TATANAN
MASYARAKAT
DALAM
AL-QUR'AN (VI)
Terbentuknya
Bangunan Suatu Masyarakat
Oleh: A. Faisal Marzuki
KEADAAN MASYARAKAT
YANG PERLU DI AWASI
YANG PERLU DI AWASI
A
|
yat 92 dari Surah An-Nahl dibawah ini
adalah gambaran metaphor atau kiasan yang merupakan keadaan suatu masyarakat, ●
“wa lā takūnū kāllatī naqadhat ghaz lahā mimba’di quwwatin inkā tsān ●
tattakhidzūna aymā nakum dakhalām baynakum ● an takūna ummatun hiya arbā min
ummatin ● innamā yablūkumul lāhu bihī ● wa layubayyinanna lakum yawmal qiyāmati
mā kuntum fīhi takhtalifūna”.
Artinya: ● Dan janganlah kamu seperti seorang
perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi
cerai-berai kembali. ● Kamu
menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, ● disebabkan
adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. ● Allah hanya menguji kamu dengan hal itu, ●
dan pasti pada hari Kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu
perselisihkan itu. [QS An-Nahl 16:92]
BAGAIMANA MEMBANGUNAN
MASYARAKAT YANG KOKOH
P
|
enggal pertama surat An-Nahl ayat 92 ini,
terjemahan kedalam bahasa Indonesia diambilkan dari Alfatih, yaitu “Dan
janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah
dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali”.
Sementara Buya Hamka dalam penggal pertama ayat “wa
lā takūnū kāllatī naqadhat ghaz lahā mimba’di quwwatin inkā tsān” menerjemahkannya “Dan janganlah kamu menjadi
seperti perempuan yang merombak tenunannya selembar-selembar sesudah selesai.
Untuk menjadi ‘kain’ diperlukan ‘benang’. Tanpa
‘benang’, ‘kain’ tidak ada. Hidup bermasyarakat artinya hidup individu (benang)
dalam ikatan (ditenun) menjadi ‘kain’ (masyarakat). Masyarakat adalah
kesatuan yang teguh dari manusia-manusia yang bergabung dalam masyarakat itu.
Bersatu kita teguh, bercerai kita lemah. Masyarakat atau bangsa yang lemah
menjadi bulan-bulanan atau mangsa masyarakat atau bangsa yang kuat.
Pekerjaan menenun bukanlah pekerjaan yang mudah.
Menenun benang menjadi kain diperlukan ketekunan, tekad dan janji. Dalam masa
kampanye, para calon pemimpin berjanji akan membawa konstituennya (rakyat,
warga, citizen yang diharapkan
memilihnya) menjadi hidup aman dan sejahtera. Pekerjaan membangun kehidupan
aman dan sejahtera tidaklah mudah, setidak mudahnya menenun kain dengan tangan
sendiri. Ketika Pemimpin ini terpilih, dia tidak laksanakan janjinya itu maka
dinamakan melanggar sumpah (janji). Inilah yang dimaksudkan dengan penggal
berikutnya dari surat An-Nahl ayat 92 ini.
Ayat pada penggal
kedua “tattakhidzūna aymā nakum dakhalām baynakum” Artinya: Kamu menjadikan
sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu.
Setelah selesai tenunan (mendapat dukungan) itu
dirombaknya sehelai demi sehelai, sehingga terbuang percuma saja janji-janji
yang dibuat selama ini. Yaitu kamu jadikan sumpah-sumpah kamu sebagai tipudaya
di antara kamu. Untuk melepaskan diri, tidak merasa berat melanggar janji yang
telah diikat.
Ayat penggal ketiga “an
takūna ummatun hiya arbā min ummatin”. Artinya: disebabkan adanya satu golongan
yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.
Oleh karena satu golongan lebih banyak dari satu
golongan yang lain.” Untuk itu, tidak segan-segan mengikat pula perjanjian yang
baru dengan golongan yang lain yang lebih besar, lebih kuat, lebih banyak
orangnya dan lebih kaya, karena mengharapkan keuntungan materi bagi diri pemimpin
itu. Padahal perjanjian dengan yang dahulu belum habis waktunya, tapi mereka
setia menjalankan janji dengan yang lebih kuat ini. Mereka telah meninggalkan golongannya
kecil, karena keuntungan yang diharapkan daripa golongan kecil itu tidak
seberapa.
Ayat penggal keempat “innamā
yablūkumul lāhu bihī”. Artinya: “Allah hanya menguji kamu dengan hal itu”.
Lain tidak, Tuhan Allah Yang Mahabijak dan Tegas
hendak menguji kamu dengan peluang-peluang semacam itu. Manakah yang kamu
pentingkan antara harga
integritas (akhlak, moral ikatan janji) atau keuntungan materi (yang
mengorbankan janji yang telah dibuat itu)? Keuntungan (materi) besar dengan
tidak memperdulikan janjikah, atau keuntungan kecil (tapi menegakkan moral
integritas) tetapi setia memegang janji? Sampai hatikah kamu merombak janji
dengan semena-mena, hanya karena mengharapkan keuntungan (materi) yang lebih
besar untuk diri sendiri, padahal ia bekerja untuk kepentingan seluruh rakyat. Dengan perilaku tersebut kamu mendapat kerugian dalam hal harga iman dalam hubungan sesama manusia?
Penggal kelima atau
penggal terakhir, ayat “atawa layubayyinanna lakum yawmal qiyāmati mā kuntum
fīhi takhtalifūna”. Artinya: dan pasti pada hari Kiamat akan dijelaskan-Nya
kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. Dalam terjemahan Tafsir Buya
Hamka menyebutkan: “Dan niscaya akan diterangkan-Nya kepada kamu di
hari kiamat dari hal apa yang kamu perselisihkan.” (ujung surat An-Nahl
ayat 92)
PENUTUP
D
|
apatlah ditarik pelajaran dari ayat 92 Surah An-Nahl
ini bahwa merombak apa yang telah dijanjikan dengan cara yang demikian itu -
karena mengharapkan dengan membuat janji dengan yang lebih kuat dan lebih banyak,
sehingga tidak lagi memperdulikan nilai sopan-santun integritas dalam
bermasyarakat atau berbangsa. Perangai itu adalah perangainya orang jahiliyah yang tidak
mempunyai pokok-pokok moral kepercayaan, maka tidaklah sepatutnya dilakukan
oleh seorang muslim atau kelompok muslimin yang semestinya mempunyai akhlak
yang tinggi sebagaimana sebuah Hadits Rasul saw
menyebutkan: “Innama buitstu
li-utamimma makarimal akhlak” Artinya: Sesungguhnya aku diutus, untuk
menyempurnakan akhlak - budipekerti, moral, integritas - manusia.
Sebab itu maka diberilah perumpamaan dalam ayat
itu dengan suatu ungkapan yang halus sekali atas ketercelaan perbuatan yang
demikian itu, sebagaimana perempuan bertenun kain, kemudian setelah jadi dirombaknya. Pada umumnya yang
melakukan tenun kain itu adalah pekerjaan perempuan, sepertihalnya penulis
lihat sendiri mereka menenun kain songket di Palembang, Sumatra Selatan. Hasilnya begitu luar biasa, Anyaman serta kombinasi warna tenunannya yang mengundang decak lidah, tanda kagum.
Kemudian setelah selesai menenun pekerjaan yang
bagus dan mulia itu lalu dirombaknya kembali. Suatu pekerjaan yang sia-sia.
Sudah dibangunnya susah payah, kemudian diruntuhkannya. Terbuang percumalah
usaha dan upaya yang selama ini dilakukan dengan tidak ada sebab yang lain,
hanya karena fikirannya galau, gara-gara materi dan kekuasaan semata. Tentunya sebagai anggota masyarakat yang cerdas dan menngunakan akalsehat tidak akan mau berbuat seperti itu.
Jadi bangunan masyarakat yang telah dibangun kokoh dan kuat sebagai mana perempuan yang cerdas dalam menggunakan tangannya ketika menenun benang menjadi kain (dalam hal ini metahpor bagaimana membangun masyarakat) harus kita jaga betul. Hal semacam inilah yang pantas kita pelihara terus.
Dengan itu tidak mustahil (kalau itu dijalankan dengan benar) masyarakat akan kokoh dan tumbuh kuat. Apa yang kita cita-citakan sebagai masyarakat yang adil dan makmur benar-benar dapat dicapai. Yaitu dimulai menciptakan rasa aman masyarakatnya (karena ada lapangan pekerjaan) menjadi stabil yang dinamis dan 'pd' - percaya dirinya kuat, tidak was-was lagi,
Ada jaminan yang ditegakkan dengan integritas yang profesional dari setiap petugas penegak hukum yang tidak saja tajam kebawah tapi juga keatas (tidak pandang bulu). Rencana pembangunan ekonomi yang handal dan pengusaha yang profesional, menjamin tersedianya lapangan pekerjaan dengan gaji atau upah yang cukup layak untuk hidup sebagaimana mestinya di setiap daerah wilayah negara. Kemudian ada jaminan sosial, kesehatan dan hari tuanya. Jaminan mana tidak dapat secara gratis, tapi diambilkan dari setiap pendapatan yang didapatnya (karena gaji atau upah yang cukup). Baru setelah itu masyarakat akan dapat tenang dan damai bekerja baik menurut profesi dan keahlian masing-masing. Cara semacam inilah yang dilakukan negara maju, dimana penulis berdomisili sekarang ini.
Moral Integritas sebagai jaminan hubungan
dan keamanan berbangsa dan berantarbangsa
yang di ajarkan Islam
Jadi bangunan masyarakat yang telah dibangun kokoh dan kuat sebagai mana perempuan yang cerdas dalam menggunakan tangannya ketika menenun benang menjadi kain (dalam hal ini metahpor bagaimana membangun masyarakat) harus kita jaga betul. Hal semacam inilah yang pantas kita pelihara terus.
Dengan itu tidak mustahil (kalau itu dijalankan dengan benar) masyarakat akan kokoh dan tumbuh kuat. Apa yang kita cita-citakan sebagai masyarakat yang adil dan makmur benar-benar dapat dicapai. Yaitu dimulai menciptakan rasa aman masyarakatnya (karena ada lapangan pekerjaan) menjadi stabil yang dinamis dan 'pd' - percaya dirinya kuat, tidak was-was lagi,
Ada jaminan yang ditegakkan dengan integritas yang profesional dari setiap petugas penegak hukum yang tidak saja tajam kebawah tapi juga keatas (tidak pandang bulu). Rencana pembangunan ekonomi yang handal dan pengusaha yang profesional, menjamin tersedianya lapangan pekerjaan dengan gaji atau upah yang cukup layak untuk hidup sebagaimana mestinya di setiap daerah wilayah negara. Kemudian ada jaminan sosial, kesehatan dan hari tuanya. Jaminan mana tidak dapat secara gratis, tapi diambilkan dari setiap pendapatan yang didapatnya (karena gaji atau upah yang cukup). Baru setelah itu masyarakat akan dapat tenang dan damai bekerja baik menurut profesi dan keahlian masing-masing. Cara semacam inilah yang dilakukan negara maju, dimana penulis berdomisili sekarang ini.
Moral Integritas sebagai jaminan hubungan
dan keamanan berbangsa dan berantarbangsa
yang di ajarkan Islam
Ada suatu riwayat, ketika Mu’awiyah berkuasa.
Beliau telah membuat perjanjian dengan Raja Romawi, tidak akan ada serang
menyerang (perjanjian damai) selama suatu waktu tertentu. Maka tatkala telah
dekat habis masa perjanjian itu Mu’awiyah membawa tentaranya ke dekat
perbatasan wilayah Kerajaan Romawi, dengan maksud menyerbu tiba-tiba apabila
waktu perjanjian itu kadaluarsa. Yaitu memanfaatkan peluang yang nantinya
dengan tiba-tiba sudah siap menyerangnya dengan kekuatan penuh.
Mendengar maksud yang demikian itu, berkatalah ‘Amir bin ‘Anbasah kepada Mu’awiyah: “Allāhu Akbar, ya Mu’awiyah! Pegang teguhlah janji yang telah diperbuat, jangan dikhianati. Sebab saya mendengar dari Rasulullah saw bersabda: “man kāna baynahu wa bayna qawmi ajalun falā yuhillanna ‘uqdatan hattā yanqadhiya amadu hā”. Artinya: Barangsiapa ada di antaranya dengan suatu kaum suatu janji, maka janganlah dia buka sendiri buhul ikatan janji itu sebelum habis waktunya.”
Mendengar teguran ‘Amir bin ‘Anbasah itu, mundurlah Mu’awiyah dengan tentaranya, dan tidak jadi menyerang secara tiba-tiba ke wilayah Kerajaan Romawi. Sebab yang demikian itu adalah mungkir janji dan culas. Sesuatu yang tercela dan dilarang dalam ajaran Islam. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. [Bersambung]. □ AFM
Mendengar maksud yang demikian itu, berkatalah ‘Amir bin ‘Anbasah kepada Mu’awiyah: “Allāhu Akbar, ya Mu’awiyah! Pegang teguhlah janji yang telah diperbuat, jangan dikhianati. Sebab saya mendengar dari Rasulullah saw bersabda: “man kāna baynahu wa bayna qawmi ajalun falā yuhillanna ‘uqdatan hattā yanqadhiya amadu hā”. Artinya: Barangsiapa ada di antaranya dengan suatu kaum suatu janji, maka janganlah dia buka sendiri buhul ikatan janji itu sebelum habis waktunya.”
Mendengar teguran ‘Amir bin ‘Anbasah itu, mundurlah Mu’awiyah dengan tentaranya, dan tidak jadi menyerang secara tiba-tiba ke wilayah Kerajaan Romawi. Sebab yang demikian itu adalah mungkir janji dan culas. Sesuatu yang tercela dan dilarang dalam ajaran Islam. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. [Bersambung]. □ AFM
Tatanan Masyarakat Dalam Al-Qur’an
Bahan Bacaan:
1.
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an (Di Bawah Naungan Al-Qur'an), Jilid 7,
Gema Insani Press, Jakarta, 2003.
2. Prof. Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (HAMKA), Juz 14, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta 1987.
3. ALFATIH, Al-Qur’an Tafsir Perkata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Alfatih.
4. Sirah Nabawiyyah, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, 1997. □□
2. Prof. Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (HAMKA), Juz 14, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta 1987.
3. ALFATIH, Al-Qur’an Tafsir Perkata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Alfatih.
4. Sirah Nabawiyyah, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, 1997. □□