Oleh: A. Faisal Marzuki
Manusia
sebagai species makhluk unggulan dari
Sang Pencipta Alam Raya di Raya - universe,
dimana manusia khalifah ini diserahi tugas untuk mengelola kehidupan manusia di
bumi sebagai pemakmur bumi.
K
|
alau
ada waktu, sekurang-kurangnya seminggu sekali saya berolah raga jalan.
Kebetulan tempat saya tinggal tidak begitu besar seperti kota New York City
dan tidak pula kecil seperti Gettysburg di route 15, Maryland. Bandingan antara
kawasan pepohonan dan kawasan hunian sangat serasi sebagai kota yang bersih,
sehat, nyaman dan manusiawi. Jarak tempuh yang saya ambil dalam berolah raga
itu setidaknya 3 mil atau kira-kira 5 km dengan waktu kira-kira kurang dari 1
jam. Lintasan yang paling saya sukai adalah park
area. Yaitu, hutan kecil yang ditata rapih, ada jalan kecil sebagai
lintasan olah raga jalan, lari dan bersepeda. Park area ini dekat dengan daerah hunian. Jadi tidak terlalu
kesepian dalam kesendirian saya berolah raga jalan ini.
Suatu
ketika saya berada di deretan rumah-rumah yang cukup bagus dengan tanaman dan
rumput yang rapih seperti rapihnya taman bunga di daerah Cibubur tepi jalan
bebas hambatan Jagorawi. Melihat rumah-rumah itu terbuka juga wawasan kehidupan
saya, perintang hidup dari yang kadang kala kusut masai. Tengah asyik
mencuri-pandang rumah-rumah orang yang agak terlampau lama dilihat-lihat,
tiba-tiba terhenyak sadarkan diri dari keadaan satu rumah yang amat lain sekali
– seperti siang dan malam dari rumah tetangga kiri kanan dan sekitarnya. Hal
ini mengundang daya paham hikmah dari kejadian itu sebagai bahan penulisan
dalam blog ini.
Kenapa
saya menatap rumah yang satu ini dalam-dalam? Tidak lain karena tak habis pikir
dari bréngsék-nya keadaan rumah itu.
Hati saya berkata, “Kok kontras sekali dengan keadaan samping kiri dan kanan
rumah tetangganya”. Manusia yang di takdirkan akrab sekali dengan sesuatu yang
kasat mata, melihat dengan nyata rumput disekeliling rumah itu tumbuh liar yang
tingginya selutut saya. Pintu utama untuk masuk rumahnya sudah réot. Pagar teralisnya sudah berkarat yang
tidak ketolongan. Kaca jendela-jendelanya buram dan sebagiannya retak dan
pecah-pecah. Cat dari dinding-dindingnya sudah kusut masai alias tidak
mengkilat lagi, bahkan dibeberapa tempat terlihat mengelupas. Atap rumah
ditumbuhi pohon menjalar. Talangnya sebagi saluran air dari atap rumah dipenuhi
dedaunan dari rontokan pohon-pohon tinggi sekelilingnya. Saya terus terang
tidak tahu persis keadaan di dalam rumah itu, karena terlarang masuk pekarangan
rumah tanpa izin walupun tidak terlihat orang. Saya menduga keras sama bréngséknya dengan keadaan di luar.
Demikianlah
rumah jika tak bermanusia sangat terlantar dan merana. Dimana-mana berantakan
dan serba tidak teratur. Abandon – rumah
terlantar, kurang sedap dipandang mata. Terutama, bagi orang yang peduli,
keadaan seperti itu menjadi masalah. Rasanya gatal sekali, ingin
memperbaikinya.
Kebalikan
dari rumah tetangga sekelilingnya, rumah yang bermanusia rapih, indah dan
menyenangkan. Tidak perlu mewah, sederhana pun jadi, jika dikelola dengan baik.
Tak kalah indahnya dengan rumah mewah. Demikianlah rumah dengan manusia menjadi
hidup dan menarik. Sedang, tanpa manusia keadaannya jadi ambaradul alias kacau dan berantakan.
S
|
angat
boleh jadi dari sudut pandang potensi kemampuan manusia yang peduli dengan lingkungan
itulah Tuhan, Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan Adam as, dan menepis keberatan malaikat. Tuhan tetap melanjutkan
rencananya, meskipun pada awalnya Malaikat berkeberatan - Malaikat menduga
bahwa toh nantinya ciptaan baru itu akan seperti makhluk yang sebelumnya. “Proyek”
Adam as ini menjadi handalan-Nya.
Kebolehan Adam as terbukti dengan
kemampuan pengetahuannya yang melebihi para Malaikat. Dengan pengetahuan itu
manusia dapat menguasai dan melestarikan alam serta beradab sesamanya, asalkan
mau memahami ‘buku petunjuk’ dari yang menjadikan kita dan alam semesta ini - Rabbul ‘Alamīn.
Sebelum
manusia telah ada makhluk lain yang mendiami Bumi. Tapi sayang hidupnya penuh
dengan hukum rimba – tidak berbudaya dan berperadaban. Satu memangsa yang lain.
Mau menang sendiri. Coba saja lihat zaman prasejarah, yaitu zaman Dinosaurus.
Hutan yang indah habis dilalapnya, karena porsi makanannya sangat banyak dan
rakus. Dinosaurus telah menggangu ekosistim yang ada. Kalau lama dibiarkan
hidup, pepohonan dan air semuanya menjadi punah. Dengan itu Bumi dibuatnya
menjadi kering kerontang seperti planet Mars. Kita tahu Mars itu gersang, tak
berpenghuni. Kalau sudah begitu Bumi, maka jangankan manusia mau tinggal,
nyamuk pun tidak, karena sumber kehidupan tidak ada lagi.
Diserahkan
pengelolaan Bumi kepada tikus, maka walaupun bentuknya kecil, gudang beras yang
sebesar Super Mall Potomac Mill-pun kosong melompong, karena dikuras habis.
Apalagi kepada monyet-monyet. Kita tahu kerja monyet hanya bergayut dari satu
pohon ke pohon yang lain, mencari kutu, dan makan pisang dan makanan lain yang
disukainya serta bersenggama melanjutkan keturunan. Tidak mengelola Bumi agar lebih terpelihara ekosistimnya
serta lebih seronok untuk dihuni. Kita tahu kesemua hewan itu berada tidak ada
daya. Karena tidak ada kemampuan budaya membangun dan memperbaiki, kecuali
manusia.
Dengan
demikian kita tidak banyak berharap kepada dinosaurus dan tikus-tikus itu.
Apalagi kepada monyet-monyet, selain kepada manusia. Kenapa manusia? Karena
manusia oleh penciptanya diangkat dan dikukuhkan menjadi khalifah di Bumi. [1]
Sebaliknya
jika ada rumah berpenghuni manusia, rumah dan halamannya seperti junk yard – lapangan tempat barang rongsokan
yang tidak terpakai lagi, berantakan seperti “kapal pecah”. Ini tandanya bukan
manusia khalifah. Melainkan manusia hidup bertabiat lebih rendah dari khewan,
yaitu cuék – masa bodoh dan tak
perduli dengan keadaan lingkungannya. Baginya yang penting perutnya kenyang dan
nafsu syahwatnya terpenuhi. Sebaliknya dari itu, manusia yang bertabiat
khalifah adalah manusia yang peduli dengan lingkungannya secara proaktif. Yaitu
disamping peduli dengan dirinya, juga peduli dengan keluarganya, juga peduli dengan
masyarakat lingkungannya. Dalam melakukan kepeduliannya itu bekerja dengan
sebaik mungkin. Mengurus dengan selancar mungkin. Memperbaiki dengan seindah
mungkin. Menyelesaikan dengan setuntas mungkin.
Rumah
rapih bukan terjadi dengan sendirinya seperti hikayat 1001 malam, apalagi
mengorganisir manusia. Umumnya manusia itu penuh “réwél”. Terutama kalau sudah
terbiasa “bébas” - liar yang tidak bertanggung jawab, semau gué. Dipaksa dia
tidak mungkin, karena manusia bukan robot. Dibiarkan mengerti sendiri tidak
mungkin, karena manusia bukan malaikat yang kepatuhannya sudah menjadi
budayanya. Dalam diri malaikat telah dipasang perangkat “kesadaran akan
kepatuhan”. Berlainan dengan manusia, dalam kesadaran kepatuhannya memerlukan learning process – proses pembelajaran.
Karena itu manusia perlu Da’i, juga perlu Guru, serta Community – Organisasi Masyarakat, apalagi Orang Tua. □ AFM
Catatan Kaki:
[1]
Manusia sebagai species makhluk
unggulan dari Sang Pencipta Alam Raya di Raya - universe, dimana manusia khalifah [QS al-Baqarah 2:30] ini diserahi
tugas untuk mengelola kehidupan manusia di bumi sebagai pemakmur bumi. [QS Hud
11:61]
Riwayat
dan peranan manusia khalifah sebagai pemakmur bumi:
“Wa idz qõla Robbuka lil-malāikati innī jā-‘ilun
fil ardhi khalīfah”. Artinya, “Dan ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku (Allah swt) hendak menjadikan seorang khalīfah.
Kata
Arab khalīfah diartikan dalam bahasa Indonesia sebagaimana juga bunyinya dalam
bahasa aslinya yaitu khalifah. Sedangkan oleh Abdullah Yusuf Ali, dalam bukunya
“The Qur’an, Text, Translation and Comentary” menyebutkan khalīfah dalam bahasa
Inggris sebagai visegerent. Visegerent bentuk kata benda yang
artinya adalah, a person appointed by
another especially by ruler. Yaitu orang yang mendapatkan tugas yang
biasanya diberikan oleh seorang penguasa (yang kekuasaannya lebih tinggi
daripada yang mendapat tugas). Untuk
apa? Untuk to exercise the latter’s
power and authority. Demikianlah manusia khalifah diciptakan dan diberi
tugas untuk melaksanakan kekuasaan dan otoritas dari-Nya. Manusia khalifah
tersebut sebagai deputy atau wakil-Nya selaku mandataris untuk mengelola
kehidupan manusia di bumi. Latter
bentuk kata sifat yang artinya it
represents the original. Yaitu melakukannya sesuai dengan apa-apa yang di
perintahkan-Nya. [Yusuf Ali, The Qur’an, Text, Translation and Comentary,
Published by Tahrike Tarsile Qur’an Inc. P.O. Box 1115 Corona-Elmhurst Station,
Elmhurst, New York 11373-1115. hal. 24].
Dari
keterangan Abdullah Yusuf Ali tersebut, artinya disini adalah kalaupun dia
manusia berkuasa dan mempunyai otoritasnya itu dalam melakukan tugasnya mesti
dan sepantasnya sesuai dengan isi perintah dan ketentuan-ketentuan dalam (cara)
pelaksanaan dari pemberi mandatnya. Sebagaimana seorang Jendral memerintahkan
Prajuritnya. Ada disiplin aturan yang mesti dipatuhinya. Begitu pula seorang
Manager terhadap Bossnya. Jadi kalau
dia - manusia sewenang-wenang dalam menjalankannya ‘power’ yang ada
padanya itu tidak sesuai dengan pemberi mandat maka akan terjadi worst (malapetaka) dan chaos (kekacauan) bagi manusia itu
sendiri. Ada amanah yaitu perintah sekaligus diberi kuasa (power) dan otoritas melaksanakannya, maka disitu timbul tanggung
jawab dalam melaksanakan tugas kewajibannya. Jadi disini ada nilai moral
integritas yang harus dipedomaninya dalam melaksanakan kewajibannya. □□□