Wednesday, May 17, 2017

Blasphemy Yang Ramai Dibicarakan Orang




Kata Pengantar

M
enteri agama menegaskan hari Senin (15/05/2017), Indonesia tetap mempertahankan pasal penistaaan agama, meskipun adanya protes keras atas penggunaan pasal tersebut. Ribuan orang Indonesia di dalam dan luar negeri ikut serta dalam aksi dukungan terhadap gubernur DKI Jakarta non aktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), setelah pengadilan menjatuhkan hukuman dua tahun  penjara, berdasar pasal penodaan agama yang diatur Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

   Kelompok-kelompok hak asasi manusia mendesak Indonesia untuk mencabut pasal  penghujatan itu, sementara Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menaruh keprihatinan atas vonis berdasarkan pasal penodaan agama tersebut. Hingga saat ini, aturan tertera dalam pasal 156a KUHP.

   Menanggapi tuntutan pencabutan pasal penodaan agama, pemerintah menegaskan:  "Mengingat keragaman negara kita, perlu ada mekanisme legal untuk menyelesaikan sengketa pasal penghujatan," ujar Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, seperti dikutip DPA dari Republika.

   Dilansir dari Detik, Lukman memaparkan: "Perlu hukum yang bisa mengatur bagaimana silang sengketa penodaan agama harus dibawa ke ranah hukum. Kalau dibawa ke ranah hukum perlu undang-undang, perlu ada kesepakatan bersama menjadi acuan menyelesaikan kasus-kasus penodaan agama. Saya merasa perlu hati-hati betul menghilangkan undang-undang dan pasal-pasal yang terkait penodaan agama lalu pakai apa." Dijelaskan Lukman, sejumlah pihak memiliki niat buruk memanfaatkan realita keberagamaan Indonesia, termasuk keberagamaan agama, untuk misi yang buruk. Aturan hukum penodaan agama diperlukan supaya misi itu tidak tercapai. Demikian dikutip dari vivanews. "Masalahnya bukan hukum, tapi bagaimana pengadilan memberikan keadilan," tambah Lukman.


Pengertian Penista Agama

   Dari Sudut Hukum. Perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar mempergunakan kata celaan . Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa Belanda. “Nista” berarti hina, rendah, celah, noda.

   Dalam bahasa Sansekerta istilah agama berasal dari “a” artinya kesini dan “gam” artinya berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti peraturan-peraturan tradisional, ajaran, kumpulan bahan-bahan hukum. Pendeknya apa saja yang turun temurun dan ditentukan oleh adaptaasi kebiasaan.

   Menurut M. Taib Thahir Abdul Muin, agama adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akherat.

   Menurut Koentjaraningrat, agama merupakan suatu sistem yang terdiri atas empat komponen:
  • Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religius;
  • Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib, serta segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan;
  • Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib;
  • Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut butir b, dan yang melakukan sistem ritus dan upacara tersebut butir c.


   Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama bahwa penistaan agama adalah:

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.



BLASPHEMY
Oleh: Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi


Jika orang melakukan penistaan agama dengan dalih kebebasan berfikir, maka serahkan ketentuan benar dan salah pada suara mayoritas yang berilmu.


   Dalam suatu simposium di Tokyo saya bertemu dengan Angel Rabasa. Ia salah seorang peneliti pada Rand Coorporation, yaitu NGO yang memberi saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat (AS) bagaimana menumpas fundamentalisme dalam Islam pasca 11 September.

   Di saat coffee break, ia sengaja menghampiri saya dan langsung “menembak”, “What is wrong with Ahmadiyah in Indonesia?” Saya katakan “ini adalah kasus penistaan agama (religious blasphemy)”. “Oh no, itu kan masalah kebebasan berpendapat, bla blab bla.

   Memang ia banyak tahu tentang Indonesia dan bahkan seperti ingin ikut campur urusan umat Islam. Saya baru teringat tulisan David E Kaplan, Hearts, Minds and Dollars, “Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk mempengaruhi bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang terjadi dalam Islam”. Kelihatannya, Rabasa ditugaskan untuk proyek yang disebut David.

   “Baik, kalau begitu bagaimana dengan keberatan umat Kristiani terhadap aliran Jehovah yang dianggap sesat?” tanya saya. Dia, yang berkulit putih itu menjadi sedikit memerah seperti menahan sesuatu. “Ya tapi orang Kristen tidak melaporkan kasus ini ke pemerintah”, jawabnya.

   Di sini saya faham bahwa dia keberatan dengan campur tangan pemerintah dalam urusan agama. Tentu ini mindset yang tipikal orang Barat sekuler. Agama tidak boleh masuk ruang publik dan tidak boleh menyatu dengan kekuasaan, apapun bentuknya.

   Padahal, yang saya tahu, aliran Children of God (COG) dan Jehovah Witnesses dilarang Kejaksaan Agung atas permintaan Ditjen Bimas Kristen karena dianggap sempalan Kristen. Jika demikian itu juga berdasarkan laporan para penganut Kristen (kepada Pemerintah).

   Tapi kemudian saya katakan, kalau Anda menyerahkan penyelesaian urusan blasphemy ke masyarakat, akan mengakibatkan chaos, atau kegaduhan. Anda tahu sendiri bagaimana masyarakat main hakim sendiri terhadap penganut Ahmadiyah di daerah-daerah. Dan jumlah mereka cukup banyak. Dan perlu Anda tahu bahwa penganut Ahmadiyah sendiri menganggap siapa pun yang tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah kafir. Jadi, bukan hanya umat Islam yang menganggap Ahmadiyah salah, tapi Ahmadiyah justru menganggap umat Islam selain mereka itu salah.

   Rabasa ternyata tidak banyak tahu tentang kepercayaan Ahmadiyah. Akhirnya dia mengalihkan pembicaraan. “Let’s talk something else,” katanya.

   Blasphemy adalah istilah yang digunakan untuk penistaan agama di Barat. Kata blasphemy dalam Online Etymology Dictionary, © 2001 Douglas Harper disebut sebagai berasal dari bahasa Prancis, blasfemie; asalnya dari bahasa Latin blasphemia atau bahkan dari Yunani blasph?mein. Artinya irreligious, pernyataan, perkataan jahat atau menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.

   Secara definitif blasphemy adalah kejahatan menghina atau menista atau menunjukkan pelecehan atau kurang menghargai Tuhan, agama, ajarannya, serta tulisan-tulisan-tulisan mengenainya. Juga berarti sikap menghina terhadap sesuatu yang dianggap sakral. (Merriam-Webster’s Dictionary of Law, © 1996). Menurut The American Heritage, blasphemy adalah aktivitas, pernyataan, tulisan yang merupakan penghinaan, irreligius, mengenai Tuhan atau sesuatu lainnya yang sakral.

   Dalam the Random House Dictionary dan The American Heritage menganggap seseorang sebagai Tuhan atau mengaku memiliki kualitas seperti Tuhan termasuk blasphemy. Pengertian Easton Bible Dictionary (1897) bahkan lebih detail lagi. Blasphemy termasuk mengingkari adanya Roh Kudus, Bible, kemessiahan Jesus atau menganggap mukjizat Jesus itu sebagai kekuatan setan.

   Hanya masalahnya, orang-orang liberal sekuler menuduh para pemeluk agama-agama telah membatasi kebebasan berpendapat. Agama, menurut mereka, menggunakan dalih blasphemy, penistaaan, bid’ah, musyrik, tabu dan sebagainya untuk membungkam pikiran mereka. Itu pun, dalam persepsi mereka, para agamawan hanya membatasi hak memahami agama pada otoritas keagamaan (ulama, pendeta, sami, dan sebagainya). Di sini agama menjadi buruk muka dan diposisikan sebagai pemasung kebebasan.

   Inti masalahnya ada pada worldview masing-masing. Di Barat agama-agama memiliki alam pikirannya sendiri. Sejarahnya, memang selalu bentrok dengan masyarakat Barat, khususnya masyarakat ilmiah (scientific community).

***

   John Milton, sastrawan dan penulis politik Inggris pernah bentrok dengan parlemen. Itu gara-gara brosur buatannya yang liar, tidak bertanggung jawab, tidak masuk akal dan ilegal. Tapi Milton membela diri. Katanya, kesatuan suatu bangsa diperoleh melalui gabungan pendapat individu yang berbeda ketimbang homogenitas yang dipaksakan. Kemampuan menggali ide-ide cemerlang diperlukan dan kebenaran tidak dapat dicapai kecuali dengan merujuk semua pendapat orang.

   Jadi, bagi pemikir non-agama, kebenaran tidak harus melalui otoritas keagamaan. Milton bahkan menambahi pembelaannya bahwa jika fakta-fakta dibiarkan telanjang, kebenaran akan mengalahkan kebatilan dalam kompetisi terbuka.

   Tapi siapa yang akan menentukan sesuatu itu benar dan salah? Menurut Milton bukan individu, tapi gabungan pendapat individu-individu. Katakanlah kebenaran ditentukan oleh suara mayoritas. Sekilas orang bisa terima, tapi ternyata ini bermasalah. Sebab bagi Milton, meski mayoritas telah bersuara, setiap individu dibebaskan untuk menemukan kebenaran mereka sendiri-sendiri. Jadi teori Milton masih problematik, karena tidak ada standar kebenaran. Kebenaran itu tergantung pada individu masing-masing.

   Kebebasan mencari dan menentukan kebenaran gaya Milton tetap saja akan memihak. Nah, tapi Noam Chomsky mencoba merumuskan begini: “Jika Anda percaya pada kebebasan berbicara, Anda percaya pada kebebasan berbicara untuk mendukung pendapat yang tidak kau sukai.” (If you’re in favor of freedom of speech, that means you’re in favor of freedom of speech precisely for views you despise). Tapi kenyataannya Stalin dan Hitler yang mengaku mendukung kebebasan berbicara, hanya mendukung pendapat yang mereka sukai saja.

   Kembali ke soal blasphemy. Jika orang melakukan penistaan agama dengan dalih kebebasan berfikir dan berpendapat, maka rumus Milton perlu digunakan. Serahkan ketentuan benar dan salah pada suara mayoritas yang berilmu tentang itu. Bukan kepada individu tapi kepada komunitas, dan ini harus mengikat individu.

   Demikianlah uraian tersebut diuraikan seperti tersebut diatas. Mudah-mudahan dengan tulisan tersebut menyadarkan kepada kita sebagaimana kata bijak atau pepatah menyatakan “mulutmu adalah harimaumu”. Jadi berhati-hatilah dalam mengutarakan pendapat, jangan sampai menyinggung warga bangsa sendiri. □ AFM


Sumber:
http://www.dw.com/id/pemerintah-tetap-pertahankan-pasal-penodaan-agama/a-38840829
http://www.suduthukum.com/2016/11/pengertian-penistaan-agama.html
https://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2010/03/17/42917/blasphemy.html□□□


Blog Archive