Wednesday, March 9, 2016

Konsep Persatuan Kehidupan dalam Islam 2



Oleh: A. Faisal Marzuki



Mencari Makna Persatuan dan Kerukunan


Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” [Imam Syafi’i]


P
ersatuan dan Kerukunan sering kita dengar baik dalam orasi maupun tulisan, menggiurkan dalam situasi dunia yang “tercabik-cabik” sekarang ini bagi yang mendambakan Persatuan dan Kerukunan. Atas nama kebebasan “yang liar” - lain dari maksudnya semula dari adanya kebebasan yang ingin lepas dari kungkungan seperti sejarah abad pertengahan (the medieval ages or the dark ages) Eropa yang gelap menjadi maju. Tapi, dalam praktek dan kenyataannya persatuan dan kerukunan belum dapat dirasakan. Dinegara-negara yang maju untung saja hukum ditegakkan secara baik, mereka dapat survive. Lain halnya di negara-negara yang baru berkembang, hukum berjalan belum begitu mulus - “tajam ke bawah tumpul ke atas”. Hal ini membawa ketidak stabilan bernegara. Akibatnya  membuat negara baru berkembang menjadi lemah (tercabik-cabik). Potensial untuk dipermain-mainkan negara luar yang mau mengambil keuntungan bagi interest mereka.

Keadaan Persatuan dan Kerukunan tidak terlihat signifikan dalam setiap golongan organisasi baik ke dalam organisasi masing-masing, maupun antar organisasi.  Baik di dalam suatu negara, maupun antar negara. Dunia dalam millennium ke-3 ini seolah tidak ada pegangan absolute lagi. Padahal jika dunia seperti organisasi masyarakat, bangsa (negara), antar bangsa (antar negara), tidak ingin tercabik-cabik perlu Persatuan yang ber-Kerukunan.


●●●


Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang melarang perpecahan (iftiraq) dan perselisihan (ikhtilaf), namun apabila kita mencermati, akan tampak oleh kita bahwa yang dimaksud adalah berbeda pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau Ushul yang berdampak tidak dapat dipersatukan lagi, karena dasar pijak (landasan pokok, inti) memang beda. Insya Allah, di kemudian hari, hal ini dapat diatasi.

Adapun perbedaan pendapat yang ada dalam masalah-masalah cabang agama atau furu’ ini tidaklah tercela, asalkan perbedaannya jangan (tidak boleh) sampai berdampak atau berujung pada perpecahan. Belajar dari sejarah para sahabat juga ada yang berbeda pendapat, akan tetapi mereka tetap bersaudara dan saling menghormati satu dengan yang lain, tanpa saling menghujat atau melecehkan dan menjatuhkan.

Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al-Quran dan Al-Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti, dan menolak pendapat lain sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama. “Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.

Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Madinah itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya. Di sini kita bisa mengetahui betapa Imam Ahmad lebih mengutamakan sebuah esensi dari nilai Ukhuwah. Ada ungkapan yang cukup indah dari Muhammad Rasyid Ridha, “Marilah kita tolong menolong pada perkara yang kita sepakati, dan mari kita saling menghargai pada perkara yang kita perselisihkan.

Malaikat juga berbeda pendapat. Yaitu ketika ada seseorang yang telah membunuh seratus orang (beberapa riwayat menyebut 99 orang), kemudian ia bertaubat dan pergi berhijrah, lalu meninggal dunia dalam perjalanan (belum sampai ke tempat yang dituju). Terjadi perbedaan pendapat antara malaikat rahmat dengan malaikat adzab dalam menyikapinya. Malaikat rahmat (yang kita kenal dengan nama Ridwan) berpendapat bahwa orang ini adalah ahli surga karena telah bertaubat, sedang malaikat adzab (yang kita kenal dengan nama Malik) berpendapat bahwa orang ini adalah ahli neraka karena telah membunuh seratus orang dan belum berbuat kebaikan (karena belum sampai ke tempat yang dimaksud). Akhirnya Allah mengirimkan malaikat ketiga yang memutuskan perkara bahwa orang tersebut adalah ahli surga (karena mengukur jarak yang telah ditempuhnya telah lebih dekat ketempat yang dituju daripada tempat berangkatnya). Kisah ini terdapat dalam riwayat-riwayat sahih, seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Jadi, kalau Malaikat dan para Nabi saja bisa berbeda pendapat, mengapa kita harus berpecah dan bermusuhan karena perbedaan?

●●●

Pengertian Persatuan


               Persatuan setara dengan kata unite dalam bahasa Inggris, yaitu to make or become an integrated whole or a unity; combine. Artinya: Membuat atau menjadikan masing-masing yang sendiri-sendiri menjadi suatu keseluruhan yang terintegrasi dalam satu kesatuan; menggabungkan menjadi persatuan. Boleh juga diartikan to join, unify or be unified in purpose, action, beliefs. Maksudnya: Bergabung, menyatukan atau bersatu masing-masing yang sendiri-sendiri karena ada tujuan yang sama melalui tindakan bersama. Ini dilakukan karena ada kepercayaan, bahwa dengan “persatuan”, keberhasilan tujuan bersama akan berhasil. Tanpa persatuan sulit atau tidak mungkin dicapai.

               Persatuan dalam bahasa Arabnya di sebut dengan kata ittihad, berarti ikatan, yaitu dari kehidupan individual dimana individual-individual ini diikat dalam satu kelompok. Sebenarnya kata Persatuan atau Unity atau Ittihad, menurut istilah diartikan sebagai bentuk kecenderungan manusia (homo-sosial) yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan melakukan pengelompokan sesama manusia menurut ikatan tertentu untuk mencapai tujuan. Lawan kata unite adalah break or split (dipecah menjadi sendiri-sendiri, terpisah atau terpecah); separate or spread, (berpisah, menyebar, tidak bersatu lagi); disunite (pecah, tercabik-cabik, bernafsi-nafsi).

Jadi persatuan adalah menghimpun hal-hal yang terserak  menjadi satu membentuk sebuah unit yang masing-masing anggotanya saling menguatkan. Kesatuan diibaratkan seperti “sapu lidi” yang (menjadi) memiliki kekuatan dan tidak tercerai berai. Atau ibaratnya seperti saling menggenggam tangan satu sama lain atau saling menggandeng tangan (hand in hand) hingga hubungannya menjadi kokoh.

Di dalam (ajaran) Islam persatuan harus diterapkan untuk melahirkan Izzatul Islam wal Muslimin (kemuliaan Islam dan kaum Muslim), konteksnya sesama umat Islam. Hal itu dapat diperluas (dalam konteks habblum minas-nās dalam ajaran Islam) antara umat Islam dan umat manusia lainnya, karena  (ajaran) Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.


Pengertian Kerukunan


Kerukunan setara dengan bahasa Inggrisnya harmony, yaitu harmonious relations (hubungan atau muamalah sesama manusia dalam bermasyarakat, bernegara, berantar negara dalam kerukunan). Juga setara dengan yang disebut dengan mutual relations, and differences (hubungan yang saling bermanfaat sesama manusia walau pun ada perbedaan-perbedaan tertentu yang disikapi dengan toleran).

Kerukunan yang dalam bahasa Arabnya disebut dengan kata tawafuqun, tawaddun, ittifaqqul kalimat. Sedang menurut istilah kerukunan dimaksudkan sebagai satu tata pikir atau sikap hidup yang menunjukkan kesabaran atau kelapangan dada menghadapi pikiran-pikiran, pendapat-pendapat, dan pendirian orang. Sedang dalam istilah agama Islam, kerukunan itu dinamakan tasamuh (toleransi), yaitu membiarkan secara sadar terhadap pikiran atau pendapat orang lain. Orang yang demikian dinamakan toleran. Oleh karena itu tugas pemimpin didalam pemerintah antara lain adalah berusaha menciptakan kerukunan hidup beragama. Atau dalam konsep bangsa adalah adanya perbedaan ideologi, cara pandang, dan kebiasaan hidup antar bangsa-bangsa yang berbeda.

Kerukunan merupakan perhimpunan yang damai atau persatuan yang menumbuhkan sikap saling menghargai dalam komunitas yang beragam atau etnis dan berbangsa yang berbeda-beda. Ciri kerukunan adalah hidup damai tanpa konflik. Apalagi konflik yang berdarah-darah. Ibaratnya seperti “es campur” yang bahannya berbeda (es, alpukat, kelapa, nangka, susu, coklat, dan campuran lainnya), namun menciptakan cita rasa yang nikmat. Khususnya dalam hal muamalah (hubungan sasama manusia), bukan dalam hal keyakinan agama dalam ibadah dalam pandangan (ajaran) Islam “lakum dīnukum waliadīn”- Untukmu agamamu untukku agamaku (QS 109:6).  Kerukunan konteksnya ialah hubungan antar umat beragama dan antar golongan lainnya seperti suku, warna kulit, bahasa, dan bangsa (negara nasional). Jadi tujuan kerukunan adalah menciptakan kedamaian hubungan sosial sesama manusia dari latar belakang yang beragam.

              Persatuan dan kerukunan umat merupakan awal dan fondasi terjalinnya ukhuwah (persaudaraan) dalam masyarakat, bangsa dan antar bangsa. Dengan kata lain tanpa adanya persatuan dan kerukunan dalam masyarakat, bangsa dan antar bangsa akan sulit terwujudnya suatu ukhuwah dalam masyarakat, bangsa dan antar bangsa. Baik yang menyangkut ukhuwwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan), ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama muslim), maupun  ukhuwwah wataniyyah (persaudaraan kebangsaan, persaudaraan berbangsa-bangsa).

Nabi saw bersabda:

المسلم للمسلم كا لبنيان يشد بعضه بضا (رواه البخارىومسلم)

Artinya: Seorang muslim bagi Muslim yang lain bagai suatu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lain. (HR Bukhari Muslim)

Piagam Madinah (Bahasa Arab:  المدینه صحیفةshahifatul madinah) yang mempersatukan bukan saja sesama umat Islam yang berasal dari Makkah (Muhajirin), juga bukan sesama umat Islam Madinah (Anshar). Tapi juga antara Muhajirin, Anshar, warga Yahudi, dan Badui (penduduk luar kota Madinah yang pagan) dalam satu ikatan bersama dalam “negara” Madinah yang dipimpin Rasul.

Persatuan dan kerukunan merupakan aspek penting kehidupan. Rasulullah saw yang mampu menyatukan kaum Anshar (penduduk asli Madinah) dan Muhajirin (pendatang dari Makkah) yang memiliki latar bekakang perbedaan baik sosial, politik, geografis maupun budaya. Dalam perbedaan itu beliau ikat dalam ikatan keimanan yang ternyata jauh lebih kokoh dan abadi dibandingkan dengan ikatan-ikatan primordialisme (sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya) lainnya. Bahkan jauh lebih kuat dibandingkan ikatan darah sekalipun. Ikatan keimanan ini kemudian tumbuh menjadi ukhuwah islamiyah yang sebuah istilah menunjukkan persaudaraan antara sesama muslim di seluruh dunia tanpa melihat perbedaan warna kulit, bahasa, suku, bangsa dan kewarganegaraan.

Dengan demikian persatuan dan kerukunan merupakan gabungan dari berbagai macam unsur yang berbeda yang diikat menjadi satu ikatan yang menyatu yang lebih mengutamakan aspek kesamaan dibandingkan perbedaan. Dengan kata lain berbicara persatuan dan kerukunan berarti lebih banyak berbicara kesamaan dan mengesampingkan perbedaan - karena ditoleransikan. Allahu ‘alam bish-shawab. Bersambung ke: Konsep Persatuan Kehidupan dalam Islam 3. □ AFM

Baca juga tajuk terkait: Piagam Madinah 


Sumber:

Terjemahan ayat-ayat berpedoman kepada Terjemahan Tafsir Per Kata AlFatih, Pustaka AlFatih. □□□

Blog Archive