Thursday, June 5, 2014

Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur'an (V)






TATANAN MASYARAKAT
DALAM AL-QUR’AN (V)
- Janji Dalam Masyarakat -
Oleh: A. Faisal Marzuki


JANJI JANGAN DIRUSAK

U
ntuk mendapat dukungan kepercayaan, orang berjanji bahwa ia bisa dan mampu melakukannya, maka diberikanlah kepercayaan kepadanya. Dalam pelaksanaannya ada 2 kemungkinan akan terjadi. Pertama: Ia memenuhi janjinya yang dengan itu ia bekerja dengan sungguh-sungguh, karena ia tidak mau atau takut akan melanggar janjinnya yang telah diucapkan. Dengan itu berarti dia orang baik, bekerja baik dan berhasil. Yang Kedua: Ia tidak memenuhi janjinya dengan berbagai alasan. Yang jelas hasil pekerjaan tidak sesuai dengan janjinya. Dengan itu berarti orang yang tidak pantas disebut orang yang amanah.

Telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam bahasa kiasan (metaphor) sbb:  ● wa lā takūnū kāllatī naqadhat ghaz lahā mimba’di quwwatin inkā tsān ● tattakhidzūna aymā nakum dakhalām baynakum an takūna ummatun hiya arbā min ummatin ● innamā yablūkumul lāhu bihī ● wa layubayyinanna lakum yawmal qiyāmati mā kuntum fīhi takhtalifūna. Artinya: Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali. Kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Allah hanya menguji kamu dengan hal itu, ● dan pasti pada hari Kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. [QS An-Nahl 16:92]


MEMBANGUN TATANAN MASYARAKAT

A
da prasyarat agar berhasil dengan baik dalam Membangun Tatanam Masyarakat. Mari kita perhatikan ayat berikut ini. “Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an” yang dimulai dari surat An-Nahl ayat 89: “Kami turunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk ● menjelaskan segala sesuatu ● dan petunjuk ● serta rahmat ● dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. Kemudian dilanjutkan ke ayat 90 penggal pertama yang berisikan 3 perintah Allah: “Sesungguhnya Allah menyuruh (memerintahkan kamu): ● Berlaku adil (adli) dan ● Berbuat ihsan (kebajikan). ● Memberi bantuan kepada kerabat (dzil qurbā, keluarga terdekat).

Dapat diambil pelajaran yang terkandung dari ayat tersebut yang dapat dipaparkan sebagaimana uraian berikut ini.


Adanya tatanan masyarakat dimulai dari menata diri, oleh diri sendiri. Kemudian menata keluarga, oleh anggota keluarga itu sendiri. Selanjutnya menata masyarakat, oleh anggota masyarakat itu sendiri. Sampai ketingkat bangsa, oleh anggota (warga, citizen) bangsa itu sendiri. Sedang tingkat antar bangsa adalah oleh warga dari bangsa-bangsa itu sendiri.

Penataannya bergantung kepada pandangan atau cara pandang diri atau warga itu sendiri yang disebut paradigma. Paradigma itulah sebagai ‘pegangan’ (manhaj, jalan, keyakinan pandangan) agar tatanan atau susunan bangunan (tata-tata, nilai-nilai) yang berupaya membuat bagaimana anggota masyarakat (bangsa, antar bangsa) maju. Yaitu sejahtera, aman, damai dan bahagia lahir (material) dan bathin (spiritual).

Dengan paradigma seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 89 dan dilanjutkan lagi ke ayat berikutnya (ayat 90) seperti disebutkan diatas absolutely membuat masyarakat akan (menjadi) maju, maka mesti ada suatu pedoman yang mengarahkannya. Pedoman mana, didalamnya mesti mengandung nilai-nilai yang menopang kemajuan. Karena itulah, kita jadikan paradigma hidup. Jadi, paradigma inilah menjadi keyakinan yang membimbing dan membawa menuju ke kemajuan itu. Diktum paradigma surat ke-16 ayat 89 dan 90 tersebut yang datang dari Tuhan Pencipta manusia, Tuhan Yang  Mahatahu kebutuhan manusia adalah berupa 3 nilai universal tatanan sosial kemasyarakat yang perlu ditegakkan secara istiqamah (konsekwen dan konsisten) yaitu: 


Paradigma Pertama
 
Berlaku Adil yang bukan hanya dibibir saja tapi lebih dari itu telah menjadi tekad dan janji hidup sebagaimana firman-firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya sebagai berikut:

● Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) yang membawa kebenaran kepadamu (Muhammad, wahai para penganut Dīnul Islam), agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat. [QS An-Nisā’ 4:105]

● Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan (berlaku) adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada kepada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti (mengetahuinya secara sangat detail) apa yang kamu kerjakan. [QS Al-Mā’idah 5:8]

Bagi orang yang berfikiran tajam (punya kesadaran akalbudi) dan perasaan yang peka (hati) maka kata keadilan ini jika ditegakkan akan menjamin kedamaian diantara sesama manusia (siapapun dia), kepercayaan diri (PD) akan terbina secara mantap, timbul saling percaya mempercayai diantara anggota masyarakat (jauh dari rasa curiga mencurigai), anggota masyarakat merasa aman. Dengan itu menjadikan mulus jalan amanah dan tanggung jawab. Dari situ timbullah rasa damai dan kedamaian (tidak ada khawatir dan rasa takut) sesama anggota masyarakat. Ini adalah dasar-dasar dari keadilan yang dapat membangun tatanan masyarakat yang disebutkan Al-Qur’an sebagai landasan pijaknya seperti itu.


Paradigma Kedua

Berlaku Ihsan yang tidak egois (aku yang sempit). Berbuat baiklah kepada sesama manusia. Sesunggahnya berbuat baik kepada yang lain adalah berarti berbuat untuk kebaikan dirinya sendiri juga seperti berikut ini:

Barang siapa yang mengerjakan kebajikan, maka itu (berpulang) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa mengerjakan kejahatan (yang dikiranya kejahatan itu akan menimpa diri orang yang dijahatinya), maka (kejahatan itu) akan menimpa dirinya sendiri; kemudian kepada Tuhan, kamu akan dikembalikan (mempertanggung jawabkan perbuatannya). [QS Al-Jāsiyah 45:15]

Di dalam hadits Rasul Allah saw yang shahih disebutkan:

Al-Ihsānu an ta’budalLāha ka-annaka tarāhu fai(n)lam takun tarāhu fainnahu yarāka.

Artinya:

“Al-Ihsan, ialah bahwa engkau sembah Allah: ● Seakan-akan engkau melihat Allah. ● Maka jika engkau tidak melihat Dia, namun Dia tetap melihat engkau.

Maksud Ihsan itu ialah kepada sesama makhluk, yaitu berbuat lebih tinggi lagi dari Adil (keadilan). Sebagai contoh memberi upah kepada seseorang mengerjakan sesuatu pekerjaan. Kita beri upahnya itu setimpal dengan ‘rate’ upah yang berlaku (atau disepakati). Pembayaran upah yang sesuai dengan rate upah yang disepakati itu adalah sikap yang Adil. Tetapi jika dilebihkan bayarannya (bonus) dari yang semestinya - sehingga hatinya besar dan dia gembira, maka pemberian yang lebih itu dinamai Ihsan. Oleh sebab itu, maka Ihsan adalah latihan (pekerjaan) budi yang lebih tinggi tingkatnya daripada Adil.

Contoh yang lain lagi ialah: Berperkaralah Amirul Mukminin (setara dengan Presiden suatu Negara di abad modern ini), namanya Ali as dengan warganya seorang Yahudi di pengadilan Negara Madinah. Singkat cerita pasalnya adalah topi besi Amirul Mukminin (selanjutnya disingkat dengan sebutan Amir) terjatuh ketika menunggang kudanya, kemudian diambil oleh seorang warganya. Ketika Amir ini meminta itu dikembalikan kepadanya, warga ini menolak (karena ia mengaku miliknya).

Maka berperkaralah Amir ke pengadilan, Amir kalah. Pasalnya adalah saksi yang diajukan Amir adalah anaknya (cenderung pro kepada ayahnya) dan pegawai rumah tangganya (cenderung kepada membela atasannya), dipandang kurang kuat oleh Hakim sidang itu. Maka diputuskanlah oleh Hakim bahwa gugatan Amir tidak dapat diterimanya. Warga yang digugat Amir itu, menang dalam perkara.

Namun kemudiannya terdakwa merasakan sadar akan kebaikan sistim peradilan Islam (tidak pilih kasih, mata pisaunya tajam ke bawah dan tajam pula ke atas). Ia kagum (merasakan dirinya dihormati haknya) atas prosedur penegakkan keadilan hakim ini. Kemudian terdakwa mengaku, bahwa topi besi ini milik Amir, dan meminta maaf. Kemudian rasa keadilan itu menyentuh keimanan (keyakinan agama) terdakwa, dan dia mengucapkan dua kalimat syahadah (memeluk dīnul Islam). Kemudian oleh terdakwa yang memenangkan perkara itu, topi besi itu dikembalikan kepada Amirul Mukmin Ali ra. Akan tetapi Amir menghadiahkannya kepada terdakwa yang menurut keputusan pengadilan tidak bersalah. Perbuatan Amirul Mukminin ini disebut (telah berlaku) Ihsan (kepada warganya yang menang perkara ini).


Paradigma Ketiga

Santun kepada orang yang perlu pertolongan. Memberi kepada keluarga terdekat. Perbuatan ini pun adalah lanjutan daripada Ihsan. Karena kadang-kadang orang yang berasal dari satu ayah dan satu ibu sendiri pun tidak sama nasibnya. Ada yang murah rezekinya, lalu menjadi kaya raya. Ada pula hidupnya yang pas-pasan malah kurang dari itu. Maka orang yang mampu itu dianjurkan berbuat Ihsan kepada keluarganya yang terdekat, sebelum dia memberikan bantuan kepada orang lain.

Berbuat Ihsan seperti itu bukan saja kepada kerabat yang terdekat saja, namun juga yang bukan kerabat seperti Al-Qurthubi menulis dalam Tafsirnya: “Maka sesungguhnya Tuhan Allah suka sekali hamba-Nya berbuat Ihsan sesama makhluk, sampai pun kepada burung yang engkau pelihara dalam sangkarnya, dan kucing di dalam rumah. Jangan sampai mereka itu tidak merasakan Ihsan dari engkau”.


Anti Paradigma

Lawan dari paradigma (3 nilai positif dan membangun tatanan masyarakat), adalah anti paradigma (3 larangan yang merusak tatanan masyarakat) yang kontradikrif dari paradigma. Yaitu melakukan 3 larangan Allah: Dia melarang (melakukan): ● Perbuatan keji (fahsyā-i), ● Kemungkaran (munkari, yang dibenci), dan ● Permusuhan (bagh-yī, aniaya). Uraian panjang lebarnya dapat diikuti pada tulisan Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an Ke-3.

Biasanya dalam hidup ini ada saja antinya (lawannya). Persoalannya adalah bagaimana menghadapi anti ini. Anti paradigma ini harus dihadapi dengan tekad, janji dan pandangan jauh kedepan sebagaimana “ikan yang hidup dilaut yang tidak asin”. Ikan ya ikan, air laut ya air laut. Oleh karena ikan laut hidup di air laut yang asin, tapi ikannya tidak asin, bagaimana? Ikan laut telah ‘imun’ dari air laut yang asin, karena ikan telah ber-Islam (artinya telah berada dan tunduk kepada ketetapan sunatullah, satu takdir kauniyah, [1] alamiyahnya demikian).

Bagaimana dengan manusia dalam menghadapi kesuksesan membangun tatanan kemasyarakatan yang maju dalam artian aman, damai, sejahtera, bahagia ‘pada jasad’ (bersifat material), dan bahagia ‘batin’ (bersifat spiritual). Kedua-dua ada pada diri manusia. Keduanya mesti dipenuhi. Satu terpenuhi yang lain tidak, maka gelisahlah manusia. Dengan tidak ada keseimbangan antara kebutuhan jasad yang bersifat materi dan kebutuhan batin yang bersifat spiritual, maka tidak akan pernah ada kedamaian dan ketenteraman hidup dalam diri manusia baik dalam bermasyarakat, berbangsa dan antar bangsa.

Abad ini adalah abad materialis-nya yang sangat menonjol. Hidup menghandalkan materi saja. Hidupnya seperti itu adalah hidup bagaikan ‘minum air laut’. Hidup yang tidak pernah puas, selalu haus, ‘tidak pernah kenyang’. Dalam keadaan ini, manusia selalu merasa dalam kekurangan (tidak cukup-cukupnya). Akibatnya adalah manusia menjadi manusia yang rakus, rakus serakus-rakusnya. Dengan itu menjadikan manusia memangsa (menjajah, menipu, mengkorupsi, merampok, ‘menggunting dalam lipatan’) manusia lainnya. Manusia berkuasa atas manusia yang lain (tingkat antar manusia).

Begitu pula tingkat masyarakat. Masyarakat yang satu memangsa masyarakat yang lain. Bagitu pula tingkat bangsa. Bangsa yang satu memangsa bangsa yang lain. Tegasnya bangsa yang maju memangsa bangsa yang lemah. Bangsa yang maju dan kuat tapi sumber alamnya sedikit, memangsa bangsa yang tidak maju yang kaya alamnya jadi bulan-bulan bangsa maju dan kuat itu. Singkatnya, manusia yang tidak beriman (atau beriman yang tidak sesungguhnya) sangat berpotensi kepada penyalah gunaan kekuasaan. Ringkasnya dalam bahasa asing katanya “Power tend to corrupt- kekuasaan cenderung kepada penyalah gunaan kekuasaannya.


Kesimpulan

Demikianlah sejarah abad modern telah mencatatnya. Penulis telah mempelajarinya. [2] Demikianlah dimulai pada abad tengah (middle ages, abad 12 s/d 15, seterusnya sampai abad ke-20. abad ke-21?) di Eropah yang katanya menyebutkan abad kebangkitannya (age of enlightenment). Yaitu suatu abad yang melepaskan nilai-nilai keagamaan (termasuk kitab sucinya) menjadi abad yang berpandangan materialisma keduniaan (secularism, hubuddunya). Pandangan hidupnya berdasarkan filsafat materialis yang disusun oleh pemikiran manusia.

Berikutnya apa yang terjadi adalah menjajah Indonesia selama 31/2 abad dan dunia Timur lainnya (Asia dan Afrika) dalam memperebutkan sumber-sumber alam seperti rempah-rempah, kayu, karet alam, barang tambang bauxite, batu bara, besi, minyak mentah, emas, intan, dst; Negeri jajahan atau dunia ketiga lainnya tempat pelemparan pasar produk negara maju (merkantilisma); dan memanfaatkan tenaga kerja murah. Disamping itu sesama antar bangsa Eropa saling menjajah seperti Jerman dengan Negara Eropah (Barat) tetangganya. Rusia dengan Negara Eropah (Timur) tetangganya.


PENUTUP

A
ntisipasi peringatan Surah ke-16, An-Nahl ayat 92 penggal pertama yang berbunyi sebagai berikut: ● wa lā takūnū kālltiy naqadhat ghaz lahā mimba’di quwwatin inkā tsān. Artinya: Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, (kemudian setelah itu dia membuat) menjadi cerai-berai kembali (yang tadinya telah dipintalnya itu).

Ungkapan firman Allah ‘Azza wa Jalla ini menunjukkan sangat ‘kepiawaian’ Allāhu Rabb ul-‘Ālamīn yang sangat tajam, jitu dan pas dalam hal ungkapan suatu keyakinan yang telah dibangun sedemikian ilmiahnya dan didukung oleh fakta-fakta sejarah yang tak terbantahkan itu hasilnya yang dalam tempo dua decade [3] Rasul Allah saw mengaplikasikan firman Allah yang menyangkut dengan tatanan kemasyarakat di Madinah menjadikan sebuah bangsa dan penduduknya yang terdiri muslim Anshar, muslim Mahajirin, keturunan Yahudi (di Madinah) dan Kaum Pagan Badui yang tadinya hidup jahiliyah menjadi bangsa yang berperadaban maju (civilized nation), seperti yang telah diuraikan pada serial tulisan Tatanan Mayarakat Dalam Al-Qur’an Ke-1 sampai (penggal pertama) ke-5.

Allah telah membaca kemungkinan-kemungkinan kecenderungan psychologis manusia. Yaitu bisa dengan mudahnya manusia tergelincir kepada kehidupan hubbuddunya menjadi tujuan akhir hidupnya. Peringatan dan berita gembira yang disampaikan secara eksplisit itu, maksudnya adalah jangan sampai manusia ciptaan-Nya mengabaikan PERINGATAN Allah ‘Azza wa Jalla.

Allāhu Rabbin Nās telah  membangun (merajut) alam fikiran (akal) dan kesadaran manusia (consciousness, hati). Dengan itu seterusnya manusia (telah) bertekad (berjanji) akan melaksanakannya. Kemudian setelah itu jangan sekali-kali mencoba untuk merusaknya (mengurai rajutannya) karena memperturutkan hawa-nafsu (angan-angan yang menggiurkan dalam mencapai harta, tahta, syahwat hedonisma yang selalu tidak akan terpuaskan itu. Versus adanya kekuatan bathiniyah dalam basis spiritual habblum minallahu yang dapat menenteramkan dan membahagiakan manusia lahir dan bathin, dunia dan akhirat. [Bersambung]. □ AFM



Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an
(klik->)   (I)   (II)   (III)   (IV)   (V)   (VI)   (VII)



Catatan Kaki:
[1]Untuk mengetahui dan memahami At-Taqdīrul Kawniyyu [Ketentuan Alam] dan At-Taqdīrusy Syar’iyyu [Ketentuan Syari'at] perlu memahami Al-Islāmu wa sunnatulLāhi [Islam dan Sunatullah] yang pembahasannya memerlukan beberapa sesi. Bahannya sudah ada, dalam bentuk Microsoft Office Power Point (Presentation).
[2]The Knowledgebook, Everything you need to know to get by in the 21 st century, Published by the National Geographic Society, 2007 [Cultural History of the World, page 17 to 39]
[3]Decade, artinya adalah 1 decade sama dengan 10 tahun, 2 decade sama dengan 20 tahun. □□



Bahan Bacaan:
1. Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an (Di Bawah Naungan Al-Qur'an), Jilid 7, Gema Insani Press,  Jakarta, 2003.
2. Prof. Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (HAMKA), Juz 14, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta 1987.
3. ALFATIH, Al-Qur’an Tafsir Perkata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Alfatih.
4. Sirah Nabawiyyah, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, 1997.
5. Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an Ke-1 s/d Ke-4, A. Faisal Marzuki.
6. The Knowledgebook, Everything you need to know to get by in the 21st century, Published by the National Geographic Society, 2007 □□□

Blog Archive