Penyebab Dibebaskannya Kota Makah
D
|
iawali dari perjanjian damai antara
kaum Muslimin Madinah dengan orang Musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada
nota kesepakatan Shulh Hudaiybiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara
nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu
kubu, baik kubu Nabi saw dan kaum Muslimin Madinah atau kubu
orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi saw dan
suku Bakr bergabung di kubu orang Musyrikin Quraisy. Padahal, dulu di zaman
Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan.
Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan
senjata.
Namun kemudiannya, secara licik, Bani
Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah.
Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika
mereka sedang berada di sekitar sumber mata air mereka. Secara diam-diam, orang
kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil militer dan senjata pada Bani Bakr.
Akhirnya, datanglah beberapa orang
diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi saw di Madinah. Mereka
mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan
Bani Bakr atas perjanjian Hudaybiyah yang menyerang suku Khuza’ah secara
tiba-tiba, padahal mereka masih dalam ikatan perjanjian damai yang telah
disepakati dan ditandatangi masing-masing pihak.
Karena merasa bahwa dirinya telah
melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah
untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan
penjelasan panjang lebar kepada Nabi saw, namun beliau tidak
menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar
dan Umar radliallahu ‘anhuma agar
mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi saw. Namun usahanya
ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib ra agar
memberikan pertolongan kepadanya di hadapan Nabi saw. Untuk
kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit
bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali
memberikan saran, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang
bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah?
Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepadanya. Kemudian,
kembalilah ke daerahmu.”
Abu Sufyan berkata, “Apakah menurutmu
ini akan bermanfaat bagiku?” Ali menjawab, “Demi Allah, aku sendiri tidak
yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.” Abu Sufyan yang masih
musuh kaum Muslimin (tapi karena terikat perjanjian damai tidak diapa-apakan) kemudian
berdiri di masjid dan berkata, “Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan
oleh orang-orang!” Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Dengan adanya pengkhianatan dari kaum
Quraisy Makkah ini, Nabi saw memerintahkan
para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan lainnya, kalau-kalau
pihak Musyrikin menyerang rombongan Madinah atas kedatangannya ke Makkah.
Beliau mengajak semua shahabat untuk mendatangi kota Makkah. Sebenarnya Makah
adalah Kota Suci tempat beribadat kepada Tuhan Yang Maha Esa sejak dari zaman
dahulu kala, tapi kini telah disalah gunakan. Mereka, kaum Quraisy ini telah
menserikatkan Tuhan Yang Sebenarnya dengan tuhan-tuhan buatan manusia sendiri.
Beliau barsabda: “Ya Allah,
buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana
secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting
yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian
damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan
seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama
tahu (dengan jujur). Sebagai pedoman kaum Muslimin adalah kepada firman Allah yang
disebutkan dalam surat Al-Anfāl sebagai berikut:
“Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan
dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian (yang sudah ada itu – tertulis)
itu kepada mereka dengan jujur. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang
berkhianat.” [QS Al-Anfāl 8:58]
Memang pengalamannya selama ini
demikian, yaitu dalam perang Badar dan perang-perang lainnya. Kaum Quraisy selalu
mengambil menjadi sekutu-sekutunya dari kaum Munafiqun Madinah dan Yahudi
Madinah yang berkhianat kepada Nabi saw,
kemudian dibantu oleh kaum Musyrikin Makkah. Sebagaimana halnya dengan kaum Bakr
yang bergabung di kubu orang musyrikin Quraisy menyerang suku
Khuza’ah secara tiba-tiba, dimana suku Khuza'ah telah bergabung dengan kaum Muslimin Madinah.
Kisah Hatib bin Abi Balta’ah ra
Untuk menjaga kerahasiaan misi agar Quraisy maka tidak tahu,
Rasulullah saw mengutus satuan
pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul
Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa
Beliau saw hendak menuju ke tempat
tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah
menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan
keberangkatan Nabi saw menuju
Makkah untuk melakukan ekspedidi rahasia untuk pembebasan kota Makkah yang
ditafsirkan sebagai serangan militer mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada
seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya.
Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada Nabi-Nya tentang apa yang
dilakukan Hatib. Beliau pun mengutus sahabat Ali ra dan Al Miqdad ra untuk
mengejar wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali bin Abi Thalib berhasil
menyusul wanita tersebut, ia langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu
berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali bin Abi
Thalib memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Kemudian
Ali ra berkata, “Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah saw tidak
bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali ra, wanita itu
pun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali ra langsung menyerahkan surat tersebut
kepada Nabi saw. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi
Balta’ah. Dengan bijak Nabi saw menanyakan alasan Hatib. Hatib bin
Abi Balta’ah pun menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai
Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku
tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah
Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak.
Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara
orang-orang yang bersama engkau memiliki
kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang
bisa melindungi kerabatku di sana.”
Dengan serta merta Umar bin Al Khattab
menawarkan diri, “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia
telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap munafik.”
Rasulullah saw dengan
bijak menjawab, “Sesungguhnya Hatib
pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah
sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.”
Umar pun kemudian menangis, sambil
mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau
berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy
terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan
keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di
Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan
dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang
kisah shahabat Hatib ra ini diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia sehingga kamu
sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir
Rasul dan (mengusir) kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika
kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku
(janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia
(berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Dan Aku lebih
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Barang siapa
di antara kamu yang melakukannya, maka sungguh, dia telah tersesat dari jalan
yang lurus.” [QS Al-Mumtahanah 60:1]
Satu pelajaran penting yang bisa kita
ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah ra adalah bahwa
sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan
ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama
loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas,
Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan
panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan
bahwa status mereka belum kafir.
Rombongan Rasul saw Bergerak Menuju Makkah
Kemudian, Beliau saw keluar Madinah bersama sepuluh ribu shahabat yang siap siaga
perang jika diperangi untuk membebaskan kota Makkah. Beliau memberi Abdullah
bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di Madinah selama Rasul saw tidak berada di Madinah. Di tengah
jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang
bertujuan untuk berhijrah ke Madinah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat
yang disebut Abwa’, beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah
bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara orang yang
permusuhannya sangat keras terhadap Nabi saw. Dengan kelembutannya,
Nabi saw menerima taubat mereka dan masuk Islam. Nabi saw bersabda
tentang Ibnul Harits ra, “Saya berharap dia bisa menjadi pengganti
Hamzah ra”.
Setelah beliau sampai di suatu tempat
yang bernama Marra Dhahrān, dekat dengan Makkah, Beliau saw dan rombongan
berhenti untuk istirahat dan memerintahkan rombongan dalam barisan bersenjata
untuk membuat obor sebagai lampu penerangnya. Beliau juga mengangkat Umar ra sebagai
penjaga.
Malam itu, Abbas berangkat menuju
Makkah dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan keledai) milik Nabi saw.
Beliau mencari penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi saw dan
meminta jaminan keamanan, sehingga tidak terjadi kontak senjata menumpahkan
darah di kota Makkah. Tiba-tiba Abbas ditengah perjalanannya mendengar suara
Abu Sufyan dan Budail bin Zarqa’ yang sedang berbincang-bincang tentang api
unggun yang besar yang dilihatnya.
Kemudian disapa oleh Abu Sufyan: “Ada
apa dengan dirimu, wahai Abbas?” Jawab Abbas: “Itu Rasulullah saw di
tengah-tengah kerumunan orang banyak. Demi Allah, amat buruklah orang-orang
Quraisy. Demi Allah, jika beliau mengalahkanmu, Beliau (Muhammad) akan
memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung bighal ini, agar aku dapat
membawamu ke hadapan Nabi saw, lalu meminta jaminan keamanan kepada
Beliau!” Maka, Abu Sufyan pun naik di belakangku untuk menemui Nabi saw. Kami pun menuju tempat Nabi saw.
Ketika melewati obornya Umar bin Khattab ra,
dia pun melihat Abu Sufyan. Dia berkata:
“Wahai Abu Sufyan, musuh Allah, segala
puji bagi Allah yang telah menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian pun.
Karena khawatir, Abbas mempercepat langkah bighalnya agar dapat mendahului
Umar. Mereka pun langsung masuk ke tempat Rasulullah saw.
Setelah itu, barulah Umar masuk sambil
berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya.”
Abbas pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya.”
Rasulullah saw bersabda, “Kembalilah ke kemahmu wahai Abbas! Besok
pagi, datanglah ke sini!”
Esok harinya, Abbas bersama Abu Sufyan
menemui Nabi saw. Beliau saw
bersabda: “Celaka wahai Abu Sufyan! Bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk
mengetahui bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah?”
Abu Sufyan mengatakan: “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari
aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak
membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini.”
Nabi saw bersabda: “Celaka
kamu wahai Abu Sufyan! Bukankah sudah saatnya kamu mengakui bahwa aku adalah
utusan Allah?” Abu Sufyan menjawab: “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu,
kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal
hingga saat ini.” Abbas menyela: “Celaka kau! Masuklah Islam! Bersaksilah lā ilāha
illa Allāh, Muhammadur Rasulullāh sebelum beliau memenggal lehermu!” Akhirnya
Abu Sufyan pun masuk Islam dan memberikan kesaksian yang benar.
Tanggal 17 Ramadhan 8 Hijriyah,
Rasulullah saw meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah, sudah
7 hari perjalan dari Madinah yang ditempuh rombongan berjumlah 10 ribu ini.
Sebelum berangkat, beliau memerintahkan Abbas untuk mengajak Abu Sufyan menuju
jalan tembus melewati gunung, berdiam di sana hingga semua robongan bersebjata
sebagai pasukan Allah lewat di sana. Dengan begitu, Abu Sufyan bisa melihat
semua pasukan kaum Muslimin. Maka Abbas dan Abu Sufyan melewati beberapa
kabilah yang ikut gabung bersama rombongan pasukan kaum Muslimin. Masing-masing
kabilah membawa bendera. Setiap kali melewati satu kabilah, Abu Sufyan selalu
bertanya kepada Abbas, “Kabilah apa ini?” dan setiap kali dijawab oleh Abbas,
Abu Sufyan senantiasa berkomentar, “Aku tidak ada urusan dengan bani Fulan.”
Setelah agak jauh dari pasukan, Abu
Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, “Subhanallah,
wahai Abbas, siapakah mereka ini?”
Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah
bersama Muhajirin dan Anshar.”
Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun
yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.” Karena begitu banyaknya.
Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu
adalah Nubuwah.”
Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin
Ubadah ra. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad
berkata, “Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya Tanah al-Haram.
Hari ini Allah menghinakan Quraisy.” Sikap yang menakut-nakuti Abu Sufyan yang
dikenal sebagai pentolan kaum Musyrikin Quraisy Makkah.
Ketika bertemu Nabi saw,
perkataan Sa’ad dihadapan Abu Sufyan ini disampaikan kepada Nabi saw.
Beliau pun menjawab, “Sa’ad keliru,
justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya
Quraisy oleh Allah.” Kemudian, Nabi saw memerintahkan agar
bendera di tangan Sa’ad diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan
tetapi, ternyata bendera itu tetap di tangan Sa’ad. Ada yang mengatakan bendera
tersebut diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun.
Rasulullah saw melanjutkan
perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi saw kepalanya
hingga ujung jenggot Beliau yang mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai
bentuk tawadlu’ Beliau kepada Sang Pengatur alam semesta. Di sini pula, Beliau
membagi pasukan untuk berpencar dalam kelompok-kelompok rombongan yang mengurung kota
Makkah dari segala penjuru. Khalid bin Walid ditempatkan di sayap kanan untuk
memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi saw di
Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa bendera
Nabi saw dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau
perintahkan agar menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan
tempat tersebut hingga beliau datang. □ AFM