan rumah itu. Hati saya berkata, “Kok kontras sekali dengan keadaan samping kiri dan kanan rumah tetangganya”. Manusia yang di takdirkan akrab sekali dengan sesuatu yang kasat mata, melihat dengan nyata rumput disekeliling rumah itu tumbuh liar yang tingginya selutut saya. Pintu utama untuk masuk rumahnya sudah réot. Pagar teralisnya sudah berkarat yang tidak ketolongan. Kaca jendela-jendelanya buram dan sebagiannya retak dan pecah-pecah. Cat dari dinding-dindingnya sudah kusut masai alias tidak mengkilat lagi, bahkan dibeberapa tempat terlihat mengelupas. Atap rumah ditumbuhi pohon menjalar. Talangnya sebagi saluran air dari atap rumah dipenuhi dedaunan dari rontokan pohon-pohon tinggi sekelilingnya. Saya terus terang tidak tahu persis keadaan di dalam rumah itu, karena terlarang masuk pekarangan rumah tanpa izin walupun tidak terlihat orang. Saya menduga keras sama bréngséknya dengan keadaan di luar.
Demikianlah rumah jika tak bermanusia sangat terlantar dan merana. Dimana-mana berantakan dan serba tidak teratur. Abandon – rumah terlantar, kurang sedap dipandang mata. Terutama, bagi orang yang peduli, keadaan seperti itu menjadi masalah. Rasanya gatal sekali, ingin memperbaikinya.
Kebalikan dari rumah tetangga sekelilingnya, rumah yang bermanusia rapih, indah dan menyenangkan. Tidak perlu mewah, sederhana pun jadi, jika dikelola dengan baik. Tak kalah indahnya dengan rumah mewah. Demikianlah rumah dengan manusia menjadi hidup dan menarik. Sedang, tanpa manusia keadaannya jadi ambaradul alias kacau dan berantakan.

S
angat boleh jadi dari sudut pandang potensi kemampuan manusia yang peduli dengan lingkungan itulah Tuhan, Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan Adam as, dan menepis keberatan malaikat. Tuhan tetap melanjutkan rencananya, meskipun pada awalnya Malaikat berkeberatan - Malaikat menduga bahwa toh nantinya ciptaan baru itu akan seperti makhluk yang sebelumnya. “Proyek” Adam as ini menjadi handalan-Nya. Kebolehan Adam as terbukti dengan kemampuan pengetahuannya yang melebihi para Malaikat. Dengan pengetahuan itu manusia dapat menguasai dan melestarikan alam serta beradab sesamanya, asalkan mau memahami ‘buku petunjuk’ dari yang menjadikan kita dan alam semesta ini - Rabbul ‘Alamīn.
Sebelum manusia telah ada makhluk lain yang mendiami Bumi. Tapi sayang hidupnya penuh dengan hukum rimba – tidak berbudaya dan berperadaban. Satu memangsa yang lain. Mau menang sendiri. Coba saja lihat zaman prasejarah, yaitu zaman Dinosaurus. Hutan yang indah habis dilalapnya, karena porsi makanannya sangat banyak dan rakus. Dinosaurus telah menggangu ekosistim yang ada. Kalau lama dibiarkan hidup, pepohonan dan air semuanya menjadi punah. Dengan itu Bumi dibuatnya menjadi kering kerontang seperti planet Mars. Kita tahu Mars itu gersang, tak berpenghuni. Kalau sudah begitu Bumi, maka jangankan manusia mau tinggal, nyamuk pun tidak, karena sumber kehidupan tidak ada lagi.
Diserahkan pengelolaan Bumi kepada tikus, maka walaupun bentuknya kecil, gudang beras yang sebesar Super Mall Potomac Mill-pun kosong melompong, karena dikuras habis. Apalagi kepada monyet-monyet. Kita tahu kerja monyet hanya bergayut dari satu pohon ke pohon yang lain, mencari kutu, dan makan pisang dan makanan lain yang disukainya serta bersenggama melanjutkan keturunan. Tidak mengelola  Bumi agar lebih terpelihara ekosistimnya serta lebih seronok untuk dihuni. Kita tahu kesemua hewan itu berada tidak ada daya. Karena tidak ada kemampuan budaya membangun dan memperbaiki, kecuali manusia.
Dengan demikian kita tidak banyak berharap kepada dinosaurus dan tikus-tikus itu. Apalagi kepada monyet-monyet, selain kepada manusia. Kenapa manusia? Karena manusia oleh penciptanya diangkat dan dikukuhkan menjadi khalifah di Bumi. [1]
Sebaliknya jika ada rumah berpenghuni manusia, rumah dan halamannya seperti junk yard – lapangan tempat barang rongsokan yang tidak terpakai lagi, berantakan seperti “kapal pecah”. Ini tandanya bukan manusia khalifah. Melainkan manusia hidup bertabiat lebih rendah dari khewan, yaitu cuék – masa bodoh dan tak perduli dengan keadaan lingkungannya. Baginya yang penting perutnya kenyang dan nafsu syahwatnya terpenuhi. Sebaliknya dari itu, manusia yang bertabiat khalifah adalah manusia yang peduli dengan lingkungannya secara proaktif. Yaitu disamping peduli dengan dirinya, juga peduli dengan keluarganya, juga peduli dengan masyarakat lingkungannya. Dalam melakukan kepeduliannya itu bekerja dengan sebaik mungkin. Mengurus dengan selancar mungkin. Memperbaiki dengan seindah mungkin. Menyelesaikan dengan setuntas mungkin.
Rumah rapih bukan terjadi dengan sendirinya seperti hikayat 1001 malam, apalagi mengorganisir manusia. Umumnya manusia itu penuh “réwél”. Terutama kalau sudah terbiasa “bébas” - liar yang tidak bertanggung jawab, semau gué. Dipaksa dia tidak mungkin, karena manusia bukan robot. Dibiarkan mengerti sendiri tidak mungkin, karena manusia bukan malaikat yang kepatuhannya sudah menjadi budayanya. Dalam diri malaikat telah dipasang perangkat “kesadaran akan kepatuhan”. Berlainan dengan manusia, dalam kesadaran kepatuhannya memerlukan learning process – proses pembelajaran. Karena itu manusia perlu Da’i, juga perlu Guru, serta Community – Organisasi Masyarakat, apalagi Orang Tua. □ AFM


Catatan Kaki:

[1] Manusia sebagai species makhluk unggulan dari Sang Pencipta Alam Raya di Raya - universe, dimana manusia khalifah [QS al-Baqarah 2:30] ini diserahi tugas untuk mengelola kehidupan manusia di bumi sebagai pemakmur bumi. [QS Hud 11:61]

Riwayat dan peranan manusia khalifah sebagai pemakmur bumi:

Wa idz qõla Robbuka lil-malāikati innī jā-‘ilun fil ardhi khalīfah”. Artinya, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku (Allah swt) hendak menjadikan seorang khalīfah.

Kata Arab khalīfah diartikan dalam bahasa Indonesia sebagaimana juga bunyinya dalam bahasa aslinya yaitu khalifah. Sedangkan oleh Abdullah Yusuf Ali, dalam bukunya “The Qur’an, Text, Translation and Comentary” menyebutkan khalīfah dalam bahasa Inggris sebagai visegerent. Visegerent bentuk kata benda yang artinya adalah, a person appointed by another especially by ruler. Yaitu orang yang mendapatkan tugas yang biasanya diberikan oleh seorang penguasa (yang kekuasaannya lebih tinggi daripada yang mendapat  tugas). Untuk apa? Untuk to exercise the latter’s power and authority. Demikianlah manusia khalifah diciptakan dan diberi tugas untuk melaksanakan kekuasaan dan otoritas dari-Nya. Manusia khalifah tersebut sebagai deputy atau wakil-Nya selaku mandataris untuk mengelola kehidupan manusia di bumi. Latter bentuk kata sifat yang artinya it represents the original. Yaitu melakukannya sesuai dengan apa-apa yang di perintahkan-Nya. [Yusuf Ali, The Qur’an, Text, Translation and Comentary, Published by Tahrike Tarsile Qur’an Inc. P.O. Box 1115 Corona-Elmhurst Station, Elmhurst, New York 11373-1115. hal. 24].

Dari keterangan Abdullah Yusuf Ali tersebut, artinya disini adalah kalaupun dia manusia berkuasa dan mempunyai otoritasnya itu dalam melakukan tugasnya mesti dan sepantasnya sesuai dengan isi perintah dan ketentuan-ketentuan dalam (cara) pelaksanaan dari pemberi mandatnya. Sebagaimana seorang Jendral memerintahkan Prajuritnya. Ada disiplin aturan yang mesti dipatuhinya. Begitu pula seorang Manager terhadap Bossnya. Jadi kalau dia - manusia sewenang-wenang dalam menjalankannya ‘power’ yang ada padanya itu tidak sesuai dengan pemberi mandat maka akan terjadi worst (malapetaka) dan chaos (kekacauan) bagi manusia itu sendiri. Ada amanah yaitu perintah sekaligus diberi kuasa (power) dan otoritas melaksanakannya, maka disitu timbul tanggung jawab dalam melaksanakan tugas kewajibannya. Jadi disini ada nilai moral integritas yang harus dipedomaninya dalam melaksanakan kewajibannya. □□□

Blog Archive