alladzī
khalaqal mauta walhayāta liyab luwakum ayyukum ahsanu ‘amalā,
wahuwal ‘azīzul ghafūr – Yang menciptakan
mati dan hidup untuk menguji kamu (selagi hidup), siapa di antara kamu yang
lebih baik amalan pekerjaannya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Pengampun. [QS Al-Mulk
67:2]
Kata Pengantar
Jamaluddin
Al-Afghani hidup di abad ke 19. Ketika itu negara-negara yang berpemerintahan Muslim
atau yang berpenduduk mayoritas Muslim dibawah pendudukan negara asing yang dimulai
dari abad ke-16, dalam case
Al-Afghani adalah Inggris. Inggris ketika itu menyebutkan diribangsanya sebagai
negara imperium “Britania Raya”. Penulis
ketika masih umur belasan tahun masih menemukan sebuah mesin ketik dengan
menyebutkan “Made in British Empire”. Semboyan bangsa Inggris menyebutkan: “Dimana
ada matahari terbit, disitu ada Inggris Raya”. Inggris menduduki di banyak negara-negara
jajahan di dunia, sebagian besarnya adalah negara-negara berpenduduk Muslim.
Hal inilah yang membangkitkan semangat Al-Afghani agar Islam bangkit dan
terlepas dari penjajahan [1] Barat yang “kebetulan” non Muslim. Demikian sejarah
telah mencatatnya.
Dalam buku
harian Al-Afghani mencatat sebagai berikut: “Hari ini,
agama Islam seperti kapal. Kaptennya Muhammad saw. Semua penumpang kapal
suci ini adalah kaum Muslimin. Kapal kebahagiaan ini terjebak dalam badai dan
terancam tenggelam. Orang-orang non-Muslim dan Pemikir Bebas dari setiap sisi
telah menusuk kapal ini “. [Jamaluddin Al-Afghani]
Namun
demikian Al-Afghani tidak benci dengan membabibuta terhadap Barat, tapi sifat kolonialisme
penjajahan yang menindas penduduk setempat dan menjarah kekayaan alam yang
tidak disukainya. Ini adalah wajar sebagai rasa kemanusiaan yang universal,
siapa pun dia. Hal ini dapat dilihat dari adanya suatu cerita yang disampaikan tentang Afghani yang
hijrah ke Perancis, dan setelah kembalinya ke Mesir, Afghani pun ditanya oleh
temannya, “Apa yang kau peroleh dari sana wahai Afghani?” Dan kemudian dijawabnya,
“Sesungguhnya aku banyak menemukan Islam [2] disana namun sedikit Muslim”.
Jamaludin Al-Afghani adalah seorang
arsitek dari kebangkitan intelektual Islam modern, dan seorang pemikir anti-penjajahan.
Yang bernama lengkap Sayyid Jamaluddin Al-Afghani ini tercatat mengambil jalan
tengah, yaitu antara tradisionalisme dan modernisme. Sama halnya dianggap, di
Timur dan Barat, sebagai pembela Islam, dan sumber utama dari revolusi Islam di
abad ke-19. Dia dihormati di dunia Arab dan negara-negara Muslim lainnya
sebagai Hakīm al-Sharq (orang bijak
dari Timur). □ AFM
Pendahuluan
P
|
ergolakan kebangkitan umat Islam
senantiasa bergelora dari zaman ke zaman. Dimulai dari masa penjajahan
bangsa-bangsa Eropa terhadap tanah-tanah umat Islam, hingga sampai ke zaman
penjajahan pemikiran seperti yang kita rasakan. Umat Islam seakan digiring
untuk menjauhi inti pokok ajaran Islam itu sendiri. Tentu saja patut disyukuri
ketika terus bermunculannya gerakan-gerakan yang mengusung kebangkitan Islam
sebagai dasar berdirinya dengan berbagai macam corak dan gayanya. Ada yang
bergerak di bidang politik dan ada pula di bidang pendidikan.
Hanya saja disayangkan gerakan-gerakan
tersebut belum satu kata satu langkah. Bagaimana mungkin ketika yang satu
membangun sedang yang lain meruntuhkan. Bangunan yang dicita-citakan tentu
tidak akan pernah terwujud. Persatuan umat Islam saat ini masih berupa
cita-cita di dalam diri mereka yang ikhlas berjuang untuk agamanya - Baca juga
blog ini dengan tema “Umat Dalam Jurang Kebinasaan?”
Mengingat kembali semangat dan gelora
kebangkitan Islam itu dengan mempelajari riwayat hidup, pemikiran dan cita-cita
para tokohnya adalah cara yang paling mujarab untuk membangkitkan kembali
kesadaran umat. Berikut ini penulis akan membahas sepenggal riwayat hidup bapak
revolusioner Islam, Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 CE). Karena beliaulah yang
paling lantang meneriakkan kebangkitan politik umat Islam di atas panji
persatuan, persatuan atas nama Islam dan kemerdekaan kebangsaan nasional
negara-negara Islam. Kajian ini akan berkisar seputar seperti apa dan bagaimana
pemikiran kebangkitan Islam ala Jamaluddin al-Afghani muncul.
Riwayat Hidup
Jamaluddin al- Afghani adalah salah
seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke-19 yang agak berbeda dari
kedua pemimpin sebelum dia, Muhammad bin Abdul Wahab (abad-18) dan Muhammad bin
Ali al-Sanusi (awal abad-19). [3] Beliau adalah seorang
arsitek dari kebangkitan intelektual Islam modern, dan seorang pemikir
anti-imperialis. Jamaluddin al-Afghani lahir di kota As'adabad, Afghanistan
tahun 1839 CE dan meninggal dunia di Istambul di tahun 1897 M.
[4]
Sayyid Shaftar adalah ayah Afghani yang
dikenal dengan gelar Shaftar al-Husaini. Beliau tergolong keluarga ulama
terhormat dan mempunyai hubungan nasab dengan Hussein bin Ali ra, dan dari pihak Ali al-Tirmizi,
seorang ulama perawi hadits. Afghani mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Diantara adalah bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharaf, ilmu bayan dan
ma’aninya; ilmu syari’ah yang meliputi tafsir, hadits dan musthalahnya, fiqh
dan ushulnya; ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu kalam, ilmu tasawwuf, filsafat,
logika, etika dan politik, fisika dan ilmu pasti, yang mencakup matematika,
geometri, aljabar, ilmu kedokteran dan anatomi. [5]
Dengan bekal penguasaan ilmu
pengetahuan dari berbagai disiplin, akhirnya muncullah sosok Jamaluddin
al-Afghani dengan karakternya yang khas. Seperti ditulis oleh Hourani, Afghani
digambarkan sebagai seorang yang sangat setia dengan keyakinan-keyakinannya dan
tegar dalam menegakkan keyakinannya tersebut, bersikap zuhud tetapi cepat marah
apabila disinggung kehormatan diri dan agamanya. [6]
Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India, negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini, dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun, Afghani masih sempat pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sepulang dari haji, Afghani pergi ke
Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad, yang
kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu, Dost
Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum
cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost
terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani diusir dari Kabul. [7]
Meninggalkan Kabul, Afghani berkelana
ke Hijaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher Ali
berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur Hijaz
melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869 Afghani
masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh pemerintah
India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin India
berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh Afghani akan
menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah India
mengusir Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang bergolak. [8]
Di Mesir Afghani melakukan kontak
dengan mahasiswa Al-Azhar yang terkagum-kagum dengan wawasan dan ide-idenya.
Salah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi murid Afghani adalah Muhammad
Abduh. [9] Dari Mesir, Afghani pergi ke Istanbul untuk
berdakwah. Di ibu kota Turki ini Afghani mendapat sambutan yang luar biasa.
Ketika memberi ceramah di Universitas Konstantinopel. Salah seorang ulama
setempat, Syaikhul Islam, merasa tersaingi. Ia segera menghasut pemerintah
Turki untuk mewaspadai gagasan-gagasan Afghani. Buntutnya, Afghani didepak
keluar dari Turki pada tahun 1871.
Afghani menjejakkan kakinya di Kairo
untuk yang kedua kalinya. Di Mesir Afghani melanjutkan dakwahnya yang pernah
terputus dan segera mempengaruhi para mahasiswa dan ulama Al-Azhar. Tetapi,
pemberontakan kaum nasionalis Mesir pada tahun 1882 berujung pada tindakan
deportasi oleh pemerintah Mesir yang mencurigai Afghani ada di belakang
pemberontakan. [10]
Afghani dideportasi ke India (1879),
tetapi tak lama ia sudah berada dalam perjalanan ke London (1883), kota yang
pernah disinggahinya ketika ia berdakwah di Paris. Di London ia bertemu dengan
Muhammad Abduh, muridnya yang ternyata juga dikucilkan oleh pemerintah Mesir. [11]
Dari London, Afghani bertualang ke
Moskow (1890). Ia tinggal selama empat tahun di St. Petersburgh. Di sini
pengaruh Afghani segera menjalar ke lingkungan intelektual yang dipercaya oleh
Tsar Rusia. Salah satu hasil dakwah Afghani kepada mereka adalah keluarnya izin
pencetakan Al-Quran ke dalam bahasa Rusia. Dan akhirnya memenuhi undangan
Sultan Abdul Hamid di Turki, sampai dia meninggal di Istanbul sebagai tahanan
politik pada tahun 1897. [12]
Latar Belakang Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani
Sebuah pemikiran tentu mempunyai latar
belakang yang sangat berpengaruh dalam pembentukannya. Apalagi sebuah ide yang
terus hidup beratus tahun dan terus diperjuangkan oleh pengusungnya. Maka tidak
diragukan lagi pemikiran Jamaluddin al-Afghani berdasarkan pondasi dan proses
pematangan yang kuat.
●
Kondisi Keluarga.
Jamaluddin al-Afghani dilahirkan di
tengah keluarga ulama dan bangsawan terhormat. Beliau mempunyai hubungan nasab
dengan Hussein bin Ali ra, sekaligus dengan
seorang perawi hadits yang sangat masyhur, Sayyid Ali al-Tirmizi. Oleh karena
itu di depan nama Jamaluddin al-Afghani diberi title ‘Sayyid’. Keluarga Afghani
adalah penganut mazhab Hanafi yang taat. Dididik oleh ayahnya, beliau sudah
hafal al-Qur’an sejak umur 12 tahun, kemudian ketika menginjak 18 tahun, beliau
sudah mendalami pelbagai bidang ilmu keislaman dan ilmu umum.
Pada umur delapan tahun, beliau sudah merasakan bagaimana pemerintahan tirani dan penjara rumah. Pada umur yang sangat belia ini pemerintah Afghanistan, Dost Muhammad Khan, memerintahkan beliau sekeluarga untuk pindah ke ibukota, Kabul, untuk pengawasan ketat terhadap keluarganya. [13]
●
Kondisi
Social, Ekonomi dan Budaya.
Umat Islam yang ditemukan oleh Afghani
di masa itu adalah umat yang lemah. Umat yang terpecah-pecah sehingga saling
acuh satu sama lainnya. Umat yang telah kehilangan rasa persaudaraan dan
solidaritas sesama muslim yang menjadikan masyarakat Islam rentan terhadap
perpecahan. Semua sibuk dengan kekuasaan masing-masing, sibuk dengan kelompok
dan pertikaian antar mazhab, mazhab fikih maupun aqidah. [14]
Abad 16-18 ditandai dengan penjajahan
ekonomi dan militer di tanah muslim oleh Negara-negara Barat yang didukung oleh
Gereja. Kampanye ini juga penting bagi Barat dalam mengendalikan bahan baku dan
rute laut untuk kegiatan perdagangan mereka. Umat Islam tertindas secara
ekonomi dan beralih kepada bangsa pekerja (buruh).
Kebudayaan Islami juga mulai terkikis
oleh pengaruh budaya Barat. Umat Islam sudah mulai condong meniru-niru apa saja
yang berbau Barat. Mulai dari cara pergaulan, cara berpakaian, cara berbicara
dan cara berpikir terhadap agama dan kebangsaan. □
Bersambung ke: Jamaluddin Al-Afghani Bapak Kebangkitan Islam 2
Catatan Kaki:
[1] Kolonialisme adalah
suatu
paham yang membolehkan penjajah untuk mendirikan kekuasaan diwilayah yang bukan
tanah wilayahnya. Selanjutnya
mengakuisisi wilayah
jajahan menjadi milik penjajah. Kemudiannya, mengeksploitasi sumber alam dan penduduknya, dengan pemerintahan dibawah tangan penjajah. Perolehan kekuasaan dilakukan dengan kekuatan bersenjata dan
menindas penduduk asli yang mencoba melawannya. Setelah dikuasi hubungan antara
penjajah dan penduduk asli yang dijajah itu tidak setara. Penduduk asli
kehilangan segala hak ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan serta harta
dan tanah yang dimiliki penduduk asli.
[Colonialism is the establishment,
exploitation, maintenance, acquisition, and expansion of colony in one territory
by a political power from another territory. It is a set of unequal
relationships between the colonial power and the colony and often between the
colonists and the indigenous population.]
[2]
Didalam negeri pemerintahannya adil dan menyayomi warganya. Warganya taat
kepada hukum. Kebebasan peribadatan Nashrani dari berbagai sekte dan aliran pemikiran
dilindungi. Warganya mendapat pekerjaan dan membayar pajak kepada negara.
Kesejahteraan hidup dalam negara tersebut terjamin dengan baik. Sementara itu, birokrasi “pemerintahan” yang dilakukan Muslim terhadap warga Muslimnya sendiri ketika itu tidak memperlakukan warganya seperti itu,
selain kaum elitnya saja yang sejahtera.
[3]
Muhammad al-Bahily, Pemikiran Islam Modern, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1968,
hal. 30
[4] Muhammad Imarah,
Jamaluddin al-Afghani, Dar al-Syuruq, Kairo, 2008, hal. 22
[5] Tim Penyusun IAIN
Syahid, Ensiklopedia islam Indonesia. Jambatan, Jakarta, 1992, hal. 62
[6] Albert Hourani,
Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939, Oxford University press,
London,1962, hal. 112
[7] Muhammad Imarah,
op.cit, hal. 49
[8] Ibid, hal. 50
[9] Ahmad Amin, Zu’ama
al-Ishlah fi al-‘Ashr al-Hadits, Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, Kairo, 1977,
hal. 52
[10] Harun Nasution,
Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan gerakan, Bulan Bintang Jakarta,
1975, hal. 52
[11] Muhammad Imarah,
op.cit, hal. 67
[12] Harun Nasution,
op.cit, hal. 54
[13] Muhammad Imarah,
op.cit, hal. 96
[14] Ibid, hal. 41
Sumber:
http://yahya-ibrahim.blogspot.com/2013/11/jamaluddin-al-afghani.html
dan sumber-sumber lainnya. □□□
dan sumber-sumber lainnya. □□□