CARA PANDANG DUNIA
Oleh: A. Faisal Marzuki
● Dan carilah
(pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, ● tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, ● dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, ● dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS Al-Qashash 28:77)
PENDAHULUAN
ada umumnya yang diajarkan oleh kebanyakan
‘guru-guru’ agama ‘Islam’ tentang
(memandang hidup di) ‘dunia’ selalu digambarkan ‘tidak baik’? Benarkah
demikian? Benar, kalau dunia dijadikan tujuan akhirnya (ultimate
goals). Ini dapat kita rasakan kalau kita
mendengarkan ceramah agama Islam di majelis tabligh; majelis tauziyah. Bahkan
tulisan tentang ke-Islam-an, secara tidak disadarinya, atau ketidak hati-hatian
dalam mengutarakan pembahasannya, malah menjadi kontra produktif.
Cara
menjelaskann pandang agamanya tidak sinkron dengan cara pandang dunia dalam ajaran Islam
yang sebenarnya. Yaitu, melihat nash Haditsnya
tidak menyeluruh yang berkaitan dengan persoalam yang sebenarnya. Artinya tidak
dalam satu kesatuan yang bulat dan kondisi psychologis (sifat fitrah manusia) manusia dan tantangan zaman
dimana dia berada. Hal ini terjadi ketimpangan antara ajaran Islam
itu dikaitkan kepada cara memandang kehidupan dunia ini. Bahkan penulispun
sendiri dalam usia Sekolah Rakyat - SR (sekarang disebut Sekolah Dasar - SD), ketika itu orang tua memasukkan penulis (sepulang dari sekolah, setelah makan siang di rumah) mengikuti kelas madrasah setiap hari, [1] mendapatkan pandangan tentang dunia
(yang bernilai negatif) seperti itu pula. Bahkan teman sebaya penulis dalam
umur 9 sampai 14 ketika itu menjadi ‘paham’ atau ‘pandangannya’ (secara tidak
disadarinya) bahwa hidup di dunia ini tidak penting yang bisa menimbulkan salah paham yang berbahaya. Alasan-alasannya
yang dipahaminya diambil dari Hadits-Hadits yang telah diperoleh dari guru (ustadz)
di madrasah. Nah, ketika dewasa mempelajari kembali ternyata Hadits itu valid
(benar), artinya menurut Hadits yang shahih. Akan tetapi cara sandingan pandang tidak menyeluruh - tidak dalam tinjau satu kesatuan yang bulat di antara Hadits-Hadits
yang lainnya, bahkan dengan ayat Al-Qur’an. Sampai saat inipun kebanyakan tarbiyah
ke-Islam-an demikian. Artinya dunia ini tidak penting. [2]
ALASAN MEREKA BERPANDANGAN SEPERTI ITU
Ada sebuah tulisan berjudul “Mengapa orang Kafir
Kaya dan Hidup Mewah”. [3] Katanya, kenapa kita yang seorang muslim, hidupnya jauh
lebih sengsara, ketimbang mereka yang hidup di dalam kekafiran (orang kafir)
hidupnya cukup bahkan mewah. Padahal seorang muslim hidup di atas keta’atan
menyembah Allah Ta’ālā, sedangkan
orang kafir hidup di atas kekufuran kepada Allah. Cara pandang semacam ini
dijadikan hujjah, alasan atau pembenaran oleh penulis tersebut dengan mengambil suatu kisah dialog dalam Hadits
antara Umar bin Khaththab Radhiallāhu ‘Anhu
dengan Nabi Muhammad Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām
sebagai berikut:
Suatu hari ‘Umar bin Khaththab Radhiallāhu ‘Anhu mendatangi rumah Nabi Muhammad Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām. Dan
beliau sedang tidur di atas dipan yang terbuat dari serat, sehingga
terbentuklah bekas dipan tersebut di lambung beliau. Tatkala ‘Umar melihat hal
itu, maka ia pun menangis. Nabi yang melihat ‘Umar menangis kemudian bertanya,
“Apa yang engkau tangisi wahai ‘Umar?”
‘Umar menjawab, “Sesungguhnya bangsa Persia dan Roma (ketika itu adalah dua negara adikuasa yang menguasai dunia dan mereka itu kuat dan kaya - layaknya seperti superpower zaman kita sekarang ini) [4] diberikan nikmat dengan nikmat dunia yang sangat banyak, sedangkan engkau dalam keadaan seperti ini?”
Kemudian Hadits ini ditafsirkan penulis tersebut sebagai berikut:
Di dalam Hadits ini menunjukkan bahwa
orang-orang kafir disegerakan nikmatnya oleh Allah di dunia, dan boleh jadi itu
adalah ‘istidraj’ (nikmat yang Allah
berikan kepada pelaku maksiat dengan tujuan menipu mereka, agar mereka semakin
tenggelam) dari Allah. Namun apabila mereka mati kelak, sungguh adzab yang
Allah berikan sangatlah pedih. Dan adzab itu semakin bertambah tatkala mereka
terus berada di dalam kedurhakaan kepada Allah Ta’ālā.
Maka saudaraku di jalan Allah, sungguh Allah
telah memberikan kenikmatan yang banyak kepada kita, dan kita lupa akan hal
itu, kenikmatan itu adalah kenikmatan Islam dan Iman. Dimana hal ini yang
membedakan kita semua dengan orang kafir. Sungguh kenikmatan di dunia, tidaklah
bernilai secuil pun dibanding kenikmatan di akhirat.
Kemudian pembenaran cara pandangan hidup seperti
itu dipertegas lagi dengan alasan:
Mari kita bandingkan antara dunia dan akhirat,
dengan membaca sabda Rasulullah Shallallāhu
‘Alaihi Wasallām, “Demi Allah! Tidaklah dunia itu dibandingkan dengan
akhirat, kecuali seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya ke
lautan. Maka perhatikanlah jari tersebut kembali membawa apa?” (HR Muslim)
Lihatlah kawanku, dunia itu jika dibandingkan dengan
akhirat hanya Nabi misalkan dengan seseorang yang mencelupkan jarinya ke
lautan, kemudian ia menarik jarinya. Perhatikanlah, apa yang ia dapatkan dari
celupan tersebut. Jari yang begitu kecil dibandingkan dengan lautan yang begitu
luas, mungkin hanya beberapa tetes saja.
CARA PANDANG HIDUP
SEORANG MUSLIM SEBENARNYA
Dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis (respect) kepada saudara-saudaraku yang
seiman dengan cara pandang seperti tersebut diatas. Sesuai dengan dasar
pengetahuannya yang menghasilkan kesimpulan yang menjadi pembenarannya seperti
itu, mari kita lihat duduk penilaian tentang dunia yang sebenarnya.
Dunia adalah tempatnya berkiprah manusia Muslim
sebagai khalifah-khalifah di dunia (bumi), [5] sebagaimana bapak manusia yang
pertama Adam ‘Alayhis Salām yang Muslim
ini diciptakan untuk hidup di dunia sebagai khalifah. [6] Dunia adalah tempat
kediaman dan kesenanganmu. [7] Di dunia kamu hidup, dan di sana kamu mati dan
dari sana kamu akan dibangkitkan. [8] Untuk apa? Untuk memakmurkan bumi. [9] Tujuannya
dalam rangka apa? Dalam rangka beribadah kepada-Nya. [10] Artinya menyembah dan
berdedikasi (shalat; ibadah; hidup; dan mati) hanya untuk dan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, [11] sebenarnya untuk kemashlahatan bagi manusia sendiri. Dengan itu hidup
manusia Muslim di dunia yang bernama bumi ini sangat bernilai sekali yaitu
sebagai ‘ladang ibadah’. [12]
Untuk menjalani hidup di dunia mesti ada usaha,
yaitu perlu bekerja untuk mendapatkannya rezeki bagi keperluan hidupnya seperti 'sandang-pangan-papan' dan kebutuhan lainnya. [13] Dalam menjalani hidup itu
manusia diberi kelebihan berupa kemampuan untuk dapat mencari dan mencapai
keperluan hidupnya. [14] Disamping itu manusia berada di dunia ini terkait erat dengan beribadah kepada-Nya, yaitu
mendapat kepercayaan memikul amanat berupa mandat sebagai khalifah-khalifah [5] di bumi. Di
percayai karena mempunyai potensi kelebihan. [15] Seperti ada ilmunya [16] dan fisiknya
yang mampu melaksanakannya. Berkat karunia dari-Nya manusia diberi akal fikiran untuk digunakan dalam bekerja dan dapat mengolah pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. [17] Serta dapat belajar akan sesuatu agar dapat
dipahaminya, selanjutnya digunakan pengetahuan itu dengan baik. [18] Apakah itu
yang terdapat di alam raya (ayat-ayat kauniyah).
[19] Maupun dalam ayat-ayat qualiyah
(al-Qur’an) [20]
Jadi
hidup di akhirat kelak hasilnya bergantung dari hidup Muslim di dunia ini,
sebagaimana Firman-Nya yang artinya sebagai berikut:
● Dan carilah
(pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, ● tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, ● dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, ● dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS Al-Qashash 28:77)
Demikian strategis-nya hidup Muslim ini.
Demikian mulianya hidup Muslim di dunia ini sebagai makhluk khalifah-khalifah
di bumi. Yaitu membawa manusia menjadi Muslim yang baik dan menjadikan manusia
yang tidak kenal dengan ajaran Islam menjadi muallaf. [21] Setidak-tidaknya
tidak memusuhi atau mengganggu umat dan ajaran Islam. Karena dalam ajaran Islam
tidak ada pemaksaan dalam memilihnya. [22]
Dalam ajaran Islam Allah ‘Azza wa Jalla tidak pernah menafikan kehidupan dunia yang
dijelaskannya bagaimana pandangan seorang Muslim tehadap kehidupan di Akhirat dan kehidupan di Dunia, ditinjau dari hidupnya manusia yang berada di dunia
(bumi).
Firman Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan:
“Wabtaghi fīmā ātākalLāhud daral akhirah” “Wa lā tansa nashībaka minad dunyā.”
Artinya:
“Dan carilah negeri Akhirat dengan apa yang telah
dianugerahkan kepadamu (iman-taqwa, akhlaq, hilmah, ilmu, tenaga, waktu, akal, rezeki, kesehatan). “Tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu (share, peran) di Dunia (ad-dunyā sebagai khalifah-khalifah *) pemakmur bumi - wasta'marakum fihaa ** dengan membangun peradaban sebagai ladang ibadah)”. [23]
Bagi umat kalau dibiarkan menjadi miskin dan
melarat akan berbahaya, karena Rasulullah Shallallāhu
‘Alaihi Wasallam berlindung dalam hal kefakiran (kemiskinan)
itu yang digandengkan dengan kekufuran (menjadi kufur nikmat dan menjurus kafir), do’anya
berbunyi “Dan aku berlindung kepada-Mu (kepada
Allah) dari kefakiran dan kekufuran” [24]
Bahkan Allah mengajarkan kita berdo’a, yaitu meminta
kepada Allah Yang Rahman lagi Yang Rahim agar hidupnya
di Dunia baik dan juga hidupnya di Akhirat
baik serta dijauhkan dari azab neraka. [25]
Dan adalagi do’a yang lainnya:
Allōhumma innī as-alukal ‘afwa wal ‘āfiata fid dīn wa dunyā wa
ahlī wa malī. [26]
Artinya:
Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ampunan
dan keselamatan (afiat, kebaikan) mengenai akhiratku, duniaku, maupun mengenai
keluarga dan harta bendaku.
Dengan demikian boleh jadi kemiskinan
(kefakiran) mendekatkan manusia kepada kekufuran. Dan ini telah terjadi dalam
dakwah umat lain yang membeli agama Islamnya orang Muslim gara-gara ‘sepotong
roti’ dan ‘segelas susu’ plus ‘sekolah’ dibiayai, asalkan pindah agama.
Betapa telah terjadi ‘menjual’ jabatan pemerintahan
guna melancarkan ‘bisnis’ sipemberi uang. Betapa telah terjadi gara-gara
‘kekuatan partai politik’ yang ada diberikan kepada suatu calon asalkan diberi
jabatan tinggi dalam negara atau diberi fasilitas bisnis yang tentu tidak
sedikit jumlahnya. Betapa telah terjadi ‘ke-intelectual-an’ dirinya dijual
hanya untuk mendapatkan sebuah jabatan tinggi negara.
Iman, moral integritas (akhlak) tergadai
gara-gara jiwanya memang fakir atau miskin (benaran dari) orang itu. Kemiskinan telah menghalal segala cara, sementara itu moral integritas (akhlak) dan penegakan hukum yang
masih lemah. Inilah fenomena yang terjadi di abad ke-21 yang serba
kompleks ini. Terutama di negara-negara yang belum begitu maju, kejadian itu
lumrah dan marak sekali.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat dipahami dengan
baik dan ikhlas. Dan berharap semoga kita terhindari
dari petaka ekonomi yang dapat menggoyahkan iman yang semestinya menjadi
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan
(āmanū wa ‘amilush shōlihāti).
[27] Billāhit
Taufiq wal-Hidāyah □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Pagi harinya di sekolah umum, sore harinya
mengambil sekolah madrasah tiap hari selama 3 jam. Yang diajarkan disana
menulis huruf ‘Arab untuk bahasa ‘Arab dan bahasa Indonesia yang dituliskan
dengan huruf ‘Arab; Membaca al-Qur’an juz amma dan artinya; Belajar cara berwudhu,
shalat dan berdo’a; Ilmu akaid (aqidah); Rukun Islam; Rukun Iman; Tarikh
nabi-nabi dan lainnya.
[2] Hadist tersebut adalah: Nabi pun berkata,
“Wahai ‘Umar, sesungguhnya mereka adalah kaum yang Allah segerakan kenikmatan
di kehidupan dunia mereka.” (HR Al-Bukhari # 2468).
“Demi Allah! Tidaklah dunia itu dibandingkan
dengan akhirat, kecuali seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan
jarinya ke lautan. Maka perhatikanlah jari tersebut kembali membawa apa?” (HR.
Muslim)
Kemudian Hadist ini ditafsirkan sebagai (untuk)
menunjukkan bahwa orang-orang kafir disegerakan nikmatnya oleh Allah di dunia,
dan boleh jadi itu adalah ‘istidraj’
dari Allah. Namun apabila mereka mati kelak, sungguh adzab yang Allah berikan
sangatlah pedih. Dan adzab itu semakin bertambah tatkala mereka terus berada di
dalam kedurhakaan kepada Allah ta’ala.
[3] Hadeel Alwani, Mengapa Orang kafir Kaya Dan Hidup Mewah? Mencari Ridho Allah, Hikmah, Januari 21, 2015.
[4] Catatan tambahan dari penulis.
[5] Dan Dia-lah (Allah-lah) yang menjadikan kamu
khalifah-khalifah (para mandataris-Nya) di bumi. (QS Al-An’am 6:165)
[6] Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat, “Sesungguhnya Aku (Allah) hendak menciptakan seorang khalifah
(wakil-Nya, mandataris-Nya) di bumi). (QS Al-Baqarah 2:30)
[7] “…Bumi adalah tempat kediaman dan kesenangan
mu sampai waktu yang telah ditentukan” (QS Al-‘Arāf 7:24)
[8] (Allah) berfirman: “Disana (dunia) kamu
hidup, dan disana kamu mati, dan dari sana (pula) kamu akan dibangkitkan.” (QS
Al-‘Arāf 7:25)
[9] Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi
dan menjadikan kamu pemakmurnya. [QS Hūd 11:61]
[10] Dan Aku (Allah) tidak menciptakan Jin dan
Manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku (beribadah kepada Allah).
[11] Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku;
ibadahku; hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah. [QS Al-An’ām 6:162]
[12] Dan katakanlah kepada orang-orang yang
telah diberi kitab dan kepada orang yang buta huruf (atheism, agnostic),
“sudahkah kamu masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah
mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah
menyampaikan. (QS Ali ‘Imrān 3:20)
[13] Sungguh, Kami (Allah) telah menciptakan
manusia (di dunia) berada dalam ‘susah payah’ (maksudnya perlu berusaha dan
kerja) (QS Al-Balad 90:4)
[14] Dan Kami (Allah) lebihkan mereka diatas
banyak makhluk yang Kami (Allah) ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (QA
Al-Isrā’ 17:70)
[15] Sungguh, Kami (Allah) telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS At-Tīn 95:4)
[16] Keutamaan
ilmu dalam Islam disebutkan dalam sebuah Hadits طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
- Artinya:
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah no. 224,
dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallūhu
'Anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahīh al-Jaami'ish Shaghīr no. 3913)
[17] Dan mengajarkan kepada Adam nama-nama
seluruhnya (benda-benda seperti fungsi dan kegunaannya untuk apa - Nabi Adam
memiliki ilmu). (QS Al-Baqarah 2:31)
[18] Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya (Al-Qur’an dan Al-Hadits). (QS Al-‘Alaq 96:5)
[19] Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang
berakal. (QS Āli ‘Imrān 3:190)
(20) Yang telah mengajarkan Al-Qur’an (QS
Ar-Rahmān 55:2)
(21) Serulah (berdakwahlah kepada manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat
membedakan antara yang hak dan yang batil), dan berdebatlah dengan mereka
dengan cara yang baik, (QS An-Nahl 16:125)
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah
diberi kitab (ahlul kitab: Kristen dan Yahudi) dan orang yang buta huruf
(paganisme, sekulerisme, dan atheism) “ Sudahkah (berdakwah agar) kamu (mereka)
masuk agama Islam? Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat
petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan.
(QS Āli ‘Imrān 3:20)
[22] Tidak ada paksaan untuk (menganut) agama
(Islam), Sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar (Islam)
dengan jalan yang sesat (bukan Islam). (QS Al-Baqarah 2:256) * Dia menjadikan kalian khalifah-khalifah (Ja'alakum Kalaa-if - QS Al-An’ām 6:165); Dia menjadikan kalian (kamu sebagai) khalifah-khalifah (Ja'alamum Khulafaa' - QS Al-‘Arāf 7:74. ** "Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya - QS Hūd 11:61.
[23] QS Al-Qashash 28:77
[24] Hadits Riwayat an-Nasa’i: 1/198 dan Ahmad
dalam Musnad:5/36. dishahihkan oleh al-Bani dalam Irwa’ul Gholil:3/357.
[25] Rabbanā ātinā fid-dunyā hasanataw wa fil
ākhirati hasanataw wa qinā ‘adzāban-nār.
Artinya: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di Dunia (dunyā)dan kebaikan
(pula) di Akhirat dan peliharalah kami dari adzab neraka. (QS Al-Baqarah 2:201)
[26] HR Tuirmidzi
[27] kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan (āmanū wa ‘amilush shōlihāti), maka mereka alan mendapatkan
pahala yang tidak ada putus-putusnya. (At-Tīn 95:6).
□□
Referensi:
Terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an diambil dari ‘Tafsir
perkata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir’. □□□
|
Tujuan mewujudkan blog ini adalah untuk mengenal Islam lebih jauh lagi. Dinul Islam dihadirkan Allah Pencipta Alam Semesta untuk membimbing zaman. Gunanya agar manusia tetap damai, selamat, sejahtera di Dunia dan di Akhirat mendapatkan Surga Adnan. Ruang lingkup yang dikemukakan disini hanya tema-tema diseputar Ajaran Islam Dalam Tinjauan Keaqidahan, Kemanusiaan,dan Kemoderenan.