‘‘Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang
beruntung”. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika
hari ini lebih buruk dari kemarin, adalah orang celaka.” [Al-Hadits]
Kata Pengantar
Tulisan ini
sengaja disusun untuk menyambut Tahun Baru Hijriah 1 Muharram 1437 H (Hijriah,
Penanggalan Islam) yang jatuh bertepatan hari ini, tanggal 14 Oktober 2015.
Satu-satunya resolusi Ummat Islam dalam menjalani tahun ini adalah kembali
kepada pengingatan Rasulullah shallullah ‘alayhi wasallam dalam sebuah
haditsnya seperti dinyatakan dalam quotation
diatas yang kami tuliskan lagi sebagai berikut:
‘‘Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang
beruntung”. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika
hari ini lebih buruk dari kemarin, adalah orang celaka.” [Al-Hadits]
Boleh jadi
suasana keterpurukan Ummat Islam secara sosiologis mulai dari kejatuhan pertama
dari Al-Andalus dan tadinya masih ditopang oleh Ottoman, namun di permulaan
abad ke-20 Ottoman jatuh juga. Dimulai abad tengah negeri-negeri yang berpenduduk Muslim dan non
Muslim dikuasai dan diduduki oleh beberapa negara Eropah sampai tahun 60-an.
Sejak tahun 40-an berangsur-angsur merdeka. Namun takdir ini mesti kita terima,
dan dengan itu mesti mengambil hikmah-pelajaran positifnya.
Sudah barang
tentu paradigma dan praktikal hadits diatas (dalam semangat ummah yang satu
dalam negara-negara nasional masing-masing) menjadi pegangan pokok dalam artian
baik antar ummat dalam pergaulan internasionalnya di mellinnium ke-3 ini.
Setiap perbedaan dan sengketa hendaknya dicarikan solusi dalam semangat ko-eksistensi
damai dalam tataran hubungan sosial global. Dalam artian keyakinan agama masing-masing
dihormati. Dan setiap persengketaan yang mungkin timbul diselesaikan dengan
pendekatan dan cara-cara damai, bukan dengan penyelesai secara militer. Apalagi
sebagai ummat beragama Abrahamic
menyadari betul bahwa “manusia yang berperadaban” (manusia khalifah) ini adalah hasil creation
oleh Creator yang mempunyai misi
disamping beribadat kepada-Nya juga memakmurkan kehidupan di Bumi. Kita human being bukanlah dari “manusia”
hasil evolutionic yang walaupun maju
tapi masih bersifat kebinatang-binatangan buas, yaitu serakah, rakus, selfis – mau
menang sendiri, dan arogan.
Pendahuluan
B
|
ulan
ini adalah bulan di mana Allah subhanahu wa
ta’ala muliakan dan Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam serta para sahabatnya mengagungkannya. Sepatutnya juga
kita mengagungkan bulan ini dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih,
baik secara kuantitas dan kualitas. Di dalam syariat Islam telah dijelaskan
kemuliaan-keagungan bulan Muharram. Allah swt
berfirman yang artinya, “Sesungguhnya bilangan bulan pada
sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya “empat bulan haram”. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya
diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu
semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
[QS At-Taubah 9:36]
Empat bulan haram itu adalah bulan Dzul-Qa’idah,
Dzul-Hijjah, Muharram, dan Rajab, sebagaiman sabda Rasulullah saw yang artinya, “Satu tahun itu ada 12 bulan. Di antaranya ada 4 bulan haram, yaitu 3
bulan berturut-turut, Dzul-Qa’idah, Dzul-Hijjah, dan Muharram serta Rajab yang
berada di antara bulan Jumada (Jumadil Akhir) dan Sya’ban.” [HR
Bukhari]
Al
Qodhi Abu Ya’la Rahimahullah
mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena ada dua alasan. Pertama: Karena diharamkan melakukan pembunuhan pada
bulan tersebut sebagaiman hal ini juga merupakan kebiasaan baik yang diyakini
orang jahiliyyah sebelumnya. Kedua: Karena pelanggaran untuk melakukan berbagai
perbuatan haram pada bulan tersebut hukumannya lebih keras dari pada
bulan-bulan lainnya. (lihat Zadul Maysir, Ibnu Jauziy).
Ibnu
Abbas ra menjelaskan tentang firman
Allah saw surat ke-9, surat At-Taubah ayat 36 seperti di atas, “Allah mengkhususkan
4 bulan yang haram dan menegaskan keharamnnya. Allah juga menjadikan dosa pada
bulan tersebut lebih besar – jika hal ini yang dilakukan. Demikian pula pahala
amal saleh pada bulan tersebut juga menjadi lebih besar – jika hal ini yang
dilakukan.
Ketika Haji Wada’ Rasulallah saw bersabda: Dari Abi Bakrah ra bahwa Nabi saw
bersabda: “Setahun ada dua belas bulan, empat darinya adalah
bulan suci. Tiga darinya berturut-turut; Dzul-Qa’idah, Dzul-Hijjah, Muharram
dan Rajab”. [HR Imam
Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad]
Dalam
hadist di atas Nabi saw hanya
menyebut nama empat bulan, dan ini bukan berarti selain dari nama bulan yang
disebut di atas tidak suci, karena bulan Ramadhan tidak disebutkan dalam hadist
diatas. Dan kita semua tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan
kesucian, ada Lailatul Qadar (malam kemuliaan), juga dinamakan dengan bulan
rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka.
Ibnu
Rajab al-Hambali (736-795H) mengatakan, Muharram disebut dengan Syahrullah (bulan Allah) karena memiliki dua
hikmah. Pertama: Untuk menunjukkan keutamaan
dan kemuliaan bulan Muharram. Kedua: Untuk
menunjukkan otoritas Allah swt dalam
mensucikankan dan memuliakan bulan Muharram.
Sejarah penanggalan
Hijriyah
Zaman ketika pra-Islam yang bermula di tanah
Hejaz, Jazirah Arabia, untuk menyebut sesuatu yang bersifat kejadian misalnya
tanggal kelahiran atau suatu peristiwa atau perjanjian hutang piutang hanya
menyebutkan hari dan bulannya saja. Kalau juga perlu tahunnya, tidak disebut
dengan angka sebagaimana lazimnya kita kenal sekarang. Sebagai contoh yang
telah kita kenal dengan baik yaitu kelahiran Muhammad saw, 9 Rabiul Awwal, tahun Gajah. [1]
Memang
sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad saw telah menggunakan bulan-bulan dalam Kalender Sistim Lunar (Qomariah).
Yaitu berdasarkan hitungan peredaran bulan terhadap bumi. Hanya saja mereka
tidak menetapkan ini “tahun berapa”, tetapi “tahun apa”, seperti halnya kelahiran
Rasulullah saw pada Tahun Gajah
(“tahun apa”).
Dengan kebiasaan tidak menyebut
tahun berapa (tapi sebagai optional
“tahun apa”, kalau perlu) sampai kemudiannya di zaman Khalifah Ke-2 pada tahun 682
M, Umar bin Khattab ra yang saat itu menjadi khalifah
melihat sebuah masalah. Negeri Islam yang semakin besar wilayah kekuasaannya
menimbulkan berbagai persoalan administrasi pemerintahan. Surat menyurat antar Gubernur
(Penguasa Daerah) dengan Khalifah (Penguasa Pusat) ternyata belum rapi karena
tidak adanya acuan penanggalan. Masing-masing daerah menandai urusan muamalah
mereka dengan sistem kalender lokal yang seringkali berbeda antara satu tempat
dengan lainnya. Suatu waktu Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu Gubernur pada
zaman Khalifah Umar bin Khatab ra menulis
surat kepada Amirul Mukminin (Khalifah Umar ra) yang isinya menanyakan surat-surat dari Khalifah
yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga hal ini hanya membuat kebingungan.
Untuk mengatasi masalah itu, maka Khalifah Umar memanggil para sahabat
dan dewan penasehat untuk menentukan “satu sistem penanggalan”
yang akan diberlakukan secara menyeluruh di semua wilayah kekuasaan Islam.
Akhirnya, pada tahun 638 M (17 H), Khalifah Umar bin Khatab ra menetapkan awal patokan penanggalan
Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Madinah. Sedangkan nama-nama bulan dan bilangan bulannya sebanyak 12 dalam Kalender
Hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan dan bilangan bulannya yang telah ada dan berlaku pada masa
itu. [2] Begitu pula nama-nama hari dan bilangan harinya sebanyak 7 hari. [3] Tanggal 1 Muharram
Tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M. Tanggal ini bukan
berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad saw, karena peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad terjadi bulan Rabiul Awwal, bulan ke-3, sedangkan permulaan tahun atau bulan ke-1-nya adalah Muharram. Tepatnya hijrah Rasul saw sampai di (daerah) Yatsrib (Madinah) 8 Rabiul Awwal tahun 41 dari Tahun
Gajah atau Tahun 13 tahun dari nubuwah (tahun kerasulan), bertepatan dengan tanggal
23 bulan September tahun 622 M. Jadi Penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriah dilakukan 6 tahun setelah
wafatnya Nabi Muhammad saw.
Hikmah Penentuan Tahun
Diambil Dari Saat Hijrah Rasul
Karakteristik bulan Muharram ini menguatkan kembali semangat “hijrah ummat Islam” dari Makkah ke Yatrib
(Madinah). Setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya
memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih
baik. Besok harus lebih baik dari hari ini. Hari ini harus lebih baik dari hari
kemarin. Dalam hal ini kita ini hanya terikat oleh tiga masa. Masa lalu, masa
kini, dan masa depan.
Tahun
Hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Sistem penanggalan Islam itu tidak
mengambil nama ‘Tahun Muhammad’ atau ‘Tahun Umar’. Artinya, tidak mengandung
unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem
penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau
Messiah (Ibrani), dalam tahun penanggalannya disebut Masehi, disingkat dengan
huruf M yang diletakkan dibelakang tahun berapanya.
Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah)
merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar ra.
Seandainya ia berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan
itu dengan Tahun Umar sangatlah memungkinkan dan mudah baginya untuk melakukan itu.
Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai
pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu. Ia malah menjadikan penanggalan itu
sebagai zaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna
spiritual dan nilai historis yang amat tinggi nilainya bagi agama dan umat
Islam.
Selain
Umar ra, orang yang berjasa dalam
penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib ra. Beliaulah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam
dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan
Makkah menuju Yatsrib (Madinah).
Dalam sejarah Hijrah Nabi saw dari Makkah ke Madinah terlihat
jalinan ukhuwah kaum Anshar dan Muhajirin yang melahirkan integrasi umat Islam
yang sangat kokoh. Kaum Muhajirin (Pendatang dari Makkah) dan Anshar (Penduduk
Asli Madinah) membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya, kuat
dan disegani.
Dari
situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh
umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari, tahun demi tahun, abad
demi abad, bahkan millennium demi millennium, biasanya (dan mestinya)
memunculkan harapan baru menuju keadaan yang lebih baik lagi. Islam
mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari
sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik
dari hari ke hari. Hadits Rasulullah saw yang sangat populer menyatakan, ‘‘Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang
beruntung”. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika
hari ini lebih buruk dari kemarin, adalah orang celaka.”
Bersesuain
dengan hadits ini tepat sekali awal (dan penamaan kemudiannya diambil) dari tahun
hijrahnya kaum muslimin dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Karena pengembangan
Islam tidak memungkinkan jika tidak hijrah ke wilayah baru dan para pemimpin
Kabilah dan anggotanya dari semua golongan bersimpati pula kepada Muhammad saw. Rasullullah saw dan Abu Bakar ra dan kemudiannya di susul oleh Ali ra adalah terakhir yang hijrah ke Yatsrib (kemudian
bernama Madinah). Sebelumnya telah berangsur-angsur lebih dulu para pengikut
Rasul saw berhijrah dan diterima oleh penduduk setempat.
Dengan karakter dan budaya Makkah yang represif
(penolakan total atas ajaran Islam tanpa kompromi atau toleransi) dan dihadapi pula dengan
penentangan melalui kekerasan yang dilakukan Petinggi Para Suku Kabilah bersama
anggota Kabilahnya masing-masing di Makkah. Hari keberangkatan Rasul saw bersama Abu Bakar ra adalah hari-H pembunuhannya yang tidak berhasil. Dan ketika itu belum
ada perintah untuk mempertahankan diri melalui kontra (melawan dengan)
kekerasan (perang).
Hijrah Dan Penggantian Nama Kota
Setelah Beliau saw bersama Abu Bakar ra berada di Quba’ pinggiran Yatsrib selama empat hari tinggal disana dan
mendirikan Masjid Quba’. Setelah selesai melaksanakan ibadah Jum’at berangkat
menuju Yatsrib. Sesampai di Yatsrib pada hari yang sama namanya diganti dengan
Madinatur Rasul saw, yang kemudiannya disingkat dengan nama Madinah saja.
Salah satu langkah menarik yang dilakukan
Nabi Muhammad saw di Madinah adalah
mengganti nama tersebut menjadi Madinah yang artinya kota. Tindakan ini bukan
suatu kebetulan. Dibaliknya terkandung makna yang luas dan mendalam dan
kontras terhadap kehidupan “politik jahiliyah” sebelumnya ketika berada di Makkah.
Perkataan
Arab “Madinah” secara harfiah berarti kota. Pengertian ini tidak jauh berbeda
dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya yang dapat ditelusuri kepada tiga
suku akar katanya yaitu “d-y-n” (dal-ya-nun)
dengan makna dasar “patuh”, sebagaimana dinyatakan dalam tashrif “dana-yadinu”. Dari
kata ini pula kata “din” yang
berarti “agama” berasal. Suatu kata yang yang mengacu kepada ide tentang
kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut
“agama” itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu
yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup.
Penggunaan
kata “Madinah” oleh Nabi Muhammad saw
untuk menukar nama kota hijrah beliau itu mengisyaratkan suatu deklarasi atau
proklamasi bahwa di tempat baru itu hendak diwujudkan suatu masyarakat teratur
(atau berperaturan) sebagaimana mestinya suatu masyarakat. Dengan demikian konsep dari kata “Madinah” adalah pola kehidupan sosial
yang sopan yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh
kepada peraturan atau hukum.
Karena
itu perkataan Arab untuk peradaban adalah “madaniyah” yang memiliki dasar
pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-kata maupun
bahasa lndo-Eropa seperti civic, polis dan politiae (juga ”polisi”). Dalam konteks Jazirah Arabia, konsep
peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat
tampak hadir (hadharah) di tempat
itu.
Dengan
demikian masih dalam istilah Arab, tsaqafah
berarti “kebudayaan”, dan hadharah
berarti “peradaban” sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah adalah badawah
yang mempunyai makna “hidup berpindah pindah” (nomadism) dan makna kebahasaan “(tingkat) permulaan” (bidayah atau primitif). Karena itu,
“orang kota” disebut ahl al-hadhar atau
hadhari. Dan “orang kampung” disebut ahl al-baddwah atau badawi atau badwi
(Badui). Kaum “Badui” juga sering disebut al-A’rab
yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama.
Dalam
Al-Qur’an mereka yang disebut al-A’rab
itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan
mematuhi aturan. Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang
ketaatannya kepada Nabi Muhammad saw
hanya sampai batas kepatuhan lahiriyah tanpa kedalaman iman. Dalam Al-Qur’an
terbaca firman yang memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk mengingatkan bahwa mereka (Arab Badui) menyatakan ia
telah beriman, padahal itu baru “berislam” (secara harfiah baru tunduk, tapi
belum beriman) karena iman belum masuk ke dalam hati.
Penutup
Panduan Amalan Di Bulan Muharram. Bulan
Muharram adalah sebagai Tahun Baru ummat Islam. Berangkat dari bulan itu
hendaknya kaum Muslimin, mestinya berfikir, paham, makna dari bulan Muharram
sebagai Tahun Baru-nya. Kemudian bertindak mulai awal tahun ini melakukan
perubahan secara fundamental atau peningkatan secara fundamental mengisi
bulan-bulan pada tahun ini secara signifikan. Hendaknya di Tahun Baru ini
menyambut kehadirannya dengan antusiasme yang tinggi ditandai dengan
memuliakannya dengan mengisi dengan amal-amalan shalih yang diridhainya yaitu
membangun zaman dengan adil, jujur dan bertanggung jawab bagi kemashlahatan
hidup bersama dengan manusia-manusia di muka bumi ini.
Berikut adalah beberapa amalan sunnah di bulan Muharram yaitu memperbanyak puasa selama bulan Muharram. Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah
puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” [HR Muslim]
Dari Ibn Abbas radhiyallahu
‘anhuma, beliau mengatakan: “Saya
tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam memilih satu hari
untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa
hari Asyūra’, dan puasa bulan Ramadhan.” [HR Al Bukhari dan
Muslim]
Puasa Asyūra’ (puasa tanggal 10 Muharram). Dari Abu
Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,
beliau mengatakan: Dulu hari Asyūra’ dijadikan
orang Yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Puasalah kalian.” [HR Al- Bukhari]
Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu
‘anhu, beliau mengatakan: Nabi shallallahu
‘alayhi wasallam ditanya tentang
puasa Asyūra’, kemudian beliau
menjawab: “Puasa Asyūra’
menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
beliau mengatakan: Ketika Nabi shallallahu
‘alayhi wasallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa Asyūra’. Mereka mengatakan: Ini adalah
hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada
mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah.” [HR Al-Bukhari]
Puasa Asyūra’ merupakan
kewajiban puasa pertama dalam Islam, sebelum Ramadhan. Dari Rubayyi’ binti
Mu’awwidz radhiallahu ‘anha, beliau
mengatakan: Suatu ketika, di pagi hari Asyūra’,
Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam
mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan
pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah
makan maka hendaknya dia puasa sampai Maghrib. Dan siapa yang sudah puasa,
hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu
kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka
mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan
mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka.” [HR Al-
Bukhari dan Muslim]
Setelah Allah wajibkan puasa Ramadhan, puasa Asyūra’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radhiyallahu ‘anha mengatakan: “Dulu hari Asyūra’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy
di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam tiba di
Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyūra’ dan memerintahkan sahabat
untuk berpuasa. Setelah Allah mewajibkan puasa Ramadhan, beliau tinggalkan
(sebagai puasa wajib, kemudian menjadi sunnah) hari Asyūra’. Siapa yang
ingin puasa Asyūra’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyūra’
boleh tidak puasa (maksudnya menjadi puasa sunnah).” [HR Al-Bukhari dan
Muslim]
Puasa Tasu’a
(puasa tanggal 9 Muharram). Dari Ibn Abbas radhiyallahu
‘anhuma, beliau menceritakan: Ketika Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam melaksanakan puasa Asyūra’ dan
memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: ‘Ya
Rasulullah, sesungguhnya hari Asyūra’
adalah hari yang diagungkan orang Yahudi dan Nashrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal
sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallamsudah diwafatkan.” (HR Al-Bukhari)
Tingkatan Puasa Asyūra’. Ibnul
Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyūra’
ada tiga tingkatan. Tingkatan Pertama: Tingkatan paling sempurna, puasa tiga
hari. Sehari sebelum Asyūra’, hari Asyūra’, dan sehari setelahnya. Tingkatan
Kedua: Puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadits. Tingkatan
Ketiga: Puasa tanggal 10 Muharram saja. [Zadul Ma’ad, 2/72]. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Peristiwa besar, yaitu
pasukan Gajah dibawah pimpinan Rajanya Abrahah dari Yaman, yang terletak di
Jazirah Arab bagian selatan yang akan menghancurkan Ka’bah di Makkah. Terambil
dari peristiwa yang sangat mencekam dan ketakutan penduduk Makkah atas serangan
Pasukan Gajah ini.
[2] Seperti: Bulan Ke-1,
Muharram; Bulan Ke-2, Safar; Bulan Ke-3, Rabiul Awwal; Bulan Ke-4, Rabiul
Akhir, Bulan Ke-5, Jumadil Awwal; Bulan Ke-6, Jumadil Akhir; Bulan Ke-7, Rajab;
Bulan Ke-8, Sya’ban, Bulan Ke-9; Ramadhan; Bulan Ke-10, Syawwal; Bulan Ke-11,
Dzul-Qa’idah; Bulan Ke-12, Dzul-Hijjah.
[3] Yaitu, Al-Ahad (Minggu); Al-Itsnayn (Senin); Ats-Tsalaatsa' (Selasa); Al-Arbaa-a (Rabu);
Al-Khamsah (Kamis); Al-Jumu'ah
(Jumat); As-Sabt (Sabtu).
Bahan Bacaan:
Sirah Nabawiyyah, Syaikh
Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Tafsir Al-Azhar Juz XXX, Prof.
Dr. Hamka, PT Pustaka Panjimas, Jakarta 1982.
http://www.ahmadzain.com/read/ilmu/34/menyambut-bulan-muharam/
http://www.al-habib.info/kalender-islam/sejarah.htm
https://istiqamaharun.wordpress.com/2011/04/29/pergantian-nama-dari-yatsrib-ke-madinah/□□□