Saturday, October 31, 2015

Sejarah Islam di Indonesia 2






Ahli Sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak benar, Hamka berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus). Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk ke wilayah kerajaan Srivijaya.



M
ayoritas terbesar umat Muslim di dunia adalah Indonesia, yaitu 85,2% atau 199.959.285 jiwa dari total 234.693.997 jiwa penduduk. Walau Islam menjadi mayoritas namun Indonesia bukanlah Negara yang berazaskan Islam. Berbagai teori perihal masuknya Islam ke Indonesia terus muncul saat ini. Fokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga tema utama, yakni tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Seperti banyak diketahui, jika daerah penghasil batu kapur, yaitu kota Barus di Sibolga, Sumatera Utara sudah digunakan oleh Firaun di Mesir untuk proses pemakaman mumi Firaun. Berdasarkan hal tersebut membuktikan jika jauh sebelum Islam datang masyarakat Nusantara sudah berhubungan dunia luar. Ada kemungkinan Islam sudah masuk di Nusantara terjadi pada masa kenabian atau masanya hidup Nabi Muhammad saw. [1] Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia. Di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikgtisarkan menjadi tiga teori besar sebagai berikut:


Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat, India melalui peran para pedagang India Muslim pada sekitar abad ke-13 M.

Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M.

Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Melalui Kasultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, jangkauan terjauh penyebaran Islam sudah mencapai Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Kalau Ahli Sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak benar, Hamka berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus). [2] Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk ke wilayah kerajaan Srivijaya.

Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M semasa pemerintahan Khalifah Islam Utsman bin Affan (644-656 M), memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah Raja Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam. [3]

Pada tahun 718M raja Srivijaya Sri Indravarman setelah kerusuhan Kanton juga masuk Islam pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azizi (717 - 720 M) (Dinasti Umayyah).

   Teori Islam Masuk Indonesia abad 13 melalui pedagang Gujarat, menurut pendapat sebagian besar orang, adalah tidaklah benar. Apabila benar maka tentunya Islam yang akan berkembang kebanyakan di Indonesia adalah aliran Syi’ah karena Gujarat pada masa itu beraliran Syiah, akan tetapi kenyataan Islam di Indonesia didominasi Mazhab Syafi’i.

   Sanggahan lain adalah bukti telah munculnya Islam pada masa awal dengan bukti Tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik, Jawa Timur.


Masa Kolonial

   Pada abad ke-17 atau tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.

Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang pada abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi:

Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya Perang Padri di Sumatra Barat dan Perang Diponegoro di Jawa.

Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang oriantalis yang pernah mempelajari Islam di Makkah. Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhah (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum Muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan. [4]

   Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal Al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, di antara mereka ialah Muhammad Djanil Djambek dan Abdul Karim Amarullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatra Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalauddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di  Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir. [5]


Pendidikan

   Pesantren adalah salah satu sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia dengan ciri yang khas dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendididikan paling tua di Indonesia. [6] Selain itu, dalam pendidikan Islam di Indonesia juga dikenal adanya Madrasah Ibtidaiyah (dasar), Madrasah Tsanawiyah (menengah), dan Madrasah Aliyah (atas). Untuk tingkat universitas Islam di Indonesia juga kian maju seiring dengan perkembangan zaman, hal ini dapat dilihat dari terus beragamnya universitas Islam. Hampir disetiap provinsi di Indonesia dapat dijumpai Institut Agama Islam Negeri serta beberapa universitas Islam lainnya.


Politik


   Dengan mayoritas berpenduduk Muslim, politik di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan peranan ummat Islam. Walau demikian, Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam, namun ada beberapa daerah yang diberikan keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam, seperti Aceh. Menilik dari tingkat keseharusannya, sebenarnya Indonesia layak menjadi negara berdasarkan Syariat Islam terbesar didunia dan pantas diteladani karena pengamalan hukum Islam yang lebih humanis dan mengikuti perkembangan zaman. Jadi kiranya Indonesia berasaskan Islam maka tetap akan menjadi kebebasan memeluk agama lain, kebebasan bagi perempuan untuk menutup aurat atau tidak (sampai batas yang dianggap wajar berdasarkan norma sosial) dan lain sebagainya. Kiranya perbedatan mengenai hukum cambuk dan rajam tidak perlu lagi dipermasalahkan karena yang lebih penting adalah amalan amar makruf nahi mungkarnya atau makrifatannya. Jelas, pedoman umum perkembangan zaman agar agama tidak dianggap kuno adalah norma sosial yang senantiasa berkembang misalnya dengan mengijinkan ada aplikasi Android untuk Quran adalah salah satu bentuk mengikuti perkembangan zaman secara konstruktif dan tidak meninggalkan hukum-hukum pokok Islam.

   Dengan mengikuti uraian para pengamat dan ahli sejarah Islam di Indonesia terkuaklah perkembangan dan masalah Islam di Indonesia yang sebenarnya, terutama dalam hal ajaran Islam telah di terima di Nusantara (kemudiannya, bernama Indonesia) oleh kesultanan-kesultanan Islam yang telah berdiri lebih dulu sebelum datangnya Belanda ke Nusantara. Akhir dengan melakukan politik pecah belah (devide et impera) Belanda berhasil membentuk pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Nusantara.

Dengan berangsur-angsur tapi pasti didudukinyalah seluruh Nusantara oleh Belanda. Maka, agar dapat melunakkan perlawanan Semesta Umat Islam Nusantara untuk membebaskannya dari penjajahan Belanda yang demikian gencarnya, akhirnya Hindia Belanda mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye. Snouk Hourganye adalah seorang ahli tentang Islam (karena dia belajar langsung seluruh hal ihwal tentang Islam ke Makkah dengan mengaku sebagai Muslim dengan nama Abdul Gafar), menasehatkan pemerintah Hindia Belanda agar pemerintahan Belanda jika ingin bercokol kuat dan seterusnya, membiarkan umat Islam Nusantara melakukan ibadah mahdhah saja yaitu dalam urusan ibadah kepada Tuhan (ajaran Islam hablum minallah). Sedangkan hak politik (sebagai bagian dari ajaran Islam dalam hubungan sosial kemasyarakatan, hablum minannas) yang berdasarkan Islam dilarang. Karena mereka mempunyai keyakinan kuat (tahu dan takut sekali) kalau hak politik atau praktis politik dibolehkan, maka mereka Hindia Belanda yang menjajah Nusantara ini akan kalah. Atas nasehatnya itu Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dikucilkan dari Tanah Sumatera, begitu pula Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa, dan yang lain-lainnya.

   Untuk melengkapi tulisan diatas, baik pula disaksikan dua topik tayangan video sebagai berikut dari Khazanah Trans 7 [Napak Tilas Sejarah Muslim Indonesia]dan Kompas TV [Film Dokumentasi Islam di Nusantara – Kepulauan Indonesia] dibawah ini dengan meng-klik tajuk masing-masing. Selamat menyimak. □ AFM



Sumber:  ●Dakwatuna●Wikipedia


Catatan Kaki:

1.      Maksuknya Islam di Indonesia, situs Kidung Peziarah
2.     Prof Dr HAMKA. Sejarah Umat Islam.
3.     H Zainal Abidin Ahmad. Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Bulan Bintang, 1979.
4.     “Mustafa Kamal, SS, Sejarah Islam di Indonesia”. Dakwatuna.com. Diakses tanggal January 4. Unknown parameter |accessyear= ignored (bantuan)
5.     Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan. p. 353-356.
6.     Nurun Maksuni, Pesantren dalam wajah Islam Indonesia, nusria.net:2007


Sumber Gambar:

Kiri, Peta Indonesia by Ibrahim Muteferrika (1674-1745).png

Kanan, Collectie Tropen Museum Een Koranschool op Java TMnr 10002385.jpg □□□

Blog Archive