Monday, March 7, 2016

Konsep Persatuan Kehidupan dalam Islam 1



Oleh: A. Faisal Marzuki





Mukaddimah


“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” [QS Al-Maidah  5:2].


A
lam manusia ini unik atau khas. Dia adalah makhluk individual, single, sendiri atau perorangan, namun dia juga makhluk yang suku berkelompok, manusia bersosial-kemasyarakatan. Sering juga disebut secara antropologis sebagai manusia homo-sapiens yang suka berkelompok-kelompok atau homo-social. Dari kelompok-kelompok ini menjadi bersatu dalam kelompok yang lebih besar. dan seterusnya dan seterusnya. Dalam bahasa Al-Qur’an disebut bersuku-suku dan berbangsa-bangsa [QS 49:13]. Artinya, berkelompok menjadi satu kesatuan dalam bentuk suku, dan berkelompok menjadi satu kesatuan dalam bentuk bangsa. Satuan dalam suku, dan ini banyak, ada dalam bentuk banyak suku (suku-suku). Satuan dalam bangsa, dan ini  banyak, ada dalam bentuk banyak bangsa (bangsa-bangsa).

  Mereka berkelompok, karena ada kepentingan bersama dalam hidup mereka masing-masing yang telah bersatu itu. Pada dasarnya manusia itu kalau hidup secara sendiri-sendiri menjadi lemah, gersang, tidak mudah dan tidak aman. Dengan kata lain, hidup tidak menjadi mudah, karena ada tantangan alam di sekitarnya. Apalagi hidup individual atau sendiri-sendiri ini, sebenarnya, melawan kodrat fitrahnya sendiri sebagai manusia. Karena secara primordial kauniyyah di dalam diri manusia disamping sebagai makhluk individual, juga sebagai makhluk sosial (bermasyarakat, berkelompok). Pada alam khewan saja, yaitu makhluk yang akal fikirannya tidak setinggi makhluk manusia, hidupnya berkelompok, sesuai dengan bangsanya. Contoh “bangsa” tupai (squirrel), berkelompok sesama “bangsa” tupai. “Bangsa” burung hitam (crow bird), berkelompok sesama “bangsa” burung hitam. “Bangsa” burung gereja (sparrow bird), berkelompok sesama “bangsa” burung-gereja. Lihat saja kalau musim semi atau musim gugur datang, mereka berkumpul di belakang halaman rumah (backyard) atau di lingkungan park area dalam mencari dan kemudian makan bersama dalam kelompoknya masing-masing. Ketika itu masing-masing kelompok sudah tahu dimana wilayah “ekonomi” dan “kekuasaan” yang tidak boleh dilanggar satu sama lain. Ada yang mencoba-coba, diusir dan kembali ketempatnya lagi. Ini saya perhatikan tabiat khewan seperti itu dari halaman apartmen tempat tinggal penulis.

   Selanjutnya bangsa-bangsa burung ini ada lagi jenis-jenisnya, sebut saja, ada pula suku-sukunya. Masing-masing suku-suku ini hidupnya sesuai dengan kelompok suku dari mana jenis keturunannya berasal. Contoh burung gereja, hidup sesama burung gereja. Burung hitam, sesama burung hitam. Tupai sesama tupai. Kalau musim spring (musim semi atau bunga) atau fall (musim gugur), mereka keluar semua, mencari makan dalam kelompok masing-masing.

   Nah kalau manusia tidak seperti alam khewan yang “akur” dalam kelompoknya, apatah lagi manusia? Akal fikiran manusia lebih cerdas dari alam khewan itu. Bahkan dia dapat mengatasi kompleksitas kolompok suku-suku dan kelompok bangsa-bangsa. Ia hidup lebih advance dari alam khewan, yaitu harus mampu dan bisa hidup bersama diluar kelompok sukunya atau kelompok bangsanya.  Manusia harus mampu dan bisa hidup aman, sejahtera, bahagia, dan damai dalam kehidupan lintas hubung sosial kemasyarakatan antar suku-suku, maupun antar bangsa-bangsa. Sebetulnya itulah guna adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa - PBB. Artinya bangsa (nation, negara) dari setiap negara berdaulat, antar negara, dapat hidup dalam rukun dan damai. Tapi, ternyata kehendak masing-masing belum bisa terwujud secara maksimal dan signifikan sebagai makhluk berbudaya atau berperadaban di millennium ke-3 ini, dimana ilmu pengetahuan sains dan teknologi (ipstek) sudah maju. Juga ditopang oleh sistim organisasi dan hukum serta akhlak integritas sosial (sohais) ditegakkan benar-benar dengan konsekuen, terutama di negara-negara barat yang sudah maju dalam urusan dalam negerinya dan urusan sesama asal keturunan Eropa.

●●●

   Pada masa kini, abad ke-21, millennium ke-3, di sana-sini masih terjadi peperangan. Di abad ke-20 dan memasuki millennium ke-3 yaitu dalam catatan sejarah terjadi Perang Dunia ke-1 dan Perang Dunia ke-2 yang menelan korban 100 juta manusia (perang yang garis besarnya adalah perang sesama bangsa Eropa untuk menentukan siapa pemegang supremasi dunia barat dalam memperebutkan negara-negara jajahan atau mempengaruhi negara-negara yang akan merdeka kelak); Perang Dingin (perang ideologis antara blok  kapitalisme liberalisme dan blok komunisme sosialisme, yaitu, Amerika - blok barat dan USSR - blok timur), Perang Vietnam (perang membendung penyebar luasan  ideologi komunisme), Perang Iran, Irak, Afghanistan (perang timur tengah melawan terorisme islam, menguasai sumber minyak), Perang Saudara Syria, Libya, Tunisia, Mesir (merupakan perang dingin barat dan timur tengah - yang berpenduduk islam, seolah-olah kelanjutan dari crusade bangsa dan keturunan Eropa - neocrusader? Karena turut campur tangan dalam urusan dalam negeri yang berseteru, atau dibuat berseteru?). Sementara itu konflik atau perang bersenjata Israel vs Palestina yang tidak seimbang “dibiarkan” begitu saja oleh negara superpower dan PBB, kemudian bantuan yang diberikannya berat sebelah. Sementara media masa yang tidak bersahabat (tidak mendudukkan masalahnya secara tepat) lebih banyak, pelecehan kepada Nabi Muhammad saw, pelecehan kepada Kitab Suci Al-Qur’an, kemudian pendekatannya bukan kepada dialog, tapi “perang” antara teroris radikal islam (kurang dari 1 prosen) vs barat. Sementara yang 99 prosen lebih penganut agama Islam menjadi (di) korban (kan)?

   Demikianlah, segala pemikiran kehidupan di dunia diselesaikan dengan cara yang hanya berlandaskan pemikiran (ideology buatan manusia) dan konsensus dari manusia saja. Kita tahu kalau ini dibiarkan saja cara itu yang digunakan  dunia, ini akan terjadi tidak pernah ada lagi rasa aman, damai dan maju secara “merata” dalam konsep wawasan kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena apa? Karena sifat manusia dalam dirinya, dalam kelompoknya, dalam kesukuannya, dalam kebangsaannya cenderung “ego serakah”, hubud-dunya, dari ingin selalu ingin berkuasa (power) dan materi (money) yang tidak puas-puasnya. Paradigmanya hanya untuk interest (keinginan) dalam power dan money, lupa dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang perlu juga bagi diri diluar kelompok bangsanya. Sehingga banyak korban akibat power dan money, karena power and money are yummy bagi yang menolak (tidak membolehkan) nilai-nilai (ajaran universal) agama yang datang dari God Almighty.

●●●

   Sudah ada kesempatan untuk mengatur kehidupan dunia tanpa ajaran Tuhan Alam Semesta (Rabb Al-‘alamīn) ini mulai abad 16 sampai kini abad 21, tanpa ada perdamaian yang utuh. Malah imajinasi science fiction manusia akan ada lagi perang yang lebih-lebih-lebih dahsyad lagi dari Perang Dunia ke-2 yaitu star war. Maka, untuk mencapai kepada nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam mengatasi persoalan tersebut diatas, diperlukan terobosan baru, yaitu setidak-tidaknya ada 3 komponen nilai operasional yang perlu ditegakkan yaitu, adanya:

1) Ta’aruf, yaitu saling kenal mengenal yang tidak hanya bersifat fisik atau biodata ringkas belaka, tetapi lebih jauh lagi menyangkut latar belakang sejarah dan pendidikan, budaya, keagamaan, pemikiran, ide-ide, cita-cita, serta problem-problem hidup yang di alami suku dan bangsa tersebut.

2) Tafahum, yaitu saling memaklumi kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala macam bentuk kesalahpahaman dapat di hindari. Kemudian di cara kesamaan-kesamaan titik temu. Kalau ada perbedaan dimaklumi. Dialog sesama bangsa terus dilakukan. PBB di aktifkan dan diberdayakan. Setiap ada perbedaan jangan diatasi dengan kekerasan bersenjata.

3. Ta’awun, yaitu tolong menolong adalah kebutuhan hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri sebagai makhluk sosial. Kenyataan membuktikan, bahwa suatu pekerjaan atau apa saja selalu membutuhkan pihak lain. Pekerjaan tidak akan dapat dilakukan sendirian oleh seseorang (kelompok suku, kelompok bangsa) meski dia memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hal itu. Ini menunjukkan, bahwa tolong-menolong dan saling membantu (adanya teamwork) adalah suatu keharusan dalam hidup manusia yang ada secara naluriah dalam hati yang bersih. Mestinya tidak ada keraguannya. Untuk itu perlu Allah Subhana wa Ta’ala mengingatkan manusia yang mungkin hatinya telah lalai - sehingga ragu dalam menyadarinya, dengan berfirman-Nya mempertegas sebagai berikut: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” [QS Al-Maidah  5:2].

   Ta’awun dalam artian semangat teamwork dalam bekerja, yaitu tolong menolong dimana yang kuat menolong yang lemah dan yang memiliki kelebihan menolong orang yang kekurangan. Nah kalau ada saja pandangan atau paradigma yang menjadi ideologi masing-masing negara seperti tersebut, maka harapan dunia akan damai, sejahtera dan tenteram akan ada - artinya tanpa ada peperangan, akan tercapai. Potensi untuk berperang-perangan nantinya lebih, lebih, lebih dahsyad lagi dari perang pacific dengan “bom atom” yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, akan dapat dihindari. Allahu ‘alam bish-shawab. Bersambung ke:  Konsep Persatuan Kehidupan dalam Islam 2. □ AFM


Gambaran insiden akibat peluru kendali nuklir jarak jauh yang mengakibatkan kiamat dunia: https://youtu.be/7Rmu5wGDlu4


Sumber:

Terjemahan ayat-ayat berpedoman kepada Terjemahan Tafsir Per Kata AlFatih, Pustaka AlFatih. □□□

Blog Archive