Wednesday, October 14, 2015

Sejarah Penanggalan Hijriah Dan Hikmahnya





‘‘Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung”. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih buruk dari kemarin, adalah orang celaka.” [Al-Hadits]


Kata Pengantar

Tulisan ini sengaja disusun untuk menyambut Tahun Baru Hijriah 1 Muharram 1437 H (Hijriah, Penanggalan Islam) yang jatuh bertepatan hari ini, tanggal 14 Oktober 2015. Satu-satunya resolusi Ummat Islam dalam menjalani tahun ini adalah kembali kepada pengingatan Rasulullah shallullah ‘alayhi wasallam dalam sebuah haditsnya seperti dinyatakan dalam quotation diatas yang kami tuliskan lagi sebagai berikut:

‘‘Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung”. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih buruk dari kemarin, adalah orang celaka.” [Al-Hadits]

Boleh jadi suasana keterpurukan Ummat Islam secara sosiologis mulai dari kejatuhan pertama dari Al-Andalus dan tadinya masih ditopang oleh Ottoman, namun di permulaan abad ke-20 Ottoman jatuh juga. Dimulai abad tengah  negeri-negeri yang berpenduduk Muslim dan non Muslim dikuasai dan diduduki oleh beberapa negara Eropah sampai tahun 60-an. Sejak tahun 40-an berangsur-angsur merdeka. Namun takdir ini mesti kita terima, dan dengan itu mesti mengambil hikmah-pelajaran positifnya.

Sudah barang tentu paradigma dan praktikal hadits diatas (dalam semangat ummah yang satu dalam negara-negara nasional masing-masing) menjadi pegangan pokok dalam artian baik antar ummat dalam pergaulan internasionalnya di mellinnium ke-3 ini. Setiap perbedaan dan sengketa hendaknya dicarikan solusi dalam semangat ko-eksistensi damai dalam tataran hubungan sosial global. Dalam artian keyakinan agama masing-masing dihormati. Dan setiap persengketaan yang mungkin timbul diselesaikan dengan pendekatan dan cara-cara damai, bukan dengan penyelesai secara militer. Apalagi sebagai ummat beragama Abrahamic menyadari betul bahwa “manusia yang berperadaban” (manusia khalifah) ini adalah hasil creation oleh Creator yang mempunyai misi disamping beribadat kepada-Nya juga memakmurkan kehidupan di Bumi. Kita human being bukanlah dari “manusia” hasil evolutionic yang walaupun maju tapi masih bersifat kebinatang-binatangan buas, yaitu serakah, rakus, selfis – mau menang sendiri, dan arogan.


Pendahuluan

B
ulan ini adalah bulan di mana Allah subhanahu wa ta’ala muliakan dan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam serta para sahabatnya mengagungkannya. Sepatutnya juga kita mengagungkan bulan ini dengan meningkatkan  ibadah dan amal shalih, baik secara kuantitas dan kualitas. Di dalam syariat Islam telah dijelaskan kemuliaan-keagungan bulan Muharram. Allah swt berfirman yang artinya, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya “empat bulan haram”. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. [QS At-Taubah 9:36]

   Empat bulan haram itu adalah bulan Dzul-Qa’idah, Dzul-Hijjah, Muharram, dan Rajab, sebagaiman sabda Rasulullah saw yang artinya, “Satu tahun itu ada 12 bulan. Di antaranya ada 4 bulan haram, yaitu 3 bulan berturut-turut, Dzul-Qa’idah, Dzul-Hijjah, dan Muharram serta Rajab yang berada di antara bulan Jumada (Jumadil Akhir) dan Sya’ban.” [HR Bukhari]

Al Qodhi Abu Ya’la Rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena ada dua alasan. Pertama:  Karena diharamkan melakukan pembunuhan pada bulan tersebut sebagaiman hal ini juga merupakan kebiasaan baik yang diyakini orang jahiliyyah sebelumnya. Kedua: Karena pelanggaran untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada bulan tersebut hukumannya lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya. (lihat Zadul Maysir, Ibnu Jauziy).

Ibnu Abbas ra menjelaskan tentang firman Allah saw surat ke-9, surat At-Taubah ayat 36 seperti di atas, “Allah mengkhususkan 4 bulan yang haram dan menegaskan keharamnnya. Allah juga menjadikan dosa pada bulan tersebut lebih besar – jika hal ini yang dilakukan. Demikian pula pahala amal saleh pada bulan tersebut juga menjadi lebih besar – jika hal ini yang dilakukan.

   Ketika Haji Wada’ Rasulallah saw bersabda: Dari Abi Bakrah ra  bahwa Nabi saw bersabda: “Setahun ada dua belas bulan, empat darinya adalah bulan suci. Tiga darinya berturut-turut; Dzul-Qa’idah, Dzul-Hijjah, Muharram dan Rajab”. [HR Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad]

Dalam hadist di atas Nabi saw hanya menyebut nama empat bulan, dan ini bukan berarti selain dari nama bulan yang disebut di atas tidak suci, karena bulan Ramadhan tidak disebutkan dalam hadist diatas. Dan kita semua tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kesucian, ada Lailatul Qadar (malam kemuliaan), juga dinamakan dengan bulan rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka.

Ibnu Rajab al-Hambali (736-795H) mengatakan, Muharram disebut dengan Syahrullah (bulan Allah) karena memiliki dua hikmah. Pertama: Untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram. Kedua: Untuk menunjukkan otoritas Allah swt dalam mensucikankan dan memuliakan bulan Muharram.


Sejarah penanggalan Hijriyah

   Zaman ketika pra-Islam yang bermula di tanah Hejaz, Jazirah Arabia, untuk menyebut sesuatu yang bersifat kejadian misalnya tanggal kelahiran atau suatu peristiwa atau perjanjian hutang piutang hanya menyebutkan hari dan bulannya saja. Kalau juga perlu tahunnya, tidak disebut dengan angka sebagaimana lazimnya kita kenal sekarang. Sebagai contoh yang telah kita kenal dengan baik yaitu kelahiran Muhammad saw, 9 Rabiul Awwal, tahun Gajah. [1]

   Memang sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad saw telah menggunakan bulan-bulan dalam Kalender Sistim Lunar (Qomariah). Yaitu berdasarkan hitungan peredaran bulan terhadap bumi. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini “tahun berapa”, tetapi “tahun apa”, seperti halnya kelahiran Rasulullah saw pada Tahun Gajah (“tahun apa”).

      Dengan kebiasaan tidak menyebut tahun berapa (tapi sebagai optional “tahun apa”, kalau perlu) sampai kemudiannya di zaman Khalifah Ke-2 pada tahun 682 M, Umar bin  Khattab ra yang saat itu menjadi khalifah melihat sebuah masalah. Negeri Islam yang semakin besar wilayah kekuasaannya menimbulkan berbagai persoalan administrasi pemerintahan. Surat menyurat antar Gubernur (Penguasa Daerah) dengan Khalifah (Penguasa Pusat) ternyata belum rapi karena tidak adanya acuan penanggalan. Masing-masing daerah menandai urusan muamalah mereka dengan sistem kalender lokal yang seringkali berbeda antara satu tempat dengan lainnya. Suatu waktu Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu Gubernur pada zaman Khalifah Umar bin Khatab ra menulis surat kepada Amirul Mukminin (Khalifah Umar ra) yang isinya menanyakan surat-surat dari Khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga hal ini hanya membuat kebingungan.

   Untuk mengatasi masalah itu, maka Khalifah Umar memanggil para sahabat dan dewan penasehat untuk menentukan “satu sistem penanggalan” yang akan diberlakukan secara menyeluruh di semua wilayah kekuasaan Islam. Akhirnya, pada tahun 638 M (17 H), Khalifah Umar bin Khatab ra menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Madinah. Sedangkan nama-nama bulan dan bilangan bulannya sebanyak 12 dalam Kalender Hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan dan bilangan bulannya yang telah ada dan berlaku pada masa itu. [2] Begitu pula nama-nama hari dan bilangan harinya sebanyak 7 hari. [3] Tanggal 1 Muharram Tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M. Tanggal ini bukan berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad saw, karena peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad terjadi bulan Rabiul Awwal, bulan ke-3, sedangkan permulaan tahun atau bulan ke-1-nya adalah Muharram. Tepatnya hijrah Rasul saw sampai di (daerah) Yatsrib (Madinah) 8 Rabiul Awwal tahun 41 dari Tahun Gajah atau Tahun 13 tahun dari nubuwah (tahun kerasulan), bertepatan dengan tanggal 23 bulan September tahun 622 M. Jadi Penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriah dilakukan 6 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.


Hikmah Penentuan Tahun Diambil Dari Saat Hijrah Rasul

   Karakteristik bulan Muharram ini menguatkan kembali semangat “hijrah ummat Islam” dari Makkah ke Yatrib (Madinah). Setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik. Besok harus lebih baik dari hari ini. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Dalam hal ini kita ini hanya terikat oleh tiga masa. Masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Tahun Hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama ‘Tahun Muhammad’ atau ‘Tahun Umar’. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani), dalam tahun penanggalannya disebut Masehi, disingkat dengan huruf M yang diletakkan dibelakang tahun berapanya.

   Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar ra. Seandainya ia berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan Tahun Umar sangatlah memungkinkan dan mudah baginya untuk melakukan itu. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu. Ia malah menjadikan penanggalan itu sebagai zaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi nilainya bagi agama dan umat Islam.

Selain Umar ra, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib ra. Beliaulah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).

   Dalam sejarah Hijrah Nabi saw dari Makkah ke Madinah terlihat jalinan ukhuwah kaum Anshar dan Muhajirin yang melahirkan integrasi umat Islam yang  sangat kokoh. Kaum Muhajirin (Pendatang dari Makkah) dan Anshar (Penduduk Asli Madinah) membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya, kuat dan disegani.

Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari, tahun demi tahun, abad demi abad, bahkan millennium demi millennium, biasanya (dan mestinya) memunculkan harapan baru menuju keadaan yang lebih baik lagi. Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Hadits Rasulullah saw yang sangat populer menyatakan, ‘‘Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung”. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih buruk dari kemarin, adalah orang celaka.”

Bersesuain dengan hadits ini tepat sekali awal (dan penamaan kemudiannya diambil) dari tahun hijrahnya kaum muslimin dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Karena pengembangan Islam tidak memungkinkan jika tidak hijrah ke wilayah baru dan para pemimpin Kabilah dan anggotanya dari semua golongan bersimpati pula kepada Muhammad saw. Rasullullah saw dan Abu Bakar ra dan kemudiannya di susul oleh Ali ra adalah  terakhir yang hijrah ke Yatsrib (kemudian bernama Madinah). Sebelumnya telah berangsur-angsur lebih dulu para pengikut Rasul saw berhijrah dan diterima oleh penduduk setempat.

   Dengan karakter dan budaya Makkah yang represif (penolakan total atas ajaran Islam tanpa kompromi atau toleransi) dan dihadapi pula dengan penentangan melalui kekerasan yang dilakukan Petinggi Para Suku Kabilah bersama anggota Kabilahnya masing-masing di Makkah. Hari keberangkatan Rasul saw bersama Abu Bakar ra adalah hari-H pembunuhannya yang tidak berhasil. Dan ketika itu belum ada perintah untuk mempertahankan diri melalui kontra (melawan dengan) kekerasan (perang).


Hijrah Dan Penggantian Nama Kota

   Setelah Beliau saw bersama Abu Bakar ra berada di Quba’ pinggiran Yatsrib selama empat hari tinggal disana dan mendirikan Masjid Quba’. Setelah selesai melaksanakan ibadah Jum’at berangkat menuju Yatsrib. Sesampai di Yatsrib pada hari yang sama namanya diganti dengan Madinatur Rasul saw, yang kemudiannya disingkat dengan nama Madinah saja.

   Salah satu langkah menarik yang dilakukan Nabi Muhammad saw di Madinah adalah mengganti nama tersebut menjadi Madinah yang artinya kota. Tindakan ini bukan suatu kebetulan. Dibaliknya terkandung makna yang luas dan mendalam dan kontras terhadap kehidupan “politik jahiliyah” sebelumnya ketika berada di Makkah.

Perkataan Arab “Madinah” secara harfiah berarti kota. Pengertian ini tidak jauh berbeda dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya yang dapat ditelusuri kepada tiga suku akar katanya yaitu “d-y-n” (dal-ya-nun) dengan makna dasar “patuh”, sebagaimana dinyatakan dalam tashrif “dana-yadinu”. Dari kata ini pula kata “din” yang berarti “agama” berasal. Suatu kata yang yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut “agama” itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup.

Penggunaan kata “Madinah” oleh Nabi Muhammad saw untuk menukar nama kota hijrah beliau itu mengisyaratkan suatu deklarasi atau proklamasi bahwa di tempat baru itu hendak diwujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan) sebagaimana mestinya suatu masyarakat. Dengan demikian konsep dari kata “Madinah” adalah pola kehidupan sosial yang sopan yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.

Karena itu perkataan Arab untuk peradaban adalah “madaniyah” yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-kata maupun bahasa lndo-Eropa seperti civic, polis dan politiae (juga ”polisi”). Dalam konteks Jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadharah) di tempat itu.

Dengan demikian masih dalam istilah Arab, tsaqafah berarti “kebudayaan”, dan hadharah berarti “peradaban” sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah adalah badawah yang mempunyai makna “hidup berpindah pindah” (nomadism) dan makna kebahasaan “(tingkat) permulaan” (bidayah atau primitif). Karena itu, “orang kota” disebut ahl al-hadhar atau hadhari. Dan “orang kampung” disebut ahl al-baddwah atau badawi atau badwi (Badui). Kaum “Badui” juga sering disebut al-A’rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama.

Dalam Al-Qur’an mereka yang disebut al-A’rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan.  Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi Muhammad saw hanya sampai batas kepatuhan lahiriyah tanpa kedalaman iman. Dalam Al-Qur’an terbaca firman yang memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk mengingatkan bahwa mereka (Arab Badui) menyatakan ia telah beriman, padahal itu baru “berislam” (secara harfiah baru tunduk, tapi belum beriman) karena iman belum masuk ke dalam hati.


Penutup

   Panduan Amalan Di Bulan Muharram. Bulan Muharram adalah sebagai Tahun Baru ummat Islam. Berangkat dari bulan itu hendaknya kaum Muslimin, mestinya berfikir, paham, makna dari bulan Muharram sebagai Tahun Baru-nya. Kemudian bertindak mulai awal tahun ini melakukan perubahan secara fundamental atau peningkatan secara fundamental mengisi bulan-bulan pada tahun ini secara signifikan. Hendaknya di Tahun Baru ini menyambut kehadirannya dengan antusiasme yang tinggi ditandai dengan memuliakannya dengan mengisi dengan amal-amalan shalih yang diridhainya yaitu membangun zaman dengan adil, jujur dan bertanggung jawab bagi kemashlahatan hidup bersama dengan manusia-manusia di muka bumi ini.

  Berikut adalah beberapa amalan sunnah di bulan Muharram yaitu memperbanyak puasa selama bulan Muharram. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.”  [HR Muslim]

   Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyūra’, dan puasa bulan Ramadhan.” [HR Al Bukhari dan Muslim]

   Puasa Asyūra’ (puasa tanggal 10 Muharram). Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Dulu hari Asyūra’ dijadikan orang Yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Puasalah kalian.” [HR Al- Bukhari]

   Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam ditanya tentang puasa Asyūra’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyūra’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” [HR. Muslim dan Ahmad]

   Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Ketika Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa Asyūra’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda kepada para sahabat:  “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah.” [HR Al-Bukhari]

   Puasa Asyūra’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam Islam, sebelum Ramadhan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan: Suatu ketika, di pagi hari Asyūra’, Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai Maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka.” [HR Al- Bukhari dan Muslim]

    Setelah Allah wajibkan puasa Ramadhan, puasa Asyūra’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radhiyallahu ‘anha mengatakan: “Dulu hari Asyūra’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyūra’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah mewajibkan puasa Ramadhan, beliau tinggalkan (sebagai puasa wajib, kemudian menjadi sunnah) hari Asyūra’. Siapa yang ingin puasa Asyūra’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyūra’ boleh tidak puasa (maksudnya menjadi puasa sunnah).” [HR Al-Bukhari dan Muslim]

   Puasa Tasu’a  (puasa tanggal 9 Muharram). Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan: Ketika Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam melaksanakan puasa Asyūra’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyūra’ adalah hari yang diagungkan orang Yahudi dan Nashrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan.” (HR Al-Bukhari)

   Tingkatan Puasa Asyūra’. Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyūra’ ada tiga tingkatan. Tingkatan Pertama: Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyūra’, hari Asyūra’, dan sehari setelahnya. Tingkatan Kedua: Puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadits. Tingkatan Ketiga: Puasa tanggal 10 Muharram saja. [Zadul Ma’ad, 2/72]. □ AFM


Catatan Kaki:

[1] Peristiwa besar, yaitu pasukan Gajah dibawah pimpinan Rajanya Abrahah dari Yaman, yang terletak di Jazirah Arab bagian selatan yang akan menghancurkan Ka’bah di Makkah. Terambil dari peristiwa yang sangat mencekam dan ketakutan penduduk Makkah atas serangan Pasukan Gajah ini.
[2] Seperti: Bulan Ke-1, Muharram; Bulan Ke-2, Safar; Bulan Ke-3, Rabiul Awwal; Bulan Ke-4, Rabiul Akhir, Bulan Ke-5, Jumadil Awwal; Bulan Ke-6, Jumadil Akhir; Bulan Ke-7, Rajab; Bulan Ke-8, Sya’ban, Bulan Ke-9; Ramadhan; Bulan Ke-10, Syawwal; Bulan Ke-11, Dzul-Qa’idah; Bulan Ke-12, Dzul-Hijjah.
[3] Yaitu, Al-Ahad (Minggu); Al-Itsnayn (Senin); Ats-Tsalaatsa' (Selasa); Al-Arbaa-a (Rabu); Al-Khamsah (Kamis); Al-Jumu'ah (Jumat); As-Sabt (Sabtu).


Bahan Bacaan:

Sirah Nabawiyyah, Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Tafsir Al-Azhar Juz XXX, Prof. Dr. Hamka, PT Pustaka Panjimas, Jakarta 1982.
http://www.ahmadzain.com/read/ilmu/34/menyambut-bulan-muharam/
http://www.al-habib.info/kalender-islam/sejarah.htm
https://istiqamaharun.wordpress.com/2011/04/29/pergantian-nama-dari-yatsrib-ke-madinah/□□□

Blog Archive