Friday, March 29, 2019

Manusia dalam al-Qur’an




Memahami Istilah-Istilah
MANUSIA DALAM AL-QUR'AN
Oleh: A. Faisal Marzuki



PENDAHULUAN

P
ada Kitab Suci Al-Qur‘an Allah SWT menggunakan beberapa istilah-istilah tentang manusia. Pada dasarnya istilah-istilah itu mengenalkan serta menjelaskan siapa manusia itu sebenarnya. Istilah-istilah manusia dalam al-Qur‘an ini memberikan pengetahuan kepada manusia di tengah kegalauan informasi dan pikiran mengenai siapa manusia sesungguhnya. Banyaknya istilah-istilah itu dimaksudkan agar manusia dapat memahami dirinya ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat dalam suatu negara dan antar negara. Beberapa sudut pandang istilah dalam Al-Qur’an itu sebenarnya untuk memberikan gambaran keseluruhan siapa manusia itu.

Dengan istilah-istilah yang akan kita pelajari dan selanjutnya menjadi mengetahuinya, memberi pandangan totalitas tentang manusia secara keseluruhan. Memberi arti dari makna yang saling melengkapi tentang manusia. Totalitas mana menggambar dari mana asal manusia; apa dan siapa manusia; serta peran apa; dan bagaimana semestinya mengambil posisinya dalam kehidupannya di bumi ini.


BERBAGAI SEGI KONSEP MANUSIA

P
erkembangan manusia bermula dari diciptakannya manusia pertama, Adam AS. Kemudian Hawa, pendamping atau istri Adam AS. Dari keduanya sesuai dengan perjalan waktu telah berkembang biak. Dalam memasuki milenium ke-3 ini telah  mencapai 7,5 milyar manusia yang ada di seluruh dunia. Mari kita telusuri istilah-istilah manusia yang diambilkan dari firman-firman Allah Azza wa Jalla yang ada dalam Kitab Suci Al-Qur’an ini.


Manusia dalam Konsep al-Basyar

Penelitian terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar menjelaskan bahwa manusia adalah anak keturunan Nabi Adam AS yang perlu makan dan minum, bangun dan tidur, serta hidup kemudian mati. Kata 'basyar' disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk 'mutsanna' atau 'jama'.

Sebagai makhluk yang bersifat berjasad atau pisik ini tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Makhluk biologi perlu makan, minum, bangun - bekerja mencari penghidupan, dan tidur - beristirahat dari kelelahan bekerja, serta berkembang biak dan kemudian mati. Hidup manusia ini berganti dan diganti oleh generasi penerusnya, yaitu dilanjutkan generasi keturunan berikutnya. Terus berulang seperti itu dari generasi ke generasi.

Maknanya adalah bahwa kehidupan manusia terikat dengan kaedah atau prinsip kehidupan biologis seperti disebutkan itu. Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologi telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya yang artinya:

Dan Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) daripada tanah (13). Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan, a drop of liquid, sperm, nuthfah) dalam tempat yang kokoh (rahim) (14). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah (clot of congealed blood, ‘alaqah), lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging (fetus, lump, mudghah), dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang (bones, ‘idhāma), lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging (flesh, lahman). Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain (manusia), maka Maha Sempurna Allah, Pencipta yang paling baik. (QS Al-Mu’minūn, 23:13-14)

Ayat ini sangat dikagumi oleh seorang Dr Emeritus Keith L. Moore, Prof of Anatomy and Cell Biology, Canada, karena 14 abad yang lalu telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Prof. Dr Emeritus Keith L. Moore menyebutkan bahwa tahun 1940-an Professor Stiger dari Institut Carnegie Embryology Washington District of Columbia, ibu kota Amerika Serikat,  telah menuliskan penemuannya dalam bidang biologi khususnya  ‘stages of human development’. Dia mengatakan bahwa dari sperma menjadi manusia diperlukan 23 tahap berdasarkan bentuknya. Namun pendapat ini bertahan sampai tahun 1970. Tidak lama setelah itu ilmuan yang lain melakukan penelitian kembali selama 4 tahun berdasarkan tinjauan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan penelitian ‘microscope research’, seperti dan sama yang diuraikan dalam Al-Qur’an pada surat Al-Mu’minūn, ayat 13 dan 14 diatas.

Dalam ucapan asli yang dikatakan oleh  Prof Dr Emeritus Keith L. Moore   sebagai berikut:

“And assuredly We made man from the extract of clay, then We made him a drop of liquid (sperm) and We put in strong serenity”


“Then We place as (a drop of sperm, nuthfah) in a place firmly fixed; Then We made the sperm into a clot of congealed blood (‘alaqah); Then of that clot We made a (fetus) lump (mudghah); Then We made out of that lump bones (‘idhāma) and clothed the bones with flesh (lahman); Then We develop out of it another creature. Blessed be God, the Best of Creators! [1]

Dengan demikian, manusia dalam konsep al-Basyar ini dapat berubah secara fisik, yaitu dari nuthfah sampai menjadi bayi, selanjutnya dewasa dan kemudian sepuh atau tua. Semakin tua fisiknya akan semakin lemah serta akhirnya meninggal dunia. Dalam konsep al-Basyar ini juga tergambar tentang peranan manusia sebagai makhluk biologis - yang lain dengan makhluk biologi lainnya. Karena manusia diberi amanah sebagai ‘khalifah’ [2] di bumi Allah ini. Dengan itu manusia mesti berupaya memenuhi perannya secara benar sesuai dengan asalnya kenapa manusia diciptakan.


Manusia dalam Konsep al-Insan

Al-Insan berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Istilah ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan nalar, fikir. Yaitu menimbang mana yang baik (berguna, membangun) dan mana yang buruk (tidak berguna, merusak). Berbeda dengan makhluk Allah yang lain, yang menggunanakan instink-nya dan kebiasaannya saja ketimbang nalar plus wahyu.

Manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui yang benar dan yang salah, serta dapat meminta izin ketika menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Manusia dalam istilah ini merupakan makhluk yang dapat dididik, diajar. Memiliki potensi yang dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban serta memakmurkan kehidupan di bumi. Potensi manusia menurut konsep al-Insan merujuk kepada kedaya-upayaan yang dapat mendorong manusia untuk berkreasi dalam bentuk rasa, karsa, karya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang artinya:

Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut. (berkesadaran diri siapa dia)? (QS Al-Insān, 76:1)

Maksudnya seperti yang di terangkan di ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari setetes mani yang bercampur (nuthfah) yang Kami hendak mengujinya dengan ketentuan hukum (perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia berkemampuan mendengar dan melihat. Dengan itu dapat mengkaji fakta yang mana yang benar dan yang mana yang tidak benar (ayat 2); Ditunjukkannya ‘jalan yang lurus’. Ada yang menggunakan ada yang tidak (ayat 3). Ayat selanjutnya menerangkan konsekuensi dari mematuhi atau melanggar ketentuan hukum yang ditetapkan-Nya, surat Al-Insān, 76:2-4 dst-nya.



Manusia dalam Konsep al-Nas

Al-Nas merujuk kepada fungsi manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia harus menjaga hubungan baik sesama manusia. Kerana manusia memerlukan satu sama lain. Memberi manfaat satu sama lainnya. Dalam memenuhi keperluan masing-masing dibangun dengan adanya peradaban yang menciptakan kemakmuran hidup. Itu hanya dapat dicapai jika dikerjakan bersama yang terorganisir (berperadaban) rapi. Karena dalam mewujudkannya memerlukan perencanaan (planning), yang perlu diorganisir diantara manusia (organizing), kemudian di laksanakan (actuating), dan pelaksanaannya di kendalikan (controlling) agar sesuai dengan rencana yang di buat (planning). Hal ini menunjukkan bahwa manusia harus hidup ber-ta’aruf [3] dan saling membantu, bekerja sama yang terkoordinasi rapi sesuai dengan konsep sains management.

Seperti yang telah diketahui, asal penciptaan manusia bermula dari pasangan laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa), seterusnya berkembang menjadi masyarakat, bernegara, berantar negara dalam semangat ta’aruf [3], yaitu tiga T dan satu I (3T1I): Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf, yakni saling mengenal; (T) Tafahum, yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup, bakat dan kemapuan serta keahlian yang berbeda; namun dapat melakukan (T) Ta’awun, yakni kerja sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar, yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi. Dalam arti menunjukkan bahwa manusia harus hidup dalm satu ummah yang tidak boleh saling menjatuhkan. Inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep al-Nas. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:

Pantaskah manusia menjadi heran bahwa Kami memberi wahyu kepada seorang laki-laki di antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka.” Orang-orang kafir berkata: "Orang ini (Muhammad) benar-benar penyihir”. (QS Yūnus, 10:2)


Manusia dalam Konsep Bani Adam

Manusia dalam istilah ini memiliki arti keturunan Adam AS. Istilah ini digunakan untuk menyebut manusia jika dilihat dari asal keturunannya. Istilah ‘Bani Adam’ disebut sebanyak tujuh kali dalam tujuh ayat al-Qur’an. Penggunaan kata Bani Adam merujuk kepada pengertian manusia adalah keturunan dari Nabi Manusia - umat yang satu - sebagai asal-muasal makhluk manusia. Dalam hal ini mencirikan setidakny ada tiga aspek dari adanya Adam AS yang dapat dikaji sehubungan dengan beberapa pembelajaran yang diambil dari pengalaman yang dihadapinya sebagai yang akan dijelaskan berikut ini.

Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, antara lain adalah dengan berpakaian secara manutup aurat. Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujukan Syaitan yang senantiasa mengajak kepada perkara-perkara mungkar. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya. Semua perkara ini merupakan suatu kewajiban sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam AS oleh Allah SWT Pencipta Alam Semesta dan Manusia. Ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an yang artinya:

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah syaitan? Sungguh syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu”. (QS Yā Sīn, 36:60)


Manusia sebagai Konsep Al-Ins

Al-Ins bermaksud tidak liar atau tidak biadab. Difahami bahwa istilah al-Ins kebalikan dari istilah al-Jins atau jin yang bersifat non-fisik dan liar. Jin hidup bebas di alam ghaib yang tidak dapat dirasai oleh pancaindera manusia. Berbeda dengan manusia yang disebut menggunakan istilah al-Ins. Manusia adalah makhluk yang tidak liar, artinya kewujudannya jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kata Al-Ins disebutkan sebanyak 18 kali dalam Al-Qur‘an, masing-masing dalam 17 ayat. Salah satu dalam ayat Al-Qur’an yang menjelaskan berkenaan manusia dan jin sebagai berikut yang artinya:

Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh, yang terdiri dari syaitan-syaitan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama (kebohongan) yang mereka ada-adakan. (QS al-An’ām, 6:112)                                                                                
                                                                                        
Manusia dalam Konsep Khalifah Allah

Khalifah berarti pemimpin pengganti, yaitu pengganti dari jenis makhluk yang lain. Pemimpin dalam arti makhluk yang diberi amanah oleh Allah agar  melaksanakan perintah-Nya di muka bumi. Pada hakikatnya, eksistensi manusia dalam kehidupan dunia ini adalah untuk melaksanakan amanah Allah yaitu dengan cara mengelola dunia sesuai dengan kehendak penciptanya.

Peranan yang dimainkan oleh manusia menurut statusnya sebagai khalifah Allah adalah terdiri daripada dua jalur iaitu jalur horizontal yang sering disebut hablum minannās dan jalur vertikal yang sering pula disebut hablum minallāh.

Peranan dalam jalur horizontal mengacu kepada bagaimana manusia mengatur hubungan yang baik sesama manusia dan alam sekitarnya. Sedangkan peranan dalam jalur vertikal pula menggambarkan bagaimana manusia berperanan sebagai hamba Allah melalui cara pengabdian diri hanya kepada-Nya sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:

Dan Aku tiada menciptakan Jin dan Manusia, melainkan supaya mereka beribadat kepada-Ku. [QS adz-Dzāriyāt 51:56]

Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. [QS Fathir 35:39]

Dalam peranan ini manusia perlu menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan hubungan sesama manusia adalah kerana perintah dari Allah, yaitu untuk memakmurkan kehidupan di muka bumi. Sebagaimana  Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:

“Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, QS Hūd 11:61.

Manusia sebagai penghuni bumi untuk menguasai, memakmurkan dan memelihara lingkungan hidup dan ekosistimnya. Bangunnya kemakmuran dalam suatu peradaban dimungkinkan dengan adanya kedamaian hubungan antar masyarakat di suatu negara, begitu pula masyarakat antar negara.


PENUTUP

D
emikianlah Al-Qur’an telah memberikan petunjuk dan pengajaran serta gambaran kepada ummat manusia bahwa dari mana asal manusia, apa dan siapa manusia, serta peran apa dan bagaimana semestinya mengambil posisinya dalam kehidupannya di bumi.

Isi uraiannya benar-benar amazing dan mencerahkan kehidupan manusia di bumi yang berisi menyerukan hubungan baik sesama manusia yang amat diperlukan di milenium ke-3 seperti telah diterangkan diatas dengan konsep 3T1I-Nya. Sementara - walaupun sudah ada ‘nalar’ serta sains dan teknologi sangat maju - tapi masih saja ada teror, hate crime, phobia,  merasa lebih tinggi dengan suku atau bangsa lain, perang yang memerangi negara lain yang relatif lemah persenjataannya, pembunuhan (kalau tidak mau dikatakan pembantaian brutal) kepada orang yang sedang beribadat seperti terjadi di dua Masjid di Selandia Baru, dan mayoritas menzalimi minoritas. Tidak ada alternatif lain yang lebih baik dan sempurna bagi ummat manusia, kecuali seperti pengajaran yang telah dipaparkan diatas yang patut dihormati dan pantas di pedomani. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM



Catatan Kaki:
[1] https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2014/05/islam-ilmu-pengetahuan-iii.html
[2] Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. [QS Fathir 35:39] untuk memakmurkan kehidupan di bumi sebagaimana firman-Nya menyebutkan: “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, QS Hūd 11:61.
[3] Apa arti dan makna berta’aruf, diambil dari ayat ini, “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu TA’ARUF (saling kenal mengenal, artinya kemauan orang yang siap hidup bersama dengan orang atau bangsa lain dalam ‘perbedaan’). (QS Al-Hujurāt 49:13).
Prinsip TA’ARUF ini meliputi: Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi. □□


Sumber:
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2014/05/islam-ilmu-pengetahuan-iii.html
https://www.academia.edu/7032555/konsep manusia menurut al-quran Dan sumber-sumber lainnya. □□□

Saturday, March 2, 2019

Menumbuhkan Kesadaran Diri




MENUMBUHKAN KESADARAN
DAN MUHASABAH DIRI


“Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman (mu’minīn, āmanū), padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka SADARI. Dalam “HATI” (QALB, QULŪB) mereka ada penyakit, …” (QS Al-Baqarah 2:9-10)

“Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja, tidak ada tujuannya), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS Al-Mukminūn 23:115)



PENGERTIAN KESADARAN

K
alimat “kesadaran” berasal dari kata-kata “sadar”. Kata ini kamus besar Bahasa Indonesia memiliki pengertian insaf, tahu dan mengerti, ingat kembali. Lebih lanjut kata dasar sadar tersebut dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti menyadari, menyadarkan dan penyadaran. Semua ungkapan tersebut memiliki konotasi yang berbeda sesuai dengan perubahan kalimat dasar yang digunakan.

Kalimat “menyadari” dapat diartikan sebagai upaya dan usaha dalam menginsafi, mengetahui atau menyadari kembali. Menyadarkan berarti menjadikan (menyebabkan) seseorang sadar, menginsafkan, dan mengingatkan atau ingatan kembali (siuman). Penyadaran proses, cara, perbuatan yang menyadarkan. Kesadaran merupakan keadaan keinsifan, mengerti atau hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang.

Dari makna sadar, kesadaran, menyadari dan penyadaran maka sadar adalah suatu tujuan yaitu lahirnya keinsafan, tahu dan mengerti dan ingatan kembali. Kesadaran merupakan situasi atau hasil dari kegiatan menyadari sedangkan penyadaran  merupakan proses untuk menciptakan suasana sadar.

Sadar diri dimaknai dengan tahu diri. Tahu diri merupakan kondisi dimana seseorang mengenal hal ihwal diri serta mampu menempatkan diri sesuai dengan fungsi dan posisi yang tepat. Oleh karena itu orang yang tahu diri adalah orang yang mampu dan sanggup membawakan diri ditengah-tengah kehidupan dan tidak mengalami kesulitan pada penerimaan orang lain akan berbagai kondisi dirinya.

Dengan demikian yang dimaksud dengan penyadaran adalah semua proses dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam mengembalikan atau menciptakan keinsafan, mengetahui sesuatu, dan mengembalikan ingatan “pasien/klien” setelah suasana tersebut dipengaruhi atau hilang oleh faktor penyakit atau karena sebab lain.


TEORI DAN KONSEP KESADARAN

K
egiatan penyadaran untuk menciptakan kesadaran dalam konseling dan terapi dikenal dengan istilah eksistensial humanistik. Teori Esksistensial Humanistik dipelopori oleh Carl Rogers. Teori ini mengedepankan aspek kesadaran dan tanggung jawab. Menurut konsep ini manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. (Gerald Corey, 2007: 54)

Kesanggupan untuk memilih berbagai alternatif yakni memutuskan sesuatu secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah sesuatu aspek yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai dengan tanggung jawab. Konsep ini juga menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.

Dalam penerapannya konsep “terapi” artinya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran - kesanggupan seseorang dalam mengalami hidup secara penuh sebagai manusia. Pada intinya keberadaan manusia, membukakan kesadaran bahwa:

  1. Manusia adalah makhluk yang terbatas, dan tidak selamanya mampu mengaktualkan potensi-potensi dirinya. 
  2. Manusia memiliki potensi mengambil atau tidak mengambil suatu tindakan. 
  3. Manusia memiliki suatu ukuran pilihan tentang tindakan-tindakan yang akan diambil, karena itu manusia menciptakan sebagian dari nasibnya sendiri. 
  4. Manusia pada dasarnya sendirian, tetapi memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain; manusia menyadari bahwa terpisah tetapi juga terkait dengan orang lain. 
  5. Makna adalah sesuatu yang tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan hasil pencarian manusia dan dari penciptaan tujuan manusia yang unik. 
  6. Kecemasan eksistensial adalah bagian hidup esensial sebab dengan meningkatnya kesadaran atas keharusan memilih, maka manusia mengalami peningkatan tanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi tindakan memilih. 
  7. Kecemasan timbul dari penerimaan ketidakpastian masa depan.


Manusia bisa mengalami kondisi-kondisi kesepian, ketidakbermaknaan, kekosongan, rasa berdosa, dan isolasi, sebab kesadaran adalah kesanggupan yang mendorong kita untuk mengenal kondidi-kondisi tersebut. (Gerald Corey, 2007:65).


KESADARAN DIRI DALAM ISLAM

K
esadaran dalam Islam merupakan hal yang sangat penting untuk diciptakan. Hal ini disebabkan kesadaran itu diperlukan untuk mencapai siatuasi kehidupan yang lebih baik. Inti dari hidup sesungguhnya kesadaran diri. Setiap diri semestinya menyadari akan eksistensinya sebagai manusia di samping sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Oleh karena itu semestinya setiap diri memiliki kesadaran yang tinggi dikaitkan dengan tujuan hidup, tugas hidup, tantangan hidup, teman hidup, lawan hidup, perbekalan hidup dan berakhirnya kehidupan.



Dari segi tujuan hidup, manusia diciptakan hanyalah untuk beribadah kepadanya dan menjadi khalifah di muka bumi. Beribadah kepada Allah (abdi) dilakukan dengan penuh keihlasan dalam penghambaan. (QS Adz-Zāriyāt 51:56, Al-Bayyinah 98:5). Prinsip beribadah dalam menjalankan kehidupan akan mendorong manusia untuk selalu berbuat optimal dan terhindar dari perasaan terpaksa dan memberatkan. Begitu pula halnya sebagai khalifah yang ditugaskan untuk mengatur dan menata kelola kehidupan di bumi dengan cara-cara yang diridhoi Allah swt yakni dengan kasih sayang dan keadilan serta menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Kehidupan ini juga perlu disadari bahwa ia juga memiliki tantangan. Tantangan hidup adalah bagaimana bisa menundukkan kehidupan dunia yang serba gemerlap untuk kepentingan akhirat. Kehidupan juga memiliki tantangan yang begitu hebat yaitu mengusahakan kemaksiatan dan kejahatan serta pelanggaran (berubah, diperbaiki) menjadi kebaikan, kesalehan dan ketaatan. Bagaimana kemalasan yang ada dalam diri berubah menjadi pribadi yang ulet, inisiatif, produktif dan sebagainya.


KESADARAN DIRI DALAM (BER) SOSIAL

P
erlu pula disadari bahwa hidup ini membutuhkan bantuan dan andil serta kerjasama dengan orang lain. Hal ini dikarenakan manusia makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial dapat diartikan bahwa sosial memiliki makna kemampuan dan kesanggupan diri untuk menempatkan diri pada diri dan orang lain sesuai dengan kaedah yang berlaku. Kemampuan dalam menempatkan diri sangat dipenggaruhi oleh sejauhmana kemampuan dan kesanggupan diri dalam mengenali diri dan orang lain, memahami dan menerima keterbatasan dan kelebihan diri dan orang lain yang memiliki karakter yang berbeda.

Kesadaran yang perlu dimiliki oleh setiap diri adalah siapa yang menjadi musuh dan kawan dalam hidup. Musuh dalam konteks al-Qur’an khususnya bagi orang beriman adalah syaithan dan orang-orang kafir (yang tidak menyenangi orang beriman yang disertai tindakan memeranginya baik, fisik maupun ajarannya dengan cara yang tidak berdasarkan hujjah yang baik). Karena syeithan berupaya menggoda dan menyesatkan manusia dari kebenaran dan orang kafir menghalangi orang-orang beriman untuk tunduk di jalan Tuhan. Orang kafir yang sebagiannya tidak toleran (phobia) tidak akan pernah senang terhadap orang beriman selagi belum mengikuti millah mereka, al-Baqarah 2:120. Sementara itu kawan adalah orang mukmin, Al-Hujurāt 49:10, yang satu sama lain harus hidup dalam tolong menolong, saling mengingatkan dengan kebenaran dan kesabaran serta dengan kasih sayang.


KESADARAN DIRI DAN TANGGUNGJAWABNYA

S
elanjutnya perlu pula disadari bahwa hidup ini hanyalah “sebentar” dan akan kembali kepada Tuhan penciptanya. Oleh karena itu kehidupan sesaat juga akan diminta pertangungjawabannya kelak di akhirat tentang apa yang telah dibuat selama hidup di dunia. Karena hakekat hidup di dunia pada dasarnya adalah membawa amal-amal baik yang diridhai-Nya sebagai bekal bagi kehidupannya yang baik (surga) di kampung akhirat.

Semestinya setiap orang harus mampu memanfaatkan kehidupan yang sesaat itu untuk menciptakan kehidupan bermakna dan mengupayakan terciptanya kondisi hidup yang penuh dengan kedamaian. Kedamaian hidup bisa diraih ketika kesedihan dan kesengsaraan batin bisa dihindari. Terkait dengan hal ini ‘Aidh Al-Qarni menulis buku Lā Tahzan Innallāha Ma’anā. Agaknya karya beliau ini bisa menjadi bacaan untuk mempertahankan nilai-nilai kesadaran diri dengan meminimalisir kesedihan.

Kesedihan menurut `Aidh al-Qarni (2004:161) bisa dihilangkan dengan keredhaan hati. Keridhaan akan menciptakan ketenangan, hati yang dingin nan sejuk, ketegaran dalam menghadapi syubuhat, ketegaran dalam menghadapi berbagai permasalahan yang tumpang tindih dan muncul deras sekali. Hati yang ridha akan yakin sepenuhnya kepada janji Allah dan Rasul-Nya. (2004:374).

Ibnu Qayyim dalam `Aidh (2004:216) mengemukakan bahwa cara membuat hati menjadi damai dan lapang yaitu melalui tauhid.  Dengan kebersihan dan kesucuian tauhid itu bisa membuat hati menjadi lapang, jauh lebih luas dari dunia dan isinya.

Disamping itu kelapangan hati diperoleh dengan cara mengulurkan tangan untuk berbagi dengan sesama melalui amal-baik dan sedekah. Sedekah membuat hati menjadi lapang. Sebab apa yang diberikan kepada orang lain akan mendatangkan kebahagiaan. Sebaliknya belenggu yang mengikat jiwa adalah bagian dari belenggu yang mengikat tangan. Orang-orang kikir adalah yang paling sesak dadanya dan sempit akhlaknya. (`Aidh, 2004:230).

Kesadaraan seperti penjelasan di atas berarti sifat atau karater alias tabiat atau kecenderungan diri untuk tetap tahu, mengerti dan memahami serta menerima keadaan yang dialami. Seorang “pasien/klien” dikatakan sadar apabila ia mengerti, memahami serta tahu dengan kondisinya. Tingkat kesadararan seseorang terhadap kondisi yang dihadapinya akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan kemauan untuk mengambil tindakan. Oleh karena itu kesadaran merupakan kondisi jiwa dimana seseorang mengerti dengan jelas apa yang ada dalam fikirannya dan paham dengan apa yang sedang dilakukannya.

Penerapan nilai-nilai kesadaran dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan layanan seperti orientasi, informasi, refleksi, introsfeksi, meditasi yang bermuatan tentang proses menyadari akan tujuan hidup, peran dan tanggung jawab sebagai hamba dan kahalifah, sadar akan kelebihan dan kekuarangan diri, sadar bahwa sakit cepat datang dan lambat pergi, sadar bahwa setiap penyakit yang dialami diturunkan juga obat penawarnya. Serta sadar bahwa semua akan berakhir.

Istilah lain perenungan diri dalam Islam dikenal dengan muhasabah yaitu proses mengingat, merenungi, menghayati dan melakukan evaluasi tentang apa yang telah dilakukan untuk perbaikan kedepan. Ke depan atau besok dapat dipahami sebagai hari yang akan dilalui serta lebih fokus lagi pada persiapan kehidupan yang lebih abadi yakni perbelakan untuk kehidupan akhirat. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Firman-Nya pada surat Al-Mukminun dan al-Ankabut yang artinya:

“Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja, tidak ada tujuannya), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (QS Al-Mukminūn 23:115)

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS Al-‘Ankabūt 29:2-3)



INDIKATOR KESADARAN

D
ari penjelasan di atas dapat dikemukakan indikator yang dijadikan identitas atau karakteristik dari kesadaran atau tanda-tanda khusus dari kesadaran antara lain.

  1. Tahu dan mengerti dengan apa yang diucapkan dan yang dilakukan. 
  2. Bertanggung jawab. 
  3. Sanggup menerima amanah. 
  4. Mengenal dan memahami serta menerima diri dengan berbagai bentuk kelebihan dan kekurangan. 
  5. Memiki kesiapan dalam menjalani kehidupan dan mengerti resiko yang akan dihadapi sebagai konsekuensi logis dari tuntutan kehidupan



PROSES MENUMBUHKAN KESADARAN

S
alah satu cara menumbuhkan kesadaran dalam persfektif Islam melalui proses Muhasabah. Muhasabah dalam perspektif sufi upaya memperhitungkan atau mengevaluasi diri. Muhasabah digunakan sebagai upaya dalam mencapai tingkat ketenangan diri (Ahmad Mubarok 2005:31)

Muhasabah dilakukan setelah beramal. Muhasabah juga diartikan sebagai kegiatan mengingat, merenungi, menyadari atau mengevalusai aktivitas untuk merancang masa depan yang lebih baik.

Hal ini sejalan dengan firman Allah swt dalam surat Al-Hasyr yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah “Setiap Diri” memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mahateliti (Mengetahui) terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr 59:18)

Muhasabah menurut Haris al-Muhasibi (200:97) diartikan dengan upaya mengenali diri (ma`rifatunnafs). Mengetahui diri dimaksud adalah mengetahui kecenderungan tabiat dan keinginannya, mengetahui segala bentuk kelemahan dan kekuatan diri. Merenungi apa yang telah diperbuat, berapa banyak kelalaian yang telah diperbuat dan sebagainya. Materi muhasabah bisa dikaitkan kepada proses merenungi apa dan siapa kita? Untuk apa kita ke dunia? Apa yang perlu kita siapkan? Kemana akhir kehidupan kita?

Pemaparan di atas dapat dipahami bahwa hakikat penyadaran  merupakan suatu proses pemahaman diri (sadar) dengan indikator mampunya seseorang untuk tahu, kenal, mengerti dengan apa yang sedang dirasakan, dipikirkan dan dilakukan.


PENUTUP

D
ari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran merupakan buah dari proses penyadaran dimana setiap orang dapat dikatakan sadar apabila dia mampu mengerti, memahami, mengetahui apa yang ada dalam fikiran dan perasaannya serta apa yang sedang dikerjakannya.

Untuk memelihara tingkat kesadaran dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah muhasabah - melakukan perenungan, perhitungan, kalkulasi dan menginggat apa yang telah, sedang dilakukan untuk menghadapi kehidupan.

Terutama kesadaran kehadiran dan perannya di bumi yang mesti dibawanya sebagai berikut. Manusia dijadikan  sebagai khalifah-khalifah di bumi, QS Fāthir 35:39 dan QS Al-An’ām 6:165. Manusia adalah makhluk mulia dan dilebihkan di atas banyak makhluk yang lain dengan kelebihan yang yang sempurna, QS Al-Isrā’ 17:70. Manusia dijadikan oleh Allah swt dalam sebaik-baik bentuk, baik fisik maupun psikisnya (QS At-Tīn 95:4 dan 6), serta dilengkapi dengan berbagai alat potensial dan potensi-potensi dasar (fitrah) yang dapat dikembangkan dan diaktualisasikan seoptimal mungkin melalui proses pendidikan. Karena itulah maka sudah selayaknya manusia menyandang tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi antara lain menyangkut tugas mewujudkan kemakmuran di muka bumi, QS Hūd 11:61. Memberi petunjuk jalan dalam mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan hidup di muka bumi,  QS Al-Mā’idah 5:16. Yaitu dengan cara beriman dan beramal shaleh, QS AR-Ra’d 13:29. Bekerjasama dalam menegakkan kebenaran dan bekerjasama dalam menegakkan kesabaran, (QS Al-‘Ashr 103:1-3. Karena itu tugas kekhalifahan merupakan tugas suci dan amanah dari Allah sejak manusia pertama hingga manusia akhir zaman yang akan datang, dan merupakan perwujudan dari pelaksanaan pengabdian kepada-Nya (’abdullah).

Tugas-tugas kekhalifahan tersebut menyangkut tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri meliputi seperti tugas-tugas menuntut ilmu pengetahuan, QS An-Nahl 16:43. Karena manusia itu adalah makhluk yang dapat dan mesti dididik/diajar, QS Al-Baqarah 2:31. Mampu pula mendidik /mengajar, QS Āli ‘Imrān 3:187 dan Al-An’ām 6:51.

Menjaga dan memelihara diri dari segala sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya dan kesengsaraan, QS At-Tahrīm 66:6. Termasuk di dalamnya adalah menjaga dan memelihara kesehatan fisiknya, memakan makanan yang halal dan sebagainya. Menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Kata akhlak berasal dari kata khuluq atau khalq. Khuluq merupakan bentuk batin-rohani, dan khalq merupakan bentuk lahir-jasmani.

Tugas kekhalifahan dalam keluarga dalam berumah tangga meliputi tugas membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera atau keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah - rasa kasih dan sayang, QS Ar-Rūm 30:21. Dengan jalan menyadari akan hak dan kewajibannya sebagai suami-istri atau ayah-ibu dalam rumah tangga.

Tugas kekhalifahan dalam masyarakat meliputi tugas-tugas mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (dalam menjaga persaudaraan dan menjaga dari  perselisihan yang tidak perlu), QS Al-Hujurāt 49:10 dan 13; Al-Anfāl 8:46.

Dalam bersosial-kemasyarakatan (berorganisasi dan bernegara) tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan, QS Al-Mā’idah 5:2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat, QS An-Nisā’ 4:135. Dalam keberimanannya (tidak fasik) bertanggung jawab terhadap amar ma’ruf (menyuruh dan melaksanakan kebaikan - agent of development) nahi munkar (mencegah kemukaran, agent of change) dalam rangka keberimanannya, QS Āli-‘Imrān 3:104 dan 110.

Berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk di dalamnya adalah para fakir-miskin dan anak yatim serta yang membutuhkan pertolongan, QS At-Taubāh 9:60; An-Nisa’ 4:2. Orang yang cacat tubuh yang membutuhkan pengajaran yang bermanfaat, QS ‘Abasa 80:1-11).

Demikianlah ajaran Islam dalam menumbuhkan kesadaran diri dengan jalan muhasabah diri. Membangunkan kesadaran Falsafah Hidup Islam. Yaitu, sebenarnya, tujuan dan peran dari eksisnya manusia hidup di bumi ini, QS Al-‘Alaq 96:5. Tipikal gambaran konsep ajaran yang tidak terdapat dalam Falsafah Hidup manapun. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM




Daftar Bacaan:
Abi Abdullah al-Haris al-Muhasibi, Al- Masailu fi a`maliil qulūbi wal        Jawarih, Bairut: Dar al-Kitab Ilmiyah, 2000
Achmad Mubarok, Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf (Pendakian           menuju Allah), Jakarta: Paramadina, 2005
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung:    Refika Aditama, 2007), Edisi kedua
‘Aidh al Qarni, La tahzan (Jangan bersedih), terjemahan,Jakarta: Qisth      Press, 2005 □□

Sumber:
https://baiturraqy.wordpress.com/ilmiah/jurnal/menumbuhkan-kesadaran-diri/
http://blog.unnes.ac.id/malikhatundayyanah/2015/11/24/tugas-manusia-sebagai-khalifah-di-muka-bumi/
Manusia Makhluk Unggul, Insight of Dinul Islam, Powered by AFM, Washington DC - Jakarta, 2013. □□□

Blog Archive