Oleh: A. Faisal Marzuki
- Bersatu dimulai dari cara berfikir. Dari situ mulai menjadi satu cara pandang. Dari cara pandang yang satu menimbulkan cara penanganan yang sama. Kemudian tidak mudah dipecah belah. Maka, tebentuklah Umat Yang Satu.
A
|
da sebuah
pepatah lama menyatakan: “Rambut sama hitam, tetapi pendapat berlainan".
Artinya dengan itu cikal-bakal 'kebebasan berfikir' telah ada. Sekarang masalah
ini menjadi barang biasa pada gelombang ke-3 sejarah Indonesia (orde
reformasi). Tidak demikian sebelumnya pada gelombang ke-1 (orde lama),
gelombang ke-2 (orde baru). Orde reformasi siapa saja bebas berbicara semaunya.
Apalagi masyarakat Indonesia dan keturunannya yang tinggal di Amerika Serikat
ini, menikmati betul. Hidup kesehariannya seperti itu. Demikianlah ciri-ciri
manusia di dunia moderen ini. Konon demikianlah 'takdir' (maunya) manusia
hidup di bumi yang fana (sementara) ini.
Yang
menjadi persoalan disini dari anak keturunan Adam as - kita ini adalah 'sebab'
dari berlainan pendapat dalam alam 'kebebasan berfikir' ini membawa
'akibat' kepada kebaikan atau keburukan?
Mari lihat dengan seksama melalui kacamata 'azaz manfaat'.
Kebaikan, yaitu 'membangun', untuk kemashalatan bersama. Dengan itu, indah
dan kokohlah 'tatanan umat' itu. Sebaliknya 'keburukan', yaitu 'terpecah
belah' yang mungkin menguntungkan yang satu dan merugikan yang lain, bahkan
bisa kedua-duanya, 'merugi'. Suatu hal yang catastrophic
(malapetaka yang sangat besar). Maka, sia-sialah rencana 'tatanan umat' itu,
bagai tanah longsor melorot-lunglai dari pebukitan yang jatuh kedasar lembah.
Begitulah dilema hidup umat itu jika tidak jeli dan cerdas
dalam menyikapi kebebasan berfikir kalau tanpa ada melibatkan petunjuk dari
‘ATAS’. Perlu diketahui bahwa perkara kebebasan berfikir ini adalah perkara
yang sangat besar, dan tidak semata-mata hanya untuk berbangga diri. Hanya
kebebasan berfikir saja yang diagung-agungkan, tapi lupa dan hilang 'akal budi'
bahwa berfikir itu adalah untuk mencari 'kebenaran' yang menuju ke
'kebaikan'. Bahwa ada faktor utama lainnya yaitu, Dia (Allah) Yang
Mahatahu. Karena Dia melihat dari ATAS, sebagaimana 'GPS' yang menunjukkan
jalan sampai ke tujuan yang dimaksud. Allah 'RABB' alam semesta. Allah Pencipta
(Master of Mind) dari ummat manusia. Allah Mahatahu apa yang menjadi kebutuhan
umat yang sebenarnya. Boleh jadi apa yang menurut manusia baik, tapi menurut
Allah tidak. Sebaliknya boleh jadi apa yang menurut Allah baik, bagi manusia
"menyangka dan merasa" tidak. Carilah hikmahnya (dibalik peristiwa
yang ada) wahai umat yang bijak lagi cerdas!
Last but not lease bagi yang mengikuti petunjuk-Nya, hasilnya akan 'pasti' membawa ke keketinggian martabat dan kejayaan umat itu sendiri. Bagi yang mengingkari nikmat-Nya, 'pasti' akibatnya menuju ke lembah kesengsaraan umat itu sendiri."
Sebagaimana
firman-Nya:
- Lahā mā kasabat wa ‘alayhā māk-tasabat
- Dia mendapat (pahala, kenikmatan) dari kebajikan [kebaikan] yang dikerjakannya, dan dia mendapat (siksa, kesengsaraan) dari (kejahatan, keburukan) yang diperbuatnya. [QS Al-Baqarah 2:286]
Artinya di sini adalah yang dituntut dari umat yang melakukan kebebasan berfikir dalam mengemukakan pendapatnya mesti mempunyai tujuan yang baik dan bijak, kemudian dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Kenapa demikian? Karena hasil atau risikonya berpulang kepada umat juga. Umat mendapat kenikmatan dari kebaikan yang dikerjakannya (hasil, benefit). Sebaliknya umat mendapat kesengsaraan dari keburukan yang dilakukannya (keburukan, risiko).
Pangkal surat An-Nahl ayat 93 dalam
firma Allah Azza wa Jalla menyebutkan:
- Wa law syā-alLāhu laja’alakum ummataw wāhidatan ● walākiy yudhillu mayyasyā-u ● wa yahdī may yasyā-u,
- “Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya dijadikan-Nya kamu (Wahai kaum beriman! Menjadi) semuanya umat yang satu. Tetapi disesatkan-Nya barang siapa yang dikehendaki-Nya, dan diberi-Nya petunjuk barang siapa yang dikehendaki-Nya.”
Dapatlah kita mengambil pelajaran disini bahwasanya Allah Ta’ala berkuasa
membuat umat khalifah-khalifah menjadi satu. Seperti halnya: Tidak ada
berselisih pendapat; Tidak ada pebedaan yang menjurus kepada perpecahan; Tidak
ada suatu pertikaian yang menjurus kepada yang satu mengharamkan yang lainnya;
Tidak pecah dalam memandang sesuatu untuk kepentingan umat; Tidak mudah dipecah
belah dari luar. Tapi itu semua tidak serta-merta (secara instan) untuk
mendapatkannya.
Kenapa demikian? Karena manusia di beri kebebasan untuk memilih, tentunya tidak asal memilih. Pada dasarnya manusia ada rasa fitrah diri yang satu dengan satu lainnya, bersatu dalam jamaah. Namun mesti ada kesadaran bahwa jamaah itu memang datang dari diri masing-masing, selanjut berproses mencapai umat yang satu. Dan ini mesti ada kesadaran pengupayaannya untuk menjadi satu jamaah bulat, kompak, yang tergerak secara spontan mesti bersatu. Kenapa mesti ada kesadaraan pengupayaan menjadi satu dalam jamaah? Karena di diri manusia dalam berfikir (pada awalnya) dikendalikan oleh adanya rasa melindungi dan mempertahankan “kepentingan diri sendiri atau kelompoknya”. Para ahli psychology menyebutkan adanya unsur "Ego" atau "Aku" dalam diri jiwa manusia. Demikianlah Allah Ta’ala mentakdirkan bahwa fikiran manusia 'dalam keadaan itu' (menjadi) tidak sama dalam Ego masing-masing dari diri manusia.
Dijelaskan oleh firman-Nya bahwa dalam berfikirnya itu ada yang sesat
(negatif), yaitu hanya untuk diri atau kelompoknya saja yang difikirkan
disatu pihak. Dilain pihak, ada yang mendapat petunjuk (positif), yaitu
memikirkan kemashlahatan bersama. Di sini terjadilah ujian yang sangat pelik
dan berat dari 'kebebasan berpikir itu'. Baik atau tidaknya hasilnya tergantung
dari penggunaan timbangan azaz manfaat. Kalau tidak, maka akan timbul hasil
yang tidak diharapkan, yaitu pergesekan dan pertentangan di
antara satu sama lainnya demi diri (kelompok). Padahalnya yang diharapkan itu
adalah untuk (persatuan) bagi kemashlahatan (bersama) sebagai manusia
'Sosial' ketimbang manusia 'Ego'.
Dalam diri manusia sebenarnya, disamping ada takdir 'Ego', ada
pula takdir 'Sosial', yaitu hidup bermasyarakat. Sebenarnya keselamatan
'Ego' bergantung kepada relasi baik antar sesama 'Ego' lainnya. Oleh karena
itu hakekat yang sebenarnya tentang manusia itu pada dasarnya adalah
sebagai makhluk sosial, yakni melakukan relasi (hubungan sesama 'Ego') dalam
persatuan bagi kemashlahatan bersama sebagaimana maksud firman-Nya dalam
surat An-Nah ayat 93 (seperti diatas itu).
Mencapai kepada ummat yang (menjadi) satu 'yang damai' itu sangat perlu
adanya ‘latihan’ (pembelajaran) dari 'takdir Ego' menjadi mampu hidup di dalam
'takdir Sosial'. Perangkat keberhasilannya adalah komunikasi dan relasi dalam
semangat lita'arafu (saling kenal mengenal, saling hormat
menghormati, respect each others). Dibarengi pula dengan adanya
kemampuan dalam menahan diri (pengendalian 'Ego', sabar, dan toleransi dalam
hal yang remeh-temeh furuiyah).
Demikianlah perjalanan diri umat dalam bersosial jamaah yang satu akan
selalu diuji, dan di uji lagi, dan seterusnya. Nah, keberhasilan dari
pembelajaran (ujian) itu membuat diri dalam bermasyarakat, bernegara,
berbangsa, berantar bangsa (menjadi) matang (mature). ©AFM
Bersambung ke: Umat Mesti Bersatu 2