Tuesday, June 14, 2016

Pembebasan Kota Makkah 2





Penyebab Dibebaskannya Kota Makah

D
iawali dari perjanjian damai antara kaum Muslimin Madinah dengan orang Musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaiybiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi saw dan kaum Muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi saw dan suku Bakr bergabung di kubu orang Musyrikin Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata.

Namun kemudiannya, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang berada di sekitar sumber mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil militer dan senjata pada Bani Bakr.

Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi saw di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr atas perjanjian Hudaybiyah yang menyerang suku Khuza’ah secara tiba-tiba, padahal mereka masih dalam ikatan perjanjian damai yang telah disepakati dan ditandatangi masing-masing pihak.

Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi saw, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar radliallahu ‘anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi saw. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib ra agar memberikan pertolongan kepadanya di hadapan Nabi saw. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali memberikan saran, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepadanya. Kemudian, kembalilah ke daerahmu.”

Abu Sufyan berkata, “Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?” Ali menjawab, “Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.” Abu Sufyan yang masih musuh kaum Muslimin (tapi karena terikat perjanjian damai tidak diapa-apakan) kemudian berdiri di masjid dan berkata, “Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!” Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.

Dengan adanya pengkhianatan dari kaum Quraisy Makkah ini, Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan lainnya, kalau-kalau pihak Musyrikin menyerang rombongan Madinah atas kedatangannya ke Makkah. Beliau mengajak semua shahabat untuk mendatangi kota Makkah. Sebenarnya Makah adalah Kota Suci tempat beribadat kepada Tuhan Yang Maha Esa sejak dari zaman dahulu kala, tapi kini telah disalah gunakan. Mereka, kaum Quraisy ini telah menserikatkan Tuhan Yang Sebenarnya dengan tuhan-tuhan buatan manusia sendiri. Beliau barsabda: “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”

Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu (dengan jujur). Sebagai pedoman kaum Muslimin adalah kepada firman Allah yang disebutkan dalam surat Al-Anfāl sebagai berikut:

“Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian (yang sudah ada itu – tertulis) itu kepada mereka dengan jujur. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” [QS Al-Anfāl 8:58]

Memang pengalamannya selama ini demikian, yaitu dalam perang Badar dan perang-perang lainnya. Kaum Quraisy selalu mengambil menjadi sekutu-sekutunya dari kaum Munafiqun Madinah dan Yahudi Madinah yang berkhianat kepada Nabi saw, kemudian dibantu oleh kaum Musyrikin Makkah. Sebagaimana halnya dengan kaum Bakr yang bergabung di kubu orang musyrikin Quraisy menyerang suku Khuza’ah secara tiba-tiba, dimana suku Khuza'ah telah bergabung dengan kaum Muslimin Madinah.


Kisah Hatib bin Abi Balta’ah ra

Untuk menjaga kerahasiaan misi agar Quraisy maka tidak tahu, Rasulullah saw mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa Beliau saw hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi saw menuju Makkah untuk melakukan ekspedidi rahasia untuk pembebasan kota Makkah yang ditafsirkan sebagai serangan militer mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada Nabi-Nya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau pun mengutus sahabat Ali ra dan Al Miqdad ra untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.

Setelah Ali bin Abi Thalib berhasil menyusul wanita tersebut, ia langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali bin Abi Thalib memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Kemudian Ali ra berkata, “Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah saw tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”

Setelah tahu kesungguhan Ali ra, wanita itu pun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.

Sesampainya di Madinah, Ali ra langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi saw. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi saw menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun menjawab:

“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama engkau  memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”

Dengan serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan diri, “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap munafik.”

Rasulullah saw dengan bijak menjawab, “Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.” 

Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib ra ini diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Dan Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sungguh, dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” [QS Al-Mumtahanah 60:1]

Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah ra  adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status mereka belum kafir.


Rombongan Rasul saw Bergerak Menuju Makkah

Kemudian, Beliau saw keluar Madinah bersama sepuluh ribu shahabat yang siap siaga perang jika diperangi untuk membebaskan kota Makkah. Beliau memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di Madinah selama Rasul saw tidak berada di Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah ke Madinah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat yang disebut Abwa’, beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara orang yang permusuhannya sangat keras terhadap Nabi saw. Dengan kelembutannya, Nabi saw menerima taubat mereka dan masuk Islam. Nabi saw bersabda tentang Ibnul Harits ra, “Saya berharap dia bisa menjadi pengganti Hamzah ra”.

Setelah beliau sampai di suatu tempat yang bernama Marra Dhahrān, dekat dengan Makkah, Beliau saw dan rombongan berhenti untuk istirahat dan memerintahkan rombongan dalam barisan bersenjata untuk membuat obor sebagai lampu penerangnya. Beliau juga mengangkat Umar ra sebagai penjaga.

Malam itu, Abbas berangkat menuju Makkah dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan keledai) milik Nabi saw. Beliau mencari penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi saw dan meminta jaminan keamanan, sehingga tidak terjadi kontak senjata menumpahkan darah di kota Makkah. Tiba-tiba Abbas ditengah perjalanannya mendengar suara Abu Sufyan dan Budail bin Zarqa’ yang sedang berbincang-bincang tentang api unggun yang besar yang dilihatnya.

Kemudian disapa oleh Abu Sufyan: “Ada apa dengan dirimu, wahai Abbas?” Jawab Abbas: “Itu Rasulullah saw di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Demi Allah, amat buruklah orang-orang Quraisy. Demi Allah, jika beliau mengalahkanmu, Beliau (Muhammad) akan memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung bighal ini, agar aku dapat membawamu ke hadapan Nabi saw, lalu meminta jaminan keamanan kepada Beliau!” Maka, Abu Sufyan pun naik di belakangku untuk menemui Nabi saw. Kami pun menuju tempat Nabi saw. Ketika melewati obornya Umar bin Khattab ra, dia pun melihat Abu Sufyan. Dia berkata:

“Wahai Abu Sufyan, musuh Allah, segala puji bagi Allah yang telah menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian pun. Karena khawatir, Abbas mempercepat langkah bighalnya agar dapat mendahului Umar. Mereka pun langsung masuk ke tempat Rasulullah saw.

Setelah itu, barulah Umar masuk sambil berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya.” Abbas pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya.” Rasulullah saw bersabda, “Kembalilah ke kemahmu wahai Abbas! Besok pagi, datanglah ke sini!”

Esok harinya, Abbas bersama Abu Sufyan menemui Nabi saw. Beliau saw bersabda: “Celaka wahai Abu Sufyan! Bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah?” Abu Sufyan mengatakan: “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini.”

Nabi saw bersabda: “Celaka kamu wahai Abu Sufyan! Bukankah sudah saatnya kamu mengakui bahwa aku adalah utusan Allah?” Abu Sufyan menjawab: “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu, kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal hingga saat ini.” Abbas menyela: “Celaka kau! Masuklah Islam! Bersaksilah lā ilāha illa Allāh, Muhammadur Rasulullāh sebelum beliau memenggal lehermu!” Akhirnya Abu Sufyan pun masuk Islam dan memberikan kesaksian yang benar.

Tanggal 17 Ramadhan 8 Hijriyah, Rasulullah saw meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah, sudah 7 hari perjalan dari Madinah yang ditempuh rombongan berjumlah 10 ribu ini. Sebelum berangkat, beliau memerintahkan Abbas untuk mengajak Abu Sufyan menuju jalan tembus melewati gunung, berdiam di sana hingga semua robongan bersebjata sebagai pasukan Allah lewat di sana. Dengan begitu, Abu Sufyan bisa melihat semua pasukan kaum Muslimin. Maka Abbas dan Abu Sufyan melewati beberapa kabilah yang ikut gabung bersama rombongan pasukan kaum Muslimin. Masing-masing kabilah membawa bendera. Setiap kali melewati satu kabilah, Abu Sufyan selalu bertanya kepada Abbas, “Kabilah apa ini?” dan setiap kali dijawab oleh Abbas, Abu Sufyan senantiasa berkomentar, “Aku tidak ada urusan dengan bani Fulan.”

Setelah agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, “Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?”

Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama Muhajirin dan Anshar.”

Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.” Karena begitu banyaknya.

Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah.”

Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah ra. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata, “Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya Tanah al-Haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.” Sikap yang menakut-nakuti Abu Sufyan yang dikenal sebagai pentolan kaum Musyrikin Quraisy Makkah.

Ketika bertemu Nabi saw, perkataan Sa’ad dihadapan Abu Sufyan ini disampaikan kepada Nabi saw.  Beliau pun menjawab, “Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.” Kemudian, Nabi saw memerintahkan agar bendera di tangan Sa’ad diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata bendera itu tetap di tangan Sa’ad. Ada yang mengatakan bendera tersebut diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun.

Rasulullah saw melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi saw kepalanya hingga ujung jenggot Beliau yang mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu’ Beliau kepada Sang Pengatur alam semesta. Di sini pula, Beliau membagi pasukan untuk berpencar dalam kelompok-kelompok rombongan yang mengurung kota Makkah dari segala penjuru. Khalid bin Walid ditempatkan di sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi saw di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa bendera Nabi saw dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga beliau datang. □ AFM



Bersambung ke: Pembebasan Kota Makkah 3, terakhir.

Blog Archive