Wahai Orang-orang yang berman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [QS
Al-Baqarah 2:183]
PENDAHULUAN
B
|
ulan Ramadhan dikenal dengan nama bulan
‘Ramadhan Mubarok’, artinya bulan yang penuh barokah. Ramadhan yang penuh
barokah ini ditandai dengan nama dari sifatnya. Sifatnya itu adalah: ● Bulan
ampunan, ● Bulan mendekatkan diri kepada TUHAN YANG MENCIPTA SEGALA YANG ADA
untuk kesejahteraan hidup manusia yang patut kita syukuri, ● Bulan
diturunkannya Al-Qur’an sebagai pegangan dan petunjuk atau ‘manual operating system’
kehidupan manusia beriman, ● Bulan yang pada suatu hari turunnya ‘Lailatul
Qodar’ yang nilainya 1.000 bulan atau 83,33 tahun Syamsiyah konversi kedalam
tanggalan Hijriah (Qomariyah) setara 85 tahun ‘kebaikan’.
Nama-nama lainnya yang menggambarkan kemanfaatan bagi pelaku ibadah puasa bulan Ramadhan ini adalah: ● Bulan pengabulan do’a, ● Bulan ibadah – bulan ‘tune up’ atau ‘service’ agar ‘motor jiwa’ handal kembali dalam menghadapi kehidupan di dunia sebagai ladang ibadah dalam memakmurkan kehidupan di bumi dan bekal untuk mendapatkan Surga Adn yang diharapkan setiap manusia yang beriman kepada-Nya. ● Bulan yang menjadikan manusia kembali kepada fitrah-nya laksana bayi yang baru dilahirkan, bersih dan suci, layaknya seperti ‘mesin jiwa’ selesai di ‘tune up’ dan ‘ready to go’ menjalani kehidupan 11 bulan selanjutnya.
Oleh karena itu muslimin yang BERAKALSEHAT [1] mengerti ESENSI KEISLAMAN seperti tersebut diatas merasa memerlukan sekali datangnya bulan Ramadhan ini.
Nah,
dalam beberapa minggu ini akan datang jadwal
‘tune up’ Ramadhan. Tune up ini bermaksud ‘mesin jiwa’ dalam
diri manusia yang telah digunakan 11 bulan sebelumnya, perlu di service
kembali agar ‘mesin jiwa’ siap pakai lagi untuk menempuh hidup selanjutnya. Dengan
itu tentunya puasa ini mesti kita laksanakan sebagai mana perintah-Nya:
Wahai orang-orang yang berman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [QS
Al-Baqarah 2:183]
Tentu
dalam melaksakan ada aturan-aturan tertentu sebagai syarat sahnya pelaksanaan
puasa ini sebagaimana akan dipaparkan dibawah ini. Dengan menjalankan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan-Nya itu insya Allah akan membawa manfaat dan berkah
dan kebaikan kepada pelakunya.
SYARAT WAJIBNYA PENUNAIAN PUASA [2]
S
|
yarat
wajib puasa. [3] Syarat wajibnya puasa yaitu: ● Ia adalah orang
yang beragama Islam, ● berakal, ● sudah baligh, [4] dan ● mengetahui akan
wajibnya puasa. [5]
Dengan itu syarat wajib penunaian puasa ini,
artinya ketika ia mendapati waktu tertentu yaitu datangnya bulan Ramadhan, maka
ia dikenakan kewajiban puasa Ramadhan. Syarat yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar (dalam
perjalanan). Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain”
(QS Al-Baqarah 2:185).
Kedua syarat seperti yang diterangkan diatas itu
termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa, bukan syarat sahnya puasa dan
bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini
gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak
berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama.
Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap
sah.
(3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah
hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Hadits tersebut adalah:
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dari
Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada
Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan
tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan
Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya
bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami
diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat’.” [6] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang
dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa, namun wajib mengqodho’ (mengganti)
puasanya. [7]
SYARAT
SAHNYA PUASA
R
|
amadhan yang akan kita lakukan ini ada syarat-syaratnya.
Syarat-syarat mana sebagai putunjuk bagi pelaku puasa Ramadhan agar sahnya. Syaratnya ada 2 sebagai berikut:
[8]
(1) Orang yang akan berpuasa ini dalam keadaan
suci dari haidh dan nifas, bagi muslimah. Syarat ini adalah syarat terkena dalam
akan melakukan kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
(2) Orang yang akan berpuasa ini mesti berniat.
Niat ini merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah, sedangkan
ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil
dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” [9]
Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan
dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan,
dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang
merupakan ibadah.
Namun, perlu diketahui bahwasanya niat tersebut
bukanlah diucapkan (dilafadzkan).
Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat
letaknya di hati. [10] Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama
besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan:
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah
sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak
disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara
para ulama.” [11]
Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan:
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ
“Niat
letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali
tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi
dalam Ar Roudhoh.” [12]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ
“Niat
itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di
hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah
berdasarkan kesepakatan para ulama.” [13]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula,
“Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah
berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan
untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia
ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang
dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah
pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan
suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah
mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” [14]
WAJIB BERNIAT
SEBELUM FAJAR [15]
D
|
alilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari
Hafshoh - istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak
sah.”[16]
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut
ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap
malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar. [17]
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya.
Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri,
tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak
puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat. [18]
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan.
Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan,
“Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1
Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena
ia tidak menegaskan niat puasanya. [19] Niat itu pun harus dikhususkan
(dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya. [20]
Catatan:
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah
terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata:
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai
makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan
berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata,
“Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat
dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari,
sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” [21]
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi
mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal
(matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.” [22] Di sini disyaratkan
bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa.
Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya
tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya. [23]
RUKUN PUASA
B
|
erdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa
adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu
fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari. [24] Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
(QS Al Baqarah 2:187).
Yang dimaksud dari ayat
adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang
secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al-Baqarah
ayat 187, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata padanya:
إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”. [25]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu
pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih.
Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata
tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim. [26]
PENUTUP
D
|
emikianlah uraian tajuk “Syarat dan Rukun Puasa
Ramadhan” seperti yang telah diurainkan diatas. Semoga bermanfaat dalam kita
melakukan puasa Ramadhan yang beberapa pekan ini akan datang.
Adapun tulisan ini ditayangkan untuk
mengingatkan kita kembali agar puasa kita tidak hanya sekedar rutinitas puasa,
namun memenuhi rukun dan syarat melakukan ibadah puasa Ramadhan ini. Dengan itu
puasa kita memenuhi ketentuan-Nya dan menjadi bermanfaat bagi yang
melaksanakan. Billahit Taufiq wal-Hidayah.
□ AFM
Catatan Kaki:
[1] “…supaya kamu menggunakan akal
pikiran (la‘allakum ta’qilūn)” -
untuk mengerti atau memahami. [QS Al-Mu’min/Ghāfir 40:67]
Dengan itu pantaslah Allah memberi tugas kepada
manusia 'yang berakal' (juga harus berakhlak mulia - adil, jujur dan
bertanggung jawab sebagai makhluk yang beribadah kepada-Nya) sebagai
Pemakmur Bumi dengan jabatan (para) Khalifah di Dunia. Dimana dalam ayat-ayat
Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan fungsi akal yang merupakan bagian dari kerja
otak yang bersangkut paut pula dengan indra dan hati (consciousness, cognition).
[2] Disebut dengan syarat wujubul adaa’ shoum.
[3] Disebut dengan syarat wujub shoum.
[4] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu
keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu
kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil.
(Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 2/3005-3008).
Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan
bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu
sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun
dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul. (Lihat Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916)
[5] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916.
[6] HR. Muslim no. 335.
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916-9917.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.
[9] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari
‘Umar bin Al Khottob.
[10] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan
“nawaitu shouma ghodin …”. Jika seseorang makan sahur, pasti ia sudah
niat dalam hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit
umatnya.
[11] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
[12] Mughnil Muhtaj, 1/620.
[13] Majmu’ Al Fatawa, 18/262.
[14] Idem.
[15] Yang dimaksudkan adalah masuk waktu shubuh.
[16] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730,
dan Nasa’i no. 2333.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Riwayat
yang menyatakan bahwa hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat) tidak
menafikan riwayat di atas. Karena riwayat marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang
bisa diterima sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu ushul dan ahli hadits.
Pendapat seperti ini pun dipilih oleh sekelompok ulama, namun diselisihi oleh
yang lainnya. Ulama yang menyelisihi tersebut berdalil tanpa argumen yang kuat”
(Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 323).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).
[17] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9919.
[18] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9922.
[19] Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[20] Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
[21] HR. Muslim no. 1154.
[22] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
[23] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’,
6/32.
[24] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915.
[25] HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan
bahwa hadits ini hasan shahih.
[26] HR. Ahmad, 4/377. Shahih sebagaimana
dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth □□
Bahan Penulisan:
Penulis: Muhammad Abduh Tausikal
https://muslim.or.id/4097-syarat-dan-rukun-puasa.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/08/peranan-akal-dalam-al-quran.html
Persiapan Menyambut Bulan Suci Ramadhan
https://www.facebook.com/groups/1015623825139460/permalink/2097816580253507/ □□□