Friday, September 4, 2015

Makna Wukuf Arafah I




  • Al-Hajju Arafah – Haji itu adalah wukuf di Arafah. 
  • Membangunkan Kesadaran BerIslam.


K
urang dari dua minggu lagi dari bulan September ini menurut tanggalan Gregorian, atau menurut tanggalan Hijriyah yang dipakai sebagai dasar perhitungan penanggalan (ibadah) Islam adalah bulan Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah, di kalangan umum umat Islam menyebutkannya sebagai Bulan Haji. Disebut demikian karena pada bulan itu adalah bulan dilakukannya Ibadah Haji. Dengan itu alangkah tepat tema tulisan ini kita ambilkan dari Spirit Kehajiannya. Apa yang dimaksudkan spirit disini adalah jiwa atau semangat dari berhaji. Bagaimana gerangan bentuk atau rupa dari spiritnya itu? Yaitu Wukuf di Arafah yang dilakukan para jamaah haji pada tanggal 9 Dzulhijjah hingga fajar keesokan harinya.

   Padang Arafah berada di luar kota Makkah. Tempat ini menjadi popular sekali di musim haji. Tanpa wukuf disana bukan berhaji namanya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bersabda, Al-Hajju Arafah – Haji itu adalah wukuf di Arafah. Spirit haji ini adalah wukuf di Arafah, bukan di Mina? Kenapa bukan di Mina?

  Mina pada intinya adalah merupakan lambang keberangan yang dahsyat. Ini ditandai dengan melemparkan batu berkali-kali dengan sekuat mungkin kearah tiga tonggak yang berjejer sebagai sasarannya. Seperti layaknya Bung Tomo ketika revolusi kemerdekaan, sangat berang kepada penjajah. Ia memekikkan dengan lantang dan keras, penuh keberanian, tanpa takut, mengucapkan ‘Allahu Akbar maju memimpin dan membangkitkan heroisme perjuangan melawan Penjajah. Mereka dengan kesenjataannya yang lengkap, sedang pribumi dengan modal senjata bambu runcing saja, ternyata kemudiannya perjuangan itu berhasil.

Memang benar muslim garang kalau hanya saja di perangi, diperlakukan tidak adil, didzalimi. Itupun upaya terakhir. Dan itu sifatnya nature dan human being. Siapapun begitu juga, kalau dalam posisi tertindas (terdzalimi). Kata bung Karno, “Cacingpun menggeliat, kalu di injak”, tanda menunjukkan perlawanannya, kendatipun cacing binatang yang lemah. Namun perlu dipahami betul bahwa filosofi atau ajaran Islam sepenuhnya pekat dengan ajaran damai - kedamaian, sebagaimana nama agamanya itu sendiri. Kosa kata Islam yang berasal dari kata aslama, yulismu, islam artinya kedamaian dan keamanan; ketaatan dan kepatuhan; melepaskan diri dari segala penyakit lahir maupun bathin. Disamping itu kata Islam merupakan pancaran asma Allah sebagai perwujudan logis dari asma Ar-Rahmān (Kasih, Allah yang memberikan fasilitas kehidupan) dan Ar-Rahīm (Sayang, Allah yang mengayomi kehidupan).

   Dalam sejarah kerasulan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alayhi Wasallam selama 23 tahun lamanya, 13 tahun selama di Makkah dilakukan secara pacifist (peace lover, suka kedamaian). Artinya tanpa kekerasan walaupun Nabi Shalallahu ‘Alayhi Wasallam (dan pengikutnya) sering dianiaya baik pisik maupun mental. Malah pada akhirnya sengaja ingin dibunuh, sehingga pada tingkat ini terpaksa memerlukan hijrah (pindah) dari Makkah ke Madinah, agar selamat dari pembunuhan terhadap dirinya.

   Rasul Shallallahu ‘Alayhi Wasallam sendiri tidak suka kepada kekerasan dan sama sekali tidak ada ide menentang sesuatu dengan kekerasan, kecuali kemudiannya digunakan untuk mempertahankan diri. (Itupun bukan melawannya, tetapi hanya menghindar saja).

Demikian disebutkan oleh William Montgemory Watt seorang professor dalam Arabic and Islamic studies dalam buku “The Meaning of The Glorious Koran” oleh Marmaduke Pickhall. Komentar mana merujuk kepada surat al-Baqarah ayat 216 yang diturunkan di Madinah. Beliau Shallallahu ‘Alayhi Wasallam telah berada di Madinah setelah hijrah dari Makkah ketika surat itu diturunkan (walaupun telah berada di Madinah usaha Beliau Shallallahu ‘Alayhi Wasallam untuk berdakwah dan mau melaksanakan ibadah haji dengan para pengikutnya selalu dihalang-halangi – antara lain peristiwa Hudaibiyah).

  • Kutiba ‘alaykumul qitālu (Diwajibkan kepada engkau berperang)
  • Wa huwa kurhul lakum (Sedang perang itu engkau kurang sukai - Muhammad sendiri tidak suka dengan kekerasan)
  • Wa ‘asā antakrohū syay-an (Dan boleh jadi engkau kurang menyukainya)
  • Wa huwa khayrul lakum (Sedang itu berguna bagimu)

Jadi jelas dan sejelas-jelasnya kini bahwa konsep, ajaran dan wajah Islam itu sendiri memang benar-benar penuh kedamaian, kalaupun ada (yah dipaksa keadaan) sifatnya adalah mempertahankan diri. Tidak seperti yang dilabelkan orang diluar Islam selama ini – dengan mencapnya sebagai teroris. Bagi yang memahami betul makna firman Allah ‘Azza wa Jalla dan sirah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wasallam tersebut seperti diatas, jelas Islam (baca ajaran Islam) ini pembawa kedamaian. Islam (baca Muslim) dalam menyebarkan agama berpedoman kepada firman-Nya seperti “Lā ikra ha fid-dīn” (Sekali-kali tidak ada paksaan untuk beragama Islam) bagi pemeluk atau kepercayaan agama lain, hatta sekalipun kepada atheist atau agnostic. Sedang kehidupan dengan yang bukan seagama disemangati dengan koeksistensi damai, “Lakum dīnukum waliyadīn” (Bagi mereka agama mereka, bagi kami agama kami).

●●●

   Untuk membahas atau mengelaborasi kebenaran pernyataan spirit haji terletak dalam menunaikan ‘wukuf di Arafah’ bukan melempar batu di Mina, berarti kita kini memasuki daerah analisis. Daerah pengkajian. Tempat pancaindra, fikiran, dan hati mulai digunakan untuk mencari tahu duduk perkaranya.

Dalam ber-Islam beragama bukanlah sekedar mengerjakan apa yang dilakukan orang tua; lingkungan masyarakat dimana dia berada; lingkungan komuniti dimana dia sebagai anggotanya. Beragama yang sesungguhnya bukanlah sekedar tradisi atau kultur asal daerah atau bangsa yang disadari atau tidak banyak dilakukan orang. Juga beragama bukanlah taklik buta kepada orang lain, tanpa memahaminya (iya saja, cenderung malas berfikir). Tidak mengerti dengan sesungguhnya dari arti beragama. Padahal agama itu sendiri mengatakan “imanan wah tisaban” artinya, berimanlah dengan pemikiran dan kesadaran penuh, sehingga tahu makna dan hakekat yang sesungguhnya. Kalau tidak, kita seperti pohon. Kemana angin bertiup, kesana pula kita condong. Tidak berpendirian. Bahkan mudah dimangsa oleh pengaruh social-media.

   Satu millennium (seribu tahun) kemudian Descartes (1596-1650) baru menyadari pentingnya arti sebuah kesadaran (pengetahuan), sehingga ia berucap (dimana ucapannya itu sangat dikenal sekali bagi orang yang berpendidikan) yaitu, “Cogito ergo sum” (bahasa Latin, Eropa ketika itu menggunakan bahasa Latin sebagaimana kita menggunakan quotation bahasa Arab atau bahasa Inggris) artinya adalah, “saya berfikir, maka saya ada”. Dari filsafat Descartes tentang “kesadaran” inilah baru Barat melek dan bangun dari tidur mereka selama ini pada abad gelapnya (dark ages) ke abad pencerahan (enligment, renaissance). Berangkat dari filsafat kesadaran berfikir itulah kemudiannya Barat menjadi berkembang, sangat maju dan leading seperti sekarang ini. Padahal ketika Muslim memerintah Eropah - Spanyol Al-Andalus, London baru sebuah desa yang terkebelakang serta kotor dengan rumah-rumah gubuk(Baca juga blog ini dengan tema “Bangun dan Jatuhnya Andalusia” dan tema “Islam di Spanyol dan Peninggalannya”). Kesadaran akan hal itu telah Allah  Subhana Wa Ta’ala sebutkan satu setengah millennium yang lalu melalui Kitab Suci Al-Qur’an Al-Karim dalam mengingatkan kita:

  • Tuhan yang mengadakan pendengaran, penglihatan dan pikiran serta perasaan kesadaran bagimu, tetapi sedikit sekali diantara kamu dengan sadar menggunakannya secara baik (efektif, hanya bisa berkeluh kesah saja) [QS Al-Mu’minun 23:78]

   Tentunya himbauan Allah yang halus dalam firman-Nya pada surat al-Muminun, surat ke-23, ayat 78 ini dapat dipahami bagi orang yang mau mengambil pelajaran dari-Nya yaitu orang yang mau mendengar, melihat dan memikir dengan itu perasaannya terbuka melihat kenyataan. Menjadikan otaknya nyalang, hatinya emphatic (dapat merasakannya dengan sungguh). Pendengaran digunakan untuk menyimak dan memilah kabar yang didapatnya (informasi, fakta, motive). Penglihatan yang bukan melihat saja tanpa arti, namun dapat memilah karena punya pendirian dan visi dari apa yang dilihatnya. Serta hati yang dapat merasa dan memilah, yaitu hasil pemikiran yang dapat dirasakan atau dipahami betul-betul. Inilah yang diharapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla bagi setiap Muslim sebelum mengambil kesimpulan atas sesuatu masalah atau issue, sebelum mempercayai sesuatu atau sebelum bertindak. Thing first and do it. Pahami dulu baru bertindak. Kebalikan dari ‘asbun’ dan taklik-buta. □ AFM

Bersambung ke: Makna Wukuf Arafah II
 

Blog Archive