Thursday, March 24, 2016

Konsep Persatuan Kehidupan dalam Islam 4



Oleh: A. Faisal Marzuki



Paradigma dan Integritas Sosial Kemasyarakatan


Pendahuluan

Kaidah pelaksanaan dimensi sosial kemasyarakat dalam Islam adalah “berbuat baik karena Allah”. Ibadah dalam sosial kemasyarakatan disebut juga sebagai “ibadah ghaira mahdhah”, artinya tidak murni semata hubungan dengan Allah, yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya. Prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah dalam ibadah ini, ada empat yaitu: 1). Keberadaannya, 2). Tatalaksananya, 3). Bersifat rasional, 4). Azas Manfaat, yang keterangannya sebagai berikut:

Keberadaannya

Keberadaannya dalam melakukan sosial kemasyarakatan tidak diatur perinciannya seperti halnya dalam ibadah mahdhah. Selama tidak ada dalil yang melarang, atau bertentangan dengan dalil (Al-Qur’an dan Al-Hadits), yaitu  dengan kata lain selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.

Tatalaksananya

Tatalaksanya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah”, atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.

Bersifat Rasional

Ibadah semacam ini bersifat rasional. Ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.  Sehingga jika menurut “logika yang bersih lagi sehat” hal itu buruk, merugikan, dan madharat (membahayakan, tidak ada manfaatnya), maka tidak boleh dilaksanakan.

Azas Manfaat

Azaznya berazazkan manfaat dari setiap rencana yang dibuat yaitu: Pelaksanaan yang akan dilakukan; Pengorganisasian dan manajemen yang baik sebagai sumber daya manusia yang akan melaksanakannya, disertai modal (seperti dana, sumber daya manusia) yang cukup atau handal, dan peralatan yang baik; Tujuan yang jelas, yaitu yang akan mendatangkan kebaikan bagi kemashlahatan umat dan ridha-Nya; Juga bukan untuk kebathilan, maka selama itu boleh dilakukan.


D
engan empat prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah dari ajaran Islam itu seperti paparan diatas membuat hati ini hidup, bersinar, bergetar, tidak beku. Membuat jiwa itu hidup bergairah, dinamis, kreatif, tidak statis. Membuat semangat hidup berkobar, bergelora, tidak kaku dan lambat.

Hatta, dengan itu masih diperlukan paradigma dan penegakan moral akhlak integritas bersosial kemasyarakan antara umat dan sesama manusia lainnya, agar tidak terjadi “kebebasan liar yang semaunya” dan “tujuan yang tidak jelas” serta “tidak diridhai-Nya”. Artinya dengan itu keempat prinsip-prinsip  atau kaidah-kaidah dalam melaksanakan dimensi sosial kemasyarakat dalam Islam diperlukan “paradigma” [1] dan “nilai-nilai moral-akhlak-integritas” [2] dalam rangka merekat kuat yang tak tergoyangkan jika ada yang mau menggoyang-goyang dan tak tercabik jika ada yang mau mencabik-cabik baik dengan halus (dibujuk-bujuk dengan iming-iming kentungan pribadi atau kelompok) maupun kasar (menggunakan melalui pelecehan atau ancaman dan berlanjut menggunakan kekerasan senjata). Dengan itu Persatuan Kehidupan yang hendak kita lakukan dan pelihara dapat tetap fit dan kuat selalu. Persatuan Kehidupan mana menjadi sangat kuat (solid). Dengan itu jalan dalam mencapai tujuan akan yakin dapat digapaitangkap dengan baik. Dengan itu membuat hidup pasti, bermakna dan bermanfaat, karena memenuhi seruan-Nya dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya mengatakan:

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu” [QS 8:24], “agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka” [QS 22:28].


Apa yang mesti kita lakukan agar kehidupan kita bermakna, penuh arti, yakni kehidupan yang bermanfaat bagi diri maupun komunal. Dalam hal ini seruan (petunjuk, ajaran) Allah Azza wa Jalla - dalam Islam - memberitahukan kepada makhluk-Nya, manusia  yang telah dijadikan sebagai manusia khalifah [QS 7:129; 27:620] atau manusia khalifah-khalifah di bumi [QS 35:39] untuk hidup bersama dalam komunal, dalam bernegara, dan dalam antar negara. Yaitu hidup dengan cara menegakkan keadilan dan dalam bekerja (beramal) shaleh (berkebaikan, berkebajikan, berkarsa, berkarya, berproduksi yang punya daya guna (manfaat). Hidup berkomunal atau bersosial masyarakat itu artinya adalah berlaku adil diantara sesamanya, dalam beramal shaleh, membuat yang baik-baik, menyingkirkan yang buruk-buruk sebagaimana firman-Nya menyebutkan:


“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” [QS 16:90]

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, dan (ketika) menjadi saksi (bersaksilah) dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap sesuatu kaum (yang bukan golongannya, yang bukan yang sama asal bangsa, penduduk bukan asli - pendatang, warna kulit yang berlainan, bahasa yang beda,  diskriminasi karena status dan tingkat sosial serta agama), mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada taqwa (kebaikan, keadilan dan kejujuran). Dan bertaqwalah (turut perintah dan menghindari larang-Nya) kepada Allah (yang menciptakan kamu dan segala apa yang terdapat di alam semesta), sungguh, Allah Mahateliti (mengetahui dan mengawasi) apa yang kamu kerjakan”. (QS 5:8)

Harta dari hasil perputaran roda ekonomi (untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup manusia), tidak hanya terbatas dinikmati di kalangan konglomerat penggerak usaha besar, dan golongan usaha menengah penggerak usaha menengah dan usaha-usaha ekonomi yang lain, tapi juga dapat dinikmati pula masyarakat pekerja dengan anggota keluarganya  yang diambil dari hasil (sistim) pemungutan pajak (zakat) usaha dan pajak (zakat) pendapatan pribadi dan hasil sumbangan (charity, infaq dan sadaqah) lainnya dari orang kaya (berlebih dari kecukupannya), sebagaimana firman-Nya menyebutkan:

“Agar harta (asset) itu jangan beredar (dinikmati) di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”, [QS 59:7] (maka dilakukan pemungutan pajak (zakat) usaha  dan pajak (zakat) pendapatan pribadi serta hasil dari pemberian sukarela charity, infaq dan sadaqah). “dan orang-orang yang dalam harta tersedia bagian tertentu” (bagi atau haq yang mempunyai  penghasillan tapi tidak ada atau kurang dalam mencukupi kebutuhan pokok hidupnya) [QS 70:24].

Ajaran Islam itu membangunkan dan membuat kesadaran mental-spiritual bersosial masyarakat bisa hidup, karena menjadi tanggung jawab sosial masing-masing dari anggota komunal, negara, serta antar negara. Tak satu pun ajaran Islam, baik prinsipnya maupun prakteknya yang terlepas dari dimensi hidup sosial kemasyarakatan. Ajaran Islam mencakup hablum-minallah, yaitu hubungan manusia (secara individual) dengan Tuhan yang menciptakannya. Dan hablum minannas, yaitu hubungan manusia sesama manusia dalam dimensi sosial - komunal, juga hubungan dengan Tuhannya dalam komunal dalam kepatuhan hukum (mengikuti perintah-Nya dan tidak melakukan larangan-Nya, sebagaimana firman-Nya menyebutkan:

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, karena sebagai manusia tidak menyuruh dan melakukan yang “ma’ruf” - kebaikan atau dalam pengertian modernnya “agent of development”, malah sebaliknya melakukan munkar, tidak mencegah kemungkaran - keburukan dan merubah atau mengganti menjadi lebih baik atau dalam pengertian modernnya sebagai “agent of change” [QS 3:110]. Karena perbuatan tanpa “agent of development” dan “agent of change” akan berbahaya bagi masyarakat yang lainnya - merusak tatanan sosial yang semestinya berinteraksi secara sehat, yang landasan pijaknya adalah hubungan damai dan harmonis, memberi dan menerima serta memberi sesama, [QS 3:111]; Kecuali mereka berpegang pada tali (ajaran perintah dan larangan dan melaksanakan agama - beribadah kepada-Nya sebagai hamba-Nya) Allah, dan tali (perjanjian untuk berlaku adil dan dalam melakukan prinsip hubungan baik) dengan manusia [QS 3:112].

Dengan itu ajaran Islam ini sebenarnya membawa rahmat, keberkahan, ketenangan, kesejukan, keamanan, keselamatan, kedamaian kepada semua manusia. Islam itu sendiri berarti selamat, sentosa, aman, damai, sebagaimana firman-Nya menyebutkan:

Dan tiada Kami mengutus kamu (Rasul saw dan umatnya sebagai pewaris ajaran Allah yang dicontohkan oleh sunnah Rasul-Nya), melainkan untuk (menjadi) rahmat seluruh alam (manusia dan lingkungan hidupnya) [QS 21:107].

Diperlukan upaya-upaya untuk membumikan, mensosialisasikan ajaran Islam itu. Janji-janji Allah di dunia ini berkaitan dengan komunitas (berdimensi sosial), dan bukan hanya individu (berdimensi personal). Wajah sosial ajaran Islam berpangkal pada keyakinan bahwa selain Allah, bukanlah Tuhan. Dengan terwujudnya ketaqwaan komunal, “taqwa sosial”, insya-Allah akan turun keselamatan, keberkahan dan kasih sayang Allah serta dipimpin oleh pemimpin yang dicintai dan mencintai rakyat, sebagaimana firman-Nya mengatakan:

Dan sekiranya penduduk negeri beriman (percaya kepadanya dan melakukan ibadah mahdhah) dan bertaqwa (melakukan ajaran-islam-Nya yaitu sebagai penganjur dan pelaku “agent of development” dan “agent of change”), pasti Kami (Allah Yang Maha Kuasa) akan melimpahkan kepada mereka berkah dari “Langit” dan dari “Bumi”. [QS 7:96]

Dan sekiranya Ahli Kitab (kitab asli) itu beriman dan bertaqwa; niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan mereka dan mereka tentu Kami masukkan ke dalam surga-surga yang penuh kenikmatan. [QS 5:65]


Sehubungan firman Allah swt pada Kitab Suci al-Qur’an surat Al-Mā’idah ke-5 ayat 65 tersebut diatas, dalam buku tafsir Al-Azhar Buya Hamka mengulas dalam bahasanya sebagai berikut: “Dan sekiranya Ahlul Kitab itu beriman dan bertaqwa, niscaya Kami hapuskan dari mereka  kesalahan-kesalahan mereka”, (pangkal ayat 65)

Sekiranya mereka beriman, yaitu kembali percaya bahwasanya agama Allah itu satu, al-Qur’an adalah lanjutan daripada Taurat dan Injil. Muhammad adalah utusan terakhir setelah Musa dan Isa Almasih. Lalu mereka bertaqwa, yaitu kembali kepada segala perintah yang diturunkan Allah, memperbaiki budipekerti (hubungan sesama umat beragama dari agama berasal dari satu yang dibawa Ibrahim - tambahan dari penulis), niscaya kesalahan mereka selama ini (dalam “memerangi” Islam dan umatnya - tambahan dari penulis)” diampuni oleh Allah.

“Dan niscaya Kami masukkanlah mereka ke dalam surga-surga kenikmatan”, (ujung ayat 65). Ayat ini adalah ajakan kepada mereka supaya kembali saja kepada jalan yang benar dan menghilangkan fanatic golongan, lalu menerima kebenaran, supaya tercapailah damai dalam bumi ini. Al-Qur’an tidak pernah memaksa, hanya menunjukkan jalan, dan menerangkan bahaya jika jalan itu tidak dituruti, [QS 2:256,18:29]. Seruan pertama ialah mari beriman semua, mari jadi Islam. Kalau belum mau, tidak mengapa. Tetapi kalau hendak tetap memegang Taurat dan Injil juga, peganglah kedua kitab itu benar-benar. Kalau dipegang benar-benar, tidak dicampur oleh-angkara murka nafsu, niscaya kekacauan dalam alam pasti dapat dikurangi. [Tafsir Al-Azhar, juz 6 hal. 309 dan Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam?]


Sehubungan tafsir buya Hamka surat Al-Mā’idah ke-5 ayat 65, klik tajuk: Baca juga tafsir al-Baqarahayat 62 ini.
        Demikianlah maksud dari pemaparan Paradigma dan Integritas Sosial Kemasyarakatan dalam ajaran Islam ini, dimana manusia khususnya manusia khalifah memegang peranan dalam memakmurkan bumi [QS 11:61, “Dia telah menciptakanmu dari bumi dan menjadikanmu pemakmurnya”] tempat tinggal manusia di dunia yang fana ini. Maksud dari “dunia fana” adalah alam tempat tinggal manusia yang masih hidup, yang tidak kekal (dapat rusak, mati, dan sebagainya) sebagai jembatan menuju hari akhirat (surga).  [QS 51:56, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”]. Beribadah adalah beriman dan menyembah-Nya dan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya agar selamat hidup di Dunia dan selamat hidup di Akhirat dengan mendapat Surga Adn. Bersambung ke: Konsep Persatuan Kehidupan dalam Islam 5. Allahu ‘alam bish-shawab. □ AFM


Saksikan video youtube dalam tayangan kooperasi YANG BESAR KUAT ≈ YANG KECIL LEMAH, hubungannya begitu harmonis. Dua kelompok khewan yang berbeda dalam ukuran fisik maupun jenis golongan kooperasinya begitu indahnya. Yang Kuat Besar membantu Yang Lemah Kecil. Khewan saja bisa, bagaimana dengan sesama manusia? Untuk menyaksikannya klik: BESAR KUAT ≈  KECIL LEMAH


Catatan Kaki:

[1] Paradigma: Kata paradigma sendiri berasal dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin pada tahun 1483 yaitu “paradigma” yang berarti suatu model atau pola. Paradigma juga disebut model dalam teori ilmu pengetahuan; kerangka berpikir.

Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konotatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.

[2] ●Moral: 1). (Ajaran tentang) Baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila: -- mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan; 2). Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan: tentara kita memiliki -- dan daya tempur yang tinggi; 3). Ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita; Bermoral: 1). Mempunyai pertimbangan baik buruk; berakhlak baik: mana ada penjahat yang bermoral; 2). Sesuai dengan moral (adat sopan santun dan sebagainya): ia melakukan perbuatan yang tidak bermoral.

●Akhlak: budi pekerti; peri laku; kelakuan.

●Integritas:  mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran; Integritas Islam: Wujud keutuhan prinsip moral dan etika Islam dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, bernegara dan berantarnegara.

Sumber:

Terjemahan ayat-ayat berpedoman kepada Terjemahan Tafsir Per Kata AlFatih, Pustaka AlFatih. □□□

Blog Archive