Thursday, January 22, 2015

Cara Pandang Dunia







CARA PANDANG DUNIA
Oleh: A. Faisal Marzuki


Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS Al-Qashash 28:77)


PENDAHULUAN

P
ada umumnya yang diajarkan oleh kebanyakan ‘guru-guru’ agama ‘Islam’ tentang  (memandang hidup di) ‘dunia’ selalu digambarkan ‘tidak baik’? Benarkah demikian? Benar, kalau dunia dijadikan tujuan akhirnya (ultimate goals). Ini dapat kita rasakan kalau kita mendengarkan ceramah agama Islam di majelis tabligh; majelis tauziyah. Bahkan tulisan tentang ke-Islam-an, secara tidak disadarinya, atau ketidak hati-hatian dalam mengutarakan pembahasannya, malah menjadi kontra produktif.

   Cara menjelaskann pandang agamanya tidak sinkron dengan cara pandang dunia dalam ajaran Islam yang sebenarnya. Yaitu, melihat nash Haditsnya tidak menyeluruh yang berkaitan dengan persoalam yang sebenarnya. Artinya tidak dalam satu kesatuan yang bulat dan kondisi psychologis (sifat fitrah manusia) manusia dan tantangan zaman dimana dia berada. Hal ini terjadi ketimpangan antara ajaran Islam itu dikaitkan kepada cara memandang kehidupan dunia ini. Bahkan penulispun sendiri dalam usia Sekolah Rakyat - SR (sekarang disebut Sekolah Dasar - SD), ketika itu orang tua memasukkan penulis (sepulang dari sekolah, setelah makan siang di rumah)  mengikuti kelas madrasah setiap hari, [1] mendapatkan pandangan tentang dunia (yang bernilai negatif) seperti itu pula. Bahkan teman sebaya penulis dalam umur 9 sampai 14 ketika itu menjadi ‘paham’ atau ‘pandangannya’ (secara tidak disadarinya) bahwa hidup di dunia ini tidak penting yang bisa menimbulkan salah paham yang berbahaya. Alasan-alasannya yang dipahaminya diambil dari Hadits-Hadits yang telah diperoleh dari guru (ustadz) di madrasah. Nah, ketika dewasa mempelajari kembali ternyata Hadits itu valid (benar), artinya menurut Hadits yang shahih. Akan tetapi cara sandingan pandang tidak menyeluruh - tidak dalam tinjau satu kesatuan yang bulat di antara Hadits-Hadits yang lainnya, bahkan dengan ayat Al-Qur’an. Sampai saat inipun kebanyakan tarbiyah ke-Islam-an demikian. Artinya dunia ini tidak penting. [2]


ALASAN MEREKA
BERPANDANGAN SEPERTI ITU

   Ada sebuah tulisan berjudul “Mengapa orang Kafir Kaya dan Hidup Mewah”. [3] Katanya, kenapa kita yang seorang muslim, hidupnya jauh lebih sengsara, ketimbang mereka yang hidup di dalam kekafiran (orang kafir) hidupnya cukup bahkan mewah. Padahal seorang muslim hidup di atas keta’atan menyembah Allah Ta’ālā, sedangkan orang kafir hidup di atas kekufuran kepada Allah. Cara pandang semacam ini dijadikan hujjah, alasan atau pembenaran oleh penulis tersebut dengan mengambil suatu kisah dialog dalam Hadits antara Umar bin Khaththab Radhiallāhu ‘Anhu dengan Nabi Muhammad Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām sebagai berikut:

   Suatu hari ‘Umar bin Khaththab Radhiallāhu ‘Anhu mendatangi rumah Nabi Muhammad Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām. Dan beliau sedang tidur di atas dipan yang terbuat dari serat, sehingga terbentuklah bekas dipan tersebut di lambung beliau. Tatkala ‘Umar melihat hal itu, maka ia pun menangis. Nabi yang melihat ‘Umar menangis kemudian bertanya, “Apa yang engkau tangisi wahai ‘Umar?”

   ‘Umar menjawab, “Sesungguhnya bangsa Persia dan Roma (ketika itu adalah dua negara adikuasa yang menguasai dunia dan mereka itu kuat dan kaya -  layaknya seperti superpower zaman kita sekarang ini) [4] diberikan nikmat dengan nikmat dunia yang sangat banyak, sedangkan engkau dalam keadaan seperti ini?”

Kemudian Hadits ini ditafsirkan penulis tersebut sebagai berikut:

   Di dalam Hadits ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir disegerakan nikmatnya oleh Allah di dunia, dan boleh jadi itu adalah ‘istidraj’ (nikmat yang Allah berikan kepada pelaku maksiat dengan tujuan menipu mereka, agar mereka semakin tenggelam) dari Allah. Namun apabila mereka mati kelak, sungguh adzab yang Allah berikan sangatlah pedih. Dan adzab itu semakin bertambah tatkala mereka terus berada di dalam kedurhakaan kepada Allah Ta’ālā.

   Maka saudaraku di jalan Allah, sungguh Allah telah memberikan kenikmatan yang banyak kepada kita, dan kita lupa akan hal itu, kenikmatan itu adalah kenikmatan Islam dan Iman. Dimana hal ini yang membedakan kita semua dengan orang kafir. Sungguh kenikmatan di dunia, tidaklah bernilai secuil pun dibanding kenikmatan di akhirat.

Kemudian pembenaran cara pandangan hidup seperti itu dipertegas lagi dengan alasan:

   Mari kita bandingkan antara dunia dan akhirat, dengan membaca sabda Rasulullah Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām, “Demi Allah! Tidaklah dunia itu dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya ke lautan. Maka perhatikanlah jari tersebut kembali membawa apa?” (HR Muslim)

   Lihatlah kawanku, dunia itu jika dibandingkan dengan akhirat hanya Nabi misalkan dengan seseorang yang mencelupkan jarinya ke lautan, kemudian ia menarik jarinya. Perhatikanlah, apa yang ia dapatkan dari celupan tersebut. Jari yang begitu kecil dibandingkan dengan lautan yang begitu luas, mungkin hanya beberapa tetes saja.


CARA PANDANG HIDUP
SEORANG MUSLIM SEBENARNYA

   Dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis (respect) kepada saudara-saudaraku yang seiman dengan cara pandang seperti tersebut diatas. Sesuai dengan dasar pengetahuannya yang menghasilkan kesimpulan yang menjadi pembenarannya seperti itu, mari kita lihat duduk penilaian tentang dunia yang sebenarnya.

   Dunia adalah tempatnya berkiprah manusia Muslim sebagai khalifah-khalifah di dunia (bumi), [5] sebagaimana bapak manusia yang pertama Adam ‘Alayhis Salām yang Muslim ini diciptakan untuk hidup di dunia sebagai khalifah. [6] Dunia adalah tempat kediaman dan kesenanganmu. [7] Di dunia kamu hidup, dan di sana kamu mati dan dari sana kamu akan dibangkitkan. [8] Untuk apa? Untuk memakmurkan bumi. [9] Tujuannya dalam rangka apa? Dalam rangka beribadah kepada-Nya. [10] Artinya menyembah dan berdedikasi (shalat; ibadah; hidup; dan mati) hanya untuk dan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, [11] sebenarnya untuk kemashlahatan bagi manusia sendiri. Dengan itu hidup manusia Muslim di dunia yang bernama bumi ini sangat bernilai sekali yaitu sebagai ‘ladang ibadah’. [12]

   Untuk menjalani hidup di dunia mesti ada usaha, yaitu perlu bekerja untuk mendapatkannya rezeki bagi keperluan hidupnya seperti 'sandang-pangan-papan' dan kebutuhan lainnya. [13] Dalam menjalani hidup itu manusia diberi kelebihan berupa kemampuan untuk dapat mencari dan mencapai keperluan hidupnya. [14]  Disamping itu manusia berada di dunia ini terkait erat dengan beribadah kepada-Nya, yaitu mendapat kepercayaan memikul amanat berupa mandat sebagai khalifah-khalifah [5] di bumi. Di percayai karena mempunyai potensi kelebihan. [15] Seperti ada ilmunya [16] dan fisiknya yang mampu melaksanakannya. Berkat karunia dari-Nya manusia diberi akal fikiran untuk digunakan dalam bekerja dan dapat mengolah pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. [17] Serta dapat belajar akan sesuatu agar dapat dipahaminya, selanjutnya digunakan pengetahuan itu dengan baik. [18] Apakah itu yang terdapat di alam raya (ayat-ayat kauniyah). [19] Maupun dalam ayat-ayat qualiyah (al-Qur’an) [20]
  
   Jadi hidup di akhirat kelak hasilnya bergantung dari hidup Muslim di dunia ini, sebagaimana Firman-Nya yang artinya sebagai berikut:

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS Al-Qashash 28:77)

   Demikian strategis-nya hidup Muslim ini. Demikian mulianya hidup Muslim di dunia ini sebagai makhluk khalifah-khalifah di bumi. Yaitu membawa manusia menjadi Muslim yang baik dan menjadikan manusia yang tidak kenal dengan ajaran Islam menjadi muallaf. [21] Setidak-tidaknya tidak memusuhi atau mengganggu umat dan ajaran Islam. Karena dalam ajaran Islam tidak ada pemaksaan dalam memilihnya. [22]

   Dalam ajaran Islam Allah ‘Azza wa Jalla tidak pernah menafikan kehidupan dunia yang dijelaskannya bagaimana pandangan seorang Muslim tehadap kehidupan di Akhirat dan kehidupan di Dunia, ditinjau dari hidupnya manusia yang berada di dunia (bumi).

Firman Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan:

Wabtaghi fīmā ātākalLāhud daral akhirah” “Wa lā tansa nashībaka minad dunyā.

Artinya: “Dan carilah negeri Akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan kepadamu (iman-taqwa, akhlaq, hilmah, ilmu, tenaga, waktu, akal, rezeki, kesehatan). “Tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu (share, peran) di Dunia (ad-dunyā sebagai khalifah-khalifah *) pemakmur bumi -  wasta'marakum fihaa ** dengan membangun peradaban sebagai ladang ibadah)”. [23]

   Bagi umat kalau dibiarkan menjadi miskin dan melarat akan berbahaya, karena Rasulullah Shallallāhu ‘Alaihi Wasallam berlindung dalam hal kefakiran (kemiskinan) itu yang digandengkan dengan kekufuran (menjadi kufur nikmat dan menjurus kafir), do’anya berbunyi “Dan aku berlindung kepada-Mu (kepada Allah) dari kefakiran dan kekufuran” [24] Bahkan Allah mengajarkan kita berdo’a, yaitu meminta kepada Allah Yang Rahman lagi Yang Rahim agar hidupnya di Dunia baik dan juga hidupnya di Akhirat baik serta dijauhkan dari azab neraka. [25] Dan adalagi do’a yang lainnya:

Allōhumma innī as-alukal ‘afwa wal ‘āfiata fid dīn wa dunyā wa ahlī wa malī. [26]

Artinya: Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan (afiat, kebaikan) mengenai akhiratku, duniaku, maupun mengenai keluarga dan harta bendaku.
    
   Dengan demikian boleh jadi kemiskinan (kefakiran) mendekatkan manusia kepada kekufuran. Dan ini telah terjadi dalam dakwah umat lain yang membeli agama Islamnya orang Muslim gara-gara ‘sepotong roti’ dan ‘segelas susu’ plus ‘sekolah’ dibiayai, asalkan pindah agama.

   Betapa telah terjadi ‘menjual’ jabatan pemerintahan guna melancarkan ‘bisnis’ sipemberi uang. Betapa telah terjadi gara-gara ‘kekuatan partai politik’ yang ada diberikan kepada suatu calon asalkan diberi jabatan tinggi dalam negara atau diberi fasilitas bisnis yang tentu tidak sedikit jumlahnya. Betapa telah terjadi ‘ke-intelectual-an’ dirinya dijual hanya untuk mendapatkan sebuah jabatan tinggi negara.

   Iman, moral integritas (akhlak) tergadai gara-gara jiwanya memang fakir atau miskin (benaran dari) orang itu. Kemiskinan telah menghalal segala cara, sementara itu moral integritas (akhlak) dan penegakan hukum yang masih lemah. Inilah fenomena yang terjadi di abad ke-21 yang serba kompleks ini. Terutama di negara-negara yang belum begitu maju, kejadian itu lumrah dan marak sekali.

   Mudah-mudahan tulisan ini dapat dipahami dengan baik dan ikhlas. Dan berharap semoga kita terhindari dari petaka ekonomi yang dapat menggoyahkan iman yang semestinya menjadi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan (āmanū wa ‘amilush shōlihāti). [27]  Billāhit Taufiq wal-Hidāyah □ AFM



Catatan Kaki:
[1] Pagi harinya di sekolah umum, sore harinya mengambil sekolah madrasah tiap hari selama 3 jam. Yang diajarkan disana menulis huruf ‘Arab untuk bahasa ‘Arab dan bahasa Indonesia yang dituliskan dengan huruf ‘Arab; Membaca al-Qur’an juz amma dan artinya; Belajar cara berwudhu, shalat dan berdo’a; Ilmu akaid (aqidah); Rukun Islam; Rukun Iman; Tarikh nabi-nabi dan lainnya.
[2] Hadist tersebut adalah: Nabi pun berkata, “Wahai ‘Umar, sesungguhnya mereka adalah kaum yang Allah segerakan kenikmatan di kehidupan dunia mereka.” (HR Al-Bukhari # 2468).
“Demi Allah! Tidaklah dunia itu dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya ke lautan. Maka perhatikanlah jari tersebut kembali membawa apa?” (HR. Muslim)
Kemudian Hadist ini ditafsirkan sebagai (untuk) menunjukkan bahwa orang-orang kafir disegerakan nikmatnya oleh Allah di dunia, dan boleh jadi itu adalah ‘istidraj’ dari Allah. Namun apabila mereka mati kelak, sungguh adzab yang Allah berikan sangatlah pedih. Dan adzab itu semakin bertambah tatkala mereka terus berada di dalam kedurhakaan kepada Allah ta’ala.
[3] Hadeel Alwani, Mengapa Orang kafir Kaya Dan Hidup Mewah?  Mencari Ridho Allah, Hikmah, Januari 21, 2015.
[4] Catatan tambahan dari penulis.
[5] Dan Dia-lah (Allah-lah) yang menjadikan kamu khalifah-khalifah (para mandataris-Nya) di bumi. (QS Al-An’am 6:165)
[6] Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku (Allah) hendak menciptakan seorang khalifah (wakil-Nya, mandataris-Nya) di bumi). (QS Al-Baqarah 2:30)
[7] “…Bumi adalah tempat kediaman dan kesenangan mu sampai waktu yang telah ditentukan” (QS Al-‘Arāf 7:24)
[8] (Allah) berfirman: “Disana (dunia) kamu hidup, dan disana kamu mati, dan dari sana (pula) kamu akan dibangkitkan.” (QS Al-‘Arāf 7:25)
[9] Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya. [QS Hūd 11:61]
[10] Dan Aku (Allah) tidak menciptakan Jin dan Manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku (beribadah kepada Allah).
[11] Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku; ibadahku; hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah. [QS Al-An’ām 6:162]
[12] Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab dan kepada orang yang buta huruf (atheism, agnostic), “sudahkah kamu masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan. (QS Ali ‘Imrān 3:20)
[13] Sungguh, Kami (Allah) telah menciptakan manusia (di dunia) berada dalam ‘susah payah’ (maksudnya perlu berusaha dan kerja) (QS Al-Balad 90:4)
[14] Dan Kami (Allah) lebihkan mereka diatas banyak makhluk yang Kami (Allah) ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (QA Al-Isrā’ 17:70)
[15] Sungguh, Kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS At-Tīn 95:4)
[16] Keutamaan ilmu dalam Islam disebutkan dalam sebuah Hadits طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ - Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallūhu 'Anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahīh al-Jaami'ish Shaghīr no. 3913)
[17] Dan mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya (benda-benda seperti fungsi dan kegunaannya untuk apa - Nabi Adam memiliki ilmu). (QS Al-Baqarah 2:31)
[18] Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Al-Qur’an dan Al-Hadits). (QS Al-‘Alaq 96:5)
[19] Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (QS Āli ‘Imrān 3:190)
(20) Yang telah mengajarkan Al-Qur’an (QS Ar-Rahmān 55:2)
(21) Serulah (berdakwahlah kepada manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil), dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik, (QS An-Nahl 16:125)
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab (ahlul kitab: Kristen dan Yahudi) dan orang yang buta huruf (paganisme, sekulerisme, dan atheism) “ Sudahkah (berdakwah agar) kamu (mereka) masuk agama Islam? Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan. (QS Āli ‘Imrān 3:20)
[22] Tidak ada paksaan untuk (menganut) agama (Islam), Sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar (Islam) dengan jalan yang sesat (bukan Islam). (QS Al-Baqarah 2:256)
* Dia menjadikan kalian khalifah-khalifah (Ja'alakum Kalaa-ifQS Al-An’ām 6:165); Dia menjadikan kalian (kamu sebagai) khalifah-khalifah (Ja'alamum Khulafaa'QS Al-‘Arāf 7:74.
** "Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya - QS Hūd 11:61.
[23] QS Al-Qashash 28:77
[24] Hadits Riwayat an-Nasa’i: 1/198 dan Ahmad dalam Musnad:5/36. dishahihkan oleh al-Bani dalam Irwa’ul Gholil:3/357.
[25] Rabbanā ātinā fid-dunyā hasanataw wa fil ākhirati hasanataw wa qinā ‘adzāban-nār. Artinya: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di Dunia (dunyā)dan kebaikan (pula) di Akhirat dan peliharalah kami dari adzab neraka. (QS Al-Baqarah 2:201)
[26] HR Tuirmidzi
[27] kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan (āmanū wa ‘amilush shōlihāti), maka mereka alan mendapatkan pahala yang tidak ada putus-putusnya. (At-Tīn 95:6).   □□


Referensi:
Terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an diambil dari ‘Tafsir perkata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir’. □□□

Blog Archive