TATANAN MASYARAKAT
DALAM AL-QUR’AN (V)
- Janji Dalam Masyarakat -
Oleh: A. Faisal Marzuki
Oleh: A. Faisal Marzuki
JANJI JANGAN DIRUSAK
U
|
ntuk mendapat dukungan kepercayaan, orang
berjanji bahwa ia bisa dan mampu melakukannya, maka diberikanlah kepercayaan
kepadanya. Dalam pelaksanaannya ada 2 kemungkinan akan terjadi. Pertama: Ia memenuhi janjinya yang dengan itu ia bekerja
dengan sungguh-sungguh, karena ia tidak mau atau takut akan melanggar janjinnya
yang telah diucapkan. Dengan itu berarti dia orang baik, bekerja baik dan
berhasil. Yang Kedua: Ia tidak memenuhi
janjinya dengan berbagai alasan. Yang jelas hasil pekerjaan tidak sesuai dengan
janjinya. Dengan itu berarti orang yang tidak pantas disebut orang yang amanah.
Telah disebutkan oleh Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman dalam bahasa kiasan (metaphor)
sbb: ● wa lā takūnū kāllatī naqadhat
ghaz lahā mimba’di quwwatin inkā tsān ● tattakhidzūna aymā nakum dakhalām
baynakum an takūna ummatun hiya arbā min ummatin ● innamā yablūkumul lāhu bihī
● wa layubayyinanna lakum yawmal qiyāmati mā kuntum fīhi takhtalifūna.
Artinya: ● Dan janganlah kamu
seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan
kuat, menjadi cerai-berai kembali. ● Kamu
menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan
adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. ● Allah hanya menguji kamu dengan hal itu, ●
dan pasti pada hari Kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu
perselisihkan itu. [QS An-Nahl 16:92]
MEMBANGUN TATANAN MASYARAKAT
A
|
da prasyarat agar berhasil dengan baik dalam Membangun
Tatanam Masyarakat. Mari kita perhatikan ayat berikut ini. “Tatanan Masyarakat
Dalam Al-Qur’an” yang dimulai dari surat An-Nahl ayat 89: “Kami turunkan
Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk ● menjelaskan segala sesuatu ● dan petunjuk ● serta
rahmat ● dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. Kemudian
dilanjutkan ke ayat 90 penggal pertama yang berisikan 3 perintah Allah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (memerintahkan kamu): ● Berlaku adil (adli)
dan ● Berbuat ihsan
(kebajikan). ● Memberi bantuan kepada kerabat (dzil qurbā, keluarga terdekat).”
Dapat diambil pelajaran yang terkandung dari ayat
tersebut yang dapat dipaparkan sebagaimana uraian berikut ini.
Adanya tatanan masyarakat dimulai dari menata
diri, oleh diri sendiri. Kemudian menata keluarga, oleh anggota keluarga itu
sendiri. Selanjutnya menata masyarakat, oleh anggota masyarakat itu sendiri. Sampai
ketingkat bangsa, oleh anggota (warga, citizen) bangsa itu sendiri.
Sedang tingkat antar bangsa adalah oleh warga dari bangsa-bangsa itu sendiri.
Penataannya bergantung kepada pandangan atau
cara pandang diri atau warga itu sendiri yang disebut paradigma. Paradigma
itulah sebagai ‘pegangan’ (manhaj, jalan, keyakinan pandangan) agar
tatanan atau susunan bangunan (tata-tata, nilai-nilai) yang berupaya membuat
bagaimana anggota masyarakat (bangsa, antar bangsa) maju. Yaitu sejahtera,
aman, damai dan bahagia lahir (material) dan bathin (spiritual).
Dengan paradigma seperti yang tertuang dalam
surat An-Nahl ayat 89 dan dilanjutkan lagi ke ayat berikutnya (ayat 90)
seperti disebutkan diatas absolutely membuat masyarakat akan (menjadi)
maju, maka mesti ada suatu pedoman yang mengarahkannya. Pedoman mana,
didalamnya mesti mengandung nilai-nilai yang menopang kemajuan. Karena itulah,
kita jadikan paradigma hidup. Jadi, paradigma inilah menjadi keyakinan yang
membimbing dan membawa menuju ke kemajuan itu. Diktum paradigma surat ke-16
ayat 89 dan 90 tersebut yang datang dari Tuhan Pencipta manusia, Tuhan Yang
Mahatahu kebutuhan manusia adalah berupa 3 nilai universal tatanan sosial
kemasyarakat yang perlu ditegakkan secara istiqamah (konsekwen dan konsisten)
yaitu:
Paradigma Pertama
Berlaku Adil yang bukan hanya dibibir saja tapi lebih dari itu telah menjadi tekad dan janji hidup sebagaimana firman-firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya sebagai berikut:
● Sungguh,
Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) yang membawa kebenaran kepadamu
(Muhammad, wahai para penganut Dīnul
Islam), agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat. [QS An-Nisā’ 4:105]
● Wahai
orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah,
(ketika) menjadi saksi dengan (berlaku) adil. Dan janganlah kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah.
Karena (adil) itu lebih dekat kepada kepada taqwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sungguh, Allah Mahateliti (mengetahuinya secara sangat detail) apa yang
kamu kerjakan. [QS Al-Mā’idah 5:8]
Bagi orang yang berfikiran tajam (punya
kesadaran akalbudi) dan perasaan yang peka (hati) maka kata keadilan ini jika ditegakkan akan menjamin
kedamaian diantara sesama manusia (siapapun dia), kepercayaan diri (PD) akan
terbina secara mantap, timbul saling percaya mempercayai diantara anggota
masyarakat (jauh dari rasa curiga mencurigai), anggota masyarakat merasa aman.
Dengan itu menjadikan mulus jalan amanah dan tanggung jawab. Dari situ
timbullah rasa damai dan kedamaian (tidak ada khawatir dan rasa takut) sesama
anggota masyarakat. Ini adalah dasar-dasar dari keadilan yang dapat membangun
tatanan masyarakat yang disebutkan Al-Qur’an sebagai landasan pijaknya seperti
itu.
Paradigma Kedua
Berlaku Ihsan yang tidak egois (aku yang sempit). Berbuat baiklah kepada sesama manusia. Sesunggahnya berbuat baik kepada yang lain adalah berarti berbuat untuk kebaikan dirinya sendiri juga seperti berikut ini:
Barang
siapa yang mengerjakan kebajikan, maka itu (berpulang) untuk dirinya sendiri,
dan barang siapa mengerjakan kejahatan (yang dikiranya kejahatan itu akan
menimpa diri orang yang dijahatinya), maka (kejahatan itu) akan menimpa dirinya
sendiri; kemudian kepada Tuhan, kamu akan dikembalikan (mempertanggung jawabkan
perbuatannya). [QS Al-Jāsiyah 45:15]
Di dalam hadits Rasul Allah saw yang shahih disebutkan:
Al-Ihsānu
an ta’budalLāha ka-annaka tarāhu fai(n)lam takun tarāhu fainnahu yarāka.
Artinya:
“Al-Ihsan,
ialah bahwa engkau sembah Allah: ● Seakan-akan engkau melihat Allah. ● Maka
jika engkau tidak melihat Dia, namun Dia tetap melihat engkau.
Maksud Ihsan itu ialah kepada sesama makhluk,
yaitu berbuat lebih tinggi lagi dari Adil (keadilan). Sebagai contoh memberi
upah kepada seseorang mengerjakan sesuatu pekerjaan. Kita beri upahnya itu
setimpal dengan ‘rate’ upah yang berlaku (atau disepakati). Pembayaran
upah yang sesuai dengan rate upah yang disepakati itu adalah sikap yang
Adil. Tetapi jika dilebihkan bayarannya (bonus) dari yang semestinya - sehingga
hatinya besar dan dia gembira, maka pemberian yang lebih itu dinamai Ihsan.
Oleh sebab itu, maka Ihsan adalah latihan (pekerjaan) budi yang lebih tinggi
tingkatnya daripada Adil.
Contoh yang lain lagi ialah: Berperkaralah
Amirul Mukminin (setara dengan Presiden suatu Negara di abad modern ini),
namanya Ali as dengan warganya
seorang Yahudi di pengadilan Negara Madinah. Singkat cerita pasalnya adalah
topi besi Amirul Mukminin (selanjutnya disingkat dengan sebutan Amir) terjatuh
ketika menunggang kudanya, kemudian diambil oleh seorang warganya. Ketika Amir
ini meminta itu dikembalikan kepadanya, warga ini menolak (karena ia mengaku
miliknya).
Maka berperkaralah Amir ke pengadilan, Amir kalah.
Pasalnya adalah saksi yang diajukan Amir adalah anaknya (cenderung pro kepada
ayahnya) dan pegawai rumah tangganya (cenderung kepada membela atasannya),
dipandang kurang kuat oleh Hakim sidang itu. Maka diputuskanlah oleh Hakim
bahwa gugatan Amir tidak dapat diterimanya. Warga yang digugat Amir itu, menang
dalam perkara.
Namun kemudiannya terdakwa merasakan sadar akan
kebaikan sistim peradilan Islam (tidak pilih kasih, mata pisaunya tajam ke
bawah dan tajam pula ke atas). Ia kagum (merasakan dirinya dihormati haknya)
atas prosedur penegakkan keadilan hakim ini. Kemudian terdakwa mengaku, bahwa
topi besi ini milik Amir, dan meminta maaf. Kemudian rasa keadilan itu
menyentuh keimanan (keyakinan agama) terdakwa, dan dia mengucapkan dua kalimat
syahadah (memeluk dīnul Islam).
Kemudian oleh terdakwa yang memenangkan perkara itu, topi besi itu dikembalikan
kepada Amirul Mukmin Ali ra. Akan
tetapi Amir menghadiahkannya kepada terdakwa yang menurut keputusan pengadilan
tidak bersalah. Perbuatan Amirul Mukminin ini disebut (telah berlaku) Ihsan
(kepada warganya yang menang perkara ini).
Paradigma Ketiga
Santun kepada orang yang perlu pertolongan. Memberi kepada keluarga terdekat. Perbuatan ini pun adalah lanjutan daripada Ihsan. Karena kadang-kadang orang yang berasal dari satu ayah dan satu ibu sendiri pun tidak sama nasibnya. Ada yang murah rezekinya, lalu menjadi kaya raya. Ada pula hidupnya yang pas-pasan malah kurang dari itu. Maka orang yang mampu itu dianjurkan berbuat Ihsan kepada keluarganya yang terdekat, sebelum dia memberikan bantuan kepada orang lain.
Berbuat Ihsan seperti itu bukan saja kepada
kerabat yang terdekat saja, namun juga yang bukan kerabat seperti Al-Qurthubi
menulis dalam Tafsirnya: “Maka sesungguhnya Tuhan Allah suka sekali hamba-Nya
berbuat Ihsan sesama makhluk, sampai pun kepada burung yang engkau pelihara
dalam sangkarnya, dan kucing di dalam rumah. Jangan sampai mereka itu tidak
merasakan Ihsan dari engkau”.
Anti Paradigma
Lawan dari paradigma (3 nilai positif dan
membangun tatanan masyarakat), adalah anti paradigma (3 larangan yang merusak
tatanan masyarakat) yang kontradikrif dari paradigma. Yaitu melakukan 3 larangan
Allah: Dia melarang (melakukan): ● Perbuatan keji (fahsyā-i), ● Kemungkaran (munkari,
yang dibenci), dan ● Permusuhan (bagh-yī, aniaya). Uraian panjang lebarnya
dapat diikuti pada tulisan Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an Ke-3.
Biasanya dalam hidup ini ada saja antinya (lawannya). Persoalannya adalah bagaimana
menghadapi anti ini. Anti paradigma ini harus dihadapi dengan tekad, janji dan
pandangan jauh kedepan sebagaimana “ikan yang hidup dilaut yang tidak asin”.
Ikan ya ikan, air laut ya air laut. Oleh karena ikan laut hidup di air laut
yang asin, tapi ikannya tidak asin, bagaimana? Ikan laut telah ‘imun’ dari air
laut yang asin, karena ikan telah ber-Islam (artinya telah berada dan tunduk
kepada ketetapan sunatullah, satu takdir kauniyah, [1] alamiyahnya demikian).
Bagaimana dengan manusia dalam menghadapi
kesuksesan membangun tatanan kemasyarakatan yang maju dalam artian aman, damai,
sejahtera, bahagia ‘pada jasad’ (bersifat material), dan bahagia ‘batin’
(bersifat spiritual). Kedua-dua ada pada diri manusia. Keduanya mesti dipenuhi.
Satu terpenuhi yang lain tidak, maka gelisahlah manusia. Dengan tidak ada
keseimbangan antara kebutuhan jasad yang bersifat materi dan kebutuhan batin
yang bersifat spiritual, maka tidak akan pernah ada kedamaian dan ketenteraman
hidup dalam diri manusia baik dalam bermasyarakat, berbangsa dan antar bangsa.
Abad ini adalah abad materialis-nya yang sangat
menonjol. Hidup menghandalkan materi saja. Hidupnya seperti itu adalah hidup
bagaikan ‘minum air laut’. Hidup yang tidak pernah puas, selalu haus, ‘tidak
pernah kenyang’. Dalam keadaan ini, manusia selalu merasa dalam kekurangan
(tidak cukup-cukupnya). Akibatnya adalah manusia menjadi manusia yang rakus,
rakus serakus-rakusnya. Dengan itu menjadikan manusia memangsa (menjajah,
menipu, mengkorupsi, merampok, ‘menggunting dalam lipatan’) manusia lainnya.
Manusia berkuasa atas manusia yang lain (tingkat antar manusia).
Begitu pula tingkat masyarakat. Masyarakat yang
satu memangsa masyarakat yang lain. Bagitu pula tingkat bangsa. Bangsa yang
satu memangsa bangsa yang lain. Tegasnya bangsa yang maju memangsa bangsa yang
lemah. Bangsa yang maju dan kuat tapi sumber alamnya sedikit, memangsa bangsa
yang tidak maju yang kaya alamnya jadi bulan-bulan bangsa maju dan kuat itu.
Singkatnya, manusia yang tidak beriman (atau beriman yang tidak sesungguhnya)
sangat berpotensi kepada penyalah gunaan kekuasaan. Ringkasnya dalam bahasa
asing katanya “Power tend to corrupt”-
kekuasaan cenderung kepada penyalah gunaan kekuasaannya.
Kesimpulan
Demikianlah sejarah abad modern telah
mencatatnya. Penulis telah mempelajarinya. [2]
Demikianlah dimulai pada abad tengah (middle
ages, abad 12 s/d 15, seterusnya sampai abad ke-20. abad ke-21?) di Eropah
yang katanya menyebutkan abad kebangkitannya (age of enlightenment).
Yaitu suatu abad yang melepaskan nilai-nilai keagamaan (termasuk kitab sucinya)
menjadi abad yang berpandangan materialisma keduniaan (secularism,
hubuddunya). Pandangan hidupnya berdasarkan filsafat materialis yang
disusun oleh pemikiran manusia.
Berikutnya apa yang terjadi adalah menjajah
Indonesia selama 31/2 abad dan dunia Timur lainnya (Asia dan Afrika)
dalam memperebutkan sumber-sumber alam seperti rempah-rempah, kayu, karet alam,
barang tambang bauxite, batu bara, besi, minyak mentah, emas, intan, dst; Negeri
jajahan atau dunia ketiga lainnya tempat pelemparan pasar produk negara maju
(merkantilisma); dan memanfaatkan tenaga kerja murah. Disamping itu sesama
antar bangsa Eropa saling menjajah seperti Jerman dengan Negara Eropah (Barat)
tetangganya. Rusia dengan Negara Eropah (Timur) tetangganya.
PENUTUP
A
|
ntisipasi peringatan Surah ke-16, An-Nahl ayat
92 penggal pertama yang berbunyi sebagai berikut: ● wa lā takūnū
kālltiy naqadhat ghaz lahā mimba’di quwwatin inkā tsān. Artinya: ● Dan janganlah kamu seperti seorang
perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, (kemudian
setelah itu dia membuat) menjadi cerai-berai kembali (yang tadinya telah
dipintalnya itu).
Ungkapan firman Allah ‘Azza wa Jalla ini menunjukkan sangat ‘kepiawaian’ Allāhu Rabb ul-‘Ālamīn
yang sangat tajam, jitu dan pas dalam hal ungkapan suatu keyakinan yang telah
dibangun sedemikian ilmiahnya dan didukung oleh fakta-fakta sejarah yang tak
terbantahkan itu hasilnya yang dalam tempo dua decade [3] Rasul Allah saw mengaplikasikan firman Allah yang menyangkut dengan tatanan
kemasyarakat di Madinah menjadikan sebuah bangsa dan penduduknya yang terdiri
muslim Anshar, muslim Mahajirin, keturunan Yahudi (di Madinah) dan Kaum Pagan
Badui yang tadinya hidup jahiliyah
menjadi bangsa yang berperadaban maju (civilized nation), seperti yang
telah diuraikan pada serial tulisan Tatanan Mayarakat Dalam Al-Qur’an Ke-1
sampai (penggal pertama) ke-5.
Allah telah membaca kemungkinan-kemungkinan
kecenderungan psychologis manusia. Yaitu bisa dengan mudahnya manusia
tergelincir kepada kehidupan hubbuddunya menjadi tujuan akhir hidupnya.
Peringatan dan berita gembira yang disampaikan secara eksplisit itu, maksudnya
adalah jangan sampai manusia ciptaan-Nya mengabaikan PERINGATAN Allah ‘Azza wa Jalla.
Allāhu Rabbin Nās telah membangun
(merajut) alam fikiran (akal) dan kesadaran manusia (consciousness,
hati). Dengan itu seterusnya manusia (telah) bertekad (berjanji) akan
melaksanakannya. Kemudian setelah itu jangan sekali-kali mencoba untuk
merusaknya (mengurai rajutannya) karena memperturutkan hawa-nafsu (angan-angan
yang menggiurkan dalam mencapai harta, tahta, syahwat hedonisma yang
selalu tidak akan terpuaskan itu. Versus adanya kekuatan bathiniyah
dalam basis spiritual habblum minallahu yang dapat menenteramkan dan
membahagiakan manusia lahir dan bathin, dunia dan akhirat. [Bersambung]. □ AFM
Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an
Catatan Kaki:
[1]Untuk mengetahui dan memahami At-Taqdīrul
Kawniyyu [Ketentuan Alam] dan At-Taqdīrusy Syar’iyyu [Ketentuan Syari'at] perlu
memahami Al-Islāmu wa sunnatulLāhi [Islam dan Sunatullah] yang pembahasannya
memerlukan beberapa sesi. Bahannya sudah ada, dalam bentuk Microsoft Office
Power Point (Presentation).
[2]The Knowledgebook, Everything you need to
know to get by in the 21 st century, Published by the National Geographic
Society, 2007 [Cultural History of the World, page 17 to 39]
[3]Decade, artinya adalah 1 decade
sama dengan 10 tahun, 2 decade sama dengan 20 tahun. □□
Bahan Bacaan:
2. Prof. Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (HAMKA), Juz 14, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta 1987.
3. ALFATIH, Al-Qur’an Tafsir Perkata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Alfatih.
4. Sirah Nabawiyyah, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, 1997.
5. Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an Ke-1 s/d Ke-4, A. Faisal Marzuki.
6. The Knowledgebook, Everything you need to know to get by in the 21st century, Published by the National Geographic Society, 2007 □□□