Thursday, June 26, 2014

Hikmah & Manfaat Puasa Ramadhan





HIKMAH DAN MANFAAT
PUASA RAMADHAN
Oleh: A. Faisal Marzuki.



Yā ayyuhal ladzīna āmanu kutiba ‘alaykumush shiyāmu kamā kutiba ‘alal ladzīna min qablikum la’allakum tattaqūn. - Artinya: “Wahai orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa, sebagaimana diwajibkan pada umat umat sebelummu, agar kamu menjadi orang yang bertaqwa.” [QS Al-Baqarah 2:183]


B
ulan Ramadhan sudah diambang pintu. Bulan Ramadhan dikenal juga dengan ‘Saum’, karena selama bulan itu ummat Islam melakukan salah satu dari Rukun Islam yang lima. Rukun mana disebut dalam bahasa Inggris: ‘The Five Pillars of Islam’ atau dalam bahasa Arabnya disebut sebagai  Ārkān al-Islām (Rukun atau Tiang Islam) atau Ārkān al-Dīn (Rukun atau Tiang Agama) yang keempat. Puasa (Saum) yaitu “Fasting and self-control during the blessed month of Ramadhan”- Puasa sebagai (latihan) kontrol (pengendalian) diri selama bulan Puasa yang penuh berkah. Dengan melakukan Puasa umat muslim berarti telah menegakkan salah satu tiang (pilar) keber-Islam-annya seperti yang dimaksud dalam Arkān al-Islām atau Arkān al-Dīn. (Hadits Jibril).

Puasa (Saum) yang artinya menahan diri dari tidak makan dan tidak minum atau hal-hal lain yang dapat membatalkan dan merusak puasa dari waktu sebelum fajar (imsak) sampai waktu maghrib tiba, dengan niat karena Allah Subhāna Wa Ta’ālā. Dilakukan pada bulan Ramadhan. Hukumnya adalah wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam (Muslim dan Muslimah) sebagaimana firman-Nya:

Yā ayyuhal ladzīna āmanu kutiba ‘alaykumush shiyāmu kamā kutiba ‘alal ladzīna min qablikum la’allakum tattaqūn.

Artinya:

“Wahai orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa, sebagaimana diwajibkan pada umat umat sebelummu, agar kamu menjadi orang yang bertaqwa.” (QS Al-Baqarah 2: 183)


APA ARTI “TAQWA” atau “BERTAQWA”

Apa arti agar kamu menjadi orang yang “bertaqwa” pada umumnya, khususnya dengan melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini?

Taqwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara. “Memelihara diri dalam menjalani hidup sesuai petunjuk (tuntunan) Allah.” Adapun dari asal bahasa yang dipahami oleh Arab Quraish taqwa lebih dekat dengan kata waqa. Sedang kata waqa bermakna: Melindungi sesuatu. Maksud kata ‘melindungi sesuatu’ itu adalah: Memelihara dan melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan. Dengan itu kata waqa ini adalah taqwa yang bisa di artikan berusaha memelihara diri dengan mengikuti ketentuan (peraturan) Allah, dan melindungi diri dari dosa larangan-Nya. Sebagaimana halnya mengikuti petunjuk atau ‘manual operating’ dari booklet yang dilampirkan di kotak karton dari mesin atau alat yang dibeli. Dengan itu kita bisa secara baik dan benar menggunakan mesin atau alat itu.

Dalam kehidupan manusia artinya adalah: Berhati hati dalam menjalani hidup, agar sesuai petunjuk dan aturan dari-Nya sebagaimana layaknya mengemudi kendaraan. Yaitu mengikuti aturan lalu lintas di jalan raya, baca: (klik)  Rambu Rambu Ramadhan. Kalau tidak maka bukan hanya akan terjadi kekacau balauan lalu lintas tetapi lebih dari itu ‘merusak’ segala apa saja yang dilanggar oleh kendaraan yang dikemudikannya itu.

Demikianlah makna kata taqwa. Taqwa tidak cukup diartikan dengan ‘takut’ saja, sebagaimana sering orang menyebutkannya dalam kesempatan dalam khutbah Jum’at. Adapun arti praksis dari kata taqwa adalah: (1). Melaksanakan segala perintah-Nya;  (2). Menjauhkan diri dari segala yang dilarang-Nya; (3). Ridho (menerima dan ikhlas) dengan hukum-hukum dan ketentuan Allah. Dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, berarti kita (dan orang lainpun) akan selamat dan bahagia karena sampai ketujuan yang dimaksud.

Demikianlah halnya bagi Muslimin yang melaksanakan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan akan mendapatkan ‘manfaat’ dari bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla seperti yang dimaksudkan dengan kata ‘taqwa’ yang diuraikan seperti diatas.


APA HIKMAH DIBALIK PUASA RAMADHAN ITU?

Ajaran Islam tidak pernah mensyariatkan sesuatu kecuali pasti ada hikmah (dan manfaatnya) di belakangnya, baik itu berbentuk perintah (do it, untuk dilakukan) ataupun larangan (don’t do it, untuk tidak dilakukan). Begitu juga halnya dengan puasa Ramadhan yang akan kita laksanakan. Berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta’ala dan hadits Nabi Shalallāhu ‘Alaihi Wasallām mengandung banyak sekali hikmahnya, di antaranya:

Pertama, Puasa Ramadhan sarana untuk menyiapkan manusia menjadi orang yang bertakwa dalam arti yang sesungguhnya, sebagaimana dimaksudkan Firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah yang artinya:

Wahai orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa, sebagaimana diwajibkan pada umat umat sebelummu, agar kamu menjadi orang yang bertaqwa.” (QS Al-Baqarah 2:183)


Menjadi orang yang bertaqwa disini yaitu,  mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya berarti kita (dan orang lainpun) akan selamat dan bahagia karena sampai ketujuan yang dimaksud.

Kedua, Mensucikan jiwa dengan menaati perintah Allah Subhāna Wa Ta’ālā dan meninggalkan larangan-Nya, serta melatih jiwa untuk kesempurnaan dengan mengendalikan diri dari kejahatan dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak terpuji semata-mata karena mengharapkan keridhaan Allah Subhāna Wa Ta’ālā.

Rasulullah Shalallāhu ‘Alaihi Wasallām bersabda yang artinya: “Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wanginya misk (kasturi), ia meninggalkan makan, minum dan nafsu hanya karena Aku. Setiap amalan anak cucu Adam adalah untuknya sendiri, kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah untuk-Ku dan Aku akan memberikan ganjaran (pahala)nya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Ketiga: Memperoleh kebahagian berganda sesuai sabda Nabi Shalallāhu ‘Alaihi Wasallām yang artinya: “Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan yang menyenangkan, yaitu ketika berbuka puasa, ia bahagia dengan buka puasanya, dan ketika berjumpa dengan Tuhan, ia bahagia karena (pahala) puasanya.” (HR Bukahri dan Muslim dari Abu Hurairah)

Keempat, Menguatkan kesabaran. Puasa adalah satu cara yang paling efektif untuk itu, sehingga Rasulullah Shalallāhu ‘Alaihi Wasallām sendiri menamakan bulan Ramadhan dengan bulan kesabaran seperti tersebut dalam sabdanya yang artinya: “Berpuasa pada bulan kesabaran dan tiga hari dari setiap bulan menghilangkan kegundahan di dalam dada.” (HR Al Bazzar dari Ali dan Ibnu Abbas)

Kelima, Menjadi perisai dari api neraka, sesuai sabda Rasulullah Shalallāhu ‘Alaihi Wasallām yang artinya: “Puasa adalah perisai dari api neraka seperti perisai dalam peperangan” (HR Ahmad dll dari Usman bin Abul’Ash).

Keenam, Cara terbaik untuk mengendalikan gejolak hawa nafsu seksualitas, sesuai sabda Rasulullah Shalallāhu ‘Alaihi Wasallām yang artinya: “Wahai para pemuda, siapa di antara kamu yang telah memiliki ba’ah (nafkah nikah) maka hendaklah segera menikah, karena nikah dapat menjaga mata dan memelihara nama baik. Dan siapa-siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)

Ketujuh, Untuk mendapat ampunan dosa, sabda Nabi Shalallāhu ‘Alaihi Wasallām : yang artinya “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan maka akan diampunkan dosa-dosanya yang terdahulu... dan barang siapa yang menegakkan Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan maka akan diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Kedelapan, Menumbuhkan rasa cinta sesama (kemanusiaan) dan sosial yang tinggi, sehingga Nabi Shalallāhu ‘Alaihi Wasallām menyebutnya sebagai bulan tolong menolong. Seperti dalam riwayat Ibnu Khuzaimah yang artinya: “Nabi menyebutkan bulan Ramadhan sebagai bulan tolong menolong”. (Hadits Shahih dari Salman Al-Farisi).

Dalam hadis lain Nabi Shalallāhu ‘Alaihi Wasallām bersabda yang artinya: “Siapa-siapa yang memberikan makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR Ahmad, Turmizi dll)


Kesembilan, Bulan puasa adalah bulan di turunkannya Al-Qur’an, sebagaimana sebuah buku ‘manual operating’ kehidupan manusia sesama makhluk secara horizontal, dan dengan Khaliq yang menciptanya secara vertical. Pada bulan ini Al-Qur’an sering dibaca. Bahkan dikhatamkan 30 juz selama bulan Ramadhan. Baru membacanya saja telah mendapat pahala yang berlipat ganda (apalagi menghafalnya, mentadaburinya, dan mengamalkan ajarannya) sebagaimana Rasulullah Shalallāhu ‘Alaihi Wasallām bersabda yang artinya: “Barang siapa yang membaca satu huruf dari KitabulLah (Al-Qur’an) maka baginya satu kebaikan, dan kebaikan itu akan dilipatkan sepuluh kali pahala. Tidak aku katakana bahwa ‘Alif Lam Mim’ itu satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, Mim satu huruf.” [HR At-Tirmidzi]

Kesepuluh, Bulan puasa adalah bulan shalat. Dimana pada bulan itu dikerjakan pula shalat Tarawih dan Witir, bahkan dikerjakan pula shalat Qiyamul Lail. Makna praksis dari shalat itu adalah mencegah berbuat kejahatan dan selalu mengingat Allah (dekat dengan-Nya) sebagaimana firman Allah Subhana wa Ta’ala menyebutkan yang artinya: “…Laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (dalam keutamaanya).” (QS Al-‘Ankabūt 29:45)

Dengan mengetahui gambaran manfaat dan hikmah puasa Ramadhan ini, tentu hendaknya kita akan lebih khusyuk dan tawadhu’ dalam melaksanakan ibadah puasa dalam bulan Ramadhan ini. Seandainya tidak diwajibkan, kita pun akan mengajukan permohonan do’a agar Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkannya ke atas kita, karena pasti dan sungguh tergiur atas kemanfaatannya. Lagi pula hati kita telah benar-benar terpaut kepada-Nya, Dia Yang Mahabesar lagi Mahamulia. Janji Allah Mahabenar.


PENUTUP

Semoga bermanfaatlah hendaknya uraian tulisan ini bagi kita umat Muslimin terutama dalam menghadapi abad ke-21 yang serba kompleks ini. Yang menjadi ‘krusial’ dalam melaksanakan ajaran Islam (sekarang ini) dalam kehidupan manusia yaitu ada saat-saatnya kebenaran dan kebathilan berbedanya seperti sebatas tipis rambut dibelah tujuh. Umat bingung, mana yang benar yang akan dipilih itu. Untuk itu perlu kejelian ‘ilmu’ iman dan keteguhan ‘iman’ hati dan cara pandang yang ‘kaffah’ (tidak setengah-setengah, diambil yang enak menurut hawanafsu manusia saja, dan pandangan Islam sebagai ajaran 'way of life' - dunia <-> akhirat.

Tapi yang sangat disayangkan ada sebagian yang tergolong ‘cukup tahu masalah agama Islam’ yang semestinya membimbing ummat, malah berada di ‘jalur tangan kiri’. Padahal kita tahu ‘jalur tangan kanan’ itu adalah lebih baik. Oleh karena bulan Ramadhan adalah Bulan ‘barokah’ (the blessing month), maka yang berpandangan dan memilih yang ‘keliru’ itu di tunjuki-Nya jalan yang lurus jualah hendaknya. Sebelum ‘ketuk palu Allah’ terjadi sebagaimana firman-Nya yanga artinya:

Kami turunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk: menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS An-Nahl 16:89)

Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS Āli ‘Imrān 3:138)

Allah menganugrahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” [QS Al-Baqarah 2:269]

Dia yang mengadakan pendengaran, penglihatan dan hati untuk kamu”. [QS Al-Mu’minūn 23:78]

Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki HATI, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki MATA  (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai TELINGA (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” [QS Al-A’rāf 7:179]

Mari kita tutup uraian ini dengan berdo'a:

Rabbanā lā tuzigh qulūbanna ba'da idz-hadaitanna wahab lanā mil ladunka rahmatan, innaka antal wahhāb.

Artinya:

Ya Tuhan kami! Jangan Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami. Karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).

Teriring dari penulis permohonan maaf lahir dan bathin kepada sidang pembaca blog ini kalau-kalau ada terselip dari kata hati penulis yang maksudnya baik tapi terasa tidak pada tempatnya (menyinggung). Kalau itu ada adalah kesalahan penulis sendiri. Kalau itu benar datangnya dari Dia Yang Mahakasih lagi Mahasayang serta Mahapengampun bagi hamba-Nya yang hina dina ini.

Selamat Berpuasa!

Semoga amalan-amalan yang kita kerjakan selama bulan Ramadhan ini diterima-Nya, Āmīn Allāhumma Āmīn. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. Gaithersburg, MD, USA 06/26/2014. □ AFM


Referensi:
Dari berbagai sumber.
Arti dalam menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an berpedoman kepada buku ALFATIH, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka ALFATIH. □□

Wednesday, June 11, 2014

Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur'an (VII)






TATANAN MASYARAKAT
DALAM AL-QUR'AN (VII)
Belajar Dari Adanya Perbedaan Pendapat
Oleh: A. Faisal Marzuki


PERBEDAAN PENDAPAT

P
erbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan. Suka tidak suka perbedaan ini selalu hadir. Yang jadi masalah adalah bagaimana cara kita menyikapinya. Apakah membawa perpecahan. Atau justru membawa kemajuan. Kemajuan yang signifikan yang luar biasa, karena disana ada hikmahnya dari gerak dinamis dalam bersosial kemasyarakatan dalam berbangsa.

Nah, dengan memahami ayat 93 dari Surah An-Nahl sebagai gambaran indikatornya. Tahulah kita sekarang bahwa Al-Qur’an dengan segala isi dalam bentuk ayat-ayat inilah yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla yang akan membimbing kehidupan kita ke jalan keselamatan. Dalam bahasan sekarang ini adalah kehidupan dalam bersosial kemasyarakat.

Redaksi gambaran ayatnya sebagai berikut, “wa law syā-alLāhu laja’alakum ummataw wāhidatan ● walākiy yudhillu mayyasyā-u ● wa yahdī may yasyā-u ● wa latus-alunna ‘ammā kuntum ta’malūna”. Artinya: Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), ● tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki ●dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. ●Tetapi kamu pasti akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. [QS An-Nahl 16:93]


Ada sebuah pepatah lama menyatakan: “Rambut sama hitam, tetapi pendapat berlainan". Artinya dengan itu cikal-bakal adanya perbedaan pendapat selanjutnya ditulis 'kebebasan berfikir' telah ada. Tentunya bukan bebas yang semau-maunya, tapi bertujuan mencari yang kebih baik dari pemikiran-pemikiran yang ada.

Hal tersebut sekarang malah menjadi barang biasa pada gelombang ke-3 sejarah Indonesia (orde reformasi). Tidak demikian sebelumnya pada gelombang ke-1 (diakhir orde lama), gelombang ke-2 (selama orde baru). Orde reformasi siapa saja bebas berbicara semuanya, kalau mau. Apalagi masyarakat Indonesia dan keturunannya yang tinggal di Amerika Serikat ini, menikmati betul. Hidup kesehariannya seperti itu. Demikianlah ciri-ciri manusia di dunia moderen ini. Konon demikianlah 'takdir' manusia hidup di bumi yang fana (sementara) ini.

Yang menjadi persoalan disini dari anak, cucu, cicit dan cicit-cicit seterusnya dari keturunan Adam as - kita ini adalah 'sebab' dari berlainan pendapat dalam alam 'kebebasan berfikir' ini membawa 'akibat' kepada kebaikan atau keburukan? Membangun atau merusak tatanan masyrakat yang sudah susah payah memerjuangkannya selama tiga setengah abad untuk dapat merdeka dan berdaulat di negeri sendiri. Suatu bilangan tahunan yang amat fantastic lamanya bukan main.

Mari lihat dengan seksama melalui kacamata azaz manfaat. Kebaikan, yaitu membangun, untuk kemashalatan bersama. Dengan itu, indah dan kokohlah tatanan masyarakat itu. Sebaliknya keburukan, yaitu terpecah belah yang mungkin menguntungkan yang satu dan merugikan yang lain, bahkan bisa kedua-duanya, merugi. Suatu hal yang catastrophic - malapetaka yang sangat besar. Maka, sia-sialah rencana tatanan masyarakat itu, bagai tanah longsor melorot-lunglai dari pebukitan yang jatuh ke dasar lembah.

Begitulah dilema hidup manusia itu jika tidak jeli dan cerdas dalam menyikapi kebebasan berfikir atau berbeda pendapat kalau tanpa ada melibatkan petunjuk dari ATAS. Perlu diketahui bahwa perkara kebebasan berfikir ini adalah perkara yang sangat besar, dan tidak semata-mata hanya untuk berbangga diri. Hanya kebebasan berfikir saja yang diagung-agungkan, tapi lupa dan hilang ‘akalsehat’ dan ‘akalbudi’ bahwa berfikir itu adalah untuk mencari 'kebenaran' yang menuju ke 'kebaikan'.

Bahwa ada faktor utama lainnya yaitu, Dia (Allah) Yang Mahatahu. Karena Dia melihat dari ATAS, sebagaimana 'GPS' yang menunjukkan jalan sampai ke tujuan yang dimaksud. Allah 'RABB' alam semesta. Allah Pencipta (Master of Mind) dari ummat manusia. Allah Mahatahu apa yang menjadi kebutuhan manusia yang sebenarnya. Boleh jadi apa yang menurut manusia baik, tapi menurut Allah tidak. Sebaliknya boleh jadi apa yang menurut Allah baik, bagi manusia "menyangka dan merasa" tidak. Carilah hikmahnya (dibalik peristiwa yang ada) wahai manusia yang bijak lagi cerdas, karena mengguinakan akal sehatnya.

At lease (setidak-tidaknya atau sementok-mentoknya,) adalah, bagi yang mengikuti petunjuk-Nya, hasilnya akan 'pasti' membawa ke keketinggian martabat dan kejayaan umat manusia itu sendiri. Bagi yang mengingkari nikmat-Nya, 'pasti' akibatnya menuju ke lembah kesengsaraan umat manusia itu sendiri." Sebagaimana firman-Nya, “lahā mā kasabat wa ‘alayhā māk-tasabat” Artinya: Dia mendapat (pahala, kenikmatan) dari kebajikan yang dikerjakannya, dan dia mendapat (siksa, kesengsaraan) dari (kejahatan, keburukan) yang diperbuatnya. [QS Al-Baqarah 2:286]

Artinya di sini adalah yang dituntut dari manusia yang melakukan kebebasan berfikir dalam mengemukakan pendapatnya mesti mempunyai tujuan yang baik dan bijak, kemudian dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Kenapa demikian? Karena hasil atau risikonya berpulang kepada manusia juga. Manusia mendapat kenikmatan dari kebaikan yang dikerjakannya (hasil, benefit). Sebaliknya manusia mendapat kesengsaraan dari keburukan yang dilakukannya (keburukan, risiko).


Pangkal surat An-Nahl ayat 93 dalam firma Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan “wa law syā-allāhu laja’alakum ummataw wāhidatan ● walākiy yudhillu mayyasyā-u ● wa yahdī may yasyā-u. Terjemahannya yang penulis ambil dari Buya Hamka, “Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya dijadikan-Nya kamu (Wahai manusia! Wahai kaum beriman! Menjadi) semuanya ummat yang satu. Tetapi disesatkan-Nya barang siapa yang dikehendaki-Nya, dan diberi-Nya petunjuk barang siapa yang dikehendaki-Nya.”

Sebagai catatan, sebelumnya perlu dipahami dari kata: disesatkan-Nya barang siapa yang dikehendaki-Nya dan diberi-Nya petunjuk barang siapa yang dikehendaki-Nya. Disesatkan-Nya atau diberi-Nya petunjuk sebelum terjadinya, mesti lebih dulu ada usaha (sebagai 'prima causa') dari manusia itu sendiri. Yakni: ada niat, ada kemauan serta ada tekad  dan setelah itu baru dikerjakan. Disertai juga adanya perilaku dan mempunyai pandangan (paradigma) serta tujuan yang jelas. Disamping itu ada dalam rasa hati (dalam do'a) mengharapkan (dan adanya) ridha (blessing) dari Allah Yang Mahakuasa. Dengan itu petunjuk datang instead of (daripada) kesesatan yang datang.

Dapatlah kita mengambil pelajaran disini bahwasanya Allah Ta’ala berkuasa membuat ummat itu menjadi satu. Seperti halnya: Tidak ada berselisih pendapat; Tidak ada pebedaan yang menjurus kepada perpecahan; Tidak ada suatu pertikaian yang menjurus kepada baku hantam yang satu dengan yang lainnya. Tapi itu semua tidak serta-merta (secara instan) untuk mendapatkannya.

Kenapa demikian? Karena di diri manusia dalam berfikir (pada awalnya) dikendalikan oleh adanya rasa melindungi dan mempertahankan “kepentingan diri sendiri atau kelompoknya”. Para ahli psychology menyebutkan adanya unsur "Ego" atau "Aku" dalam diri jiwa manusia. Demikianlah Allah Ta’ala mentakdirkan bahwa fikiran manusia 'dalam keadaan itu' (menjadi) tidak sama dalam Ego masing-masing dari diri manusia.

Dijelaskan oleh firman-Nya bahwa dalam berfikirnya itu ada yang sesat (negatif), yaitu hanya untuk diri atau kelompoknya saja yang difikirkan disatu pihak. Dilain pihak, ada yang mendapat petunjuk (positif), yaitu memikirkan kemashlahatan bersama. Di sini terjadilah ujian yang sangat pelik dan berat dari 'kebebasan berpikir itu'. Baik atau tidaknya hasilnya tergantung dari penggunaan timbangan azaz manfaat. Kalau tidak, maka akan timbul hasil yang tidak diharapkan, yaitu pergesekan dan pertentangan di antara satu sama lainnya demi diri (kelompok). Padahalnya yang diharapkan itu adalah untuk (persatuan) bagi  kemashlahatan (bersama) sebagai manusia 'Sosial' ketimbang manusia 'Ego'.

Dalam diri manusia sebenarnya, disamping ada takdir 'Ego', ada pula takdir 'Sosial', yaitu hidup bermasyarakat. Sebenarnya keselamatan 'Ego' bergantung kepada relasi baik antar sesama 'Ego' lainnya. Oleh karena itu hakekat yang sebenarnya tentang manusia itu pada dasarnya adalah sebagai makhluk sosial, yakni melakukan relasi (hubungan sesama 'Ego') dalam persatuan bagi kemashlahatan bersama sebagaimana maksud firman-Nya dalam surat An-Nahl ayat 93 (seperti diatas itu).

Mencapai kepada ummat yang (menjadi) satu 'yang damai' itu sangat perlu adanya ‘latihan’ (pembelajaran) dari 'takdir Ego' menjadi mampu hidup di dalam 'takdir Sosial'. Perangkat keberhasilannya adalah komunikasi dan relasi dalam semangat lita'ārafū [1] (saling kenal mengenal, saling hormat menghormati, respect each others). Dibarengi pula dengan adanya kemampuan dalam menahan diri (pengendalian 'Ego', sabar, dan toleransi). Demikianlah perjalanan diri manusia dalam bersosial akan selalu diuji, dan di uji lagi, dan seterusnya. Nah, keberhasilan dari pembelajaran (ujian) itu membuat diri dalam bermasyarakat, bernegara, berbangsa, berantar bangsa (menjadi) matang (mature).

Kemudian surat An-Nahl ujung ayat 93 itu dilanjutkan wa latus-alunna ‘ammā kuntum ta’malūna”. Terjemahannya yang penulis ambil dari Buya Hamka, “Dan sesungguhnya kamu (Wahai manusia! Wahai kaum beriman!) akan ditanya atas barang sesuatu yang kamu kerjakan.”

Kamu, Wahai Manusia! Wahai kaum beriman! Apakah engkau laksanakan petunjuk seperti yang Aku berikan pada penggal ayat sebelumnya yaitu barangsiapa yang menuruti petunjuk-Ku berbahagialah engkau, wahai manusia! Jika engkau ingkar dari petunjuk-Ku, sesatlah engkau, wahai manusia!


PILIHAN YANG BIJAK DAN BENAR
DAN CARA-CARANYA BERPEDOMAN
KEPADA PENJELASANNYA SERTA
PETUNJUK-NYA

T
erserah pilihanmu sendiri. Namun yang jelas setiap apa saja yang kamu lakukan itu akan ditanya-Nya. Satupun tidak ada yang luput dari pengawasan-Nya. Ingatlah! Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan nikmat-nikmatnya bagi manusia agar dipergunakan dengan sebaik-baiknya sebagai alat untuk memudahkan mencapai tujuan yang dimaksud sebagai berikut:

Allah beri hati, mata dan telinga bagi manusia. “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki HATI, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki MATA (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (petunjuk-petunjuk atau tanda-tanda dari kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai TELINGA  (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (petunjuk-petunjuk dari ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” [QS Al-A’rāf 7:179].

“Dia yang mengadakan pendengaran, penglihatan dan hati untuk kamu (agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya)”. [QS Al-Mu’minun 23:78].

Telinga sebagai alat bantu untuk mendengar berita mana yang benar, mana yang tidak. Mendengar berita mana yang baik, mana yang tidak; Mata sebagai alat bantu untuk melihat mana yang baik, mana yang tidak. Melihat mana kejadian yang sebenarnya, mana  yang dibuat-buat yang seolah-olah benar. Telinga sebagai alat bantu untuk mendengar berita mana yang baik, mana yang tidak. Mana berita yang benar dan mana yang berita bohong yang dibuat seolah-olah benar. Indra dan kesadaran bathin (akalbudi) inilah yang mesti dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk menyaring dan memilah-milah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang ada disekitar kita.

● Allah lebihkan manusia dari kebanyakan makhluk yang diciptakan-Nya. “Kami lebihkan mereka (manusia) dari kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” [QS AL-Isrā’ 17:70].

Karena itu manusia diberi kemampuan untuk menghadapi dan menangani apa yang menjadi persoalan dalam hidupnya di dunia. Manusia diberi pula kemampuan untuk mengolah keperluan hidupnya yang berguna selama hidup di dunia. Begitulah kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya, Allah telah menyediakan alam bagi keberlangsungan hidup manusia agar dapat hidup layak sebagai manusia khalifah-khalifah di bumi. Diberi pula akalsehat dan akalbatin (hatinurani) yang digunakan untuk memilih yang terbaik dari yang tersedia itu agar hidup adil dan makmur di dunia dan mendapat Surga Adnan kelak melalui beribadah kepada-Nya.

● Allah berikan akal bagi manusia. “Allah menganugrahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang BERAKAL-lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman-Nya)” [QS Al-Baqarah 2:269]

● Allah angkat manusia sebagai khalifah-khalifah (mandataris-mandaris)-Nya. “Dan Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi” [QS Al-An’am 6:165].

Khalifah-khalifah bermakna: Para Mandataris yang diserahi tugas oleh Tuhan Sekalian Alam dalam mengelola kehidupan di bumi bersama manusia-manusia lainnya agar manusia dan alam lestari dan sejahtera (Khalifah sebagai pemakmur bumi). Tentunya para Mandataris ini selaku ‘mandatory” wajib melaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari Pemberi Mandat (yakni Allah swt)

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak (dapat) melaksanakan (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia.” [QS Al-Ahzāb 33:72]


●Allah serahkan langit dan bumi ini untuk manusia manfaatkan. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu (olah, gunakan, manfaatkan) [QS Al-Baqarah 2:29]

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi”. [QS Luqmān 31:20]

Manusia  dapat mempelajari tabiat alam yang selalu tepat dan konstan berulang. Seperti matahari yang selalu terbit dan terbenam pada waktunya. Demikian pula Bumi berputar pada sumbunya. Dengan tabiat alam seperti itu manusia dapat mempelajarinya, mengukurnya dan merumuskannya.

Sebagai salah satu contoh manfaat alam bagi manusia yaitu hubungan interaksi matahari dan bumi dan pengaruhnya bagi manusia, yaitu menghasilkan waktu terang (siang, untuk 'bekerja'), waktu gelap (malam, untuk 'istirahat'). Dengan itu bilangan waktu 24 jam sehari dapat dirumuskan. Peredaran bumi (dari titik awal ke titiknya kembalinya) dalam mengelilingi matahari dapat dihitung. Satu edaran lamanya 1 tahun. Jumlah hari dalam setahun sama yaitu 365 (+1/4) hari.

Pada negeri-negeri yang terletak di dan dekat garis katulistiwa ada 2 musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Pada negeri-negeri yang terletak di sub tropic ada 4 musim, yaitu musim panas (summer), musim rontok (fall, autum), musim dingin (winter, snow, salju), dan musim bunga (spring).

Peristiwa 'alam musim' itu selalu berurutan dan selalu berulang kembali dengan 'pasti'. Demikianlah kekuasaan Allah mempergilirkannya. Dan dengan kebiasaan alam seperti itu maka dapat pula manusia menghitung-tentukan bila mulai bercocok tanam, bila memetik (mengetam) buah (hasilnya) dst, dst. Dengan itu engkau dapat merasakan adanya manfaat dari alam yang sangat banyak untuk kepentinganmu sendiri, wahai manusia!


PEDOMAN DAN TUNTUNAN-NYA

A
llah turunkan Al-Kitab sebagai buku pintar manusia, yaitu Kitab Suci Al-Qur’an Al-Karim sebagaimana yang dijelaskannya secara eksplisit - benar, riil dan nyata dalam bentuk fisik dari wahyu yang ditulis kemudiannya dari para sahabat-sahabat yang hafal Qur’an 30 juz, hafalan mana kemudian dituliskan di media-media tulis ketika itu seperti a.l. tulang, batu, kulit binatang. Semasa khalifah atau yang disebut Amirul mukminin Abu Bakar as dan dilanjutkan  secara lengkap oleh Umar as menjadi tertulis lengkap yang tak tercampur dengan yang lain. Karena antara bacaan hafalan sama dengan yang tertulis. Dipelihara hingga kini dan seterusnya sampai akhir zaman.

Berfirmanlah Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya:  “Kami turunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk ● menjelaskan segala sesuatu ● dan petunjuk ● serta rahmat ● dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. [QS An-Nahl 16:89]

“Inilah (Al-Qur’an) suatu ● keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi ● petunjuk serta ● pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa [QS Āli ‘Imrān 3:138]

Untuk itu Allah utus Nabi Muhammad saw sebagai Rasul Allah yang melaluinya wahyu Allah di turunkan. Rasulullah saw lah yang pertama-tama menjadi pembimbing dan suri tauladan bagi manusia. Hal ini dipertegas oleh Allah Mahapencipta alam semesta dan manusia sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan banyak mengingat Allah.” [QS Al-Ahzāb 33:21]



PENUTUP
DARI KESELURUHAN SERIAL TULISAN
TATANAN MASYARAKAT DALAM AL-QUR’AN

D
emikianlah uraian yang cukup panjang lebar yang disajikan dari tema Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an mulai dari Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an (I) sampai Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an (VII). Semoga bermanfaat jualah bagi kepentingan kita bersama dalam mengelola kebersamaan manusia dalam suatu masyarakat (bangsa dan antar bangsa). Semuanya itu berkat anugrah dan rahmat yang datang dari Master- Master-Master of MindPencipta Alam Semesta dan Manusia.

Bagaimana maha brilliant (cemerlang, indah dan jitunya) firman-firman Allah ‘Azza wa Jalla sebagai petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam ber-hablum minannās (bersosial kemayarakatan) itu bagi kemanfaatan hidup ummat manusia di abad ke-21 ini yang serba kompleks ini.

Petunjuk Al-Qur’an yang benar-benar dipelajari, kemudian dicari dan didapati hikmahnya membuat kita hidup serasa mudah, senyaman dalam kasih sayang-Nya, sesedap menghirup udara pagi yang segar, dan segairah-gairah semangat dalam menggunakan dan memperjuangkannya, karena disitu ada kepastian bersama-Nya untuk mencapai tujuan hidup selamat dan sejahtera bagi seluruh ummat manusia umumnya.

Khususnya ummat muslimin yang benar-benar mempedomani dan menjalankan ajaran-ajaran-Nya baik lahir (material) dan batin (spiritual), baik hidup di Dunia, maupun kelak hidup di Akhirat, insya Allāh. Āmīn, Yā Rabb ul ‘Ālamīn! Semoga bermanfaatlah hendaknya tulisan ini bagi kita semua. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. [Tamat]. □ AFM



Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an
(klik->)   (I)   (II)   (III)   (IV)   (V)   (VI)   (VII)



Catatan dan Catatan Kaki:
Sebagai tambahan dapat pula diikuti dalam blog ini yang bertema (klik ->) Islam & Modernisasi (V) sebagai study banding yang berkaitan dengan tulisan ini, yaitu bahwa Thomas Jefferson's dalam menyusun Deklarasi Kemerdekaan Amerika dari pemerintahan kolonial Kerajaan Inggris terinspirasikan dari ajaran Islam dalam al-Qur'an dalam bukunya Denise A. Spellberg berjudul "Thomas Jefferson's Qur'an". 


[1] Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita'ārafū) satu sama lainnya. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. [QS Al-Hujurāt 49:13]  □□
 
 

Bahan Bacaan:
1. Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an (Di Bawah Naungan Al-Qur'an), Jilid 7, Gema Insani Press, Jakarta, 2003.
2. Prof. Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (HAMKA), Juz 14, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta 1987.
3. ALFATIH, Al-Qur’an Tafsir Perkata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Alfatih.
4. Sirah Nabawiyyah, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, 1997.
5. Islam dan Modernisasi (V). □□□

Blog Archive