- Al-Hajju Arafah – Haji itu adalah wukuf di Arafah.
- Membangunkan Kesadaran BerIslam.
K
|
urang
dari dua minggu lagi dari bulan September ini menurut tanggalan Gregorian, atau
menurut tanggalan Hijriyah yang dipakai sebagai dasar perhitungan penanggalan
(ibadah) Islam adalah bulan Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah, di kalangan umum umat
Islam menyebutkannya sebagai Bulan Haji. Disebut demikian karena pada bulan itu
adalah bulan dilakukannya Ibadah Haji. Dengan itu alangkah tepat tema tulisan
ini kita ambilkan dari Spirit Kehajiannya. Apa yang dimaksudkan spirit disini
adalah jiwa atau semangat dari berhaji. Bagaimana gerangan bentuk atau rupa
dari spiritnya itu? Yaitu Wukuf di Arafah yang dilakukan para jamaah haji pada
tanggal 9 Dzulhijjah hingga fajar keesokan harinya.
Padang Arafah berada di luar kota Makkah. Tempat
ini menjadi popular sekali di musim haji. Tanpa wukuf disana bukan berhaji
namanya. Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alayhi Wasallam bersabda, Al-Hajju
Arafah – Haji itu adalah wukuf di Arafah. Spirit haji ini adalah wukuf di
Arafah, bukan di Mina? Kenapa bukan di Mina?
Mina
pada intinya adalah merupakan lambang keberangan yang dahsyat. Ini ditandai
dengan melemparkan batu berkali-kali dengan sekuat mungkin kearah tiga tonggak
yang berjejer sebagai sasarannya. Seperti layaknya Bung Tomo ketika revolusi
kemerdekaan, sangat berang kepada penjajah. Ia memekikkan dengan lantang dan keras,
penuh keberanian, tanpa takut, mengucapkan ‘Allahu
Akbar maju memimpin dan membangkitkan heroisme perjuangan melawan Penjajah.
Mereka dengan kesenjataannya yang lengkap, sedang pribumi dengan modal senjata bambu
runcing saja, ternyata kemudiannya perjuangan itu berhasil.
Memang
benar muslim garang kalau hanya saja di perangi, diperlakukan tidak adil,
didzalimi. Itupun upaya terakhir. Dan itu sifatnya nature dan human being. Siapapun
begitu juga, kalau dalam posisi tertindas (terdzalimi). Kata bung Karno, “Cacingpun
menggeliat, kalu di injak”, tanda menunjukkan perlawanannya, kendatipun cacing
binatang yang lemah. Namun perlu dipahami betul bahwa filosofi atau ajaran Islam
sepenuhnya pekat dengan ajaran damai - kedamaian, sebagaimana nama agamanya itu
sendiri. Kosa kata Islam yang berasal
dari kata aslama, yulismu, islam artinya kedamaian dan keamanan; ketaatan dan kepatuhan;
melepaskan diri dari segala penyakit lahir maupun bathin. Disamping itu kata
Islam merupakan pancaran asma Allah sebagai perwujudan logis dari asma Ar-Rahmān (Kasih, Allah yang
memberikan fasilitas kehidupan) dan Ar-Rahīm
(Sayang, Allah yang mengayomi kehidupan).
Dalam sejarah kerasulan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alayhi Wasallam selama 23
tahun lamanya, 13 tahun selama di Makkah dilakukan secara pacifist (peace lover,
suka kedamaian). Artinya tanpa kekerasan walaupun Nabi Shalallahu ‘Alayhi Wasallam (dan pengikutnya) sering dianiaya baik
pisik maupun mental. Malah pada akhirnya sengaja ingin dibunuh, sehingga pada
tingkat ini terpaksa memerlukan hijrah (pindah) dari Makkah ke Madinah, agar
selamat dari pembunuhan terhadap dirinya.
Rasul Shallallahu
‘Alayhi Wasallam sendiri tidak suka kepada kekerasan dan sama sekali tidak ada
ide menentang sesuatu dengan kekerasan, kecuali kemudiannya digunakan untuk
mempertahankan diri. (Itupun bukan melawannya, tetapi hanya menghindar saja).
Demikian
disebutkan oleh William Montgemory Watt seorang professor dalam Arabic and Islamic studies dalam buku “The Meaning of The Glorious Koran” oleh
Marmaduke Pickhall. Komentar mana merujuk kepada surat al-Baqarah ayat 216 yang
diturunkan di Madinah. Beliau Shallallahu
‘Alayhi Wasallam telah berada di Madinah setelah hijrah dari Makkah ketika
surat itu diturunkan (walaupun telah berada di Madinah usaha Beliau Shallallahu ‘Alayhi Wasallam untuk
berdakwah dan mau melaksanakan ibadah haji dengan para pengikutnya selalu
dihalang-halangi – antara lain peristiwa Hudaibiyah).
- Kutiba ‘alaykumul qitālu (Diwajibkan kepada engkau berperang)
- Wa huwa kurhul lakum (Sedang perang itu engkau kurang sukai - Muhammad sendiri tidak suka dengan kekerasan)
- Wa ‘asā antakrohū syay-an (Dan boleh jadi engkau kurang menyukainya)
- Wa huwa khayrul lakum (Sedang itu berguna bagimu)
Jadi jelas
dan sejelas-jelasnya kini bahwa konsep, ajaran dan wajah Islam itu sendiri
memang benar-benar penuh kedamaian, kalaupun ada (yah dipaksa keadaan) sifatnya
adalah mempertahankan diri. Tidak seperti yang dilabelkan orang diluar Islam
selama ini – dengan mencapnya sebagai teroris. Bagi yang memahami betul makna
firman Allah ‘Azza wa Jalla dan sirah
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi
Wasallam tersebut seperti diatas, jelas Islam (baca ajaran Islam) ini pembawa
kedamaian. Islam (baca Muslim) dalam menyebarkan agama berpedoman kepada
firman-Nya seperti “Lā ikra ha fid-dīn”
(Sekali-kali tidak ada paksaan untuk beragama Islam) bagi pemeluk atau
kepercayaan agama lain, hatta sekalipun kepada atheist atau agnostic.
Sedang kehidupan dengan yang bukan seagama disemangati dengan koeksistensi
damai, “Lakum dīnukum waliyadīn”
(Bagi mereka agama mereka, bagi kami agama kami).
●●●
Untuk membahas atau mengelaborasi kebenaran
pernyataan spirit haji terletak dalam menunaikan ‘wukuf di Arafah’ bukan
melempar batu di Mina, berarti kita kini memasuki daerah analisis. Daerah
pengkajian. Tempat pancaindra, fikiran, dan hati mulai digunakan untuk mencari
tahu duduk perkaranya.
Dalam
ber-Islam beragama bukanlah sekedar mengerjakan apa yang dilakukan orang tua; lingkungan
masyarakat dimana dia berada; lingkungan komuniti dimana dia sebagai anggotanya.
Beragama yang sesungguhnya bukanlah sekedar tradisi atau kultur asal daerah
atau bangsa yang disadari atau tidak banyak dilakukan orang. Juga beragama
bukanlah taklik buta kepada orang lain, tanpa memahaminya (iya saja, cenderung
malas berfikir). Tidak mengerti dengan sesungguhnya dari arti beragama. Padahal
agama itu sendiri mengatakan “imanan wah
tisaban” artinya, berimanlah dengan pemikiran dan kesadaran penuh, sehingga
tahu makna dan hakekat yang sesungguhnya. Kalau tidak, kita seperti pohon.
Kemana angin bertiup, kesana pula kita condong. Tidak berpendirian. Bahkan
mudah dimangsa oleh pengaruh social-media.
Satu millennium (seribu tahun) kemudian
Descartes (1596-1650) baru menyadari pentingnya arti sebuah kesadaran (pengetahuan),
sehingga ia berucap (dimana ucapannya itu sangat dikenal sekali bagi orang yang
berpendidikan) yaitu, “Cogito ergo sum”
(bahasa Latin, Eropa ketika itu menggunakan bahasa Latin sebagaimana kita
menggunakan quotation bahasa Arab
atau bahasa Inggris) artinya adalah, “saya berfikir, maka saya ada”. Dari
filsafat Descartes tentang “kesadaran” inilah baru Barat melek dan bangun dari
tidur mereka selama ini pada abad gelapnya (dark
ages) ke abad pencerahan (enligment,
renaissance). Berangkat dari filsafat
kesadaran berfikir itulah kemudiannya Barat menjadi berkembang, sangat maju dan
leading seperti sekarang ini. Padahal
ketika Muslim memerintah Eropah - Spanyol Al-Andalus, London baru sebuah desa
yang terkebelakang serta kotor dengan rumah-rumah gubuk(Baca juga blog ini
dengan tema “Bangun dan Jatuhnya Andalusia” dan tema “Islam di Spanyol dan
Peninggalannya”). Kesadaran akan hal itu telah Allah Subhana
Wa Ta’ala sebutkan satu setengah millennium yang lalu melalui Kitab Suci
Al-Qur’an Al-Karim dalam mengingatkan kita:
- Tuhan yang mengadakan pendengaran, penglihatan dan pikiran serta perasaan kesadaran bagimu, tetapi sedikit sekali diantara kamu dengan sadar menggunakannya secara baik (efektif, hanya bisa berkeluh kesah saja) [QS Al-Mu’minun 23:78]
Tentunya
himbauan Allah yang halus dalam firman-Nya pada surat al-Muminun, surat ke-23,
ayat 78 ini dapat dipahami bagi orang yang mau mengambil pelajaran dari-Nya
yaitu orang yang mau mendengar, melihat dan memikir dengan itu perasaannya
terbuka melihat kenyataan. Menjadikan otaknya nyalang, hatinya emphatic (dapat merasakannya dengan
sungguh). Pendengaran digunakan untuk menyimak dan memilah kabar yang
didapatnya (informasi, fakta, motive). Penglihatan yang bukan melihat saja tanpa
arti, namun dapat memilah karena punya pendirian dan visi dari apa yang
dilihatnya. Serta hati yang dapat merasa dan memilah, yaitu hasil pemikiran
yang dapat dirasakan atau dipahami betul-betul. Inilah yang diharapkan oleh
Allah ‘Azza wa Jalla bagi setiap Muslim sebelum mengambil kesimpulan atas
sesuatu masalah atau issue, sebelum
mempercayai sesuatu atau sebelum bertindak. Thing
first and do it. Pahami dulu baru bertindak. Kebalikan dari ‘asbun’ dan
taklik-buta. □ AFM
Bersambung ke: Makna Wukuf Arafah II
Bersambung ke: Makna Wukuf Arafah II