Memahami Istilah-Istilah
MANUSIA DALAM AL-QUR'AN
Oleh: A. Faisal Marzuki
Oleh: A. Faisal Marzuki
PENDAHULUAN
P
|
ada Kitab Suci Al-Qur‘an
Allah SWT menggunakan beberapa istilah-istilah tentang manusia. Pada dasarnya istilah-istilah
itu mengenalkan serta menjelaskan siapa manusia itu sebenarnya. Istilah-istilah
manusia dalam al-Qur‘an ini memberikan pengetahuan kepada manusia di tengah
kegalauan informasi dan pikiran mengenai siapa manusia sesungguhnya. Banyaknya
istilah-istilah itu dimaksudkan agar manusia dapat memahami dirinya ditengah-tengah
kehidupan bermasyarakat dalam suatu negara dan antar negara. Beberapa sudut
pandang istilah dalam Al-Qur’an itu sebenarnya untuk memberikan gambaran keseluruhan
siapa manusia itu.
Dengan istilah-istilah
yang akan kita pelajari dan selanjutnya menjadi mengetahuinya, memberi
pandangan totalitas tentang manusia secara keseluruhan. Memberi arti dari makna
yang saling melengkapi tentang manusia. Totalitas mana menggambar dari mana
asal manusia; apa dan siapa manusia; serta peran apa; dan bagaimana semestinya mengambil
posisinya dalam kehidupannya di bumi ini.
BERBAGAI SEGI KONSEP MANUSIA
P
|
erkembangan manusia bermula
dari diciptakannya manusia pertama, Adam AS. Kemudian Hawa, pendamping atau istri
Adam AS. Dari keduanya sesuai dengan perjalan waktu telah berkembang biak. Dalam
memasuki milenium ke-3 ini telah mencapai
7,5 milyar manusia yang ada di seluruh dunia. Mari kita telusuri
istilah-istilah manusia yang diambilkan dari firman-firman Allah Azza wa Jalla
yang ada dalam Kitab Suci Al-Qur’an ini.
Manusia dalam Konsep al-Basyar
Penelitian terhadap kata manusia yang disebut
al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar menjelaskan bahwa manusia adalah anak keturunan Nabi Adam AS yang
perlu makan dan minum, bangun dan tidur, serta hidup kemudian mati. Kata 'basyar'
disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk 'mutsanna'
atau 'jama'.
Sebagai makhluk yang
bersifat berjasad atau pisik ini tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis
lainnya. Makhluk biologi perlu makan, minum, bangun - bekerja mencari
penghidupan, dan tidur - beristirahat dari kelelahan bekerja, serta berkembang
biak dan kemudian mati. Hidup manusia ini berganti dan diganti oleh generasi
penerusnya, yaitu dilanjutkan generasi keturunan berikutnya. Terus berulang
seperti itu dari generasi ke generasi.
Maknanya adalah bahwa
kehidupan manusia terikat dengan kaedah atau prinsip kehidupan biologis seperti
disebutkan itu. Mengenai proses dan fase perkembangan manusia
sebagai makhluk biologi telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an
sebagaimana firman-Nya yang artinya:
Dan
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
daripada tanah (13). Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan,
a
drop of liquid, sperm, nuthfah)
dalam tempat yang kokoh (rahim) (14). Kemudian air mani itu kami jadikan
segumpal darah (clot of
congealed blood, ‘alaqah),
lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging (fetus,
lump,
mudghah),
dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang (bones, ‘idhāma), lalu tulang belulang itu kami bungkus
dengan daging (flesh, lahman).
Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain (manusia), maka Maha Sempurna
Allah, Pencipta yang paling baik. (QS Al-Mu’minūn,
23:13-14)
Ayat ini sangat dikagumi oleh seorang Dr Emeritus Keith L. Moore, Prof of
Anatomy and Cell Biology, Canada, karena 14 abad yang lalu telah disebutkan
dalam Al-Qur’an. Prof. Dr Emeritus Keith L. Moore menyebutkan bahwa tahun
1940-an Professor Stiger dari Institut Carnegie Embryology Washington District
of Columbia, ibu kota Amerika Serikat, telah menuliskan penemuannya dalam bidang
biologi khususnya ‘stages of human
development’. Dia mengatakan bahwa dari sperma menjadi manusia diperlukan
23 tahap berdasarkan bentuknya. Namun pendapat ini bertahan sampai tahun 1970. Tidak
lama setelah itu ilmuan yang lain melakukan penelitian kembali selama 4 tahun
berdasarkan tinjauan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan penelitian ‘microscope research’, seperti dan sama yang
diuraikan dalam Al-Qur’an pada surat Al-Mu’minūn,
ayat 13 dan 14 diatas.
Dalam ucapan
asli yang dikatakan oleh Prof Dr
Emeritus Keith L. Moore sebagai berikut:
“And assuredly We made man from the
extract of clay, then We made him a drop of liquid (sperm) and We put in
strong serenity”
“Then We place as (a drop of sperm, nuthfah) in a place firmly fixed; Then We made the
sperm into a clot of congealed blood (‘alaqah); Then of that clot We made
a (fetus) lump
(mudghah); Then We made
out of that lump bones (‘idhāma)
and clothed the bones with flesh (lahman); Then We develop out of it another creature.
Blessed be God, the Best of Creators! [1]
Dengan demikian, manusia dalam konsep al-Basyar
ini dapat berubah secara fisik, yaitu dari nuthfah
sampai menjadi bayi, selanjutnya dewasa dan kemudian sepuh atau tua. Semakin
tua fisiknya akan semakin lemah serta akhirnya meninggal dunia. Dalam konsep al-Basyar
ini juga tergambar tentang peranan manusia sebagai makhluk biologis - yang lain
dengan makhluk biologi lainnya. Karena manusia diberi amanah sebagai ‘khalifah’
[2] di bumi Allah ini. Dengan itu manusia mesti berupaya memenuhi perannya
secara benar sesuai dengan asalnya kenapa manusia diciptakan.
Manusia dalam Konsep al-Insan
Al-Insan berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Istilah ini
menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan nalar, fikir. Yaitu menimbang mana
yang baik (berguna, membangun) dan mana yang buruk (tidak berguna, merusak). Berbeda
dengan makhluk Allah yang lain, yang menggunanakan instink-nya dan kebiasaannya saja ketimbang nalar plus wahyu.
Manusia dapat
mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui yang benar dan yang
salah, serta dapat meminta izin ketika menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.
Manusia dalam istilah ini merupakan makhluk yang dapat dididik, diajar. Memiliki
potensi yang dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan membangun
peradaban serta memakmurkan kehidupan di bumi. Potensi
manusia menurut konsep al-Insan merujuk kepada kedaya-upayaan yang dapat
mendorong manusia untuk berkreasi dalam bentuk rasa, karsa, karya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an
yang artinya:
Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari
masa, yang ketika itu ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut.
(berkesadaran diri siapa dia)? (QS Al-Insān, 76:1)
Maksudnya
seperti yang di terangkan di ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa manusia
diciptakan dari setetes mani yang bercampur (nuthfah) yang Kami hendak mengujinya dengan ketentuan hukum (perintah
dan larangan), karena itu Kami jadikan dia berkemampuan mendengar dan melihat.
Dengan itu dapat mengkaji fakta yang mana yang benar dan yang mana yang tidak
benar (ayat 2); Ditunjukkannya ‘jalan yang lurus’. Ada yang menggunakan ada
yang tidak (ayat 3). Ayat selanjutnya menerangkan konsekuensi dari mematuhi
atau melanggar ketentuan hukum yang ditetapkan-Nya, surat Al-Insān, 76:2-4 dst-nya.
Manusia dalam Konsep al-Nas
Al-Nas merujuk kepada fungsi manusia sebagai makhluk sosial
yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia harus menjaga hubungan baik sesama manusia.
Kerana manusia memerlukan satu sama lain. Memberi manfaat satu sama lainnya. Dalam memenuhi keperluan masing-masing dibangun
dengan adanya peradaban yang menciptakan kemakmuran hidup. Itu hanya dapat dicapai
jika dikerjakan bersama yang terorganisir (berperadaban) rapi. Karena dalam
mewujudkannya memerlukan perencanaan (planning),
yang perlu diorganisir diantara manusia (organizing), kemudian di laksanakan (actuating),
dan pelaksanaannya di kendalikan (controlling)
agar sesuai dengan rencana yang di buat (planning).
Hal ini menunjukkan bahwa manusia harus hidup ber-ta’aruf [3] dan saling membantu, bekerja sama yang terkoordinasi rapi sesuai dengan konsep sains management.
Seperti yang telah diketahui, asal penciptaan
manusia bermula dari pasangan laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa),
seterusnya berkembang menjadi masyarakat, bernegara, berantar negara dalam semangat
ta’aruf [3], yaitu
tiga T dan satu I (3T1I): Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar.
Maknanya adalah (T) Ta’aruf, yakni
saling mengenal; (T) Tafahum, yakni
saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup, bakat dan
kemapuan serta keahlian yang berbeda; namun dapat melakukan (T) Ta’awun, yakni kerja sama dalam masalah
hubungan sesama manusia; (I) Itsar,
yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi.
Dalam arti menunjukkan bahwa manusia harus hidup dalm satu ummah yang tidak boleh saling menjatuhkan. Inilah sebenarnya fungsi
manusia dalam konsep al-Nas. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
Pantaskah
manusia menjadi heran bahwa Kami memberi wahyu kepada seorang laki-laki di
antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang
beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka.”
Orang-orang kafir berkata: "Orang ini (Muhammad) benar-benar penyihir”. (QS Yūnus, 10:2)
Manusia dalam Konsep Bani Adam
Manusia dalam istilah
ini memiliki arti keturunan Adam AS. Istilah ini digunakan untuk menyebut
manusia jika dilihat dari asal keturunannya. Istilah ‘Bani Adam’ disebut
sebanyak tujuh kali dalam tujuh ayat al-Qur’an. Penggunaan
kata Bani Adam merujuk kepada pengertian manusia adalah keturunan dari
Nabi Manusia - umat yang satu - sebagai asal-muasal makhluk manusia. Dalam hal
ini mencirikan setidakny ada tiga aspek dari adanya Adam AS yang dapat dikaji sehubungan
dengan beberapa pembelajaran yang diambil dari pengalaman yang dihadapinya
sebagai yang akan dijelaskan berikut ini.
Pertama,
anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, antara lain adalah
dengan berpakaian secara manutup aurat. Kedua,
mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujukan Syaitan
yang senantiasa mengajak kepada perkara-perkara mungkar. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka
ibadah dan mentauhidkan-Nya. Semua perkara ini merupakan suatu kewajiban
sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam AS oleh Allah
SWT Pencipta Alam Semesta dan Manusia. Ditegaskan oleh Allah SWT dalam
al-Qur’an yang artinya:
Bukankah
Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah
syaitan? Sungguh syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu”. (QS Yā Sīn, 36:60)
Manusia sebagai Konsep Al-Ins
Al-Ins bermaksud tidak liar atau tidak biadab. Difahami bahwa
istilah al-Ins kebalikan dari istilah al-Jins atau jin yang
bersifat non-fisik dan liar. Jin hidup bebas di alam ghaib yang tidak dapat
dirasai oleh pancaindera manusia. Berbeda dengan manusia yang disebut
menggunakan istilah al-Ins. Manusia adalah makhluk yang tidak liar, artinya
kewujudannya jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kata Al-Ins
disebutkan sebanyak 18 kali dalam Al-Qur‘an, masing-masing dalam 17 ayat. Salah
satu dalam ayat Al-Qur’an yang menjelaskan berkenaan manusia dan jin sebagai
berikut yang artinya:
Dan
demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh, yang terdiri dari
syaitan-syaitan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian
yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Dan kalau Tuhanmu menghendaki,
niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama
(kebohongan) yang mereka ada-adakan. (QS al-An’ām, 6:112)
Manusia dalam Konsep Khalifah Allah
Khalifah berarti pemimpin pengganti, yaitu pengganti dari jenis
makhluk yang lain. Pemimpin dalam arti makhluk yang diberi amanah oleh Allah
agar melaksanakan perintah-Nya di muka bumi. Pada
hakikatnya, eksistensi manusia dalam kehidupan dunia ini adalah untuk
melaksanakan amanah Allah yaitu dengan cara mengelola dunia sesuai dengan
kehendak penciptanya.
Peranan yang dimainkan oleh manusia menurut
statusnya sebagai khalifah Allah adalah terdiri daripada dua jalur iaitu jalur
horizontal yang sering disebut hablum
minannās dan jalur vertikal yang sering pula disebut hablum minallāh.
Peranan dalam jalur horizontal mengacu kepada bagaimana manusia mengatur hubungan yang baik sesama manusia dan alam sekitarnya. Sedangkan peranan dalam jalur vertikal pula menggambarkan bagaimana manusia berperanan sebagai hamba Allah melalui cara pengabdian diri hanya kepada-Nya sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:
Dan Aku tiada menciptakan Jin dan Manusia, melainkan
supaya mereka beribadat kepada-Ku. [QS adz-Dzāriyāt 51:56]
Dialah
yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. [QS Fathir 35:39]
Dalam peranan ini manusia perlu menyadari
bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan hubungan sesama
manusia adalah kerana perintah dari Allah, yaitu untuk memakmurkan kehidupan di
muka bumi. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur’an yang artinya:
“Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan
menjadikanmu pemakmurnya, QS Hūd
11:61.
Manusia
sebagai penghuni bumi untuk menguasai, memakmurkan dan memelihara lingkungan
hidup dan ekosistimnya. Bangunnya kemakmuran dalam
suatu peradaban dimungkinkan dengan adanya kedamaian hubungan antar masyarakat
di suatu negara, begitu pula masyarakat antar negara.
PENUTUP
D
|
emikianlah Al-Qur’an telah
memberikan petunjuk dan pengajaran serta gambaran kepada ummat manusia bahwa dari mana asal manusia, apa dan siapa manusia, serta
peran apa dan bagaimana semestinya mengambil posisinya dalam kehidupannya di
bumi.
Isi uraiannya benar-benar amazing dan mencerahkan kehidupan manusia di bumi yang berisi menyerukan
hubungan baik sesama manusia yang amat diperlukan di milenium ke-3 seperti
telah diterangkan diatas dengan konsep 3T1I-Nya. Sementara - walaupun sudah ada
‘nalar’ serta sains dan teknologi sangat maju - tapi masih saja ada teror, hate crime, phobia, merasa lebih tinggi dengan suku atau bangsa
lain, perang yang memerangi negara lain yang relatif lemah persenjataannya,
pembunuhan (kalau tidak mau dikatakan pembantaian brutal) kepada orang yang
sedang beribadat seperti terjadi di dua Masjid di Selandia Baru, dan mayoritas
menzalimi minoritas. Tidak ada alternatif lain yang lebih baik dan sempurna
bagi ummat manusia, kecuali seperti pengajaran yang telah dipaparkan diatas
yang patut dihormati dan pantas di pedomani. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM
Catatan
Kaki:
[1] https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2014/05/islam-ilmu-pengetahuan-iii.html
[2] Dialah yang menjadikan kamu sebagai
khalifah-khalifah di bumi. [QS Fathir 35:39] untuk memakmurkan kehidupan di
bumi sebagaimana firman-Nya menyebutkan: “Dia
telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, QS Hūd 11:61.
[3] Apa arti dan makna berta’aruf, diambil dari ayat ini, “Wahai manusia!
Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu TA’ARUF (saling kenal mengenal, artinya kemauan orang yang siap hidup
bersama dengan orang atau bangsa lain dalam ‘perbedaan’). (QS Al-Hujurāt
49:13).
Prinsip
TA’ARUF ini meliputi: Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T)
Ta’aruf yakni saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar
belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T)
Ta’awun yakni kerja sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni
tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi. □□
Sumber:
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2014/05/islam-ilmu-pengetahuan-iii.html
https://www.academia.edu/7032555/konsep manusia menurut
al-quran Dan sumber-sumber lainnya. □□□