Friday, March 29, 2019

Manusia dalam al-Qur’an




Memahami Istilah-Istilah
MANUSIA DALAM AL-QUR'AN
Oleh: A. Faisal Marzuki



PENDAHULUAN

P
ada Kitab Suci Al-Qur‘an Allah SWT menggunakan beberapa istilah-istilah tentang manusia. Pada dasarnya istilah-istilah itu mengenalkan serta menjelaskan siapa manusia itu sebenarnya. Istilah-istilah manusia dalam al-Qur‘an ini memberikan pengetahuan kepada manusia di tengah kegalauan informasi dan pikiran mengenai siapa manusia sesungguhnya. Banyaknya istilah-istilah itu dimaksudkan agar manusia dapat memahami dirinya ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat dalam suatu negara dan antar negara. Beberapa sudut pandang istilah dalam Al-Qur’an itu sebenarnya untuk memberikan gambaran keseluruhan siapa manusia itu.

Dengan istilah-istilah yang akan kita pelajari dan selanjutnya menjadi mengetahuinya, memberi pandangan totalitas tentang manusia secara keseluruhan. Memberi arti dari makna yang saling melengkapi tentang manusia. Totalitas mana menggambar dari mana asal manusia; apa dan siapa manusia; serta peran apa; dan bagaimana semestinya mengambil posisinya dalam kehidupannya di bumi ini.


BERBAGAI SEGI KONSEP MANUSIA

P
erkembangan manusia bermula dari diciptakannya manusia pertama, Adam AS. Kemudian Hawa, pendamping atau istri Adam AS. Dari keduanya sesuai dengan perjalan waktu telah berkembang biak. Dalam memasuki milenium ke-3 ini telah  mencapai 7,5 milyar manusia yang ada di seluruh dunia. Mari kita telusuri istilah-istilah manusia yang diambilkan dari firman-firman Allah Azza wa Jalla yang ada dalam Kitab Suci Al-Qur’an ini.


Manusia dalam Konsep al-Basyar

Penelitian terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar menjelaskan bahwa manusia adalah anak keturunan Nabi Adam AS yang perlu makan dan minum, bangun dan tidur, serta hidup kemudian mati. Kata 'basyar' disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk 'mutsanna' atau 'jama'.

Sebagai makhluk yang bersifat berjasad atau pisik ini tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Makhluk biologi perlu makan, minum, bangun - bekerja mencari penghidupan, dan tidur - beristirahat dari kelelahan bekerja, serta berkembang biak dan kemudian mati. Hidup manusia ini berganti dan diganti oleh generasi penerusnya, yaitu dilanjutkan generasi keturunan berikutnya. Terus berulang seperti itu dari generasi ke generasi.

Maknanya adalah bahwa kehidupan manusia terikat dengan kaedah atau prinsip kehidupan biologis seperti disebutkan itu. Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologi telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya yang artinya:

Dan Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) daripada tanah (13). Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan, a drop of liquid, sperm, nuthfah) dalam tempat yang kokoh (rahim) (14). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah (clot of congealed blood, ‘alaqah), lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging (fetus, lump, mudghah), dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang (bones, ‘idhāma), lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging (flesh, lahman). Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain (manusia), maka Maha Sempurna Allah, Pencipta yang paling baik. (QS Al-Mu’minūn, 23:13-14)

Ayat ini sangat dikagumi oleh seorang Dr Emeritus Keith L. Moore, Prof of Anatomy and Cell Biology, Canada, karena 14 abad yang lalu telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Prof. Dr Emeritus Keith L. Moore menyebutkan bahwa tahun 1940-an Professor Stiger dari Institut Carnegie Embryology Washington District of Columbia, ibu kota Amerika Serikat,  telah menuliskan penemuannya dalam bidang biologi khususnya  ‘stages of human development’. Dia mengatakan bahwa dari sperma menjadi manusia diperlukan 23 tahap berdasarkan bentuknya. Namun pendapat ini bertahan sampai tahun 1970. Tidak lama setelah itu ilmuan yang lain melakukan penelitian kembali selama 4 tahun berdasarkan tinjauan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan penelitian ‘microscope research’, seperti dan sama yang diuraikan dalam Al-Qur’an pada surat Al-Mu’minūn, ayat 13 dan 14 diatas.

Dalam ucapan asli yang dikatakan oleh  Prof Dr Emeritus Keith L. Moore   sebagai berikut:

“And assuredly We made man from the extract of clay, then We made him a drop of liquid (sperm) and We put in strong serenity”


“Then We place as (a drop of sperm, nuthfah) in a place firmly fixed; Then We made the sperm into a clot of congealed blood (‘alaqah); Then of that clot We made a (fetus) lump (mudghah); Then We made out of that lump bones (‘idhāma) and clothed the bones with flesh (lahman); Then We develop out of it another creature. Blessed be God, the Best of Creators! [1]

Dengan demikian, manusia dalam konsep al-Basyar ini dapat berubah secara fisik, yaitu dari nuthfah sampai menjadi bayi, selanjutnya dewasa dan kemudian sepuh atau tua. Semakin tua fisiknya akan semakin lemah serta akhirnya meninggal dunia. Dalam konsep al-Basyar ini juga tergambar tentang peranan manusia sebagai makhluk biologis - yang lain dengan makhluk biologi lainnya. Karena manusia diberi amanah sebagai ‘khalifah’ [2] di bumi Allah ini. Dengan itu manusia mesti berupaya memenuhi perannya secara benar sesuai dengan asalnya kenapa manusia diciptakan.


Manusia dalam Konsep al-Insan

Al-Insan berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Istilah ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan nalar, fikir. Yaitu menimbang mana yang baik (berguna, membangun) dan mana yang buruk (tidak berguna, merusak). Berbeda dengan makhluk Allah yang lain, yang menggunanakan instink-nya dan kebiasaannya saja ketimbang nalar plus wahyu.

Manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui yang benar dan yang salah, serta dapat meminta izin ketika menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Manusia dalam istilah ini merupakan makhluk yang dapat dididik, diajar. Memiliki potensi yang dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban serta memakmurkan kehidupan di bumi. Potensi manusia menurut konsep al-Insan merujuk kepada kedaya-upayaan yang dapat mendorong manusia untuk berkreasi dalam bentuk rasa, karsa, karya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang artinya:

Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut. (berkesadaran diri siapa dia)? (QS Al-Insān, 76:1)

Maksudnya seperti yang di terangkan di ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari setetes mani yang bercampur (nuthfah) yang Kami hendak mengujinya dengan ketentuan hukum (perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia berkemampuan mendengar dan melihat. Dengan itu dapat mengkaji fakta yang mana yang benar dan yang mana yang tidak benar (ayat 2); Ditunjukkannya ‘jalan yang lurus’. Ada yang menggunakan ada yang tidak (ayat 3). Ayat selanjutnya menerangkan konsekuensi dari mematuhi atau melanggar ketentuan hukum yang ditetapkan-Nya, surat Al-Insān, 76:2-4 dst-nya.



Manusia dalam Konsep al-Nas

Al-Nas merujuk kepada fungsi manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia harus menjaga hubungan baik sesama manusia. Kerana manusia memerlukan satu sama lain. Memberi manfaat satu sama lainnya. Dalam memenuhi keperluan masing-masing dibangun dengan adanya peradaban yang menciptakan kemakmuran hidup. Itu hanya dapat dicapai jika dikerjakan bersama yang terorganisir (berperadaban) rapi. Karena dalam mewujudkannya memerlukan perencanaan (planning), yang perlu diorganisir diantara manusia (organizing), kemudian di laksanakan (actuating), dan pelaksanaannya di kendalikan (controlling) agar sesuai dengan rencana yang di buat (planning). Hal ini menunjukkan bahwa manusia harus hidup ber-ta’aruf [3] dan saling membantu, bekerja sama yang terkoordinasi rapi sesuai dengan konsep sains management.

Seperti yang telah diketahui, asal penciptaan manusia bermula dari pasangan laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa), seterusnya berkembang menjadi masyarakat, bernegara, berantar negara dalam semangat ta’aruf [3], yaitu tiga T dan satu I (3T1I): Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf, yakni saling mengenal; (T) Tafahum, yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup, bakat dan kemapuan serta keahlian yang berbeda; namun dapat melakukan (T) Ta’awun, yakni kerja sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar, yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi. Dalam arti menunjukkan bahwa manusia harus hidup dalm satu ummah yang tidak boleh saling menjatuhkan. Inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep al-Nas. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:

Pantaskah manusia menjadi heran bahwa Kami memberi wahyu kepada seorang laki-laki di antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka.” Orang-orang kafir berkata: "Orang ini (Muhammad) benar-benar penyihir”. (QS Yūnus, 10:2)


Manusia dalam Konsep Bani Adam

Manusia dalam istilah ini memiliki arti keturunan Adam AS. Istilah ini digunakan untuk menyebut manusia jika dilihat dari asal keturunannya. Istilah ‘Bani Adam’ disebut sebanyak tujuh kali dalam tujuh ayat al-Qur’an. Penggunaan kata Bani Adam merujuk kepada pengertian manusia adalah keturunan dari Nabi Manusia - umat yang satu - sebagai asal-muasal makhluk manusia. Dalam hal ini mencirikan setidakny ada tiga aspek dari adanya Adam AS yang dapat dikaji sehubungan dengan beberapa pembelajaran yang diambil dari pengalaman yang dihadapinya sebagai yang akan dijelaskan berikut ini.

Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, antara lain adalah dengan berpakaian secara manutup aurat. Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujukan Syaitan yang senantiasa mengajak kepada perkara-perkara mungkar. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya. Semua perkara ini merupakan suatu kewajiban sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam AS oleh Allah SWT Pencipta Alam Semesta dan Manusia. Ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an yang artinya:

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah syaitan? Sungguh syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu”. (QS Yā Sīn, 36:60)


Manusia sebagai Konsep Al-Ins

Al-Ins bermaksud tidak liar atau tidak biadab. Difahami bahwa istilah al-Ins kebalikan dari istilah al-Jins atau jin yang bersifat non-fisik dan liar. Jin hidup bebas di alam ghaib yang tidak dapat dirasai oleh pancaindera manusia. Berbeda dengan manusia yang disebut menggunakan istilah al-Ins. Manusia adalah makhluk yang tidak liar, artinya kewujudannya jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kata Al-Ins disebutkan sebanyak 18 kali dalam Al-Qur‘an, masing-masing dalam 17 ayat. Salah satu dalam ayat Al-Qur’an yang menjelaskan berkenaan manusia dan jin sebagai berikut yang artinya:

Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh, yang terdiri dari syaitan-syaitan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama (kebohongan) yang mereka ada-adakan. (QS al-An’ām, 6:112)                                                                                
                                                                                        
Manusia dalam Konsep Khalifah Allah

Khalifah berarti pemimpin pengganti, yaitu pengganti dari jenis makhluk yang lain. Pemimpin dalam arti makhluk yang diberi amanah oleh Allah agar  melaksanakan perintah-Nya di muka bumi. Pada hakikatnya, eksistensi manusia dalam kehidupan dunia ini adalah untuk melaksanakan amanah Allah yaitu dengan cara mengelola dunia sesuai dengan kehendak penciptanya.

Peranan yang dimainkan oleh manusia menurut statusnya sebagai khalifah Allah adalah terdiri daripada dua jalur iaitu jalur horizontal yang sering disebut hablum minannās dan jalur vertikal yang sering pula disebut hablum minallāh.

Peranan dalam jalur horizontal mengacu kepada bagaimana manusia mengatur hubungan yang baik sesama manusia dan alam sekitarnya. Sedangkan peranan dalam jalur vertikal pula menggambarkan bagaimana manusia berperanan sebagai hamba Allah melalui cara pengabdian diri hanya kepada-Nya sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:

Dan Aku tiada menciptakan Jin dan Manusia, melainkan supaya mereka beribadat kepada-Ku. [QS adz-Dzāriyāt 51:56]

Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. [QS Fathir 35:39]

Dalam peranan ini manusia perlu menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan hubungan sesama manusia adalah kerana perintah dari Allah, yaitu untuk memakmurkan kehidupan di muka bumi. Sebagaimana  Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:

“Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, QS Hūd 11:61.

Manusia sebagai penghuni bumi untuk menguasai, memakmurkan dan memelihara lingkungan hidup dan ekosistimnya. Bangunnya kemakmuran dalam suatu peradaban dimungkinkan dengan adanya kedamaian hubungan antar masyarakat di suatu negara, begitu pula masyarakat antar negara.


PENUTUP

D
emikianlah Al-Qur’an telah memberikan petunjuk dan pengajaran serta gambaran kepada ummat manusia bahwa dari mana asal manusia, apa dan siapa manusia, serta peran apa dan bagaimana semestinya mengambil posisinya dalam kehidupannya di bumi.

Isi uraiannya benar-benar amazing dan mencerahkan kehidupan manusia di bumi yang berisi menyerukan hubungan baik sesama manusia yang amat diperlukan di milenium ke-3 seperti telah diterangkan diatas dengan konsep 3T1I-Nya. Sementara - walaupun sudah ada ‘nalar’ serta sains dan teknologi sangat maju - tapi masih saja ada teror, hate crime, phobia,  merasa lebih tinggi dengan suku atau bangsa lain, perang yang memerangi negara lain yang relatif lemah persenjataannya, pembunuhan (kalau tidak mau dikatakan pembantaian brutal) kepada orang yang sedang beribadat seperti terjadi di dua Masjid di Selandia Baru, dan mayoritas menzalimi minoritas. Tidak ada alternatif lain yang lebih baik dan sempurna bagi ummat manusia, kecuali seperti pengajaran yang telah dipaparkan diatas yang patut dihormati dan pantas di pedomani. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM



Catatan Kaki:
[1] https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2014/05/islam-ilmu-pengetahuan-iii.html
[2] Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. [QS Fathir 35:39] untuk memakmurkan kehidupan di bumi sebagaimana firman-Nya menyebutkan: “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, QS Hūd 11:61.
[3] Apa arti dan makna berta’aruf, diambil dari ayat ini, “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu TA’ARUF (saling kenal mengenal, artinya kemauan orang yang siap hidup bersama dengan orang atau bangsa lain dalam ‘perbedaan’). (QS Al-Hujurāt 49:13).
Prinsip TA’ARUF ini meliputi: Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi. □□


Sumber:
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2014/05/islam-ilmu-pengetahuan-iii.html
https://www.academia.edu/7032555/konsep manusia menurut al-quran Dan sumber-sumber lainnya. □□□

Blog Archive