Sunday, December 6, 2015

Jamaluddin Al-Afghani Bapak Kebangkitan Islam 1




alladzī khalaqal mauta walhayāta liyab luwakum ayyukum ahsanu ‘amalā, wahuwal ‘azīzul ghafūr – Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu (selagi hidup), siapa di antara kamu yang lebih baik amalan pekerjaannya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Pengampun. [QS Al-Mulk 67:2]


Kata Pengantar

Jamaluddin Al-Afghani hidup di abad ke 19. Ketika itu negara-negara yang berpemerintahan Muslim atau yang berpenduduk mayoritas Muslim dibawah pendudukan negara asing yang dimulai dari abad ke-16, dalam case Al-Afghani adalah Inggris. Inggris ketika itu menyebutkan diribangsanya sebagai negara imperium “Britania Raya”.  Penulis ketika masih umur belasan tahun masih menemukan sebuah mesin ketik dengan menyebutkan “Made in British Empire”. Semboyan bangsa Inggris menyebutkan: “Dimana ada matahari terbit, disitu ada Inggris Raya”. Inggris menduduki di banyak negara-negara jajahan di dunia, sebagian besarnya adalah negara-negara berpenduduk Muslim. Hal inilah yang membangkitkan semangat Al-Afghani agar Islam bangkit dan terlepas dari penjajahan [1] Barat yang “kebetulan” non Muslim. Demikian sejarah telah mencatatnya.

Dalam buku harian Al-Afghani mencatat sebagai berikut: “Hari ini, agama Islam seperti kapal. Kaptennya Muhammad saw. Semua penumpang kapal suci ini adalah kaum Muslimin. Kapal kebahagiaan ini terjebak dalam badai dan terancam tenggelam. Orang-orang non-Muslim dan Pemikir Bebas dari setiap sisi telah menusuk kapal ini “. [Jamaluddin Al-Afghani]

Namun demikian Al-Afghani tidak benci dengan membabibuta terhadap Barat, tapi sifat kolonialisme penjajahan yang menindas penduduk setempat dan menjarah kekayaan alam yang tidak disukainya. Ini adalah wajar sebagai rasa kemanusiaan yang universal, siapa pun dia. Hal ini dapat dilihat dari adanya suatu  cerita yang disampaikan tentang Afghani yang hijrah ke Perancis, dan setelah kembalinya ke Mesir, Afghani pun ditanya oleh temannya, “Apa yang kau peroleh dari sana wahai Afghani?” Dan kemudian dijawabnya, “Sesungguhnya aku banyak menemukan Islam [2] disana namun sedikit Muslim”.

Jamaludin Al-Afghani adalah seorang arsitek dari kebangkitan intelektual Islam modern, dan seorang pemikir anti-penjajahan. Yang bernama lengkap Sayyid Jamaluddin Al-Afghani ini tercatat mengambil jalan tengah, yaitu antara tradisionalisme dan modernisme. Sama halnya dianggap, di Timur dan Barat, sebagai pembela Islam, dan sumber utama dari revolusi Islam di abad ke-19. Dia dihormati di dunia Arab dan negara-negara Muslim lainnya sebagai Hakīm al-Sharq (orang bijak dari Timur). □ AFM

Pendahuluan
                
P
ergolakan kebangkitan umat Islam senantiasa bergelora dari zaman ke zaman. Dimulai dari masa penjajahan bangsa-bangsa Eropa terhadap tanah-tanah umat Islam, hingga sampai ke zaman penjajahan pemikiran seperti yang kita rasakan. Umat Islam seakan digiring untuk menjauhi inti pokok ajaran Islam itu sendiri. Tentu saja patut disyukuri ketika terus bermunculannya gerakan-gerakan yang mengusung kebangkitan Islam sebagai dasar berdirinya dengan berbagai macam corak dan gayanya. Ada yang bergerak di bidang politik dan ada pula di bidang pendidikan.
                
Hanya saja disayangkan gerakan-gerakan tersebut belum satu kata satu langkah. Bagaimana mungkin ketika yang satu membangun sedang yang lain meruntuhkan. Bangunan yang dicita-citakan tentu tidak akan pernah terwujud. Persatuan umat Islam saat ini masih berupa cita-cita di dalam diri mereka yang ikhlas berjuang untuk agamanya - Baca juga blog ini dengan tema “Umat Dalam Jurang Kebinasaan?
 
Mengingat kembali semangat dan gelora kebangkitan Islam itu dengan mempelajari riwayat hidup, pemikiran dan cita-cita para tokohnya adalah cara yang paling mujarab untuk membangkitkan kembali kesadaran umat. Berikut ini penulis akan membahas sepenggal riwayat hidup bapak revolusioner Islam, Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 CE). Karena beliaulah yang paling lantang meneriakkan kebangkitan politik umat Islam di atas panji persatuan, persatuan atas nama Islam dan kemerdekaan kebangsaan nasional negara-negara Islam. Kajian ini akan berkisar seputar seperti apa dan bagaimana pemikiran kebangkitan Islam ala Jamaluddin al-Afghani muncul.
 
Riwayat Hidup
                
Jamaluddin al- Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke-19 yang agak berbeda dari kedua pemimpin sebelum dia, Muhammad bin Abdul Wahab (abad-18) dan Muhammad bin Ali al-Sanusi (awal abad-19). [3] Beliau adalah seorang arsitek dari kebangkitan intelektual Islam modern, dan seorang pemikir anti-imperialis. Jamaluddin al-Afghani lahir di kota As'adabad, Afghanistan tahun 1839 CE dan meninggal dunia di Istambul di tahun 1897 M. [4]
                
Sayyid Shaftar adalah ayah Afghani yang dikenal dengan gelar Shaftar al-Husaini. Beliau tergolong keluarga ulama terhormat dan mempunyai hubungan nasab dengan Hussein bin Ali ra, dan dari pihak Ali al-Tirmizi, seorang ulama perawi hadits. Afghani mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Diantara adalah bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharaf, ilmu bayan dan ma’aninya; ilmu syari’ah yang meliputi tafsir, hadits dan musthalahnya, fiqh dan ushulnya; ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu kalam, ilmu tasawwuf, filsafat, logika, etika dan politik, fisika dan ilmu pasti, yang mencakup matematika, geometri, aljabar, ilmu kedokteran dan anatomi. [5]
                
Dengan bekal penguasaan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin, akhirnya muncullah sosok Jamaluddin al-Afghani dengan karakternya yang khas. Seperti ditulis oleh Hourani, Afghani digambarkan sebagai seorang yang sangat setia dengan keyakinan-keyakinannya dan tegar dalam menegakkan keyakinannya tersebut, bersikap zuhud tetapi cepat marah apabila disinggung kehormatan diri dan agamanya. [6]


Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India, negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini, dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun, Afghani masih sempat pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Sepulang dari haji, Afghani pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu, Dost Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani diusir dari Kabul. [7]

Meninggalkan Kabul, Afghani berkelana ke Hijaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher Ali berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur Hijaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869 Afghani masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin India berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh Afghani akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah India mengusir Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang bergolak. [8]
                
Di Mesir Afghani melakukan kontak dengan mahasiswa Al-Azhar yang terkagum-kagum dengan wawasan dan ide-idenya. Salah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi murid Afghani adalah Muhammad Abduh. [9] Dari Mesir, Afghani pergi ke Istanbul untuk berdakwah. Di ibu kota Turki ini Afghani mendapat sambutan yang luar biasa. Ketika memberi ceramah di Universitas Konstantinopel. Salah seorang ulama setempat, Syaikhul Islam, merasa tersaingi. Ia segera menghasut pemerintah Turki untuk mewaspadai gagasan-gagasan Afghani. Buntutnya, Afghani didepak keluar dari Turki pada tahun 1871.
     
Afghani menjejakkan kakinya di Kairo untuk yang kedua kalinya. Di Mesir Afghani melanjutkan dakwahnya yang pernah terputus dan segera mempengaruhi para mahasiswa dan ulama Al-Azhar. Tetapi, pemberontakan kaum nasionalis Mesir pada tahun 1882 berujung pada tindakan deportasi oleh pemerintah Mesir yang mencurigai Afghani ada di belakang pemberontakan. [10]
    
Afghani dideportasi ke India (1879), tetapi tak lama ia sudah berada dalam perjalanan ke London (1883), kota yang pernah disinggahinya ketika ia berdakwah di Paris. Di London ia bertemu dengan Muhammad Abduh, muridnya yang ternyata juga dikucilkan oleh pemerintah Mesir. [11]

Dari London, Afghani bertualang ke Moskow (1890). Ia tinggal selama empat tahun di St. Petersburgh. Di sini pengaruh Afghani segera menjalar ke lingkungan intelektual yang dipercaya oleh Tsar Rusia. Salah satu hasil dakwah Afghani kepada mereka adalah keluarnya izin pencetakan Al-Quran ke dalam bahasa Rusia. Dan akhirnya memenuhi undangan Sultan Abdul Hamid di Turki, sampai dia meninggal di Istanbul sebagai tahanan politik pada tahun 1897. [12]


Latar Belakang Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani


Sebuah pemikiran tentu mempunyai latar belakang yang sangat berpengaruh dalam pembentukannya. Apalagi sebuah ide yang terus hidup beratus tahun dan terus diperjuangkan oleh pengusungnya. Maka tidak diragukan lagi pemikiran Jamaluddin al-Afghani berdasarkan pondasi dan proses pematangan yang kuat.

Kondisi Keluarga.

Jamaluddin al-Afghani dilahirkan di tengah keluarga ulama dan bangsawan terhormat. Beliau mempunyai hubungan nasab dengan Hussein bin Ali ra, sekaligus dengan seorang perawi hadits yang sangat masyhur, Sayyid Ali al-Tirmizi. Oleh karena itu di depan nama Jamaluddin al-Afghani diberi title ‘Sayyid’. Keluarga Afghani adalah penganut mazhab Hanafi yang taat. Dididik oleh ayahnya, beliau sudah hafal al-Qur’an sejak umur 12 tahun, kemudian ketika menginjak 18 tahun, beliau sudah mendalami pelbagai bidang ilmu keislaman dan ilmu umum.


Pada umur delapan tahun, beliau sudah merasakan bagaimana pemerintahan tirani dan penjara rumah. Pada umur yang sangat belia ini pemerintah Afghanistan, Dost Muhammad Khan, memerintahkan beliau sekeluarga untuk pindah ke ibukota, Kabul, untuk pengawasan ketat terhadap keluarganya. [13] 

Kondisi Social, Ekonomi dan Budaya.

Umat Islam yang ditemukan oleh Afghani di masa itu adalah umat yang lemah. Umat yang terpecah-pecah sehingga saling acuh satu sama lainnya. Umat yang telah kehilangan rasa persaudaraan dan solidaritas sesama muslim yang menjadikan masyarakat Islam rentan terhadap perpecahan. Semua sibuk dengan kekuasaan masing-masing, sibuk dengan kelompok dan pertikaian antar mazhab, mazhab fikih maupun aqidah. [14]

Abad 16-18 ditandai dengan penjajahan ekonomi dan militer di tanah muslim oleh Negara-negara Barat yang didukung oleh Gereja. Kampanye ini juga penting bagi Barat dalam mengendalikan bahan baku dan rute laut untuk kegiatan perdagangan mereka. Umat Islam tertindas secara ekonomi dan beralih kepada bangsa pekerja (buruh).

Kebudayaan Islami juga mulai terkikis oleh pengaruh budaya Barat. Umat Islam sudah mulai condong meniru-niru apa saja yang berbau Barat. Mulai dari cara pergaulan, cara berpakaian, cara berbicara dan cara berpikir terhadap agama dan kebangsaan. □



Catatan Kaki:

[1] Kolonialisme adalah suatu paham yang membolehkan penjajah untuk mendirikan kekuasaan diwilayah yang bukan tanah wilayahnya. Selanjutnya mengakuisisi wilayah jajahan menjadi milik penjajah. Kemudiannya, mengeksploitasi sumber alam dan penduduknya, dengan pemerintahan dibawah tangan penjajah. Perolehan kekuasaan dilakukan dengan kekuatan bersenjata dan menindas penduduk asli yang mencoba melawannya. Setelah dikuasi hubungan antara penjajah dan penduduk asli yang dijajah itu tidak setara. Penduduk asli kehilangan segala hak ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan serta harta dan tanah yang dimiliki penduduk asli. [Colonialism is the establishment, exploitation, maintenance, acquisition, and expansion of colony in one territory by a political power from another territory. It is a set of unequal relationships between the colonial power and the colony and often between the colonists and the indigenous population.]
[2] Didalam negeri pemerintahannya adil dan menyayomi warganya. Warganya taat kepada hukum. Kebebasan peribadatan Nashrani dari berbagai sekte dan aliran pemikiran dilindungi. Warganya mendapat pekerjaan dan membayar pajak kepada negara. Kesejahteraan hidup dalam negara tersebut terjamin dengan baik. Sementara itu, birokrasi “pemerintahan” yang dilakukan Muslim terhadap warga Muslimnya sendiri ketika itu tidak memperlakukan warganya seperti itu, selain kaum elitnya saja yang sejahtera.
[3] Muhammad al-Bahily, Pemikiran Islam Modern, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1968, hal. 30
[4] Muhammad Imarah, Jamaluddin al-Afghani, Dar al-Syuruq, Kairo, 2008, hal. 22
[5] Tim Penyusun IAIN Syahid, Ensiklopedia islam Indonesia. Jambatan, Jakarta, 1992, hal. 62
[6] Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939, Oxford University press, London,1962, hal. 112
[7] Muhammad Imarah, op.cit, hal. 49
[8] Ibid, hal. 50
[9] Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlah fi al-‘Ashr al-Hadits, Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, Kairo, 1977, hal. 52
[10] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan gerakan, Bulan Bintang Jakarta, 1975, hal. 52
[11] Muhammad Imarah, op.cit, hal. 67
[12] Harun Nasution, op.cit, hal. 54
[13] Muhammad Imarah, op.cit, hal. 96
[14] Ibid, hal. 41

Sumber:

http://yahya-ibrahim.blogspot.com/2013/11/jamaluddin-al-afghani.html
dan sumber-sumber lainnya. □□□

Blog Archive